Keajaiban terjadi hari itu. Aku sudah bersiap kehilangan. Sebagian diriku, hari demi hari, tiap menitnya mulai belajar merelakan. Tetapi Tuhan rupanya punya rahasia. Laura bangun. Jemarinya bergerak! Sekilas aku bahkan dapat bersumpah aku melihat pergerakan samar kelopak matanya!
Dengan panik, aku memanggil Mama, Papa, suster, siapapun yang bisa dijangkau. Mereka datang dengan segera setelah aku menekan tombol untuk keadaan darurat. Dokter datang, mengarahkan senter kecil untuk memeriksa pupil Laura. Mereka juga memeriksa nadinya, leher, dan hal-hal lainnya. Entahlah. Aku tidak mengerti banyak.
Seorang perawat mengarahkan kami untuk meninggalkan ruangan sementara dokter melakukan pemeriksaan tersebut. Mau tidak mau, aku menurut. Mama memelukku dengan segera, tidak memberiku jeda untuk bernapas.
“Na... Nana, ini bener, kan? Rara beneran bangun, kan?” tangisnya.
Aku melonggarkan pelukan, menatapnya, dan mengangguk. Sebenarnya, sama tidak percayanya. Selanjutnya aku juga menyapukan pandangan pada Papa. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya tersenyum, tetapi seluruh bagian wajah lainnya menunjukkan seolah dia akan menangis. Jadi, aku mengulurkan satu lengan ke arahnya. Papa memeluk kami berdua, dan bertiga, kami tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak mengeluarkan tangis haru, tidak peduli seberapa memalukannya. Terutama ketika dokter keluar dan mengonfirmasi semuanya.
“Syukurlah, keadaan pasien membaik secara signifikan. Dan dia sudah sadarkan diri.”
“Boleh kami masuk?”
“Ya, tapi tolong tetap hati-hati. Jika keadaannya terus membaik, dia akan segera dipindahkan ke ruang rawat.”
Tangis lembut Mama segera berubah menjadi raungan yang tidak dapat dicegah, jatuh di dada Papa. Papa meremas pundakku kuat. Aku memeluknya lengannya sebagai balasaan.
Sejenak, kami larut dalam kebahagiaan itu. Kebahagiaan sesederhana melihat salah seorang anggota keluarga bangun. Kebahagiaan yang di lain hari, tidak akan kami sadari. Manusia memang benar-benar mengabaikan betapa berharganya sesuatu hingga sesuatu itu hilang. Atau nyaris hilang.
Dalam pelukan Papa, aku menyusut air mata, melupakan bahwa tubuhku basah setelah kehujanan tadi. Barulah ketika sakit kepala mulai menyerang, aku membebaskan diri.
“Pa, Ma, Nana mau ke apotik bentar, beli obat.”
Papa menatapku. Tangannya teulur untuk menyentuh keningku. “Kamu sakit?”
“Cuma pusing, kayaknya kehujanan.”
“Ganti baju, jangan lupa.”
Aku tersenyum, lantas mengangguk. Ah... aku hanya berharap agar tidak terserang flu. Sangat tidak mengenakkan. Aku dan air hujan memang tidak pernah bersahabat, sedikit terkena saja dan langsung tumbang seperti ini.
Tetapi kenapa ... pusingnya terasa separah ini? Kenapa pandanganku mulai buram?
***
Rabu, 16 Desember. 12.46 WITA
Laura telah sadarkan diri. Dengan bantuan, sekarang ia duduk menyandar pada bangku rumah sakit. Leher dan kakinya masih di gips, perban dimana-mana, menutupi sebagian wajahnya. Cairan infus masih terpasang.
Kabar baiknya, dia membuka mata. Hal yang ... rasanya lebih dari cukup. Tetapi, keajaiban tidak berhenti di sana. Sekarang Laura telah dapat memberi respons pada apapun yang dikatakan padanya. Dia sudah mulai dapat bicara meski pelan dan nyaris tak terdengar. Juga, dia sudah diperbolehkan makan. Aku menatap baki makanannya di atas meja, masih bubur. Bubur putih dengan sedikit kuah dan sedikit potongan wortel, itu saja.
