Read More >>"> Love Like Lemonade (Part 11) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Love Like Lemonade
MENU
About Us  

Malam ini Vanta pulang dengan keadaan tubuh yang lelah. Mama sudah duduk menunggunya di meja makan. Memerhatikan putrinya yang berjalan dengan lunglai, membuatkan susu hangat untuk Vanta.

Bertemu dengan Alvin selama dua hari berturut-turut sangat menguras emosi dan pikiran. Dengan gerakan pelan, Vanta meraih gelas susu dan menghabiskannya.

“Tidur gih, Ta,” ujar Mama.

Namun Vanta menggeleng dengan mata sayu. “Masih ada tugas yang harus diselesain, Ma.”

“Tugas apa? Perlu bantuan lagi nggak?”

Kadang-kadang Mama memang membantu tugas Vanta. Biasanya bagian gunting-menggunting atau mengelem. Terkesan sederhana, tapi Vanta sangat terbantu karena menghemat waktu untuk melakukannya. Benda yang digunting tidak hanya kertas, kadang-kadang karton dan papan untuk membingkai tugas, plastik mika, dan sebagainya. Tugas-tugas DKV memang selalu unik. Tak jarang saat menenteng tugas ke kampus, orang-orang di jalan memerhatikan apa yang dibawa Vanta. Bahkan mahasiswa jurusan lain pun selalu melirik pekerjaan anak-anak DKV.

“Ma, tidur aja. Biar Ata yang lanjutin sisanya, tinggal semprot lem di halaman, terus tempel. Lagian besok kelas pertama agak siang, kok. Jadi Ata nggak perlu bangun terlalu pagi.” Vanta menyusun potongan mika transparan yang sudah digunting berbentuk lumba-lumba. Kali ini tugasnya adalah membuat pola suatu bentuk dengan ukuran dan warna berbeda, lalu ditempel dan ditimpa dalam satu bingkai. Katanya, tugas ini bertujuan mendalami pemahaman tentang pencampuran warna.

“Ya udah, jangan terlalu capek, ya.” Mama pun beranjak ke kamarnya setelah selesai membantu Vanta.

Vanta memasukan potongan mika berwarna-warni ke dalam wadah agar tidak berantakan. Dia membawa selembar karton duplex yang telah di potong ukuran 35x35 cm ke halaman sebelum meletakkan koran di lantai sebagai alas kerjanya.

Selama menyemprotkan satu per satu plastik mika berbentuk lumba-lumba dengan lem spray, Vanta sudah berkali-kali menguap. Dia kelelahan karena tugasnya mulai padat. Sempat terpikir untuk menelepon Jessi supaya ada teman mengobrol dan mengusir kantuk. Tapi, Vanta mengurungkan niatnya. Takut gadis itu sudah beristirahat. Pada pukul empat, akhirnya Vanta menyelesaikan tugasnya dan bisa merasakan empuknya kasur.

 

***

 

Vanta menghela napas panjang saat masuk ke dalam taksi. Hari ini ia memutuskan tidak mengendarai motor karena harus mengangkut tugasnya ke kampus. Selain itu, rasa kantuknya juga belum hilang meski sudah tidur tiga jam.

Sepertinya itu adalah reaksi tubuh Vanta yang kelelahan karena harus mengimbangi antara kuliah dan kerja. Belum lagi masalahnya dengan Alvin yang sering bikin Vanta kepikiran saking dongkolnya.

Belakangan ini Vanta kurang tidur. Dalam dua puluh empat jam, Vanta hanya memiliki waktu istirahat paling banyak lima jam. Bayangkan saja, sisa waktunya yang lain ia habiskan seperti mesin. Bergerak dan produktif. Rasanya Vanta butuh lebih dari 24 jam sehari!

Vanta juga pernah dengar, para seniornya di jurusan DKV bilang kalau mereka terkadang tidak tidur demi mengejar waktu untuk pengumpulan tugas. Semester tiga hingga semester lima nanti adalah masa-masa paling sibuk. Welcome to the jungle, Ta!

Vanta segera berlari melihat pintu lift yang hampir tertutup. Kalau bisa, Vanta tidak ingin berdiri lama menunggu lift naik dan kembali turun. Beruntung, seseorang di dalam menahan pintu untuknya. Setelah bergegas masuk, ia menoleh untuk mengucapkan terima kasih.

