Alvin berdiri di ujung ranjang, melepaskan satu per satu sepatu Vanta. Ia menatap gadis itu sejenak dan mengitari tempat tidur. Sekali lagi memeriksa suhu tubuh Vanta dengan menempelkan punggung tangannya pada kening dan leher gadis itu bergantian.
Masih panas. Kalau sampai nanti malam demamnya belum turun, mungkin Alvin harus membawanya ke rumah sakit.
“Udah dua kali lo ngerepotin gue, dasar cewek aneh,” celetuk Alvin, menekan-nekan hidung gadis yang terbaring lelap itu dengan telunjuknya.
Entah bagaimana, Alvin malah membawa Vanta ke rumahnya. Meski kemarin ia mengantar pulang cewek itu, mereka tidak berhenti di depan rumah Vanta. Cewek itu terlalu curiga dan tidak percaya padanya, sehingga meminta Alvin menurunkannya di sembarang tempat. Alvin yakin rumah Vanta tak jauh dari tempat mobilnya berhenti, tapi dia tak tahu persis letak tempat tinggal cewek itu.
Alvin duduk di tepi ranjang, memandangi Vanta selama semenit. Dirogohnya saku celana untuk mengeluarkan benda yang beberapa hari ini selalu dibawanya ke mana-mana. Benda milik gadis yang tak sadarkan diri di kasurnya.
Tangan Alvin yang menggenggam kalung dengan liontin cincin terangkat ke depan wajah. Diamatinya benda berkilau itu.
Ya, Alvin belum membuangnya.
Jika kalung ini benar-benar tidak penting, seharusnya bukan begitu cara Vanta memandang benda yang tak penting. Bukan dengan sorot mata sedih dan kecewa. Pasti ada suatu cerita di balik benda pipih ini. Terbesit rasa penasaran, siapa yang memberikan kalung itu? Kenapa Vanta ingin membuangnya? Tetapi Alvin terpaksa harus mengenyahkan semua pertanyaan itu karena panggilan yang masuk ke ponselnya jauh lebih penting sekarang.
***
Pusing, itulah yang pertama kali dirasakannya ketika membuka mata perlahan. Vanta mengerjap lemah, namun dia tidak dapat melihat apa-apa. Ruangan itu gelap. Bagaimana caranya dia pulang ke rumah? Ingatan Vanta berakhir pada saat bertemu Nathan di kampus. Setelah itu memorinya seperti terhapus.
Dipaksanya tubuh untuk bangkit dari posisi berbaring. Samar-samar, Vanta melihat segaris cahaya vertikal berada dalam jarak beberapa meter dari tempatnya terduduk. Kenapa pintu kamarnya terasa jauh? Kenapa pula seprainya terasa lebih lembut dan halus?
Vanta mengangkat sebelah tangan, menyentuh kepalanya yang masih terasa berat. Tiba-tiba, sesuatu menerjang masuk dari balik pintu. Dia meringis karena sesuatu yang menubruknya itu sangat berat dan berbulu.
Tunggu dulu. Berbulu?
Derap kaki cepat terdengar, disusul teriakan. “Sam!”
Pemandangan yang semula hanya dihiasi cahaya dari luar seketika menjadi terang benderang ketika seseorang menekan saklar lampu. Masih dalam keadaan berbaring, Vanta terbengong-bengong mendapati seekor Golden Retriever besar tengah menimpa badannya dan menggoyangkan ekor dengan riang, seakan tubuhnya itu mungil. Yang lebih membuatnya heran, ada Alvin berdiri di depan pintu.
Ada Alvin!
“Samy! Turun!”
Apakah Vanta sedang bermimpi? Atau berhalusinasi karena belakangan cowok itu selalu ada di sekitarnya?
Pandangan Vanta langsung beredar ke sekeliling ruangan. Kamar yang luas bernuansa abu-abu, ranjang yang besar, empat buah gambar abstrak berbingkai hitam tergantung di dinding sedemikian rupa, lemari yang besar, dan perabot yang cuma sekali lihat saja Vanta yakin kalau itu bukan miliknya.
“Di ... mana?” Otomatis Vanta menyuarakan kebingungannya.
“Rumah gue,” sahut Alvin merentangkan tangan, memberi isyarat pada anjing yang dipanggil Samy tadi untuk mendatanginya.
