Read More >>"> Love Like Lemonade (Part 17) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Love Like Lemonade
MENU
About Us  

Hampir saja siang ini Vanta makan sendirian di kantin tanpa Jessi. Kalau bukan karena ulah dosen yang suka berceramah, dia tidak akan terlambat keluar kelas. Siapa lagi kalau bukan Pak Anton. Untungnya dia selalu menyelesaikan tugas tepat waktu. Jadi tidak masuk dalam daftar hitam dosen tersebut.

“Dulu ... kalo nggak salah lo pernah ceritain seseorang, deh.” Vanta menunjuk Jessi dengan garpunya. “Siapa, ya? Lo bilang dia tuh keren banget, cuma bisa dipandangin dari jauh, makanya lo jadi pengagumnya aja. Entah gimana tiba-tiba gue keinget. Siapa sih, Jes?”

Jessi tersentak, dia menggaruk tengkuknya salah tingkah. “Eh, itu ... ya ampun, itu udah lewat kali, Ta. Sekarang udah nggak.”

Jawaban Jessi tampak mencurigakan bagi Vanta. “Beneran Alvin jangan-jangan.”

Hening sedetik sebelum Jessi menyeringai. “Nggak usah cemburu, Ta. Biarpun gue fangirling ke geng Alvin, tapi Alvin tetep punya lo sepenuhnya.”

“Idih, apaan coba?”

“Ta, lo dipanggil Pak Anton.”

Vanta baru mau melanjutkan protes, keluhan, dan menjabarkan daftar panjang keburukan cowok yang belakangan mengganggu kehidupannya. Tetapi dia terpaksa harus berhenti ketika Hendri menghampiri meja mereka. Membawa kabar yang mengherankan.

“Pak Anton manggil gue?” tunjuk Vanta pada diri sendiri. Dia bahkan mlirik pada Jessi untuk memastikan pendengarannya tak salah. “Kenapa?”

“Lo ketauan tidur di kelas, kali,” celetuk Hendri asal.

“Enak aja. Mana ada mahasiswa yang bisa tidur di kelas di tengah jam matkul Pak Anton?” Ini fakta. Setiap kali Pak Anton masuk, suasana kelas langsung hening. Beliau selalu menatap tepat satu per satu mahasiswa ketika menjelaskan materi kuliah sehingga tidak ada yang mampu berkutik.

Vanta kemudian beranjak dari bangkunya. Hendri melirik kotak makan dan tas yang ditinggalkan cewek itu. “Nggak diberesin dulu?”

“Emang bakalan lama?” Vanta balik bertanya, tapi hanya dijawab Hendri dengan mengendikan bahu. Akhirnya dia membereskan barang-barangnya dan pamit pada Jessi. “Gue menjalankan tugas negara dulu, ya.”

“Iya, Bu Negara.” Jessi terkekeh, memberikan senyum termanisnya.

Setelah berpamitan, Vanta dan Hendri beriringan keluar dari kantin. Vanta sudah akan menuju ke ruang dosen, namun Hendri mencegahnya dan membawanya ke parkiran. Ada rasa bingung, tapi Vanta tetap mengikuti temannya sampai tiba-tiba Hendri menghentikan langkah. “Loh, kok nggak ada?” gumam cowok itu.

“Beneran di sini?”

“Iya, tadi katanya di sini.”

Mereka mengedarkan pandangan ke sekeliling. Vanta ikut mencari-cari. Tidak ada sosok berkepala licin di sana. Padahal di bawah terik matahari seperti ini, Pak Anton pasti mudah ditemukan karena ... kebotakannya.

“Yakin lo Hen di—” Bukan sosok Hendri maupun Pak Anton yang ditemukannya saat Vanta menoleh. Lelaki itu bersandar pada mobil putih, menatapnya. Vanta refleks buang muka. Sebelum ia sempat meneruskan langkahnya, cowok itu mencekal sebelah pergelangan tangannya.

“Minggir, gue nggak ada waktu debat sama lo.”

“Ikut gue,” kata cowok itu datar.

