Pagi-pagi sekali Vanta sudah dikejutkan oleh sebuah suara, ”Tata! Miss you, Honey!”
Dua tangan yang mulus melingkari lehernya. Siapa lagi yang
memangilnya dengan panggilan itu kalau bukan Jessi. Temannya yang suka bersikap
genit kepadanya cuma Jessi. Yang berani nempel-nempel dan gelayut-gelayut ke
Vanta cuma Jessi. Vanta nggak seakrab itu dengan teman-teman cewek di
jurusannya meski dia sering dikerumuni teman-teman untuk membantu mengajari
tugas mereka.
Hubungan timbal balik dan hubungan persahabatan jelas beda. Apa
lagi dia cenderung memisahkan diri saat kelas berakhir. Lebih sering menolak
ajakan temannya untuk makan bersama dan pergi menemui Jessi.
Entahlah, Vanta suka berada di dekat gadis cerewet yang tidak
pernah kehabisan bahan obrolan itu. Sama seperti dulu, saat dia bersahabat
dengan Clarisa. Dia selalu cocok berteman dengan gadis yang ceria. Sifat mereka
yang berbanding terbalik malah terasa melengkapi. Sayang, sifat ceria Clarisa
hanyalah topeng.
”Pagi-pagi udah heboh aja. Lo belum ke kelas?”
“Gue nungguin lo, karena lo bilang kelas jam sembilan juga. By the way, kok lo jadi ganteng ya? Huhu
... aku terpikat.” Jessi melipat tangannya dan meletakkannya di sebelah pipi,
bergaya sok imut.
Kemarin Vanta meminta Jessi memotong rambutnya dengan gunting yang
selalu dia bawa-bawa untuk mengerjakan tugas. Tapi Jessi menolak karena takut
melakukan kesalahan. Dia tidak cukup percaya diri memotong rambut orang lain
sembarangan. Makanya Jessi mengusulkan Vanta pergi ke salon di mal seberang
kampus mereka.
Sebetulnya rambut Vanta masih bisa diselamatkan sebatas bahu. Penata
rambut di salon menawarkannya gaya rambut layer atau shaggy sepundak. Tapi Vanta menolak, malah memilih pixie haircut yang membuatnya kelihatan boyish dengan kemeja dan kaus yang biasa
dikenakan ke kampus.
“Karena udah jadi begini, sekalian aja rambut gue dipangkas lebih
pendek. Biar dia tau, apa pun yang dilakuin dia nggak berpengaruh apa-apa ke
gue. Mau seratus kali pun dia ngejatuhin gue, sebanyak itu juga gue akan bangkit.”
Jessi mengacungkan dua jempolnya dengan wajah bangga. “Mantap! Lo
keren banget, Ta! Ini baru Tata-nya gue. Eh, nyokab lo nanyain nggak kemarin
pas pulang.”
Vanta menghela napas. “Tadinya gue berniat sembunyi-sembunyi, tapi
di rumah gue rasanya nggak ada yang bisa disembunyiin dari nyokab. Jadi
malamnya gue cerita tentang Alvin. Terus nyokab gue bilang, gue harus minta
maaf.”
Reaksi Jessi kebingungan dan melongo seperti Vanta waktu
mendengarnya. “Minta maaf?”
“Soal lemonade.”
“Oohh ... nyokab lo baik banget, ya. Terus, lo mau minta maaf ke
Alvin?”
Vanta menoleh menatap Jessi lurus-lurus. “Menurut lo?”
“Nggak,” jawab Jessi lugas.
“Ya kan?? Nggak bakal bisa gue berhadapan dengan tenang sama dia.
Bawaannya kesel aja, pengin ngacak-ngacak mukanya. Apalagi kalo inget semua
yang dia lakuin ke gue.”
“Tapi kan itu pesen nyokab lo, Ta.” Jessi menyeringai lebar. Bikin
Vanta ingin menyambit sahabatnya.
“Lo pengin banget ya, lihat gue minta maaf ke Alvin?”
“Hehe ... nggak, kok.” Gadis itu menyuarakan tawanya dalam suku
kata. Menggaruk-garuk belakang kepalanya. “Jadi, langkah lo selanjutnya apa?
Katanya perang kalian belum berakhir.”
“Hmm ... tahun depan dia lulus kan? Apa gue cuti kuliah aja sampe
dia lulus?”
Sontak Jessi tertawa mendengarnya. “Cuti cuma bisa dimulai dari
semester dua, sista.”