“Ohh ...—apa?!” Seperti tersengat, Vanta mengerutkan dahi, menatap Alvin penuh curiga. Sambil menarik selimut, ia memasang kuda-kuda untuk waspada. “Kenapa gue bisa di rumah lo?”
Karena Samy malah sibuk mengendus dan menempel-nempel manja pada Vanta, Alvin pun melangkah mendekati mereka. Menarik Samy turun dari ranjang. “Jangan nakal ya, Sam,” peringat Alvin seraya mengelus makhluk berbulu itu.
Vanta masih memandang Alvin dengan tatapan menyelidik. Cowok itu menyadarinya dan menoleh. “Lo inget nggak tadi siang pingsan?”
Vanta diam menatap Alvin tanpa menjawabnya. Di dalam kepala, ia berusaha mengingat-ingat, apa benar dia pingsan? Bukan diracun oleh Alvin? Mengingat belum pernah ada sejarahnya Vanta pingsan.
“Lo pingsan di lift. Si gendut saksinya, tanya aja kalo nggak percaya,” tambah Alvin. Seolah cowok itu bisa membaca pikiran Vanta.
“Tapi ... kenapa gue di sini, bukan di klinik? Tadi gue mau ke klinik.”
“Dan lo nyuruh gue gendong lo dengan jarak sejauh itu? Makasih, tapi lo berat. Lebih deket ke mobil gue di parkiran.”
Dalam situasi biasa, mungkin Vanta yang langsing bakalan lebih dulu emosi dibilang berat. Tapi ... apa tadi kata Alvin? Gendong? Gendong??? Vanta terhenyak.
Jadi, Alvin menolongnya lagi?
Vanta masih sibuk dengan pikirannya ketika sentuhan di keningnya membuat ia terperanjat. Tiba-tiba Alvin sudah berada di hadapannya, menopang tubuh dengan sebelah kaki di atas kasur. Cowok itu menempelkan satu telapak tangan di kening Vanta, dan satunya lagi di keningnya sendiri.
“Udah turun panasnya,” gumam Alvin.
Jantung Vanta refleks berguncang. Untungnya cowok itu tidak menyadari kegugupan Vanta, karena Alvin langsung bangkit berdiri. “Ikut gue,” katanya.
“Ke mana?”
“Turun,” jawab Alvin singkat.
Vanta kira, Alvin menyuruhnya pulang karena sudah siuman. Tetapi cowok itu membawanya ke ruang makan. Di depan Vanta, tersaji beberapa jenis masakan di atas meja makan marmer, yang Vanta duga dilap dan dibersihkan setiap jam hingga tak ada noda dan debu secuil pun di permukaannya. Aroma hidangan menggoda penciuman Vanta. Tapi, dia mengingatkan diri agar tetap siaga selama berada dalam jangkauan musuh besarnya. Bisa saja ini jadi salah satu rencana Alvin.
“Gue mau pulang,” sergah Vanta, menahan air liurnya agar tidak menetes. Hari ini Vanta cuma sempat sarapan. Tadi siang jangankan makan, mau minta obat ke klinik kampus saja sudah keburu pingsan. Bangun-bangun, para cacing di perutnya langsung bereaksi ketika dihadapkan pada makanan seharum ini.
“Lo harus makan biar bisa minum obat.”
Kepala Vanta menggeleng cepat. “Nggak perlu, gue udah mendingan kok.”
“Orang sakit bandel amat, sih.”
“Gue mau pulang. Mau pulang pokoknya!” Vanta sedang merengek ketika seorang wanita paruh baya masuk ke ruang makan.
“Eh, temennya sudah bangun, Den. Ayo makan dulu, Non, biar cepet sehat. Bibi masakin banyak karena nggak tau seleranya Non.” Sambil tersenyum, wanita itu menarik bangku untuk Alvin dan Vanta. Bagaimana mungkin Vanta sanggup menolak orang tua yang sudah berbaik hati itu? Akhirnya ia duduk di salah satu bangku.
“Apa lagi rencana lo? Ini nggak lo masukin racun kan?” tuding Vanta setelah si Bibi pergi.
“Kalo ada racunnya, ngapain gue ikut makan?”
Sekali lagi Vanta menatap makanan yang ada di meja. Menunggu Alvin memisahkan ke piringnya dan melahap makanan itu, barulah Vanta ikut mengambil nasi dan lauk-pauk.
