Kamis, 17 Desember, 17.15 WITA
Pernah memikirkan tentang kematian?
Aku masih tujuh belas tahun. Kakekku dari pihak ibu telah meninggal ketika aku masih bayi, aku tidak mengingat apapun tentangnya. Tetapi selain dia, anggota keluarga kami masih lengkap. Kakek nenekku yang lain sehat bugar, om dan tante atau sepupu-sepupuku tidak pernah mengalami kecelakaan, atau penyakit apapun yang membahayakan nyawa. Kehidupanku seperti air yang tenang, nyaris monoton.
Jadi ketika aku mengalami sendiri kecelakaan itu, aku tahu segalanya telah berubah. Duniaku telah dijungkirbalikkan.
Kecelakaan itu telah membawa pergi Ulfi, sahabatku yang paling cerewet, Kama, sahabatku yang paling berani dan lucu, nyaris merenggut Ghea-ku yang selalu ramah, dan ... kembaranku, kembaran yang amat kusayangi, Laura.
Aku tidak ingin lagi mengabaikan apa-apa yang aku punya. Aku ingin merengkuh semuanya. Takut jika aku memeluk mereka tidak cukup erat, kematian akan membawa yang tersisa pergi juga. Dan aku tidak ingin itu terjadi.
Aku bahkan tidak ingin mengerjapkan mataku sekarang, tidak ingin melewatkan satu kata pun yang keluar dari bibir Laura. Dia sedang bercerita, dengan sinar yang kembali memenuhi matanya.
“... naik bukit sebentar. Nggak nyampe satu jam, kita bakal sampai di atas,” ujarnya, menghela napas lelah setelah kalimat yang cukup panjang. Kentara, dia tidak sesehat itu untuk bercerita panjang lebar. Akan tetapi Laura keras kepala, dia tidak akan berhenti jika belum selesai.
“Tapi, pemandangan di sana bagus banget, Na. Lautnya biru, pulau di tengahnya hijau, lucu. Kayak Raja Ampat, kata orang. Banyak spot foto juga.”
Sebenarnya, aku tidak terlalu suka jalan-jalan. Tapi keantusiasan Laura dalam bercerita menular. Membuatku bisa merasakan berada di sana. Membuatku ingin berada di sana.
“Nanti kita ke sana, ya?” ajaknya.
Sedikit keraguan menyusup ke dadaku. Yang berusaha keras kusembunyikan. “Lo kan masih sakit.”
“Nanti, kalau udah sembuh. Kita ke sana, hm?”
“Hm.”
“Janji?”
Tangannya terulur, kelingking di udara, menungguku untuk mengaitnya. Aku, yang tidak tahu kapan janji itu dapat kutepati. Atau apakah dapat kutepati?
“Na?”
“Iya, iya. Janji.” Dan aku pun mengaitkan kelingking. Berjanji.
Setelah semuanya baik-baik saja, kami tidak akan kembali seperti semua. Kami akan menjadi ... saudari yang lebih dekat, yang lebih baik bagi satu sama lain.
Lalu, getar pada ponsel menarik perhatian kami. Aku melepaskan tautan di tangan kami untuk meraihnya. Nawala memanggil.
“Jambu...” Ia tidak menungguku untuk menyebut halo sebelum mulai menyapa. Nada bersemangat dalam suaranya membuatku nyaris tersenyum. Nyaris. Kalau saja aku tidak ingat Laura sekarang duduk di hadapanku.
“Aku ke sana,” katanya. “Sebentar lagi sampai. Aku tepat janji, kan?”
Akhirnya, senyum semakin sulit kukendalikan. Jadi aku berbisik pada Nawala. “Oke. Sebentar.” Lalu menekan pengeras suaranya dalam telapak tanganku.
Kuarahkan kembali pandang pada Laura yang tengah menatapku balik.
“Nawala?” tanyanya.
Aku terperanjat. Karena ... bagaimana dia tahu nama panggilan itu? Jambu dan Nawala, nama yang kukira hanya diketahui kami berdua, Rei dan Launa. Sejak kapan aku salah?
