“Boleh duduk di sini?”
“Ada orang—” Vanta mengangkat wajah dan langsung terperangah. “Oh iya, kemeja lo! Masih di rumah, nggak gue bawa hari ini.”
“Besok-besok aja kalo gitu. Jadi, gue boleh duduk di sini?” ulang cowok itu lagi.
Sambil menggigit bibir bagian dalam bawahnya, Vanta mengedarkan pandangan. Bukan tidak ikhlas, tapi Vanta juga cuma menumpang di meja itu, sedang menjaga markas. Arya dan teman-temannya yang duduk duluan di sini. Karena meja lainnya penuh, Vanta minta bergabung dengan mereka.
“Ada temen gue sebenernya, lagi beli makan.”
“Nggak pa-pa, cuma sebentar. Habis itu gue pergi.”
Akhirnya Vanta mengangguk pelan sebelum lelaki—yang tidak ia ketahui siapa namanya—itu memilih tempat di depannya.
“Gue Toto, lo pasti udah pernah lihat gue.” Cowok itu memperkenalkan diri tanpa mengulurkan tangannya.
“Iya, lo temennya Alvin.”
Toto tersenyum tipis. ”Cuma Alvin doang ya yang lo inget.”
“Apa?” tanya Vanta karena tidak begitu mendengar gumaman lelaki itu. “Oh iya, besok lo ke kampus nggak? Besok aja ya gue balikin kemejanya? Thanks anyway.”
“Nggak. Besok gue nggak ke kampus.”
“Hari apa lo ke kampus?”
Toto tampak berpikir sebentar, lalu mengeluarkan ponselnya. “Berapa nomor HP lo?”
Mata Vanta langsung memicing curiga. “Buat apa?”
“Menurut lo buat apa? Memang lo mau balikin kalo Alvin lagi di sebelah gue?”
Benar juga, pikir Vanta. Kalau tidak janjian, mereka belum tentu bisa bertemu. Artinya, semakin lama juga dia menyimpan barang milik orang lain. Vanta ingin cepat-cepat menyelesaikan urusannya dengan segala yang menyangkut Alvin. Lagi pula, sepertinya cowok ini sedikit berbeda dengan Alvin. Biarpun sering jalan dengan si biang onar, tapi Toto kelihatan lebih baik. Yah, walaupun lelaki ini juga pernah menertawakannya, setidaknya dia masih punya hati nurani ketimbang Alvin.
“Oke, nomor gue ....”
***
Alvin merogoh saku celana, tetapi tidak menemukan apa pun di sana. Tidak ada tas yang dibawanya, repot-repot datang ke kampus hanya berbekal laptop untuk asistensi pada dosen pembimbing. Padahal dia tidak ingin ke mana-mana hari ini, masih banyak yang harus dikerjakannya.
“Siall, kunci gue ketinggalan di workshop,” desisnya putar arah.
Saat Alvin membuka pintu, ada mahasiswa lain di ruangan itu. Dia melangkah masuk, mengedarkan pandangan mencari kunci mobilnya. Tidak butuh waktu lama untuk menemukannya karena benda itu tergelatak di atas meja, di dekat dua cowok yang kelihatannya adalah mahasiswa semester bawah. Tetapi Alvin tidak langsung mengambilnya. Obrolan kedua cowok itu seakan mengundang Alvin untuk tinggal lebih lama. Apalagi terselip nama yang menarik perhatiannya.
“Lagian lo ngerjain tugas lain bukannya simpen dulu itu gambar, malah ketumpahan tinta kan. Gimana coba kalo nggak ada Vanta?”
“Kapok gue, njir. Vanta life saving banget. Dia yang bikinin gambarnya, terus gue tinggal rapi-rapi dikit,” ujar seorang cowok, membentangkan kertas gambar berukuran A3. Cowok itu adalah Arya, teman sekelas Vanta.
“Gila sih, dia gambar cepet banget! Dewa tangannya, udah kayak mesin print.” Hendri, yang sejak tadi mengobrol dengan Arya menimpali.
“Iya, coba besok-besok kalo gue pegang tangannya bisa nular nggak, ya?” seloroh Arya.
“Si tai! Modus lo!”
“Nggaklah, gue sama dia kenal dari kecil tetanggaan. Temenan doang, bro. Kalo lo tau sejarah keluarganya juga pasti mikir-mikir.”
“Hah, kenapa keluarganya?” tanya Hendri penasaran.
“Dulu tetangga-tetangga sering lihat and denger ortunya ribut-ribut parah, kasian sih dia. Yang gue tau sekarang bonyoknya udah pisah. Dia juga dapet beasiswa penuh di sini, nggak heranlah dia berjuang sampe mirip anak ajaib.”
“Manusia emang nggak ada yang sempurna. Orang pinter kayak dia aja ada kekurangannya. Eh iya, belom lagi dia ditargetin senior ya? Anak rektor pula.”
“Iya, parah sih itu.”