Thanks ...—eh, ternyata lo.”

Cowok itu tersenyum. “Hai, kelas pertama?”

“Iya, Fer. Lo kelas juga?” Sejujurnya, saat ini Vanta sedang tidak punya tenaga berbasa-basi. Tapi, ia tidak boleh mengabaikan orang yang sudah berbaik hati mengajarinya kamera.

“Lagi kelas. Cuma tadi turun sebentar beli minum.” Ferdi lalu mengangkat gelas minumannya dan tersenyum singkat sebelum melanjutkan, “Kok potong rambut? Jadi pangling tadi, kirain siapa.”

“Iya, nih. Gara-gara dajjal.”

Sebelah alis Ferdi terangkat, bingung. Tapi cowok itu tetap menanggapi. “Sayang banget, padahal bagus rambut lo kemarin.” Ferdi masih tetap ramah, dia masih tersenyum pada Vanta. Hanya saja, Vanta menemukan suatu perbedaan dari sikapnya. Ada kekecewaan saat melihat rambut pendek Vanta. Harusnya kan, Vanta yang lebih kecewa karena memotong rambut. Atau ... tatapan itu artinya Ferdi turut prihatin?

By the way, you look unwell.

“Hm?” Punggung tangan Vanta refleks menyentuh sebelah pipinya. “Mungkin gara-gara semalam bergadang ngerjain tugas.”

Saat itu pintu lift terbuka. Ferdi pamit turun lebih dulu, sementara kelas Vanta berada satu lantai lagi di atas. Kalau bukan karena wajib mengumpulkan tugas hari ini, rasanya Vanta ingin bolos saja.

Sampai mata kuliah pertama selesai, Vanta semakin merasa tidak kuat. Kepalanya tambah pusing, badannya juga panas. Padahal masih ada mata kuliah lain. Vanta berniat ke klinik kesehatan yang letaknya di gedung seberang lahan hijau kampus dan harus melintasi tempat parkir lebih dulu. Untuk berjalan kaki ke sana cukup jauh karena kampusnya sangat luas. Tetapi tidak ada yang bisa dimintai tolong saat ini. Lagi pula, Vanta juga akan meminta izin berbaring sebentar di klinik. Saat itulah ia berpapasan dengan Nathan di depan lift.

“Abis kelas, Ta?” sapa Nathan menekan tombol turun.

“Iya, nih.” Vanta yang biasanya banyak bicara di depan Nathan mendadak lesu kehilangan energi.

“Kayaknya muka lo pucet, deh.”

“Iya, ni mau ke klinik.”

Pintu lift terbuka, Nathan mempersilakan Vanta masuk lebih dulu. Setelah menyusul gadis itu, Nathan menekan lantai satu. “Nggak pulang aja istirahat? Kelas apa, sih? Titip absen aja, Ta.”

“Nanggung, tinggal Sejarah Desain habis itu selesai.” Sebagai mahasiswi teladan yang mendapatkan beasiswa, Vanta tentu tidak mau menyia-nyiakan kedatangannya hari ini. Selagi di kampus, selesaikan saja semua kelas.

Belum sampai ke lantai dasar, pintu lift terbuka. Tampak seseorang sedang menunggu di depan lift. Ekspresi Nathan langsung berubah begitu melihat utuh sosok yang berdiri di sana. Di sebelahnya, Vanta sudah tidak bisa mengenali lagi siapa yang barusan masuk lift.

Kepala Vanta berdenyut-denyut. Tubuhnya mendadak ringan. Keringat mulai membanjiri seluruh pori-porinya. Pandangan Vanta mengabur saat Nathan menyerukan namanya. Dan kemudian, segalanya menjadi gelap.

 

 ***

 

Alvin sedang menunggu ketika dilihatnya pintu lift terbuka dan manampilkan dua orang yang sangat dikenalnya. Ekspresi Nathan tampak was-was. Sementara Vanta, cewek itu tampat seperti zombie, tidak sehat dan segar. Apa cewek itu sakit? pikir Alvin. Dengan tenang, dia masuk ke dalam lift dan berdiri membelakangi mereka. Baru beberapa detik pintu tertutup, ia mendengar desisan Nathan di belakangnya. “Ta!”

Alvin sontak menoleh ke belakang. Ia mendapati Nathan menangkap tubuh Vanta yang terhuyung jatuh. Dengan sigap, ia ikut menopang gadis itu.