Diam-diam, aku meringis. Seandainya Laura tidak sedang sakit begini, pasti dia akan mengamuk jika harus makan ini. That picky eater one. Tetapi ia sedang sakit dan menurut saja ketika Mama menyuapinya, meski enggan menelan.
“Kapan dipindahnya, kata dokter?” tanyaku setelah beberapa saat kediaman. Aku sedang melipat pakaian kotor untuk dimasukkan ke dalam tas, dibawa pulang lalu dicuci. Mama duduk di kursi di sisi tempat tidur Laura, merawat gadis itu, menyuapinya makan setelah tadi mengelap badannya dengan air hangat. Dan Papa ... ke luar, merokok, sepertinya. Belakangan, ia sering sekali merokok.
“Besok katanya udah bisa pindah ke ruang inap biasa. Di situ lebih enak, nggak terlalu sepi,” balas Mama sambil menyendokkan lagi buburnya.
Aku mengangguk. Lantas melanjutkan kegiatanku, memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tas. Baju kotor, botol minum kosong, tupperware bekas pakai ... sudah hampir semuanya. Apa lagi, yang harus kubawa? pikirku. Saat itulah Mama berdiri, lantas menyodorkan baki makan siang Laura padaku.
“Mama mau ke toilet dulu, sekalian terus salat. Kamu suapin Rara.”
Lalu, Mama pergi tanpa menunggu jawabanku. Aku tidak punya pilihan lain di sini, selain duduk di kursi yang semenit lalu ditempati Mama dan menghadap Laura, saudari kembarku.
Sepertiku, Laura juga tidak menatapku di mata.
Jujur saja, sejak dia bangun, kami belum pernah benar-benar bicara, seperti bicara hati ke hati. Seluruh kata yang kususun selama dia koma, segenap perasaan yang tertumpuk, buyar begitu saja, mengelu di ujung lidah. Aku tidak bisa menyampaikan padanya betapa aku bersyukur dia berhasil melewati ini. Tidak seperi yang Mama atau Papa lakukan.
Aku bahkan ... belum memeluknya sekali pun.
Hubungan kami selama tujuh belas tahun tidak pernah begitu dekat secara fisik. Kami tidak saling merangkul seperti yang umumnya sesama perempuan lakukan. Lebih banyak karena kepribadian kami yang bertolak belakang. Karena dia dulunya adalah si social butterfly dan aku si wallflower, yang terlalu kikuk untuk menghadapi siapapun. Bahkan Laura. Terutama Laura. Terutama sekarang, dengan rasa bersalah dan iba yang memakanku hidup-hidup.
Aku menyendok bubur perlahan, sebelum kemudian menempatkannya di depan bibir Laura. Gadis itu tidak langsung membuka mulutnya, ia menatapku. Dan untuk sesaat yang kupikir ia akan mengabaikannya, Laura akhirnya menyuap bubur itu ke mulut.
“Enak?” tanyaku, tidak tahu harus berkata apa.
“Pahit,” erangnya pelan. Aku kembali meringis. Ya, jelas.
Selama beberapa saat, kediaman menghinggapi kami. Aku hanya terus menyuapi sembari melirik jam dinding di ruangan, tidak bisa tidak penasaran kapan Mama akan atau Papa akan kembali. Tetapi hingga bermenit-menit yang terasa berjalan begitu lambat, tidak ada satupun di antara mereka yang mengayunkan pintu terbuka. Hanya aku dan Laura di sini, hingga gadis itu pun menginterupsi.
“Minum.”
Aku berdecak. Tetapi beranjak untuk mengambil segelas air dari lemari nakas, lalu bangkit untuk membantunya minum. Siapa sangka, tangannya yang dulu terbiasa memegang mikrofon di acara penting sekolah, atau tongkat dirijen, atau hadiah dari orang-orang, sekarang tidak sanggup menyangga satu gelas kecil. Bahkan caranya minum teguk demi teguk dengan amat lambat terlihat menyakitkan. Seolah ... untuk minum saja merupakan sebuah perjuangan besar.
Dan kesulitan itu, membuat Laura tersedak ringan hingga menumpahkan sebagian isi gelas ke pakaiannya. Buru-buru, aku meraih tisu dan membantu membersihkan bagian yang basah.