“Apa maksud kalian?” Pertanyaan itu sontak membuat Arya dan Hendri menoleh. Mata mereka membelalak, wajah mereka langsung pucat mendapati siapa yang berdiri tak jauh dari mereka.
Alvin memandang Arya dan Hendri dengan raut dingin dan tajam sekaligus meminta penjelasan. Tetapi lidah dua cowok itu terlanjur kelu. Kaget saat menyadari bukan hanya mereka berdua yang berada di ruang workshop. Hendri yang lebih dulu bereaksi. “Sor ... ry, bukan maksud gue buat omongin l—”
“Soal Vanta, apa maksudnya? Beasiswa?” Alvin memotong usaha pertama Hendri untuk menjelaskan. Karena bukan itu jawaban yang diinginkannya, dia beralih pada Arya.
“Itu ... iya, dia dapat beasiswa di sini,” jawab Arya sambil menelan ludah.
Merasa pertanyaannya telah terjawab, Alvin berderap maju. Berdiri di antara Arya dan Hendri untuk melanjutkan tujuan awalnya; mengambil kunci mobil.
Keberadaan Alvin di tengah-tengah mereka membuat Arya dan Hendri tanpa sadar menahan napas. Mengamati pergerakan seniornya dengan waspada. Mereka tersentak saat Alvin kembali memandang mereka bergantian. Meski tinggi badan ketiga cowok itu nyaris setara, entah kenapa Alvin terasa lebih besar, lebih mengerikan. Mungkin itu efek kakak tingkat. Atau efek aura kekuasaannya.
Detik-detik mencekik itu hanya berlangsung sebentar, sebab beberapa detik kemudian Alvin keluar dari sana. Menenteng kunci di jarinya. Arya dan Hendri langsung mengembuskan napas lega setelah itu. Mereka saling berpandangan, entah kenapa merasa bersalah telah membicarakan Vanta.
“Apa cuma gue, yang barusan merinding dilihatin kayak gitu?” desis Arya pelan.
Sementara Hendri berkata, “Pray for Vanta.”
***
Alvin mempercepat langkahnya. Bergegas ke ruang admisi untuk menemui Riki, staf admisi di kampusnya. Riki adalah mahasiswa lulusan universitas yang sama dengannya. Cowok itu baru wisuda tahun lalu dan mengabdi di kampus ini ketika ada peluang kerja.
“Ki, sibuk?” sapa Alvin. Berdiri sambil menyandarkan kedua lengan di atas meja.
“Eh, Vin. Ada apa?”
“Mau minta tolong. Dokumen mahasiswa baru masih ada di sini? Jurusan DKV.”
”Masih. Kenapa, Vin?”
“Tolong cari dokumen atas nama Vanta dong.” Alvin merasa harus memastikannya sendiri. Apa yang dikatakan orang lain tentang cewek itu.
“Buat apa?” tanya Riki ragu.
Alvin mengerti apa yang dicemaskan Riki. Cowok itu mungkin khawatir karena ini menyangkut informasi pribadi seseorang. “Gue nggak bakal nyusahin lo. Nggak gue bawa kabur kok berkasnya, cuma mau lihat di sini. Nggak gue apa-apain juga orangnya.”
Riki terus menunjukan rasa keberatan, namun Alvin bersikeras membujuknya. Hingga Riki akhirnya menghela napas dan menyerah. “Nama lengkap?”
“Nggak tau,” sahut Alvin mencoba berpikir. “Harusnya nama kayak dia cuma satu di kampus kita. Oh iya, katanya dia anak beasiswa.”
“Hmm ... beasiswa, ya. Gue cek dulu.” Riki masuk ke ruangan khusus para staf. Selang beberapa menit, dia keluar dengan map biru di tangannya. ”Nih, jangan dibawa keluar ya.”
Alvin menyambar map itu, membukanya dan melihat-lihat data diri Vanta. Dimulai dari nama lengkap, Vanta Lollyta. Nama yang unik, pikir Alvin. Ia membaca satu per satu data tentang gadis itu. Alisnya berkerut ketika melihat tahun kelulusan Vanta pada saat SMA. Vanta baru masuk tahun ini, tapi di sana tertera lulus pada tahun lalu? Berdasarkan tahun lahir, usia gadis itu sesuai dengan mahasiswa baru yang lain. Apa data ini keliru?
“Ki, ini nggak ada salah tulis?” gumam Alvin tanpa mengalihkan pandangan dari formulir di tangannya.
“Apanya?” Riki menatap Alvin heran.
“Kok mahasiswi baru di tahun ini, lulus SMA tahun lalu?”
“Bisa aja waktu daftar dia memang udah lulus, jeda setahun sebelum kuliah. Coba tanya orangnya aja?” usul Riki.
“Kalo bisa juga udah gue tanya, nggak perlu lihat dari sini.” Tidak ada pertanyaan lebih lanjut karena Alvin semakin fokus mencari tahu tentang gadis itu. Hal yang ingin dipastikannya. Tetapi saat mendapati kolom data keluarga, Alvin tidak bisa untuk tidak berhenti membaca. Sesuatu yang menurutnya amat sangat janggal ada di sana.
