Read More >>"> Sebelas Desember (Epilog) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sebelas Desember
MENU
About Us  

Aku terbangun dengan sengatan rasa nyeri di dada.

Ruangan di atas kepalaku putih, penuh cahaya menyilaukan sehingga aku harus menghalau dengan telapak tangan. Mama ada di sisiku, tertidur dalam posisi duduk dengan kepala jatuh ke tempat tidurku.

Setelah beberapa menit upayaku menyesuaikan diri, usaha mengumpulkan segenap kekuatan, aku bangkit duduk. Kusibak rambut Mama, wajahnya tampak lelah. Jejak-jejak airmata bahkan belum meninggalkan pipinya.

Papa tidak terlihat di manapun. Mungkin pergi. Mungkin mengurus pemakaman.

Hari ini adalah pemakamannya.

Saudari kembarku telah meninggalkan dunia ini. Selamanya.

Separuh jiwaku telah pergi. Selamanya.

***

Kamis, 17 Desember. 18.02 WITA

Aku ingin keluar kamar dan menghirup udara segar. Di dalam terasa pengap. Mama pergi untuk membersihkan diri dan sekalian salat magrib, katanya. Launa juga pergi, menemui Rei.

Jadi aku tertinggal sendirian di sini. Tidak bisa bergerak karena berbagai infus yang membelitku. Juga kaki yang terasa seperti agar-agar. Padahal dulunya sepasang kaki ini mampu mengelilingi lapangan sekolah hingga sepuluh kali, atau pusat perbelanjaan.

Yang bisa kulakukan adalah menatap jemariku, menghitung waktu saudari kembarku akan kembali. Saudari kembar kesayanganku, Launa Andriani.

Launa ... jika boleh jujur, aku selalu iri padanya. Sejak kecil. Dia selalu merupakanan anak yang tenang di berbagai situasi. Dia pemberani, dia bahkan tidak takut pada kecoak, setiap aku menjerit karena binatang mengerikan itu, Launa akan mengambil sandal atau benda apapun dan mengusirnya untukku. Dia juga tidak takut hantu, mau-maunya saja kubujuk untuk bangun jam dua pagi dan menemaniku ke toilet.

Saudari kembarku itu juga amat pintar. Dia selalu juara di sekolah. Dan aku, meski mencoba rasanya pelajaran terus memantul di otakku, tidak ada yang tinggal. Entah itu Matematika, Bahasa Inggris, IPA, Launa menguasai semua, kecuali PJOK. Untuk PJOk, aku lebih unggul, aku bisa berlari cepat di saat dia sudah kehabisan napas. Tetapi hanya itu yang dapat kubanggakan.

Launa suka membaca, aku mengagumi itu sementara aku sendiri kesusahan membaca petunjuk pemakaian yang selalu ditulis di belakang label produk. Mama dan Papa selalu memuji nilai-nilainya, atau tentang betapa penurutnya dia, betapa dia menjadi sosok kakak karena seringnya mengalah padaku yang kelewat manja. Hal-hal yang aku ... tidak pernah bisa. Hal-hal yang ... selama ini lalai aku sukuri.

Launa juga teramat cantik. Bohong kalau orang melihatnya dan mengatakan sebaliknya. Alisnya indah, juga matanya yang dinaungi bulu mata panjang. Hanya saja, dia seperti menutupi itu di balik potongan rambutnya yang selalu lurus sebahu, lalu dikuncir asal, dengan wajah polos tanpa polesan apa-apa.

Dan yang paling kuirikan darinya ... adalah Rei.

Aku suka Rei, bahkan sejak pertama melihatnya. Dan kurasa, sulit bagi siapapun untuk menolak pesonanya. Dia tinggi, tampan, ramah. Dia selalu menyapa ketika bertemu, selalu menawarkan bantuan, selalu ... menanyakan tentang Launa.

Bahkan jika aku memulas wajah dan berdandan untuk menemuinya, ketika mengobrol, aku hanya perlu menatap matanya untuk tahu siapa yang dia suka. Launa. Caranya menatap Launa berbeda. Dia menatap seolah gadis itu adalah bunga paling cantik di taman, sehingga dia tidak bisa melepaskan pandang. Dia menatap gadis itu seolah dia adalah acara TV paling menghibur, membuatnya tersenyum-senyum sendiri. Dia praktis seperti bunga matahari yang selalu menatap ke arah cahayanya; Launa.