“Jadi, gue harus bertahan empat bulan lagi dong, sampe bisa cuti?”
Jessi terbelalak dan menukas, “Hah, lo serius mau cuti?”
“Nggak kok, nggak.” Ganti Vanta yang tertawa.
“Tapi ... jujur aja,” Raut Jessi berubah kalem. “lo jadi lebih
banyak ngomong dan berapi-api sejak berantem sama Alvin. Tadinya kan lo ...
apa, ya? Bukan pendiem, tapi lo lebih milih nyimpen banyak hal sendiri. Gue
kayak radio yang cuap-cuap sendirian dan lo cuma nanggapin cerita gue tanpa
balik cerita.”
“Nggak ada hal yang menarik buat diceritain. Hari-hari gue ya
nugas-nugas aja,” kilah Vanta.
“Temen kan emang gitu, cerita hal apa pun meski nggak jelas sekali
pun. Ketawain hal-hal gaje sama-sama. Kadang gue merasa, lo kayak kotak misteri
yang sulit ditebak isinya. Tapi sejak ada Alvin, lo lebih ekspresif.”
Vanta mendengkus, menghadapi kalimat Jessi dengan candaan. “Itu
bukan ekspresif, makan hati yang ada.”
“Yah ... intinya, gue harap lo bisa lebih banyak cerita. Nggak
nyimpen semua sendiri. Gue selalu siap dengerin, kok.”
Vanta menatap Jessi dan tersenyum. “Iya, iya. Makasihh, Jes.”
Senyum separuh hati.
Ada banyak hal yang tidak bisa diceritakannya pada Jessi. Ia belum
siap untuk kembali mempercayai orang lain. Vanta masih butuh waktu untuk
mengenal Jessi lebih lama dan memutuskan apakah Jessi orang yang bisa
dipercaya. Rasa takut dan waspada itu masih ada.
***
Jika ada yang tidak diceritakan Vanta pada Jessi, salah satunya
adalah pekerjaannya sebagai waitress pengganti
di sebuah Café & Bar yang tidak
terlalu jauh dari rumahnya. Sebelumnya Vanta pernah bekerja sebagai barista.
Namun karena jadwal kuliah yang padat, dia harus berhenti.
Ketika teman baristanya menawarkan pekerjaan ini, Vanta merasa jam
kerjanya tidak mengganggu waktu kuliah. Dan lagi, hanya tiga bulan untuk
menggantikan waitress yang cuti. Setelah
coba melamar atas rekomendasi, ternyata dia diterima.
“Beres-beres gih, Ta. Kamu pulang duluan aja.”
Vanta melirik jarum pendek jam pada pergelangan tangannya yang
berada di angka sepuluh. “Kak Windy sama yang lain gimana?”
Windy, teman kerja Vanta, berumur dua puluh enam tahun. Tingginya
hampir sama dengan Vanta. Rambutnya yang panjang sebahu tetap dapat menampilkan
keayuan khas Jawa. Dia juga wanita yang ramah.
Sebenarnya Windy terkejut ketika melihat rambut pendek Vanta saat
baru datang tadi. Sejak melihat Vanta, ia mengagumi rambut hitam Vanta yang
panjang. Bawaannya selalu ingin menata dan mengepang rambutnya. Sayang, niat
itu belum tersampaikan, tapi Vanta malah potong rambut.
“Sebentar lagi kan memang waktunya pulang, tenang aja,” ujar kak
Windy lembut.
“Hmm, oke deh. Aku ganti baju dulu ya, Kak.”
Vanta bergegas ke toilet dan mengganti pakaian. Ia menggunakan
jasa layanan ojek online setiap
bekerja karena tidak ingin membuang lebih banyak tenaga. Sialnya, sejak tadi
halaman aplikasi terus saja menampilkan pencarian. Vanta belum mendapat driver sama sekali.
Sepuluh menit Vanta menunggu, aplikasinya tidak menunjukkan
tanda-tanda tersedia driver. Vanta
mulai frustrasi. Seharusnya dia terima saja tawaran Tony—teman waiter-nya—tadi untuk mengantarnya
pulang. Tetapi karena tidak ingin merepotkan, Vanta menolak dengan sopan
tawaran itu.
Merasa tak sabar, Vanta memutuskan berjalan kaki. Barangkali nanti
dia menemukan driver di jalan. Saat
Vanta sedang melangkah sambil mengecek ponselnya, dari arah berlawanan terdapat
sebuah motor yang tiba-tiba melaju pelan. Sosok pria yang mengendarai motor itu
terlihat mencurigakan. Pria itu mengamati Vanta dari ujung kepala sampai ujung
kaki, membuatnya risi.