“Makanya pelan-pelan. Kebiasaan,” omelku. Kalimat tanpa pertimbangan itu meluncur begitu saja sebelum dapat mengingatkan diri bahwa Laura sedang sakit. “Eh... sori.”
Tetapi di luar dugaan, kembaranku itu justru terkekeh. Aku balas tersenyum. Singkat. Dan begitu saja, tembok es yang membentang di antara kami berdua, luluh. Begitu saja.
Lima belas menit berikutnya, kami sudah merencanakan hampir segalanya.
“Jadi kamu masih keras kepala mau ke pemakaman?”
Kenyataan pahit itu Laura temukan tadi pagi. Ia bertanya tentang keadaan teman-teman; Ghea, Kama, Ulfi, dan nyaris tidak memerlukan jawabannya. Dia hidup tujuh belas tahun bersamaku, sembilan bulan di dalam perut. Ia membacaku begitu saja.
“Ghea masih dirawat, lantai dua.”
Laura mengangguk pelan. Aku yang tidak melanjutkan kalimat untuk memberitahu tenang dua teman kami lainnya membuat kening gadis itu mengerut.
“Kemana ... Kama?”
“Pergi,” lirihku.
“Ulfi?”
“Sama.”
Aku tidak menjelaskan lebih jauh dan Laura tidak bertanya. Jawaban itu begitu jelas. Dan jika dijelaskan lagi, hanya akan menjadi sebuah pisau bermata dua, kedua mata tajamnya hanya akan menyakiti kami berdua.
Laura tidak menangis. Aku tahu dia masih terlalu sakit untuk menangis. Tetapi kehampaan yang matanya pancarkan membuatku harus memalingkan wajah. Ke manapun, asal tidak melihat kesakitan itu.
Topik yang sama kembali ke permukaan sekarang. Tentang dua kupu-kupu yang telah terbang jauh, Kama dan Ulfi. Aku menemukan Laura mengangguk samar. Sama samarnya dengan kalimat terbata yang kemudian keluar dari mulutnya. “Aku mau ... antar Upi ... dan Kama...”
“Aku juga mau,” gumamku pelan. Bahkan, hingga sekarang, sulit untuk mendengar nama mereka tanpa merasakan pelupuk mata yang memanas atau desakan air mata yang ingin tumpah.
Hanya saja, aku harus kuat. Jika aku menangis sekarang ... bagaimana reaksi Laura? Dia masih sangat sakit. Dia tidak boleh menangis.
“Kalau gitu kamu harus cepat sembuh,” ucapku seringan mungkin, dengan senyum yang kupaksakan. “Kita harus cepat pulang.”
Dia mengangguk lagi, menerima dengan pasrah bubur yang kusuapi.
“Ghea mungkin akan menjenguk ke sini hari ini, jika diizinkan.”
Tidak ada tanggapan, Laura masih mendiamkan buburnya di dalam mulut. Dan tidak ingin suasana menjadi canggung atau menyedihkan lagi, aku berusaha terdengar ceria ketika kemudian bertanya padanya. “Enak?”
Aku tahu aku menanyakan pertanyaan yang sama dua kali. Bukan salahku tidak pandai memulai topik baru. Namun kali ini, jawaban Laura sedikit berbeda.
“Hambar,” sahutnya.
Aku terkekeh kecil. “Makanya cepat sembuh. Biar bisa makan Donat DO’Nut lagi. Kamu yang traktir, ya.”
Laura tersenyum. “Aku mau kebab...”
“Iya, nanti kita beli itu juga.”
“Sama pentol bakar.”
“Sama pentol bakar,” anggukku.
“Mau nonton film.”
“Ada film Disney baru yang mau tayang. Kamu pasti suka!”
Jeda. Aku menyuapi sesendok lagi ke bibir Laura. Tetapi alih-alih hanya menerima suapan, dia meraih tanganku sebelum menyuapi diri sendiri. Pelan. Pelan sekali. Tangannya gemetar, jadi aku sama sekali tidak melepasnya. Sendok itu dipegang oleh kedua tangan kami.
Ini cukup aneh. Kami kembar, tetapi kami jarang melakukan sentuhan fisik yang disengaja, kecuali ketika sedang berkelahi. Yang lebih aneh dari itu, Laura tidak melepaskan tanganku.
