Bagian Pertama
✧
Pergelangan tangan Afuya terlepas dari genggaman erat pemuda di depannya itu. Wajah Winter begitu meyakinkan bahwa untuk saat ini ia memang tidak harus memihak kakeknya. Ada kalanya winter juga benar. Afuya masih terdiam, menunggu lawan bicaranya melantukan penggalan kalimat tadi.
"Besok sepulang sekolah, kita akan cek bersama. Adakah sesuatu yang cocok dengan kunci ini dan dirahasiakan oleh kakekmu."
Afuya menghela napas. "Tapi...."
"Kau percaya padaku, kan?" Sorot mata Winter menatap Afuya tanpa kedip.
Gadis itu memalingkan wajahnya. Bukan karena tidak kuat jika berlama menatap Winter. Melainkan ia tidak yakin dengan jawabannya sendiri yang berada di pihak pemuda tersebut. Akhirnya Afuya berfikir kemudian beranjak ke tempat mie instan dengan membawa kotak kecil. Ia meletakkan kembali pada tempat semula. Merapikan lagi mie instannya agar meminimalisir terjadinya ketahuan.
Winter mengikuti Afuya. Lewat jendela toko kelontong, langit senja penuh jingga telah terurai, disaksikan oleh pemuda itu secara langsung. Full day school memang membuat mereka hanya memiliki waktu bermain yang cukup singkat. Winter mendekati Afuya. Ia berpamitan agar segera pulang sebelum hal yang ditakutkan datang. Benar, Winter kasian jika Afuya dimarahin lagi karena Meira memergoki mereka.
Winter keluar toko kelontong, memakai sandalnya dan melambaikan tangan pada teman kenalan singkat. Afuya menanggapinya dengan ikut melambaikan tangan. Senyum tipis terlukis indah di wajah Winter yang tampan. Begitu manis jika disandingkan dengan jajanan martabak cokelat keju. Hati Afuya seakan bermekaran. Berisi bunga-bunga segar warna-warni.
Ketika ujung rambut Winter tak lagi tertangkap oleh manik netranya, Afuya memutuskan untuk meninggalkan toko kelontong. Guna memanggil kembali kakeknya yang mungkin terbilang lumayan lama di ladang. Waktu juga sudah semakin menghabiskan sisa siang, alangkah sebaiknya jika ia segera memanggil sang kakek dan kembali pulang untuk aktivitas lainnya.
Winter pulang dengan jalan kaki. Entah mengapa jika bertemu teman, khususnya Afuya, jalan kaki seratus kilo meter pun anak itu tidak merasa capek. Namun, lebih baik kembali pada realita yang kata-kata gombalan, hanya sebagai ucapan pemanis saja. Ketika berjalan santai sendirian, tanpa sengaja Winter bertemu calon mertua. Maksudnya, ibu dari Afuya yang sedang tergesa-gesa mengayuh sepeda butut biasa dipakai Afuya tersebut ke arah desanya. Bukannya menghindari, Winter spontan menyapa Meira.
"Tante!"
Tanpa menoleh, Meira menjawabnya. "Iya!" Wanita itu terus berlanjut mengayuh sepedanya.
Winter semakin jauh. Ketika itulah beberapa menit setelahnya, Meira baru tersadar. Siapa yang menyapanya tadi? Kenapa jalan kali di waktu hampir magrib ini. Apakah dia manusia? Atau ternyata bukan? Meira memutuskan menghentikan sepedanya sejenak, kemudian menoleh ke belakang. Ia menghela napas lega, sebab pemuda uang menyapanya itu masih ada di sana. Namun, Meira juga terkejut saat tahu bahwa anak remaja laki-laki tersebut yang ia marahin kemarin.