“Ogah!” Vanta menolak jutek, berusaha melepaskan tangannya. Dia kesal. Kenapa cowok itu sering sekali main perintah dan main pegang? Memangnya siapa dia, sampai Vanta harus selalu menuruti keinginannya?

Ah, benar. Dia anak rektor. Tapi tetap saja, Vanta tidak suka setiap kali cowok itu bersikap sok berkuasa di depannya.

“Masuk, please.” Nada memohon Alvin tiba-tiba bikin Vanta tersengat. Kesempatan itu digunakan Alvin untuk mendorongnya masuk ke mobil.

Vanta tersadar dan langsung membelalak begitu Alvin menutup pintu di sebelahnya. Disusul Alvin yang tidak lama kemudian mengambil tempat di balik kemudi. Vanta memandangnya separuh tak percaya, separuh kesal. Bisa-bisanya dia terjebak lagi bersama cowok itu. Bagaimana kalau Alvin tiba-tiba mengeluarkan senjata untuk menyerangnya? Bagaimana kalau Alvin benar-benar akan menjualnya? Bagaimana kalau Alvin menggunduli rambutnya?

Demi berjaga-jaga, Vanta menurunkan kaca jendela agar bisa leluasa berteriak minta tolong sebelum ia menjadi daging fillet. Hiiiii... Memikirkannya saja sudah membuat Vanta bergidik.

Satu lagi yang membuat Vanta bertanya-tanya, kenapa cowok ini tiba-tiba mengganti mobilnya dengan mobil yang berbeda? Ukuran jelas beda. Mobil putih ini berbadan besar ketimbang mobil merah terang yang biasa dikendarainya. Tapi dilihat dari sisi mana pun, mobil ini sama-sama berkesan mewah. Oke. Itu tak penting.

“Mau apa lagi, sih? Belom cukup apa, bales dendam lo yang kemarin-kemarin?” desis Vanta memberanikan diri.

Alvin menyeringai geli mendengar protes darinya. “Nethink aja lo sama gue. Jangan jahat gitu dong, gue kan nggak sekejam yang lo kira.”

Helloooo ... nggak nyadar, ya? Kalo bukan kejam, apa lagi yang cocok buat perlakuannya selama ini? Keji? Lucknut?

Vanta sangat ingin memuntahkan protesnya, tapi ia mengurungkan niatnya dan memilih kalimat lain. “Kalo gitu balikin gue ke kampus! Nggak ada perlu apa-apa kan? Gue masih ada kelas!”

“Bohong.”

“Serius, ah! Jangan main-main gini! Nyebelin tau, nggak?!”

Vanta berharap cowok itu mau memutar mobilnya kembali ke kampus. Namun Alvin menepikan mobilnya, menoleh pada Vanta. “Kalo nggak main-main, lo mau ikut gue?”

Vanta menatapnya dalam diam. Rahangnya masih mengeras dan sorot matanya tak bersahabat. Dia tidak tahu apa yang diinginkan Alvin darinya. Apalagi ketika cowok itu mencondongkan tubuh perlahan, mendekat ke arahnya. Kontan Vanta melotot horor. “Mau ngapain lo?!”

Cowok itu tidak menjawab. Tangan kanannya terulur melewati kepalanya. Vanta semakin mengkerut ketika Alvin menguncinya dalam sebelah rentang tangannya.

Wajah Vanta berjengit ngeri dan penuh kerut kebingungan, ia jengah dengan posisi mereka. Alvin bergerak mendekat hingga ....

Seatbelt lo belom dipasang, cari bahaya aja sih.” Lelaki itu berdecak.

Sial! Jantung Vanta hampir saja mencelos ketika jarak mereka hanya tinggal beberapa senti. Dia yakin saat itu wajahnya benar-benar merah. Seperti saat berada di kamar Alvin. Kemudian cepat-cepat memalingkan pandangan.

Cowok itu mengeluarkan suara. ”Gue tau siang ini lo nggak ada kegiatan apa-apa lagi. Gue tau hari ini lo udah nggak ada kelas. Gue udah ngecek jadwal lo hari ini.” Setelah itu, Alvin kembali melajukan mobilnya. Menyisakan Vanta yang ternganga.