Mungkin karena ekspresi di wajahku terlihat begitu bodoh, atau faktor lain. Tetapi, Laura tersenyum. “Sana, temui dulu,” katanya, terdengar ringan.
Senyumnya membuatku heran ... dan merasa bersalah. Tentang surat yang kurenggut dari pemiliknya. Tentang rasa yang seharusnya tidak pernah ada. Tentang si bunga kupu-kupu yang mulai bercanda, untuk sesaat merasa dirinya seperti mawar.
“Sana~ buruan!”
Laura benar-benar mengusirku. Aku terkekeh sembari bangkit dari kursi. Ah... rasanya kakiku sedikit kebas, mungkin terlalu banyak duduk. “Ya udah, gue terima telepon ini di luar dulu.”
Beranjak melewati ranjang di sebelah tempat tidur Laura, aku melihat Mama yang tertidur di sana, wajah lelahnya, dan selimut yang jatuh ke kaki. Aku menyempatkan diri unuk menarik selimut itu, meletakkannya dengan tepat di tubuh Mama hingga lengannya yang memeluk tubuh karena dingin tersembunyi. Wanita ini ... dia sudah terlalu banyak cemas belakangan ini. Kuharap dia bisa tidur dengan nyenyak, seperti ini, untuk hari-hari ke depannya.
Setelahnya aku beranjak ke pintu, akan keluar begitu saja seandainya Laura tidak menahanku.
“Na?”
“Ya?” Aku menoleh, tangan menyentuh kenop.
“Cepat balik. Ada yang mau gue sampaikan.”
“Apa?”
“Kesalahpahaman.”
Alisku berkerut sekarang. Melihatnya, Laura hanya terkekeh. “Nanti~ Pergi, sana.”
Tetapi, aku tidak punya banyak pilihan. Gemuruh di telepon menandakan panggilan dengan Nawala masih tersambung, dan ia masih menunggu. Jadi, aku buru-buru ke luar, lalu menempelkan ponsel kembali ke telinga.
“Jambu?” panggilnya tepat sebelum aku membuka mulut, membuatku terkekeh.
“Di sini.”
“Kirain hilang,” ia ikut terkekeh. “Aku sudah sampai di parkiran. Bisa jemput ke bawah?”
“Ha?” Keningku mengernyit seketika. “Kamu kan tahu jalannya ke sini. Kenapa pakai jemput segala?”
“Pokoknya, jemput,oke?” ujarnya ringan.
Aku mengibaskan tanganku yang sedikit kesemutan dan membuang pandang ke luar jendela besar yang memberikan pemandangan di bawah dari lantai dua rumah sakit. Parkiran tidak begitu jauh jadi yang bisa kulakukan hanya mendesah dan menyanggupinya. “Oke, tunggu di sana.”
Telepon berakhir setelahnya.
“Mau kemana?”
Aku berpapasan dengan Papa di koridor. Dari aroma pakaiannya, aku tahu dia habis merokok.
“Jemput Rei,” ujarku. Kemudian, aku terhenti selama beberapa saat. Biasanya, aku tidak pernah berkomentar apapun soal gaya hidup Papa, Mama yang selalu mengomelinya. Soal pemborosan, soal kesehatan. Soal kesehatan, terutama. Tetapi kali ini, aku menemukan diriku menergurnya. “Pa, kapan sih, berhenti merokok? Bau.”
“Cuma sebatang kok,” kilah Papa. Jujur saja, itu sedikit sulit dipercaya. Dia bisa menghabiskan nyaris setengah pak dalam sekali duduk.
“Papa harus lebih jaga kesehatan. Papa belum makan, kan? Ini udah sore. Makan dulu. Nana udah beli tadi, di atas meja, deket Mama.”
“Iya. Lagian tumben kamu cerewet.” Papa terkekeh. Aku tidak.
Aku serius menatapnya.
“Serius. Mama itu sakit-sakitan dan Laura kayak anak kecil. Siapa yang akan jagain mereka kalau bukan Papa? Siapa yang akan jaga Papa kalau Papa sakit juga?”
