“Ta, meja nomor sembilan pesanannya udah belum?”
“Belum, Kak.” Vanta menggigit bibir bawahnya resah. Dia melongok ke kafe dari dalam dapur. Baru juga kemarin bertemu cowok itu di sekitar sini. Kenapa sekarang orangnya malah ada di tempat kerjanya?
Dalam perjalanan pulang kemarin, atmosfir di antara mereka sudah cukup canggung dan aneh. Alvin benar-benar mengantarnya tanpa membuangnya di jalan. Tidak ada sindikat penculikan yang mereka temui. Tidak ada mucikari seperti bayangan Vanta. Tetapi Vanta tidak mau cowok itu tahu letak rumahnya. Sehingga ia minta diturunkan di blok sebelah yang jauhnya hanya sekitar tujuh menit dengan berjalan kaki ke rumahnya.
Sejak kedatangan Alvin dan teman-temannya, Vanta terus bersembunyi di dapur. Cemas kalau-kalau penyakit usil Alvin kambuh dan mengganggunya di tempat kerja juga. Kalau Alvin tahu Vanta menjadi pramusaji di kafe yang merangkap bar begini, bisa-bisa cowok itu menjadikannya bahan gunjingan. Hal yang paling tidak diinginkan Vanta adalah membuat keributan di sini.
“Kak, di meja itu anak-anak kampus Vanta. Boleh nggak, kalo aku layanin pesanan meja lain?” bisik Vanta pada Windy. Tindak-tanduk Alvin itu tidak bisa diprediksi. Jadi Vanta harus tetap waspada.
“Ya udah,” sahut Windy memahami. Wanita itu mengangkat nampan dan meletakkan beberapa gelas di atasnya.
Untung saja meja Alvin berada di dekat pintu masuk, bukan di bagian paling dalam ruangan. Jadi, Vanta bisa mengendap-endap agar tak terlihat oleh cowok itu. Dari sekian banyak tempat, kenapa Alvin harus ke sini? Vanta rela menyapu seluruh tugas untuk mengantar pesanan atau bahkan mondar-mandir ratusan kali, selama cowok itu bukan tamunya.
Membuang Alvin jauh-jauh dari pikiran, Vanta berusaha tetap fokus bekerja. Dia menghela napas sambil menata pesanan satu per satu di nampannya. Vantu baru saja menyelesaikan dan berbalik hendak mengantarnya ketika seseorang keluar dari toiler, hampir menabraknya.
Kalau saja orang itu tidak ikut menggenggam tangannya yang membawa nampan, mungkin keseimbangannya sudah hilang dan memecahkan beberapa botol Smirnoff.
“Eh, sorry ... sorry ...!” tukas laki-laki di depannya.
Ketika mereka mengangkat wajah saling bertatapan, keduanya membatu sejenak. Yang satu bercampur antara kaget dan bingung. Yang satu lagi antara kaget dan tegang.
Buru-buru Vanta mengalihkan pandangan ke arah lain. Menarik nampan dan tangannya yang masih ada di genggaman laki-laki itu, lalu melengos pergi tanpa berucap sepatah kata pun.
***
Perasaan tidak tenang menghantuinya sejak tadi. Sejak Vanta berpapasan dengan orang yang paling tidak ingin ditemuinya. Sambil mondar-mandir gelisah, Vanta mengipas-ngipas wajahnya dengan kedua tangan.
Bagaimana ini? Hal yang ditakutkannya malah terjadi. Salah satu teman Alvin—yang pembawaannya paling dewasa—melihatnya mengenakan seragam saat mereka hampir bertabrakan tadi. Vanta tidak tahu siapa namanya. Cowok itu memang tak pernah terlibat langsung mengerjainya, tapi dia selalu terlihat bersama geng Alvin. Vanta betul-betul cemas. Cowok itu pasti laporan pada Alvin.
Guna menenangkan diri, Vanta keluar dari pintu dapur mencari udara. Berdiri di samping tembok kafe sambil mendongakkan kepala menatap langit malam. Bohong kalau dia bilang dia baik-baik saja. Bulu kuduknya meremang. Vanta bukannya takut dengan lelaki itu. Vanta hanya tidak ingin kejadian yang sama seperti dulu terulang. Saat semua orang menatapnya dengan mata penuh penghakiman.
“Ngapain lo di sini?” Suara yang familiar itu bukan hanya membuat Vanta nyaris melompat, tetapi juga mengubah udara di sekitarnya jadi lebih dingin.
Secepat mungkin Vanta berusaha menyimpan ekspresi tegangnya, mengganti dengan raut datar. Mati-matian dia berusaha agar tetap tenang. “Lo sendiri ngapain?”
Cowok yang sedang meniupkan balon permen karet itu memindainya dari atas ke bawah, kemudian mendengkus. “Lo emang begitu, ya? Selalu nanya balik kalo ditanya? Nggak pernah jawab yang bener.”
Pasti temannya yang mengadu pada Alvin bahwa Vanta ada di sini.
“Nggak ada kewajiban buat jawab pertanyaan orang yang nggak gue kenal.” Vanta melipat kedua tangannya di depan dada. Menyembunyikan tangannya yang gemetar. Meski Vanta berusaha memasang raut cuek, di dalam sana jantungnya sedang kocar-kacir.