Kini Vanta sadar bahwa ia telah melupakan sesuatu; berbohong pada orang yang salah. Vanta lupa siapa yang sedang dia bohongi. Alvin Geraldy, si anak rektor dengan sejuta akal bulus.

By the way,” ucap Alvin lagi. “Emang lo nggak panas? Tutup aja kali jendelanya. Kayak nggak ada AC aja.” Cowok itu geleng-geleng kepala sambil memasang mimik menyebalkan.

Vanta memicing sebal, ingin melempar Alvin keluar lewat jendela. Tapi ia tidak berkutik. Akhirnya Vanta hanya bisa berdecak kalah, “Terserah lo!”

Cowok itu menyeringai lagi dan menekan tombol di pintunya, menutup jendela di sebelah Vanta. “Ternyata biar gimanapun lo tetep cewek.”

“Maksudnya apa?” tanya Vanta dengan nada tersinggung.

“Itu ... kan ada meme-nya, jawaban pamungkas cewek, terserah.”

Sebodo! Dalam hati Vanta menjerit. Kalau meladeni cowok ini lebih lama lagi, bisa-bisa dia kena hipertensi akut! Tiap ada Alvin bawaannya ingin marah terus.

Selama beberapa menit perjalanan, mereka tidak lagi bicara. Suara penyiar radio dan lagu yang diputar silih berganti menjadi suara latar dalam mobil. Tapi ... kenapa banyak lagu cinta? Sangat tidak cocok dengan suasana di antara mereka yang penuh dendam dan benci. Kentara sekali kalau cowok itu menyalakan radio hanya agar suasana di dalam mobil tak seperti di kuburan.

Vanta melirik lelaki di sebelahnya, mulai bertanya-tanya ketika lebih dari setengah jam mereka masih di jalan. Belum ada tanda-tanda ke mana Alvin akan membawanya. Bukan ke rumahnya, bukan pula ke rumah cowok itu.

“Heh, mau kemana sih?!” sergah Vanta gelisah. Perjalanan mereka sudah terlalu lama.

Alvin menoleh singkat, tetapi tidak menjawab. Jari telunjuk kirinya mengusap-usap bibir. Apakah ini cuma perasaan Vanta saja, atau cowok itu benar kelihatan gugup? Apa sebenarnya yang dipikirkan lelaki itu?

Karena tidak mendapat jawaban, dipukulnya lengan Alvin. “Lo bawa gue ke mana?” Daerah yang mereka lewati terasa asing bagi Vanta.

“Nanti juga tau. Yang pasti gue bukan mau nyelakain lo.”

Mana bisa Vanta percaya kata-katanya? Sudah berapa kali Vanta dikelabui. Apalagi ketika mereka menghabiskan berpuluh-puluh menit di jalan, mobil Alvin kemudian memasuki kawasan pemakaman. Pemakaman?? Vanta semakin panik dan bergidik. Jangan bilang, cowok itu mau menguburnya hidup-hidup?!

Ketika mobil berhenti, Alvin langsung melompat turun tanpa memedulikan Vanta. Lelaki itu menuju ke bagasi belakang mobilnya. Mengeluarkan serangkaian bunga yang cantik dari sana.

Waduh, serius nih gue mau dikubur hidup-hidup?

Vanta memilih diam di mobil, sementara Alvin melangkah memasuki taman pemakaman. Rasa penasaran lebih besar ketimbang rasa takutnya, itulah yang akhirnya membuat Vanta memututuskan  keluar dari mobil mengikuti cowok itu.

Langkah Alvin berhenti di depan sepetak tanah yang merupakan tempat peristirahatan terakhir. Sebidang tanah itu ditumbuhi oleh rerumputan yang terpangkas rapi. Terdapat nisan hitam dengan foto yang tercetak di porcelain putih berbentuk oval di sana. Cowok itu kemudian berjongkok, meletakkan rangkaian bunga yang dibawanya. Bunga latex yang menyerupai bunga asli.

Betapa kagetnya Vanta saat membaca tulisan di batu nisan itu. Veronica Angela, istri dari Raffael Geraldy. Dan anak mereka bernama ... Alvin Geraldy. Alvin??