Setelah motor pria itu berpapasan melewatinya, Vanta mendengar
dari belakang suara motor yang menderu mendekatinya. Sembari menyimpan ponsel,
Vanta menggunakan kesempatan itu untuk melirik dari ekor matanya, mempercepat
langkah.
“Cewek ... mau kemana malem-malem gini? Abang anterin aja, yuk.” Pria
yang tadi mengamatinya telah memutar tujuan mengikuti arah Vanta berjalan.
Vanta tidak mengabaikan pria itu dan terus menapak cepat. Dia
melirik tak nyaman lantaran orang aneh tersebut masih mengikutinya.
“Hai ... hei ... sombong amat, sih? Nggak usah jual mahal gitu,
dong.” Motor itu berhenti tepat di depan Vanta, menghalangi jalannya.
Dia hendak menghindar menjauhi orang itu. Namun sebelum sempat
menjauh, pria mencurigakan tersebut mencekal tangannya.
“Apa sih?! Lepas!” bentak Vanta berusaha menghempas tangannya yang
dicekal.
“Duh, galaknya si geulis.
Nanti dianter pulang, kok.”
“Nggak usah, minggir!” Dengan emosi sekali lagi Vanta menarik
paksa pergelangan tangannya yang dicengkram, tapi tenaga orang itu terlalu
kuat.
Vanta berusaha memberontak sekuat tenaga. Alih-alih berhasil,
orang itu malah menangkap pergelangan tangannya yang sebelah lagi.
“Lepasin, nggak?!” Semakin Vanta berontak, semakin kuat cekalan
pria itu.
Saat itu jalanan tidak terlalu sepi. Masih ada beberapa pengendara
mobil yang berlalu lalang. Tapi tidak satu pun orang yang peduli. Vanta terus
berdoa dalam hati agar ada seseorang yang menolongnya.
Merasa perlawanannya tidak berarti, Vanta mencoba untuk berteriak
mencari pertolongan. Pria itu terus menarik tangannya hingga ia bisa merasakan perih
yang teramat.
Dewi keberuntungan berpihak padanya kali ini. Sorotan lampu mobil
mengarah kepada mereka. Membuat keduanya menunduk dan menyipitkan mata dari
silaunya lampu tembak mobil. Lebih merasa beruntung lagi, mobil itu berhenti di
depan mereka. Dan si pengendara melongokkan kepala keluar jendela. “Lepasin
tangan lo sebelum gue tabrak.”
***
“Lepasin tangan lo sebelum gue tabrak!” gertak cowok yang duduk di
balik kemudi.
“Si-siapa lo?! Gue cuma nawarin anter dia pulang kok, maksud gue
baik.” Pria aneh itu membalas dengan terbata.
Vanta bukan saja terbelalak kaget, ia juga menganga lebar, terperangah
ketika mendapati orang yang menolongnya ternyata Alvin. Sebenarnya, Tuhan
mengirimkan penyelamat untuknya atau malah akan memasukannya ke kandang singa?
“Nggak usah bacot, cepetan cabut!” Alvin menginjak gasnya dalam
posisi netral hingga suara deru mesin mobilnya membahana di jalan. Karena si
pria aneh belum beranjak, Alvin memindahkan persneling. Menancap gas dan
menginjak rem saat bumper depan
mobilnya tepat menabrak motor pria itu.
“Beneran mau gue giling ya? Oke!” Baru beberapa senti mobil Alvin
mundur, pria berandal bermotor itu kalang-kabut dan langsung melaju pergi.
“Ngapain lo malem-malem gini?” tanya Alvin dengan gaya sengak
ketika turun dari mobil.
Vanta kontan menoleh. “Lo sendiri ngapain?” Dia balik bertanya,
lalu mengusap pergelangan tangannya yang terasa sakit bekas cengkeraman pria
tadi.
“Bukan urusan lo.”
Sendirinya
nanya-nanya, tapi ditanya balik nyolot, kesal Vanta
dalam hati.
Vanta menghela napas jengkel dan hendak melangkah meninggalkan
Alvin. Tapi kalimat cowok itu mencegahnya.
“Heh, lo barusan gue tolongin, loh.”
Awalnya Vanta ingin berterima kasih. Tapi setiap kali cowok itu
membuka mulut, rasanya setiap kata yang keluar selalu terdengar menyebalkan.