Dulu aku benci kenyataan itu. Tetapi sekarang .. aku mengerti. Sangat mengerti. Kecelakaan itu, koma yang kualami, pernah begitu dekat dengan kematian membuatku sadar bahwa ... aku menyayangi Launa. Aku menyayanginya lebih daripada apapun. Aku ingin melakukan banyak hal dengannya. Aku ingin membuat banyak kenangan indah bersamanya. Demi menebus waktu-waktu yang terlewat ketika kami seperti dua kutub yang berseberangan.

Kami sudah berjanji. Kami sudah membuat banyak rencana. Tetapi kenapa ... dadaku terus berdentam tidak nyaman? Seolah sesuatu yang buruk ... akan datang.

Lalu, berita itu datang dalam bentuk Papa yang masuk menerobos ruangan. Ia menatap ke dalam mataku.

Dan tahu-tahu, dunia meremasku menjadi puing-puing.

“Launa ... masuk IGD. Pendarahan di otak. Dia ... dia nggak bernapas.”

***

Aku tidak mengingat banyak hal setelahnya. Yang kuingat, adalah tanganku yang tanpa berpikir menyingkirkan selang-selang yang menancap di tubuhku. Adalah usahaku untuk bangkit berlari ke arah Launa meski kenyataannya harus jatuh mencium lantai. Adalah tangisan tanpa suaraku. Adalah kepanikan yang menyerang tiap sel tubuhku.

Dia nggak bernapas.

Kata-kata Papa terngiang di benakku, bersama dengan beribu pertanyaan. Bagaimana bisa? Dia sehat-sehat saja ketika meninggalkan ruangan. Kami sempat berbagi cerita. Papa pasti salah! Launa baik-baik saja. Dia bilang, dia hanya akan pamit sementara.

Nyatanya ... dia pamit selamanya.

Ketika aku didorong Papa dan Mama dengan kursi roda ke ruang rawatnya, dokter dan perawat sudah tidak memeriksa saudari kembarku itu. Mereka tidak memberikannya oksigen, atau CPR, atau apapun itu. Mereka meletakkan kain putih di atas tubuhnya, menyisakan kepala yang terpejam tenang, lalu menatapku dengan rasa iba.

Pelan ... dengan amat pelan dan gemetar, aku menyeret diriku mendekati Launa. Kugenggam tangannya. Dingin. Tangan yang selalu hangat itu ... kini sudah dingin. Aku meletakkan kepalaku di dadanya, menahan sesak, berharap dapat mendengar detak jantungnya meski samar.

Nihil.

Yang kurasakan hanya tubuh yang kaku, yang tak lagi sehangat biasanya.

Tetapi aku menatap wajahnya, seakan tersenyum dalam tidur yang lelap. Dan seketika rasa tidak percaya menghinggapiku.

“Nana...,” aku membuka suara meski gemetar, mataku menatap petugas medis itu, “... cuma tidur, kan? Kenapa ... kenapa badannya dingin?”

Dokter itu menaikkan kacamatanya, menghindari pandangku. Ia lalu melangkah maju, dengan langkah yang seakan berusaha menenangkan.

Aku menolak dan memotongnya. “Iya, kan? Cuma tidur, kan?”

Aku hanya ingin mereka mengatakan ya. Aku ingin ini menjadi candaan semata.

“Bisa tolong bangunin?”

Karena aku tidak ingin mendengar kenyataan..

“Tolong ... bangunin,” airmataku menggumpal di pelupuk, coba kutahan. “Tolong bangunin cepat! Aku takut! Nana.... tolong bangun,” kugenggam tangannya, kuremas jemarinya, kugoncang ia. Nana masih diam dalam tidurnya. “Ayo, Na, bangun, Na. Jangan buat aku takut.”

Lalu, ketika Ibu jatuh di atas lututnya di sisiku, dalam isak tangis yang bercampur lolongan panjang, dan Papa yang merengkuhku demikian eratnya, tangisku pecah. Kenyataan menikamku dengan dingin. Dan seberapa keraspun aku coba menolak, aku tidak bisa.

“Enggak. Nana nggak pergi kemana-mana kan, Pa? Nana masih sama kita di sini, kan? Nana... Nana...”

Aku menggenggamnya sekali lagi. Menatap wajah tidurnya. Mencermatinya baik-baik. Tahu ini akan menjadi kali terakhirku melihatnya.

Aku tidak bisa.

Kami sudah berjanji.

Kenapa kamu harus pergi, Na?

Kenapa kamu pergi sebelum kita bisa mewujudkan itu semua?!