Tubuh Vanta tiba-tiba menegang. Tengkuknya mendadak dingin. Dilihat dari tahun yang tertulis di sana, berarti dia telah meninggalkan dunia sekitar tujuh tahun yang lalu.

Astaga! Apa yang terjadi sebenarnya?

Vanta hendak bertanya, namun suaranya tersekat di kerongkongan. Tidak mampu untuk membuka mulut. Tidak mampu untuk berdiri lebih lama. Lututnya tiba-tiba gemetar.

“Ini ... nyokab gue.” Pernyataan singkat Alvin membuat Vanta ikut berjongkok di sebelahnya. Ditatapnya makam itu dan Alvin bergantian dengan serba salah. Vanta tidak tahu harus bagaimana bereaksi. Hatinya terasa dipelintir. Untuk beberapa alasan, ia sedih dan turut prihatin. Tetapi di satu sisi, Vanta juga bingung, mengapa Alvin menunjukkan ini padanya?

“Kenapa?” Satu-satunya kata yang keluar dari mulut Vanta terasa kering, terdengar aneh, dan serak. Ia kesulitan bicara. Terlalu banyak yang harus dicernanya.

Leukemia.

Keduanya terdiam. Melamun. Sibuk dengan pikiran masing-masing sebelum Alvin kembali angkat suara. “Kalo aja dia luangin waktunya sedikit, harusnya nyokab gue nggak akan pergi dengan kesepian. Gue baru tau waktu kondisinya semakin memburuk. Gue cuma bisa nemenin sepulang sekolah.”

Alvin mengelus rumput di atas makam ibunya dengan jemarinya. Lembut, disentuhnya perlahan. Seolah takut rumput-rumput yang tumbuh mudah rusak oleh sentuhannya.

“Andai waktu itu gue lihat dia, gue pasti cegah dia buat pergi dan tetap di sebelah nyokab. Gue berharap dia punya sedikit aja perasaan dan pulang ke rumah waktu keadaan nyokab udah kritis,” sambung Alvin. Dan Vanta menduga ‘dia’ yang dimaksud Alvin adalah ayahnya. “Tapi nyatanya, dia cuma mentingin pekerjaannya, entah di mana waktu nyokab gue dalam keadaan kritis. Dia baru muncul saat nyokab gue udah mau dimakamkan.”

Jeda sejenak. Kemudian Alvin tersenyum kecut, “Apa sesulit itu, meluangkan sedikit waktunya buat ada di saat-saat terakhir istrinya sendiri?”

Rumput yang semula disentuhnya dengan hati-hati kini berada dalam genggamannya. Alvin mencengkeramnya kuat-kuat. Berusaha menekan rasa sakit yang kembali menyeruak di dada.

Vanta melirik Alvin diam-diam. Cowok itu tidak menangis. Tapi dengan melihat wajahnya, Vanta bisa menebak kalau Alvin sekarang benar-benar merasa tertekan. Pasti tidak mudah baginya untuk mengeluarkan semua yang mengganjal dalam hati.

Tangan Vanta terulur hendak menepuk-nepuk pundak Alvin. Namun, ia menariknya kembali. Mereka bahkan bukan teman. Tak banyak yang bisa dilakukannya sekarang.

 

***

 

Sepulangnya dari makam, suasana di dalam mobil menjadi canggung. Tidak ada satu pun yang angkat suara. Vanta menatap jalan raya dari balik jendela di sebelahnya. Sore itu adalah jam di mana kendaraan sibuk berlalu lalang. Tidak seperti tadi siang yang lengang, arus kendaraan memadati jalan.

“Dari jalan yang biasa gue turunin lo, ke mana arah rumah lo?” Suara Alvin menyentakkan lamunan Vanta.

Sebenarnya Vanta masih tidak bisa percaya pada cowok itu. Alvin bahkan mengelabuinya saat dia bilang ingin berdamai. Tapi sepertinya, kali ini bukan situasi yang tepat untuk berdebat. Terlebih, Vanta telah melihat sedikit sisi lemah Alvin. Sedikit.