Ada kilat menggoda di mata Papa, yang biasanya tidak pernah absen membuatku tersenyum. “Kamu? Kamu kan yang suka pijitin dan kerokin Papa kalau masuk angin?”
Ia mencondongkan tubuh ke arahku, membuatku tersenyum dan mendorong bahunya.
“Dah ah, balik sana. Pokoknya, jangan ngerokok. Jaga diri.”
Aku berlalu kemudian, melanjutkan langkah. Nawala sedang menunggu.
Ajarin bikin puisi. Entah bagaimana, kata-kata Nawala kembali hadir di benakku dalam perjalanan menuju cowok itu. Beserta wajah dan senyumnya. Aku mengambil satu tarikan napas, merapal dalam hati bahwa ... aku sudah melupakannya. Aku sudah melupakannya, jadi apapun itu ... tidak masalah.
Mungkin kamu bisa mulai dengan sesuatu yang kamu lihat? Saranku. Kayak ... mawar itu misal? Laura suka banget mawar yang warna pink.
Aku menunjuk kelompok mawar di taman. Mawar-mawar di sana begitu menyolok, ditempatkan di bagian utama pekarangan, ditempatkan dalam pot-pot paling bagus, agar bisa dilihat siapapun, agar mencuri perhatian dalam sekali pandang. Dan benar. Kelopak-kelopak mekar berwarna merah, merah muda, putih dan kuning mengisi warna-warna di taman kecil yang didominasi hijau.
“Hmm bagus, sih,” Nawala tampak tidak yakin. “Tapi bukannya kamu paling suka bunga kupu-kupu?” Ia menunjuk sebuah pot kecil di sudut, berisi bunga kupu-kupu yang seperti kumpulan kertas ungu tua.
Di sisinya, aku terpana. “Kamu inget?”
Ia tersenyum. “Siapa yang bisa melupakan bunga kupu-kupu?”
Aku berbelok di koridor hingga akhirnya aku dapat melihat tangga turun menuju lantai bawah. Kemudian berpikir ... tunggu!
Kamu tahu apa yang lebih indah dari setangkai mawar?
Seikat bunga kupu-kupu, terselimut embun, mengintip malu pada pagi.
Kenapa dia memilih bunga kupu-kupu dalam puisi itu?
“Itu kembaran kamu?”
“Hm? Kenapa?”
“Cantik banget.”
Kenapa bukan kecantikannya yang Nawala puja-puja?
Kamu. Senyummu. Caramu bercerita. Caramu memandang dunia.
Kenapa cara bercerita gadis itu penting? Kenapa caranya memandang dunia terdengar begitu berharga?
“Menurutku, kadang orang yang meneriakkan double standard paling keras, justru orang yang tanpa sadar menerapkannya.”
Aku sedang membaca buku waktu itu, di bawah pohon jambu. Nawala di sisiku, mengerjakan tugasnya ketika tahu-tahu aku mengganggu dengan celetukanku. Tetapi, ia tidak tampak keberatan untuk menoleh.
“Kenapa?” tanyanya.
“Kayak tokoh di cerita ini. Dia selalu ngerasa dunia itu nggak adil. Bahwa laki-laki selalu diuntungkan. Dan ada benernya. Kayak di beberapa hal dimana patriarki sangat kental, anak perempuan dibatasi pekerjaannya, pendidikannya. Tapi pernah mikir nggak, sih? Kayak misal cowok siul-siulin cewek itu udah termasuk pelecehan. Tapi gimana sama cewek yang terang-terangan catcalling cowok? Yang terang-terangan melakukan pelecehan seksual secara verbal? Apa nggak risih?”
“Ya, risih,” kekehnya. “Tapi kebanyakan kita nggak mempermasalahkan itu kalau nggak mau disebut dramatis atau lebay.”
“Kan? Aku bukannya pro cowok, aku bukan penganut patriarki, bukan juga feminist. Menurutku, kita manusia semua punya hak yang sama meski keistimewaan beda-beda. Terus kayak kasus pelecehan itu, misal seorang cewek pakai baju yang mengundang terus dilecehin, menurutku ya dua-duanya salah.”