Kenapa─ dadaku sesak, dan hal terakhir yang kuingat adalah ruangan mengabur, menjadi cahaya putih menyilaukan. Lalu, semuanya menghilang.

***

 

 

Epilog

 

Makam Kama dan Ulfi bersebelahan.

Aku nyaris tersenyum. Mereka selalu tak terpisahkan. Kemana-mana selalu bersama. Mereka lebih seperti kembar daripada aku dan saudariku. Bahkan sekarang pun ...mereka tetap bersama.

Aku menaburkan bunga dan air mawar, lalu mengusap kedua nisan itu bergantian. Sesak kian membanjiri dadaku, seakan menjadi pengingat bahwa 11 Desember, hari itu tidak akan pernah sirna. Hari itu akan selalu menghantuiku. Meski sekarang telah tepat setahun sejak kejadian itu.

“Upi ... Kama ... baik-baik ya, kalian. Saling jaga...”

Usai memanjatkan doa, aku berpindah pada makan lainnya. Sebuah pusara yang kokoh, yang sedikit mulai berlumut, yang menunjukkan bahwa ... seorang gadis tujuh belas tahun terbaring di bawahnya. Orang yang paling kusayangi.

Dengan hati-hati, aku meletakkan seikat mawar di bawah nisan, menyandingkannya dengan seikat bunga kupu-kupu yang lebih dulu ada di sana. Itu bunga kesukaanku ... dan kesukaannya.

Aku sudah berjanji untuk tidak menangis. Tetapi ketika mataku menemukan namanya, ketika tanganku mengusap rumput di atas makamnya, airmataku mengalir begitu saja.

“Nana ... aku kangen kamu...,” bisikku. Kalimat itu, secara mengagetkan, terasa amat benar. Seolah aku tidak terus mengucapkan kalimat yang sama nyaris setiap harinya.

Kenyataannya, setiap hari, aku mengatakannya. Setiap hari, aku merindukannya. Nanaku.

Tapi hari ini adalah hari kesebelas di bulan Desember. Rasa sakit karena rinduku menjadi sepuluh kali lipat tak tertahankan.

“Aku kangen banget sama kamu sampai-sampai sulit untuk bernapas.”

Basah. Aku menemukan airmata yang telah mengumpul di pelupuk mata jatuh mengalir begitu saja begitu aku mengerjap.

“Hari-hari di sini sulit untuk dijalani. Kamu benar. Kita telah bersama sejak dalam kandungan Mama, kita tidak pernah benar-benar berpisah. Jadi aku nggak bisa ...,” tangisku kian menjadi, tetapi aku tidak berupaya menghapusnya. “Aku nggak bisa di sini sendirian. Aku kangen kamu ...”

Aku tidak tahu berapa lama aku di sana, menangis seperti tidak ada habisnya. Hingga, tepukan lembut menyentuh pundakku.

“Mau hujan, kita pulang dulu, ya Ra?”

Aku menggeleng. Aku ingin bersama Nana lebih lama. Aku ingin bersama saudariku. Tetapi atas bujukannya yang tanpa jeda, akhirnya aku menyerah. Rei membimbingku berdiri, menopangku ketika oleng, dan memayungi kepalaku ketika gerimis mulai turun.

Aku mendongak sedikit, menoleh padanya. Ada jejak airmata di pipinya. Ada sakit di matanya. Aku tahu seberapa besar ia juga menyayangi Nana. Seberapa sakit ia juga merindukannya. Seikat bunga kupu-kupu tadi ... itu darinya. Dari Nawala, untuk Jambu-nya.

Yang bisa kuberikan ... hanya remasan di pundak, coba menguatkannya.

“Aku tahu,” kataku.

“Tahu apa?” Rei menoleh. Kami mulai berjalan pelan meninggalkan area pemakaman.

“Bahwa Nana juga merindukan kita. Dan bahwa Nana ...bahagia di sana.”

“Tahu dari mana?” Kali ini ia tersenyum, meski tipis.

Aku mengembalikan senyum itu. “Tahu saja. Kami kembar, ingat? Kami punya ikatan.”

Tanganku menyentuh nisannya sekali lagi. Menatapnya, aku serasa menatap saudariku, malaikatku.

Na ...

Aku minta maaf.

Juga, terima kasih ... kamu selalu, dan akan selalu, menjadi saudari terbaik yang kumiliki.

Na....

Baik-baik di surga, ya.