 “Kok diem? Lo mau ikut lagi ke rumah gue?”

Vanta langsung terhenyak dan gelagapan. “Jalan aja. Nanti gue kasih tau.”

Suasana kembali hening beberapa saat sebelum satu kalimat meluncur dari mulut Alvin. “Gue nggak akan ganggu lo lagi.”

“Apa?” Vanta mengerjap karena tidak mendengarkan apa yang dikatakan Alvin barusan.

“Gue nggak akan ganggu lo lagi,” ulang cowok itu.

Vanta hanya diam termenung. Tidak merespon.

Alvin tahu betul pikiran Vanta. Ini memang kesalahannya. Dia yang telah membuat gadis itu tidak percaya padanya. ”Nggak pa-pa kalo nggak percaya. Tapi gue bisa buktiin kata-kata gue.”

Tidak ada jawaban dari Vanta. Dia bingung bagaimana harus menanggapi cowok itu.

“Udah sampai di sini. Ke mana arah ke rumah lo?”

Akhirnya Vanta memutuskan untuk memercayai Alvin. Dan ini kali pertama mobil Alvin berhenti tepat di depan rumahnya. Alvin turun lebih dulu, kemudian membukakan pintu untuk Vanta.

Sebelum Vanta turun, Alvin menahannya dan berkata, ”Gue serius.” Jeda sesaat, lalu ia melanjutkan, ”Siap-siap ya.”

Vanta betul-betul tidak mengerti dengan pernyataan cowok itu. “Siap-siap?” Ditatapnya Alvin dengan raut bingung.

“Lo bakal terima perlakuan yang beda.” Alvin tersenyum. ” Jam berapa besok lo berangkat kuliah?”

“Jam ... delapan kurang?” jawab Vanta ragu.

“Oke. Besok gue jemput jam setengah delapan.”

Masih terpaku di tempat, Alvin menarik tangan Vanta perlahan. Membantunya turun dari mobil. Gadis itu masih terbengong-bengong ketika Alvin menyuruhnya masuk ke rumah.

“Masuk, gih. Apa perlu gue ikut masuk buat bilang ke Nyokab lo, kalo gue abis ngajak lo pergi?”

“Ng-nggak, nggak usah. Ya udah gue masuk.” Vanta melangkah pelan. Melipat bibirnya sambil menoleh pada Alvin. “Thanks,” suaranya pelan seperti bisikan.

Masih bisa dirasakannya cowok itu tenggah menatap Vanta hingga ia masuk ke rumah. Setelah menutup pintu, diam-diam Vanta mengintip dari jendela dan melihat mobil Alvin melesat pergi dari depan rumahnya.

Vanta mengembuskan napas panjang-panjang seolah baru bisa bernapas lega. Ia meletakkan sebelah telapak tangan di dada, mencengkeram kausnya seakan menahan ledakan di paru-parunya.

Apa yang dimaksud cowok itu barusan? Vanta berpikir keras. Perlakuan yang beda? Beda gimana sih, maksudnya?