Bikin Vanta darah tinggi. Kenapa bisa ada makhluk semenyebalkan Alvin?
“Thanks,” gumam Vanta
malas.
“Apa? Lo ngomong apa?” Cowok itu menaruh telapak tangannya di
sebelah telinga.
“Thanks.” Vanta
mengulang.
Alvin mencondongkan badan, mendekat pada Vanta. “Apaan? Nggak
kedengeran!” Mungkin Vanta harus meninju wajah ganteng laki-laki ini di lain
kesempatan.
Hah?! Apanya
yang ganteng, Ta?!
“THANKS, BUDEK!”
Bukannya marah, cowok itu tertawa geli. “Ayo,” kata Alvin usai
tawanya berhenti.
Mata Vanta memicing menatap Alvin. Dia hanya memerhatikan Alvin
yang melangkah ke pintu pengemudi. Ayo,
katanya?
“Ngapain lo masih di situ?” tegur Alvin membuka pintu mobil.
Karena Vanta masih bingung dengan kata-kata Alvin barusan, seolah
cowok itu baru saja memakai bahasa sansekerta, pertanyaan yang dilontarkannya
malah terkesan bodoh. “Apaan?”
“Lo nggak mau pulang?”
Apa sih maksud
cowok ini?
Alvin
mengajaknya pulang?
Seorang
Alvin??
Perlu Vanta ingatkan pada diri sendiri bahwa cowok ini adalah
musuh besarnya di kampus. Orang yang berkali-kali menjahatinya. Orang yang
dengan kejam memotong rambutnya kemarin. Bisa saja Alvin pura-pura menolong,
tapi ternyata menjualnya ginjalnya di tengah jalan. Atau menyerahkannya ke
mucikari.
Bisa saja.
Semua bisa terjadi karena dia seorang Alvin, cowok yang tak punya
hati.
“Buruan, lama banget elah! Jangan bilang lo minta digendong?”
Tanpa sadar cowok itu sudah berdiri lagi di depan Vanta. Mendorongnya ke sisi
pintu penumpang.
“Apa, sih? Gue bisa pulang sendiri!”
“Udah malem, ntar kalo lo dicegat sama orang nggak jelas kayak
tadi lagi gimana? Belom tentu gue balik lewat sini.”
Karena jarak Alvin begitu dekat, hidung Vanta menangkap
percampuran aroma di kemeja cowok itu.
“Ge-er! Siapa
juga yang minta tolong sama lo?”
“Ni cewek, ya, batu banget!” decak Alvin. Tangannya melewati
Vanta, membuka pintu mobilnya. Posisi Vanta terkunci oleh tubuh lelaki itu.
“Udah deh, buruan. Gue lagi males debat sama lo.”
Kalau ditanya sudah berapa banyak pujian yang diterima Alvin
selama hidupnya, Alvin tidak bisa menghitung. Perempuan menyatakan cinta lebih
dulu padanya bukan hal aneh. Telinga Alvin bahkan sudah kebal terhadap segala
puja-puji kaum hawa dan sebangsanya. Tetapi, hanya ada satu orang yang dengan
tegas berani menantangnya. Hanya satu orang yang selalu memandangnya sengit
penuh aura perselisihan.
Gadis yang ada di depan Alvin bukan saja telah mendobrak
otoritasnya, tapi kini menghina terang-terangan. “Jangan deket-deket. Lo bau!”
“Hah?!” Seumur hidup, baru pertama kali ada orang yang mengatainya
bau!
“Bau rokok. Bau alkohol.”
Hampir saja Alvin mengendus tubuhnya sendiri. Tolol.
“Eh, eh! Lo ngapain?!” Punggung Vanta merapat pada mobil Alvin.
Dia membekap mulutnya dengan kedua tangan ketika cowok itu melepas hoodie abu-abu yang dikenakan, di depan
kedua matanya. Alvin menggulung-gulung hoodie
itu, mendorong Vanta duduk di kursi penumpang, menyusul masuk di sebelahnya.
Dan semua itu berlangsung seperti satu kedipan mata saking Vanta sibuknya
mengatur detak jantung.
Duduk di dalam mobil cowok yang mengganggunya, bersebelahan
dengannya, tidak pernah terbayangkan akan terjadi dalam mimpi terabstrak Vanta
sekali pun. Siapa sangka, orang yang akan menolongnya di tempat yang jauh dari
kampus adalah titisan dajjal satu ini.