Namaku Laura. Hari ini, 11 Desember, umurku genap 18 tahun. Dan aku hanya ingin ... saudari kembarku tenang di sana. Bahagia di sana.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
THE DARK EYES
651      347     9     
Short Story
Mata gelapnya mampu melihat mereka yang tak kasat mata. sampai suatu hari berkat kemampuan mata gelap itu sosok hantu mendatanginya membawa misteri kematian yang menimpa sosok tersebut.
Evolvera Life
5766      2647     27     
Fantasy
Setiap orang berhak bermimpi berharap pada keajaiban bukan Namun kadang kenyataan yang datang membawa kehancuran yang tak terduga Siapa yang akan menyangka bahwa mitos kuno tentang permintaan pada bintang jatuh akan menjadi kenyataan Dan sayangnya kenyataan pahit itu membawa bencana yang mengancam populasi global Aku Rika gadis SMA kelas 3 yang hidup dalam keluarga Cemara yang harmonis du...
PurpLove
189      174     2     
Romance
VIOLA Angelica tidak menyadari bahwa selama bertahun-tahun KEVIN Sebastian --sahabat masa kecilnya-- memendam perasaan cinta padanya. Baginya, Kevin hanya anak kecil manja yang cerewet dan protektif. Dia justru jatuh cinta pada EVAN, salah satu teman Kevin yang terkenal suka mempermainkan perempuan. Meski Kevin tidak setuju, Viola tetap rela mempertaruhkan persahabatannya demi menjalani hubung...
SATU FRASA
13266      2696     8     
Romance
Ayesha Anugrah bosan dengan kehidupannya yang selalu bergelimang kemewahan. Segala kemudahan baik akademis hingga ia lulus kuliah sampai kerja tak membuatnya bangga diri. Terlebih selentingan kanan kiri yang mengecapnya nepotisme akibat perlakuan khusus di tempat kerja karena ia adalah anak dari Bos Besar Pemilik Yayasan Universitas Rajendra. Ayesha muak, memilih mangkir, keluar zona nyaman dan m...
Love Never Ends
10157      2032     20     
Romance
Lupakan dan lepaskan
The Twins
3869      1340     2     
Romance
Syakilla adalah gadis cupu yang menjadi siswa baru di sekolah favorit ternama di Jakarta , bertemu dengan Syailla Gadis tomboy nan pemberani . Mereka menjalin hubungan persahabatan yang sangat erat . Tapi tak ada yang menyadari bahwa mereka sangat mirip atau bisa dikata kembar , apakah ada rahasia dibalik kemiripan mereka ? Dan apakah persahabatan mereka akan terus terjaga ketika mereka sama ...
U&O
21072      2108     5     
Romance
U Untuk Ulin Dan O untuk Ovan, Berteman dari kecil tidak membuat Rullinda dapat memahami Tovano dengan sepenuhnya, dia justru ingin melepaskan diri dari pertemanan aneh itu. Namun siapa yang menyangkah jika usahanya melepaskan diri justru membuatnya menyadari sesuatu yang tersembunyi di hati masing-masing.
Gino The Magic Box
2703      925     1     
Fantasy
Ayu Extreme, seorang mahasiswi tingkat akhir di Kampus Extreme, yang mendapat predikat sebagai penyihir terendah. Karena setiap kali menggunakan sihir ia tidak bisa mengontrolnya. Hingga ia hampir lulus, ia juga tidak bisa menggunakan senjata sihir. Suatu ketika, pulang dari kampus, ia bertemu sosok pemuda tampan misterius yang memberikan sesuatu padanya berupa kotak kusam. Tidak disangka, bahwa ...
Unsuitable
1109      506     6     
Romance
Bagi Arin tak pernah terpikirkan sekalipun bersekolah dalam jerat kasus tak benar yang menganggapnya sebagai pelacur. Sedangkan bagi Bima, rasanya tak mungkin menemukan seseorang yang mau membantunya keluar dari jerat tuduhan yang telah lama menimpanya. Disaat seluruh orang memilih pergi menjauh dari Bima dan Arin, tapi dua manusia itu justru sebaliknya. Arin dan Bima dipertemukan karena...
Dessert
867      443     2     
Romance
Bagi Daisy perselingkuhan adalah kesalahan mutlak tak termaafkan. Dia mengutuk siapapun yang melakukannya. Termasuk jika kekasihnya Rama melakukan penghianatan. Namun dia tidak pernah menyadari bahwa sang editor yang lugas dan pandai berteman justru berpotensi merusak hubungannya. Bagaimana jika sebuah penghianatan tanpa Daisy sadari sedang dia lakukan. Apakah hubungannya dengan Rama akan terus b...