“Kita nonton di bioskop?” tanyanya.
Aku mengangguk mantap. “Iya, kalau kamu udah sembuh.”
“Berdua?”
“Kita berdua?” Aku menunjuk dadaku dan dirinya bergantian. “Boleh.”
Laura tersenyum. Lagi.
“Na... tidur di sini nggak enak.” Ucapannya terjeda karena aku menyuapkan sesendok lagi bubur ke mulutnya. Ini yang terakhir.
“Kenapa?” tanyaku sembari meletakkan baki makanan di atas meja. Lantas, aku memberi Laura minum, yang membuatnya membutuhkan lebih banyak waktu sebelum menjawab pertanyaanku.
“Aku kangen kamar kita. Kangen ... tidur sama kamu.”
Giliranku, yang tersenyum. “Ayo tidur larut bareng-bareng lagi. Kita nonton, main, ngobrol... kita bisa ajak Ghea juga.”
Laura mengangguk. “Aku mau main monopoli.”
Ugh, aku benci monopoli, tapi aku mengangguk. “Oke.”
“Na?”
“Hm?”
“Capek.”
“Makanya jangan ngomong banyak-banyak dulu,” decakku. Setiap kalimatnya yang ia ucapkan secara lambat dan pelan membuatku kesakitan mendengarnya. Tetapi nada antusiasnya berlaku sebaliknya. Sejujurnya ... aku ingin mendengarnya bicara lebih banyak. Tentang apa saja.
Aku merindukan saat-saat seperti ini. Ketika kami tidak bisa tidur dan mengobrol di tengah malam. Tentang apa saja. Tugas sekolah, cowok-cowok yang naksir Laura, teman sekelas, selebriti, hobi. Apa saja.
Kutahan pundak Laura dengan satu tangan, tangan lainnya memperbaiki letak bantal di belakang gadis itu, lalu menurunkan kemiringan ranjang, hingga pas untuk ditiduri. Perlahan, aku membantunya berbaring.
“Istirahat aja dulu. Tidur.”
Alih-alih menurut, Laura meraih tanganku.
“Na?”
“Hm??”
“Ayo ... lakuin banyak hal bareng-bareng.”
Perkataan Laura membuatku tertegun. Sebagai sepasang kembar, kami tentu saja sering bertengkar. Kami tidur sekamar, di satu ranjang besar yang sama. Kami hampir selalu mendapat pakaian yang sama, atau hal-hal yang sama. Tetapi apakah kami pernah melakukan segala sesuatunya bersama? Dengan keinginan sendiri dan bukannya terpaksa.
Kesadaran itu menohokku keras-keras, memelasakkan rindu dan air mata ke pelupuk mataku. Aku tidak ingin menangis. Jadi yang kulakukan hanya mengangguk banyak-banyak.
“Hmm. Ayo makan bareng ... nonton bareng ... having girls night bareng ... main bareng ...”
Sementara Laura menggenggam tanganku, perlu upaya keras menahan diri untuk tidak menangis cengeng. Untungnya, ponselku berbunyi, mengalihkan kami berdua.
Nawala. Layarnya mengatakan bahwa Nawala sedang memanggil. Nawala juga, yang kemudian membuat kedua tangan kami berpisah, berhenti saling genggam. Ah, aku hampir melupakannya, surat itu.
“Ra?”
“Hm?”
“Tentang Rei ... ada satu hal yang harus kamu tahu. Surat itu ... kamu denger, kan? Puisi yang aku bacakan waktu kamu koma, kamu ... denger, kan?”
Laura justru menggeleng. “Kamu ... salah.”
Aku tahu. Karena itu kutelan kembali ludahku tanpa pembelaan apa-apa. Ponsel yang terus bergetar di tangan tidak memberiku banyak waktu untuk menjelaskan diri. Kukatakan pada Laura bahwa aku akan segera kembali, lalu tersenyum lebar.
Kali ini, berbeda dengan senyum yang kuulas hari-hari sebelumnya. Sekarang ... aku bahagia. Aku amat sangat bahagia. Kami punya banyak rencana dan ... aku tidak sabar untuk segera mewujudkannya.
Dengan hati yang meringan, aku menempelkan ponsel ke telinga, lalu berjalan ke pintu.