Siapa yang tidak akan kaget melihat seseorang pingsan di depannya? –Maksudnya di belakangnya. Meski Alvin berusaha memasang raut datar, tapi dia kalang-kabut sekarang.

“Kenapa dia?” tanya Alvin memastikan, sambil menahan bahu cewek itu.

Ragu, Nathan menjawab, “Mm ... tadi Vanta memang nggak enak badan, katanya mau ke klinik. Tapi dia udah pucet banget.”

Alvin mengangkat tas laptopnya, mengisyaratkan pada Nathan untuk membawanya. Dia juga melepaskan ransel Vanta untuk diserahkan ke Nathan. Begitu cowok gempal itu menerimanya, Alvin segera membungkuk mengambil alih Vanta yang tak sadarkan diri. Menyelipkan tangannya ke punggung dan belakang kaki Vanta. Tetapi bukannya ke klinik, Alvin malah membawa Vanta ke mobilnya.

“Nggak bawa ke klinik aja, Vin?” tanya Nathan.

“Si anjir ... parkiran lebih deket. Klinik masih jauh jaraknya. Dikira nggak berat gendong dia?” gerutu Alvin seraya membaringkan Vanta di jok penumpang. Pintu mobil dibiarkan terbuka. Ia mengeluarkan ponsel dan menekan dengan tergesa sebelum menempelkan ke telinga. “Halo, lo di kampus? Bisa minta tolong ke parkiran sebentar, nggak? Ada yang pingsan. Iya ... oke.” Kemudian memasukan kembali ponselnya ke saku celana.

Di sebelahnya, Nathan masih berdiri cemas menenteng tas laptopnya saat Alvin berkata, “Gue panggil anak kedokteran ke sini. Biar dia yang periksa.”

Tak lama, Eggy, salah satu teman Alvin dari jurusan kedokteran muncul membawa tas. Dia memeriksa suhu tubuh dan denyut nadi Vanta, kemudian mengecek pupilnya. “Anak DKV?” tanya Eggy menoleh, dijawab dengan anggukan oleh Alvin dan Nathan.

“Pantes ...,” gumam Eggy. Dikeluarkannya ponsel untuk mengetik sesuatu. “Dia kecapekan, butuh bed rest. Nanti lo beli obat sama vitamin yang gue chat ke lo aja, Vin. Kalo banyak aktivitas dan kurang tidur emang butuh asupan lebih, mesti jaga kondisi badan. By the way, ini siapa lo, Vin? Gue baru lihat lo bawa cewek. Bukan seangkatan lo, ya? Masih polos mukanya. Ternyata lo sukanya modelan gini? Pantes Cia—”

“Udah, nggak usah bawel!” Alvin langsung menyergahnya. “Tugas lo udah kelar kan? Sana, balik ke alam lo! Jangan lupa kirim norek.”

“Nggak usah, Vin. Itung-itung sekalian ucapan selamat buat cewek pertama lo. Ya udah, anter pulang, gih. Biar cewek lo istirahat. Gue balik, ya.”

Setelah kepergian Eggy, suasana di antara Alvin dan Nathan berubah hening. Dua cowok itu berdiri diam.

“Lo juga,” ucap Alvin tiba-tiba. “Kalo masih kelas, balik aja. Gue anter dia. Di mana rumahnya?”

“Ng ... nggak tau, Vin.”

Nada suara Alvin kontan meninggi. Kedua tangannya berkacak pinggang. “Lo nggak tau? Terus siapa yang tau? Coba deh, lo kontek temennya. Siapa gitu, yang lo kenal?”

Nathan sedikit berjengit. Dia mengeluarkan ponselnya dengan kikuk, menelepon Jessi dan bertanya di mana alamat rumah Vanta. Sayangnya, Jessi juga tidak tahu. Cewek itu sempat panik saat Nathan menjelaskan secara singkat kondisi Vanta. Tapi, Nathan terpaksa mengakhiri panggilan karena desakan Alvin.

“Siniin laptop gue sama tasnya! Dah, lo balik sana. Nggak guna juga,” ujar Alvin menutup pintu penumpang.

“Terus ... Vanta gimana, Vin?”

“Biar gue yang urus, sana!” Kemudian Alvin sendiri menempati kursi pengemudi.

