Bagian Pertama
✧
Fajar telah menyapa dunia melalui luasnya langit yang tak terkira. Jingga kemerahan itu memenuhi tudung bumi yang tidak bertopang. Afuya, Winter dan kakek siap untuk berangkat ke ladang. Memang bukan menuju ladang sang kakek yang dekat dengan gazebo bambu dan rumah Rum, melainkan ke ladang milik orang. Kebetulan, demi mendapatkan penghasilan lebih, kakek masih siap untuk bekerja membajak sawah. Memang tanah ladang sedikit kering, oleh sebab itu orang-orang di sana berusaha semaksimal mungkin merawat ladangnya menjadi sawah.
Saat merapikan barang alat makan yang memang disiapkan untuk sarapan di ladang. Ketika melihat sepeda butut yang bersandar di pohon besar depan rumah kakek, Afuya jadi merindukan sekolahnya. Harus bergegas mengejar jadwal kereta dan yang paling melekat di kepalanya ketika berboncengan bersama Winter menggunakan sepeda itu. Winter melihat Afuya yang sedang melamun menatap sepeda butut di pohon. Pemuda itu tersenyum sembari berjalan ke arah Afuya.
Winter menepuk pelan bahu kanan gadis tersebut. "Kita akan pulang, kok. Nanti kalau udah kembali, kita jalan-jalan pakai sepeda itu."
Afuya tersenyum, ketika Winter menyampaikan kata-kata manisnya. Sebenarnya gadis itu bingung di posisinya sekarang. Ia senang karena bisa bersama Winter tanpa harus dimarahi oleh Meira. Namun, ia juga rindu terhadap bundanya. Terhadap sang kakek yang selalu baik hati. Suasana rumah, toko kelontong, simpang tiga, pemandangan ladang yang begitu luas, juga jalan yang ia lalui setiap hari.
"Tapi kamu yang bonceng aku," ucap Winter membuat Afuya seperti berlatih drama yang dengan cepat bisa beralih ekspresi, mimik wajah, dan suasana hati.
Spontan Afuya menoleh pada Winter, tetapi pemuda tersebut telah hempas berlari mengikuti kakek yang semakin jauh. Afuya berjalan pelan mengikuti mereka berdua. Toh, dirinya juga sudah tahu setiap petak ladang dan siapa pemiliknya. Ketika di simpang tiga, terlihat Rum berlari dari toko kelontong yang terlihat telah dibuka. Ibu Rum di sana menyaksikan anaknya yang berlari menuju Afuya.
Ketika sampai, Rum sempat menawarkan diri untuk membantu Afuya membawa beberapa makanan dan alat makannya untuk sarapan. Namun, melihat tubuh Rum yang mungil, gadis itu tidak tega jika menambahkan beban untuk kaki anak tersebut. Afuya berlagak sok kuat di depan Rum. Akhirnya tak terasa telah berada di tempat. Winter membantu kakek dan beberapa pekerjaan lainnya menyalakan mesin pembajak sawah. Sementara Afuya beserta Rum membuka rantang makanan dan menyiapkan piring-piring beserta sendoknya.
"Afufu! Lihat ini, seru banget naik alat pembajak sawah." Winter berteriak sudah mengendarai alat itu.
Spontan Afuya menoleh mencari sumber suara. Gadis itu menatap kicut. "Nanti seragammu kotor kena lumpur nggak bisa dibersihin!" sahutnya.
Tanggapan Winter malah tertawa tanpa henti. Saat pemuda itu mulai sedikit bosan, barulah ia memberikan alat pembajak sawah tersebut pada pekerja lain. Winter naik ke permukaan kemudian menyuci kakinya yang sudah dioeluhi lumpur-lumpur membandel. Seragam remaja lelaki itu terciprat oleh sedikit lumpur basah. Beberapa kali Winter mencoba mengguyurnya agar bersih. Namun, tetap saja masih meninggalkan noda.
Afuya, Winter dan Rum sudah duduk di pinggiran menyaksikan kakek pemilik toko kelontong dengan pekerja lainnya. Pria tua itu memilih untuk kembali pada mereka bertiga. Sebab tenaga kakek memang sudah tidak sekuat masa muda. Pria tua tersebut langsung meraih air mineral dalam botol seketika meneguknya karena haus. Niat kakek, menyuruh para pekerja itu untuk berhenti sejenak. Sarapan telah menunggu mereka semua.
Ketika terlihat dua orang pekerja sudah mematikan alat membajak sawah, mereka bergegas berjalan menuju empat insan di tepi ladang. Tanpa diduga, tiba-tiba salah satu dari pekerja tersebut kakinya seakan ditarik oleh sesuatu di dalam lumpur pekat. Pertama masih merasakan terkejut saja, lama-kelamaan kakinya semakin masuk ke dalam. Merasakan seperti panas yang menyengat di kulit, ibarat efek luka bakar. Hingga ia tak tahan.
"Tolong!"
Salah satu pekerja lagi yang jawaknya lebih dekat dengannya tanpa pikir panjang langsung meraih tangan temannya itu. Afuya, Winter, Rum serta kakek langsung spontan berdiri untuk memastikan apa yang terjadi. Bukannya tertarik keluar, dua pekerja tersebut makin ditarik ke dalam lumpur pekat setelah dibajak tadi. Kakek bingung, begitu pula dengan tiga anak muda yang bersamanya mereka juga ikut panik.
Tidak begitu itu banyak orang di sekitar petak ladang tersebut. Kakek mengurungkan niatnya untuk mendekat ke lumpur. Teriakan dua orang pekerja itu dari keras lama kelamaan menjadi sedikit redup karena mereka tidak tahan akan sengatan panas yang membakar kulit mereka. Lumpur bergerak dan terus mengeluarkan air Manas mendidih hingga asap panas pun mengepul di sekitar titik kejadian. Tanpa memperdulikan barang-barang lagi, kakek menyuruh Winter membawa Afuya dan Rum menjauh dari tempat itu.
"Cepat bawa mereka pergi! Aku akan cari pertolongan."
"Kakek bagaimana? Ayo ikut bersama kami!" Teriak Afuya sebelum Winter segera menarik pergelangan tangannya.