Bagian Kedua
✧
Seusai pulang sekolah di hari berikutnya, sehabis turun dari kereta, Winter langsung membonceng Afuya seperti kemarin lusa. Mereka berdua kembali bercanda, mengobrolkan tentang sekolahnya. Afuya sudah bukan lagi anak yang cuek terhadap Winter. Dirinya mulai menerima remaja lelaki tersebut. Karena pembelaan kakek semalam, membuat Afuya tanpa ragu dan takut lagi untuk berteman dengan anak laki-laki.
Keadaan jalanan desa sore itu tidak begitu sepi seperti biasanya. Lumayan ramai, sekitar lima sampai enam orang berpapasan dengan mereka berdua. Meskipun tidak mengenalnya, Winter selalu menyapa mereka. Hal itulah membuat pandangan Afuya berbeda terhadap pemuda tersebut dengan lainnya. Memasuki gapura desa, mereka berdua merasakan semilir angin yang berhembus kencang. Empat hari yang lalu, suasana cukup berbeda.
Tepat di simpang tiga, Afuya langsung menutupi wajahnya dengan punggung Winter. Ia memberi aba-aba agar pemuda itu mempercepat gayuhannya demi meminimalisir jika ketahuan oleh Meira lagi. Untung saja, saat Afuya bersembunyi sembari sesekali melirik arak rumahnya, tidak didapati sang bunda berada di rumah. Sebab pintu rumah yang tertutup. Entah ke manakah, yang terpenting mereka berdua lega dalam posisi aman.
Toko kelontong buka seperti biasanya. Kakek duduk di kursi goyang dan memakan camilan. Suara dari radio yang menemaninya itu semakin pelan, redup lalu hilang tanpa menyisakan nada-nada. Pria tua pemilik toko kelontong memukul radio miliknya beberapa kali agar menyala kembali. Namun, bukan seperti biasanya, kini radio itu tidak ada tanda-tanda untuk kembali hidup. Memang sudah selayaknya masuk ke daftar barang antik.
Afuya turun langsung memasuki toko kelontong. Sementara Winter sejenak menurunkan standar sepeda dan memarkirkan sepeda butut tersebut di dekat pintu toko. Selanjutnya, pemuda itu membuntuti gadis yang lebih dulu telah menyapa seseorang di dalam toko.
"Nah... kebetulan. Kakek mau membawa radio ini untuk dibenarkan. Kalian berdua jaga toko sebentar, ya," perintah pria tua itu mengikuti langkah kakinya meninggalkan toko kelontong sembari membawa radionya.
Afuya diam tak menjawab. Namun, tiba saja suara Winter yang mewakili atas jawaban mereka berdua. "Siap, Kek!"
Sang kakek meletakkan radio di keranjang sepeda butut yang selalu dipakai Afuya ke sekolah. Menunggu pria tua itu meninggalkan toko kelontong, barulah Afuya segera mengambil kotak kayu kemarin yang berisi setengah potongan kunci di liontin miliknya. Winter tetap berdiri memandangi luar demi berjaga-jaga dan memantau keadaan. Kedua tangan Afuya telah menggenggam kotak tersebut. Tinggal mengeksekusi saja.
Afuya lebih dulu duduk di lantai. Ketika gadis itu sudah memberi kode, barulah Winter juga ikut duduk bersila di lantai tepat menghadap gadis di depannya. Tanpa menunggu waktu terlalu lama, Afuya langsung membuka engsel pengunci kotak tersebut. Winter beralih memegangi kotak itu dan membiarkan Afuya sendiri yang menyambungkan kedua sisi bagian kunci.
"Tinggal cari tempatnya," ucap Winter berdiri kemuan memandangi luar untuk memastikan sejenak keadaan.
"Kunci dengan ukuran segini bukan benda biasa. Kalau tidak kunci lemari, bisa jadi kunci pintu." Firasat Afuya tiba-tiba saja ia paparkan dalam bentuk kalimat untuk memperjelas pada lawan bicaranya.
"Mari kita cari."