“Yakin?” Nathan ragu. Bagaimana dia tidak khawatir, sementara Vanta bersama orang yang jelas-jelas big enemy-nya? Entah benar diantar pulang atau tidak. Kalau terjadi sesuatu pada Vanta, bisa gawat ceritanya.

“Nggak percayaan banget lo. Lo tau nomor gue kan? Tadi juga ada saksi, si Eggy. Lagian ngapain gue ganggu orang sakit yang nggak bisa apa-apa?”

Mau tak mau, akhirnya Nathan memercayakan Vanta pada Alvin. Cowok itu cuma bisa pasrah dan berharap, semoga tidak ada sesuatu yang buruk menimpa Vanta.

 

***

 

“Aduhh ... temennya kenapa, Den?” Wanita paruh baya tergopoh-gopoh menyambut Alvin ketika melihat tuannya membopong seorang gadis.

“Pingsan, Bi, kecapekan katanya. Bi Sum tolong ambil tasnya di mobil, ya, sekalian bawain minum.”

“Iya, Den.” Wanita yang dipanggil Bi Sum itu lalu bergegas menuju halaman.

Bi Sum adalah salah satu asisten di rumah Alvin. Ia yang paling lama bekerja dengan keluarga Alvin. Wanita itu bahkan sudah ada di sana sejak Alvin lahir. Setelah Bi Sum, yang mendapat rekor paling lama adalah Pak Ujang, tukang kebun merangkap pekerjaan lainnya di rumah Alvin. Selain mereka, seorang wanita bertugas membantu Bi Sum masih belum terlalu lama bekerja di sana.

“Makasih, Bi,” ujar Alvin saat Bi Sum membawakan ransel Vanta dan segelas air ke kamarnya.

“Ada lagi, Den?”

“Nggak, Bi Sum turun aja.”

Wanita itu pun membungkukkan badan sedikit sebelum keluar dari kamar. Tuan mudanya memang jarang berinteraksi di rumah. Bi Sum tidak banyak mendengar ocehannya lagi sejak dia SMP, sejak kejadian buruk itu menimpa putra tunggal majikannya. Terpukulnya Alvin pada kejadian tujuh tahun lalu membuat ia menjadi anak laki-laki yang dingin, tidak seceria dan selembut sebelumnya.

Alvin jadi sering keluyuran, pulang malam, kadang malah tidak pulang. Dia jarang bicara di rumah, hanya seperlunya saja. Tidak pernah ada satu pun teman Alvin yang datang. Suasana di dalam rumah besar itu hampir menandingi Kutub Utara. Kalau saja bukan karena asisten rumah tangga yang selalu memeriahkan suasana dengan obrolan, rumah itu terasa seperti rumah kosong. Mati.

Bi Sum sangat menyayangkan hal itu. Sebenarnya ia merasa kasihan pada Alvin, tapi anak itu tidak mau membuka diri kepadanya. Namun apa lagi yang bisa diperbuat, dia hanya bisa memberikan perhatian yang mungkin tidak dianggap.

Ketika melihat tuan mudanya membawa seseorang bersamanya untuk pertama kali setelah sekian lama, mungkin inilah jawaban atas doa-doa yang dipanjatkannya. Wanita paruh baya itu berharap seseorang dapat mencairkan sebongkah gunung es yang mengkristal di hati Alvin. Juga ... dapat mengembalikan keceriaannya, seperti sebelum kejadian tujuh tahun lalu.