“Oh iya, bonyok lo mana?” tanya Vanta selagi makan. Dia merasa tidak enak bertamu ke rumah teman tanpa menyapa orang tuanya. Istirahat di sana, makan di sana, apalagi sekarang hari sudah gelap. Omong-omong, sejak kapan mereka jadi teman? Hmm ....
“Nggak ada.”
“Belum pulang? Gue mau nyapa nanti kalo ada mereka.”
“Ngapain? Emang lo calon istri gue?”
Vanta langsung tersedak. Buru-buru dia mengambil segelas air yang sudah disiapkan di meja. Alvin tetap bisa makan dengan tenang saat mengatakan hal sekonyol itu, padahal wajah Vanta sudah memerah. Rasanya ingin dia lempar cowok itu dengan piring. Tapi Vanta tak mau mengamuk di rumah orang, jadi dia memilih kalimat paling sabar yang pernah diucapkannya pada Alvin. “Bukannya lebih aneh kalo gue bertamu ke rumah orang, tapi nggak nyapa sama sekali?”
Cowok itu tampak tak peduli. Alvin hanya menyantap makanannya dan mengabaikan kata-kata Vanta. Selesai makan, Alvin menyuruhnya kembali ke kamar. Katanya, obat yang harus diminum Vanta ada di kamarnya.
Ketika menaiki tangga, cowok itu bergumam. “Nggak pulang.”
“Hm?” sahut Vanta bingung.
“Cuma ada gue sama asisten rumah di sini. Ortu gue nggak pulang.”
“Ohh ....” Vanta mengangguk, tidak bertanya lebih banyak. Mungkin orang tua Alvin sedang dinas keluar kota, pikirnya. Suasana di antara mereka kembali hening. Entah kenapa Vanta mengikuti Alvin dengan patuh. Sampai mereka berada di kamar, cowok itu menyerahkan tas karton padanya.
“Apa ini?” tanya Vanta melirik kantong yang disodorkan Alvin.
“Baju ganti.”
“Bentar, deh. Kenapa gue harus ganti baju? Gue bisa minum obat, ganti baju, atau apa pun itu di rumah nanti. Sekarang gue mau pulang aja. Bukannya gue sehabis makan pulang, cuma gue nggak enak kelamaan di sini. Nyokab gue juga pasti nyariin,” celoteh Vanta panjang lebar.
“Tadi lo keringetan banget. Lagian nggak lihat, di luar hujan? Mending lo kerjain apa yang bisa dikerjain dulu. Abis itu baru pikirin pulang. Itu baju ganti dari temen lo, dia udah ngabarin nyokab lo, by the way. Jadi lo nggak pulang juga nggak masalah.” Kalimat pertama Alvin yang paling panjang selama mereka saling kenal.
Vanta bergeming membaca situasi. Dia masih kebingungan, kenapa bisa terjebak di rumah cowok yang merundungnya. Kalau dipikir, baru kali ini ada interaksi selain pertikaian di antara mereka. Baru kali ini mereka berada dalam jarak dekat, namun tidak saling memandang dengan tatapan benci, tidak saling mengeluarkan taring. Padahal baru dua hari lalu mereka tarik urat di kampus. Alvin juga membuatnya marah dan menangis. Ini benar-benar sulit dipercaya!
“Kenapa? Lo mau gue yang gantiin baju lo?”
Vanta berdecak dan langsung menyambar tas karton itu. Tapi, dia malah menjatuhkannya. Mata Vanta kontan terbelalak melihat isi kantong yang mengintip keluar.
Sungguh perhatian sekali sahabat Vanta satu ini. Saking perhatiannya, Jessi mengirim sepasang baju ganti, lengkap dengan dalamannya!
Pipi Vanta merah matang. Dia cepat-cepat merunduk merapikan kantong bajunya. Lagi-lagi harus ada kejadian memalukan di depan Alvin. Kurang sial apa sih, hidupnya? Setiap ada cowok itu, Vanta ketiban bencana terus.
Vanta melirik Alvin ingin memastikan apakah cowok itu melihatnya. Alvin sedang buang muka, berdeham sebelum dia berkata, “Kamar mandi di sana.” Seraya menunjuk satu pintu yang tertutup.
Melihat bagaimana reaksi Alvin, sudah pasti cowok itu tahu isi kantong ini. Tanpa berkata apa-apa lagi, Vanta berlari kabur ke dalam kamar mandi.