Winter mulai merogoh setiap sudut ruangan. Afuya pun mengikuti. Winter menelisik di sisi dekat dengan berasalnya ditemukan kotak itu, sedangkan Afuya berada di dekat laci kasir. Mereka berdua terus mencari. Tak ada tanda-tanda akan adanya sebuah kerahasiaan dari penggabungan kunci tersebut. Afuya duduk sebentar di kursi goyang milik kakeknya karena dirasa lumayan pegal. Sedangkan Winter, bersandar di sebuah rak kayu yang berisi tumpukan bahan pangan.
Belum lama merebahkan tubuh, Winter yang lumayan berat karena dia tinggi membuat rak kayu yang disandarinya bergeser. Spontan Afuya menoleh dan melihat Winter sedikit kesusahan mengembalikan posisi rak tersebut. Afuya berdiri, lalu berjalan ke arah pemuda itu guna memberikan bantuan untuk mendorong rak kayu. Namun, apa yang dilihat Afuya di balik rak tersebut sungguh membuat mereka berdua semakin penasaran.
"Tunggu dulu. Aku melihat seperti ada lubang kunci di dinding," cetus Afuya.
Winter menggeser tubuh gadis itu, kemudian ia yang beralih melihat sesuatu di kegelapan. "Kau benar, nggak salah lagi. Ayo kita geser rak ini."
Afuya dan Winter saling mendorong sisi rak kayu berukuran lumayan besar itu ke arah yang sama. Satu... dua... tiga... akhirnya terbukalah sedikit cela yang masih bisa dimasuki oleh tubuh mereka yang tidak terbilang kecil dan ramping. Afuya sedikit ragu untuk maju duluan. Sebagai opsi yang cerdas, Winter meminta gadis tersebut melepas kalungnya dan memberikannya. Winter memasukkan kunci tersebut ke sebuah lupang kunci di dinding. Bukan, tepatnya setelah dilihat lagi, itu adalah pintu yang menempel di dinding.
"Gimana?" tanya Afuya penasaran.
"Pas...." Winter memutar kunci ke arah kanan lalu mendorongnya sedikit agar pintu terbuka. "Bisa!"
Afuya semakin penasaran. Winter tanpa bercanda lagi mendorong penuh pintu itu dan terbukalah sembilan puluh derajat. Senyum sumringah mereka menjadi kecut. Dikiranya ada sebuah tempat harta karun atau apa, tetapi yang dilihat hanyalah sebuah ruangan gelap. Tanpa ragu, Winter langsung melangkahkan kakinya ke dalam. Kemudian mengajak Afuya yang masih ragu. Namun, bukan Winter namanya jika tidak ada tekad kuat yang menyelimuti dirinya. Tanpa menunggu lagi, pemuda itu langsung menarik Afuya agar ikut masuk juga bersamanya.
Semakin berjalan, mereka kegelapan karena tidak ada cahaya setitik pun yang menjadi penerangan untuk jalan mereka. Walau begitu, Winter dengan menggandeng pergelangan tangan Afuya tetap melanjutkan perjalanan. Ia begitu yakin, pasti ada sesuatu di balik ruangan tersebut. Jalan maju beberapa langkah, tiba-tiba ada sorotan cahaya menuju ke arah mereka bagaikan anak panah yang telah diluncurkan. Otomatis, tidak hanya Winter, Afuya juga spontan memejamkan matanya rapat-rapat.
Winter membuka mata. Sedangkan Afuya masih takut dan memilih untuk tetap menutup netranya terlebih dahulu. "Ada apa?" tanya gadis itu penasaran, tetapi dalam kondisi merem.
"Buka matamu, lihatlah!"
Perlahan kelopak mata Afuya mulai terangkat. Winter yang masih menggandengnya itu menampakkan wajah datar. Begitu pula dengan Afuya. Gadis itu teramat terkejut, sampai tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Mereka berdua diam mematung, memandang kosong apa yang ada di depannya. Afuya dan Winter seakan tidak berada di dalam sebuah ruangan.