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Luka atau bahagia?
3201      1022     4     
Romance
trauma itu sangatlah melekat di diriku, ku pikir setelah rumah pertama itu hancur dia akan menjadi rumah keduaku untuk kembali merangkai serpihan kaca yang sejak kecil sudah bertaburan,nyatanya semua hanyalah haluan mimpi yang di mana aku akan terbangun,dan mendapati tidak ada kesembuhan sama sekali. dia bukan kehancuran pertama ku,tapi dia adalah kelanjutan dari kisah kehancuran dan trauma yang...
River Flows in You
698      401     6     
Romance
Kean telah kehilangan orang tuanya di usia 10 tahun. Kemudian, keluarga Adrian-lah yang merawatnya dengan sepenuh hati. Hanya saja, kebersamaannya bersama Adrian selama lima belas tahun itu turut menumbuhkan perasaan lain dalam hati. Di satu sisi, dia menginginkan Adrian. Di sisi lain, dia juga tidak ingin menjadi manusia tidak tahu terima kasih atas seluruh kebaikan yang telah diterimanya dar...
KataKu Dalam Hati Season 1
3859      1124     0     
Romance
Terkadang dalam hidup memang tidak dapat di prediksi, bahkan perasaan yang begitu nyata. Bagaikan permainan yang hanya dilakukan untuk kesenangan sesaat dan berakhir dengan tidak bisa melupakan semua itu pada satu pihak. Namun entah mengapa dalam hal permainan ini aku merasa benar-benar kalah telak dengan keadaan, bahkan aku menyimpannya secara diam-diam dan berakhir dengan aku sendirian, berjuan...
Let's See!!
1492      727     1     
Romance
"Kalau sepuluh tahun kedepan kita masih jomblo, kita nikah aja!" kata Oji. "Hah?" Ara menatap sahabat kentalnya itu sedikit kaget. Cowok yang baru putus cinta ini kenapa sih? "Nikah? lo sama gue?" tanya Ara kemudian. Oji mengangguk mantap. "Yap. Lo sama gue menikah."
KILLOVE
3336      1098     0     
Action
Karena hutang yang menumpuk dari mendiang ayahnya dan demi kehidupan ibu dan adik perempuannya, ia rela menjadi mainan dari seorang mafia gila. 2 tahun yang telah ia lewati bagai neraka baginya, satu-satunya harapan ia untuk terus hidup adalah keluarganya. Berpikir bahwa ibu dan adiknya selamat dan menjalani hidup dengan baik dan bahagia, hanya menemukan bahwa selama ini semua penderitaannya l...
Lily
1184      554     4     
Romance
Apa kita harus percaya pada kesetiaan? Gumam Lily saat memandang papan nama bunga yang ada didepannya. Tertulis disana Bunga Lily biru melambangkan kesetiaan, kepercayaan, dan kepatuhan. Lily hanya mematung memandang dalam bunga biru yang ada didepannya tersebut.
Play Me Your Love Song
3070      1251     10     
Romance
Viola Zefanya tidak pernah menyangka dirinya bisa menjadi guru piano pribadi bagi Jason, keponakan kesayangan Joshua Yamaguchi Sanjaya, Owner sekaligus CEO dari Chandelier Hotel and Group yang kaya raya bak sultan itu. Awalnya, Viola melakukan tugas dan tanggung jawabnya dengan tuntutan "profesionalitas" semata. Tapi lambat laun, semakin Viola mengenal Jason dan masalah dalam keluarganya, sesu...
Manuskrip Tanda Tanya
3976      1347     1     
Romance
Setelah berhasil menerbitkan karya terbaru dari Bara Adiguna yang melejit di pasaran, Katya merasa dirinya berada di atas angin; kebanggaan tersendiri yang mampu membawa kesuksesan seorang pengarang melalui karya yang diasuh sedemikian rupa agar menjadi sempurna. Sayangnya, rasa gembira itu mendadak berubah menjadi serba salah ketika Bu Maya menugaskan Katya untuk mengurus tulisan pengarang t...
Negeri Tanpa Ayah
8608      1925     0     
Inspirational
Negeri Tanpa Ayah merupakan novel inspirasi karya Hadis Mevlana. Konflik novel ini dimulai dari sebuah keluarga di Sengkang dengan sosok ayah yang memiliki watak keras dan kerap melakukan kekerasan secara fisik dan verbal terutama kepada anak lelakinya bernama Wellang. Sebuah momentum kelulusan sekolah membuat Wellang memutuskan untuk meninggalkan rumah. Dia memilih kuliah di luar kota untuk meng...
Demi Keadilan:Azveera's quest
692      384     5     
Mystery
Kisah Vee dan Rav membawa kita ke dalam dunia yang gelap dan penuh misteri. Di SMA Garuda, mereka berdua menemukan cinta dan kebenaran yang tak terduga. Namun, di balik senyum dan kebahagiaan, bahaya mengintai, dan rahasia-rasasia tersembunyi menanti untuk terungkap. Bersama-sama, mereka harus menghadapi badai yang mengancam dan memasuki labirin yang berbahaya. Akankah Vee menemukan jawaban yang ...