“Tempat ini punya keluarga lo?”
Vanta menatap tak percaya mendengar pertanyaan Alvin. Sesaat kemudian, dia tersenyum getir. Vanta lupa, sebagian besar mahasiswa di kampusnya berasal dari keluarga kaya. Kalau orang tua mereka bukan pemegang jabatan tinggi di perusahaan, minimal pengusaha. Jessi saja setiap hari selalu diantar jemput supir, alas sepatunya tak pernah kotor. Apa lagi Alvin? Dia yang hidupnya mewah pasti tidak mungkin membayangkan seorang pelajar bekerja menjadi pramusaji.
Tapi Vanta tidak ingin menjadi pembohong dan menerima ganjaran setelahnya. Dia tidak mau membenarkan pertanyaan Alvin barusan. “Bukan urusan lo.”
Setelah menjawab dengan kalimat super jutek, Vanta berbalik hendak kembali ke dapur. Namun langkahnya terhenti karena satu lengannya dicekal.
“Apaan sih? Lepas nggak?! Kalo nggak, gue teriak.” Soal rambutnya, helmnya yang rusak, olok-olok Alvin, jangan harap kebencian Vanta bisa surut dengan semalam hanya karena Alvin menolongnya. Tetapi orang yang melakukan perundungan itu padanya ada di sini. Berdiri di depannya dan menatap matanya tanpa rasa berdosa sedikit pun.
“Jawab dulu.” Cowok itu menatapnya lekat tanpa mengalihkan perhatian. Tangannya masih menahan lengan Vanta erat.
Tersulut rasa jengkel, Vanta mengangkat wajahnya. Membalas tatapan Alvin dengan menantang. “Kenapa? Mau sebarin gosip kalo gue kerja di sini? Atau sekalian bikin rumor kalo gue cewek nggak bener?”
“Kenapa harus di sini?”
Raut wajahnya tak terbaca ketika laki-laki berkaus hitam itu bertanya dengan nada yang sulit diartikan. Kepala Vanta mulai mendidih. Mau dia kerja di mana, mau dia kerja apa, itu bukan urusan Alvin.
“Gue nggak kayak lo yang kuliah tinggal kuliah, main tinggal main. Gue nggak kayak lo yang punya banyak pilihan mau ngelakuin apa. Terserah lo mau bikin gosip apa pun di kampus. Yang pasti lepasin tangan gue se-ka-rang!” desis Vanta menekankan kata terakhirnya.
Namun Alvin masih bergeming, menatapnya dengan pandangan yang ... entahlah. Vanta tidak tahu apa yang ada di pikiran cowok itu sekarang. Dan Vanta tidak mau tahu.
Tiba-tiba Alvin merogoh saku celananya dan mengeluarkan sesuatu yang berkilauan dari sana. Mata Vanta sedikit menyipit. Sebelum otaknya memerintah, satu tangannya yang bebas sudah lebih dulu bergerak untuk meraih benda itu. Namun, gagal. Alvin menariknya.
“Gue balikin setelah lo jawab pertanyaan gue.”
“Nggak perlu!” sergah Vanta cepat. “Benda itu nggak penting. Memang mau gue buang, ambil aja. Terserah mau lo apain, mau lo buang atau hancurin pun gue nggak peduli.”
“Oh, ya? Tapi kenapa di mata gue, benda ini kelihatan penting ya, buat lo?”
Lama, Vanta tidak menjawab. Hanya memandang Alvin dengan wajah mengeras. Setelah itu, dia memberikan tatapan paling tajam dan paling garang. “Lepas.” Satu kata yang keluar dari mulutnya seperti tombol perintah karena lelaki keras kepala idola kampus itu langsung melepaskan cengkeramannya.
Tidak peduli lagi hal apa yang sedang direncanakan Alvin, Vanta bergegas masuk ke kafe.
***
“Ke mana aja lo, Vin? Lama bener?” tanya Edo.
“Tau nih, lo kayaknya udah ke toilet tadi. Kan lo nggak mungkin ngerokok.” Andre yang kebagian duduk di sebelah Alvin ikut menimpali. Hapal betul kebiasaan temannya yang tidak pernah mau ditawari segala jenis rokok, dari batangan hingga elektrik.
Cuma Toto yang tidak ikut penasaran.
“Ada urusan dikit,” sahut Alvin saat menghempaskan diri ke bangku. Ia meneguk birnya di gelas sampai habis, lalu berceletuk, “Cabut yuk!”
Andre langsung merespons. “Hah? Udah mau cabut? Baru sebentar.”
“Pindah tempat. Gue nggak suka di sini.”
“Oh ... ya udah.” Cowok yang duduk di sebelahnya itu meraih gelas bir sebelum membereskan dompet dan kunci mobilnya di meja.
Sekilas, Alvin melihat Toto meliriknya tadi. Dia jadi penasaran, apakah Toto juga melihat Vanta? Tapi cowok itu diam saja, tidak berkata apa-apa. Sebelum keluar dari sana, Alvin melarikan pandangan ke arah dapur. Ditemukannya sosok itu sedang mondar-mandir menyiapkan pesanan. Ia menatapnya selama beberapa detik hingga akhirnya menyusul teman-temannya yang lain.