Ia menutup buku di pangkuannya, lalu membenarkan posisi untuk menatapku lebih fokus, lebih nyaman. Perhatiannya membuatku tidak sabar mengeluarkan isi kepala.
“Pelaku pelecehan ya jelas-jelas salah, apapun alasannya. Tapi ada yang bilang bahwa seorang cewek bebas memakai apapun karena itu tubuh dia, milik dia. Dan aku setuju, dia bisa memakai apa aja. Di rumah, tapi. Kalau dia pergi ke tempat orang banyak, ceritanya jadi beda. Kayak misal kita punya berlian gede yang bagus banget. Kita pamerin ke banyak orang tanpa perlindungan apa-apa. Apa kita bisa berharap semua orang di sana baik-baik dan cuma ngeliatin aja? Nggak ada yang mau nyentuh? Atau ngambil? Sama kayak badan. Udah bagus-bagus dikasih Tuhan, kalau kita nggak bisa lindungin, namanya kita lalai.”
Di akhir penjelasanku yang seperti kereta, yang bahkan nyaris tidak kuberi jeda untuk mengambil napas, Nawala justru tertawa. Aku memukul lengannya. “Kok ketawa?”
“Kamu umur berapa sih? Tua banget, mikirnya,” katanya, seraya mengacak rambutku. “Adekku seumuran kamu mikirnya soal cowok, ngemall sama temen-temennya, dan baca-baca cerita yang bikin mereka baper. Bukannya cerita soal hak setiap gender.” Lagi, ia tertawa.
Aku menepis tangannya dengan sebal.
“Terusin ceritanya,” katanya lagi.
“Katanya aku mikirnya tua!”
“Ya. Tapi aku suka dengernya.”
.
Kamu. Sinar matamu. Caramu bicara. Segala yang ada dalam dirimu.
Dan kenapa ... aku meragu? Apakah itu Laura? Kenapa aku tidak bisa menemukan satu pun tentang Laura dalam surat itu?
Kenapa aku merasa seperti menemukan ... diriku?
Di dekat tangga, langkahku melambat.
Dingin. Kesemutan di ujung-ujung jemari dan kaki yang sempat kurasakan semenjak tadi tiba-tiba saja semakin parah. Aku mengibas-ngibaskan tangan dan mulai melangkah lebih cepat. Tidak berhasil. Rasanya aneh. Rasanya seperti darahku berhenti mengalir hingga semua yang kurasakan dingin. Tubuhku mulai terasa kaku. Dan tidak hanya itu. Sakit kepala itu kembali. Berkali lipat lebih parahnya, menghantamku. Seiring rasa mual yang sulit ditahan.
Aku menggapai-gapai, menemukan pegangan tangga dan berpegangan erat padanya. Aku tidak lagi bisa merasakan tanganku, kakiku, mereka kaku. Apa yang semula kupikir hanya kesemutan mulai merongrongku seperti kawanan lebah, mengisi paru-paruku dan membuatku sesak. Aku kesulitan menarik napas.
Sedikit lagi, pikirku.
Aku harus berjalan sedikit lagi, menemukan bantuan untuk diriku sendiri. Dan meski sulit, aku pun melakukannya, meski selalu oleng, meski berkali terjatuh.
“Jambu!”
Aku mendengar Nawala, melihat siluetnya berjalan ke arahku, meski buram. Senyumku mengembang sedikit, ia menemukanku, ia akan menolongku. Aku juga ingin berjalan lebih cepat ke arahnya, Tetapi tubuhku tidak mengizinkan, tetapi aku tidak bisa melakukan apa-apa.
Ada sesuatu yang terasa basah, yang jatuh di dekat kakiku. Aku menunduk dan melihat ... darah. Ketika aku menyeka hidung, aku tahu darah itu berasal dariku. Lalu, dunia mulai berputar di sekitarku. Aku terayun-ayun. Pandanganku semakin buram dan buram.