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Seiko
359      258     1     
Romance
Jika tiba-tiba di dunia ini hanya tersisa Kak Tyas sebagai teman manusiaku yang menghuni bumi, aku akan lebih memilih untuk mati saat itu juga. Punya senior di kantor, harusnya bisa jadi teman sepekerjaan yang menyenangkan. Bisa berbagi keluh kesah, berbagi pengalaman, memberi wejangan, juga sekadar jadi teman yang asyik untuk bergosip ria—jika dia perempuan. Ya, harusnya memang begitu. ...
Jelita's Brownies
2902      1246     11     
Romance
Dulu, Ayahku bilang brownies ketan hitam adalah resep pertama Almarhum Nenek. Aku sangat hapal resep ini diluar kepala. Tetapi Ibuku sangat tidak suka jika aku membuat brownies. Aku pernah punya daun yang aku keringkan. Daun itu berisi tulisan resep kue-kue Nenek. Aku sadar menulis resep di atas daun kering terlihat aneh, tetapi itu menjadi sebuah pengingat antara Aku dan Nenek. Hanya saja Ib...
SORRY
14387      2699     11     
Romance
Masa SMA adalah masa yang harus dipergunakan Aluna agar waktunya tidak terbuang sia-sia. Dan mempunyai 3 (tiga) sahabat cowok yang super duper ganteng, baik, humoris nyatanya belum untuk terbilang cukup aman. Buktinya dia malah baper sama Kale, salah satu cowok di antara mereka. Hatinya tidak benar-benar aman. Sayangnya, Kale itu lagi bucin-bucinnya sama cewek yang bernama Venya, musuh bebuyutan...
Call Kinna
3895      1564     1     
Romance
Bagi Sakalla Hanggra Tanubradja (Kalla), sahabatnya yang bernama Kinnanthi Anggun Prameswari (Kinna) tidak lebih dari cewek jadi-jadian, si tomboy yang galak nan sangar. Punya badan macem triplek yang nggak ada seksinya sama sekali walau umur sudah 26. Hobi ngiler. Bakat memasak nol besar. Jauh sekali dari kriteria istri idaman. Ibarat langit dan bumi: Kalla si cowok handsome, rich, most wante...
Allura dan Dua Mantan
2954      944     1     
Romance
Kinari Allura, penulis serta pengusaha kafe. Di balik kesuksesan kariernya, dia selalu apes di dunia percintaan. Dua gagal. Namun, semua berubah sejak kehadiran Ayden Renaldy. Dia jatuh cinta lagi. Kali ini dia yakin akan menemukan kebahagiaan bersama Ayden. Sayangnya, Ayden ternyata banyak utang di pinjol. Hubungan Allura dan Ayden ditentang abis-abisan oleh Adrish Alamar serta Taqi Alfarezi -du...
Negeri Tanpa Ayah
8608      1925     0     
Inspirational
Negeri Tanpa Ayah merupakan novel inspirasi karya Hadis Mevlana. Konflik novel ini dimulai dari sebuah keluarga di Sengkang dengan sosok ayah yang memiliki watak keras dan kerap melakukan kekerasan secara fisik dan verbal terutama kepada anak lelakinya bernama Wellang. Sebuah momentum kelulusan sekolah membuat Wellang memutuskan untuk meninggalkan rumah. Dia memilih kuliah di luar kota untuk meng...
Palette
3918      1575     6     
Romance
Naga baru saja ditolak untuk kedua kalinya oleh Mbak Kasir minimarket dekat rumahnya, Dara. Di saat dia masih berusaha menata hati, sebelum mengejar Dara lagi, Naga justru mendapat kejutan. Pagi-pagi, saat baru bangun, dia malah bertemu Dara di rumahnya. Lebih mengejutkan lagi, gadis itu akan tinggal di sana bersamanya, mulai sekarang!
RUMIT
4124      1399     53     
Romance
Sebuah Novel yang menceritakan perjalanan seorang remaja bernama Azfar. Kisahnya dimulai saat bencana gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi yang menimpa kota Palu, Sigi, dan Donggala pada 28 September 2018. Dari bencana itu, Azfar berkenalan dengan seorang relawan berparas cantik bernama Aya Sofia, yang kemudian akan menjadi sahabat baiknya. Namun, persahabatan mereka justru menimbulkan rasa baru d...
Aku Benci Hujan
4932      1399     1     
Romance
“Sebuah novel tentang scleroderma, salah satu penyakit autoimun yang menyerang lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki.” Penyakit yang dialami Kanaya bukan hanya mengubah fisiknya, tetapi juga hati dan pikirannya, serta pandangan orang-orang di sekitarnya. Dia dijauhi teman-temannya karena merasa jijik dan takut tertular. Dia kehilangan cinta pertamanya karena tak cantik lagi. Dia harus...
Hujan Paling Jujur di Matamu
5403      1482     1     
Romance
Rumah tangga Yudis dan Ratri diguncang prahara. Ternyata Ratri sudah hamil tiga bulan lebih. Padahal usia pernikahan mereka baru satu bulan. Yudis tak mampu berbuat apa-apa, dia takut jika ibunya tahu, penyakit jantungnya kambuh dan akan menjadi masalah. Meski pernikahan itu sebuah perjodohan, Ratri berusaha menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik dan tulus mencintai Yudis. Namun, Yudis...