Nama orang tua.
Ibu : Livia Anggana
Ayah : -
Wali : Vodka Beryls
Kenapa kosong? Gadis itu bahkan tidak mengisi nama ayahnya. Jadi, benar apa yang dibicarakan dua orang temannya tadi? Semakin menggali tentang cewek itu, Alvin semakin dibuatnya penasaran.
Nama walinya Vodka Beryls. Vodka Beryls ... Vodka Beryls? Siapa itu? Sepertinya nama itu tidak asing untuknya. Vodka Beryls, namanya sama unik dengan nama Vanta. Pasti masih ada hubungan kerabat. Tapi kenapa otaknya berpikir keras berusaha untuk mengingat di mana ia pernah mendengar nama itu?
Alvin mengacak rambutnya frustrasi. Banyak pertanyaan berseliweran di benaknya. Pada halaman terakhir dia melihat berkas keterangan penerima beasiswa. Di sana juga terdapat nilai Ujian Negara dan Ujian Sekolah yang nyaris sempurna. Pantas saja gadis itu mendapat beasiswa.
Kabarnya, cukup sulit untuk mendapat beasiswa selain jurusan yang berkaitan dengan tim medis dan pendidikan di kampus mereka. Selain nilai akademis yang menunjang, pemohon harus melewati tes tertulis, psikotes, wawancara dan juga mendapat surat rekomendasi dari sekolah asal. Mendengar tata cara mengurusnya yang rumit saja bikin sakit kepala.
Setelah puas melihat-lihat, Alvin mengembalikan berkas itu sesuai janji. Mengucapkan terima kasih pada Riki dan meninggalkan ruang admisi.
Beasiswa. Jadi itu alasannya. Mengapa selama ini serangan yang dilancarkan Alvin tidak dibalas seperti saat gadis itu menyiramnya dengan lemonade. Bahkan satu tamparan atau pukulan pun tidak pernah dia terima. Hanya umpatan kesal, caci maki tertahan, dan raut marah yang dilihatnya. Kalau melihat dari sifatnya yang penuh semangat dan berapi-api, harusnya sudah bisa dipastikan. Setelah ulah Alvin yang bertebaran, cewek itu bisa saja mengamuk dengan cara yang lebih frontal. Tapi Vanta tidak melakukannya karena ada yang harus dipertahankannya.
Mendadak semua ini jadi tidak seru lagi di mata Alvin.
***
Laki-laki itu berdiri di balkon kamarnya, memegang gelas kristal beralas datar dengan tatapan menerawang. Kamarnya dibiarkan gelap. Hanya cahaya redup dari lampu jalan yang memberi sedikit penerangan. Alvin menengadah ke langit, tapi tatapannya kosong.
Setelah kejadan hari ini, rasa bersalah seketika menyergapnya. Alvin tidak menyangka gadis itu hanya punya ibunya. Selama ini dirinya terus menimbulkan kekacauan untuk Vanta. Dibesarkan oleh satu orang tua. Pasti sudah cukup berat untuknya. Tapi gadis itu masih bisa tersenyum. Masih bisa menjerit-jerit dengan ekspresi yang tidak pernah bisa Alvin lupakan. Bahkan saat dia menggoreskan satu luka baru, Vanta selalu terlihat bangkit lagi.
Gadis itu tetap memasang benteng yang kokoh. Walau Alvin tidak benar-benar mengerti bahwa sebenarnya benteng itu dapat dengan mudah diruntuhkan jika satu hantaman tepat mengenai bagian rapuh dari dinding pertahanan tersebut.
Alvin terus memutar otak. Apa yang harus dilakukan? Ia harus membalik keadaan. Agar gadis itu tidak lagi berada di posisi sebagai musuh besarnya, musuh bebuyutan, nemesis-nya, atau istilah apa pun untuk menggambarkan situasi mereka sekarang.
Cukup lama Alvin terdiam di balkon kamarnya. Jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Tapi matanya tidak ingin terpejam. Rasa kantuk tidak digubrisnya sama sekali. Gelisah, satu kata yang dapat mewakili perasaannya saat ini.
Tiba-tiba satu cara terlintas dalam kepalanya. Nurani kali ini bekerja lebih baik. Tidak mengandalkan ambisi maupun ego. Maaf, satu kata yang begitu sederhana. Namun terkadang satu kata itu mempunyai pengaruh yang sakral.
Tapi yang dipikirkan Alvin tentu bukan sekadar maaf dalam bentuk kata ‘maaf’ secara harfiah. Melainkan maaf dalam bentuk abstrak.
Pendekatan terhadap lawan terkadang dapat menimbulkan efek yang berdampak baik. Dan cara itu telah terpecahkan. Mungkin dengan cara itu juga perang panas di antara mereka akan berakhir. Cara itu akan kembali menimbulkan pahit untuk Alvin. Membangkitkan masa lalu, menyingkapkan luka lama. Pedih memang. Tapi itulah satu-satunya jalan yang akan membuka suatu awal yang baru.