Dengan aura kesal, Meira mengayuh sepeda butut itu cepat-cepat agar segera sampai di rumah. Tidak peduli mau lepas satu-satu, bannya menggelinding sendiri, Meira tetap mempercepat gayuhannya. Sampailah di depan rumah, Meira langsung merobohkan sepada tersebut tanpa mencari posisi sandaran yang pas. Dirinya masuk rumah yang tak terkunci itu kemudian berteriak mencari anak gadisnya.
"Afuya!"
Afuya selesai ganti baju sehabis mandi, keluar dari kamarnya. "Iya, Bun?" sahut gadis itu seperti melatakkan banyak tanda tanya.
"Dia ke sini lagi tadi, kan!" Meira terlihat begitu emosi.
Afuya hanya diam. Ia tidak berani mengomel untuk yang kedua kalinya. Takut jika risiko malah berkali-kali lipat menimpa dirinya. Jika Meira sudah terlalu marah, hanya kakek yang jadi penghiburnya. Namun, jika saat ini tidak segera diselesaikan, mungkin akan berdampak buruk dalam kehidupan Afuya. Bisa juga uang saku dikurangin, atau boleh jadi ia akan dipindahkan sekolah.
Kakek belum terlihat tanda-tanda di rumah. Masih hanya terhitung dua penghuni. Afuya pusing seakan kepalanya mau meledak. Ia memikirkan sebuah solusi untuk kabur dari geraman Meira. Bagai beruang madu yang mengamuk, wanita itu tidak memberi celah pada Afuya yang ingin bicara untuk menjelaskan semuanya. Pikir Meira, sebagaimanapun alasannya, wanita tersebut tetap menganggap bahwa Winter bukan sekadar teman main Afuya.
"Diulangi lagi! Sudah berapa kali Bunda bilang? Jangan pernah bergaul dengan anak laki-laki, karena akan membuatmu salah jalan. Tamatkan sekolah dulu, Afuya! Laki-laki itu sama saja berengsek!"
Mendengar kalimat penjatuhan dari sang bunda, barulah Afuya berani bicara Hana demi membela Winter. "Bunda bilang begitu karena menyamakan semua lelaki seperti ayah! Ayah memang salah, Bun, tapi Winter nggak ada hubungannya dengan apa yang telah Bunda tuduhkan. Winter baik seperti kakek pada Bunda. Winter bukan seperti ayah pada Bunda dan aku."
Meira melotot ketika Afuya, putri yang ia besarkan sendiri itu memaparkan hal serupa. Bukannya tersentuh, wanita tersebut malah semakin marah. Bahkan amarahnya seakan ingin menampar Afuya. Untung saja, kakek datang tepat waktu. Sehingga, gadis kelas satu SMP itu bisa diselamatkan. Kakek datang meskipun dengan jalannya yang sedikit bungkuk, tetapi suaranya mampu menghentikan apa yang akan dilakukan Meira.
"Sudah! Nggak enak didengar tetangga. Semenjak dari kota, kulihat dirimu semakin kasar pada cucuku Puya, Ra. Dia cucuku satu-satunya. Aku harap, Kau tidak sampai menyakitinya. Cukup dirimu yang merasakan sakit dari suamimu. Anakmu jangan. Dia itu nggak salah apa-apa. Seusianya sekarang, patut diberi sedikit kebebasan untuk memilih temannya. Jangan disamakan dengan dirimu, atau bahkan zamanku. Itu berbeda, Ra."
Afuya berlari ke belakang kakeknya. Cairan bening telah membasahi pipinya. Sang kakek lalu mengusap lembut dan menghapus air mata cucunya. Kemudian mengelus pelan surai milik Afuya. Meira hanya berdiri terdiam sembari menunduk. Ia merasa begitu hina sampai termakan emosinya sendiri. Benar, Afuya juga butuh kebebasan layaknya anak-anak seusianya. Tidak terlalu dikekang hingga saat akan berteman dengan lawan jenis pun gadis itu masih memikirkan banyak hal ketakutan.
"Masuklah ke kamar, Nduk. Istirahat, besok sekolah." Berakhirnya kalimat tersebut diikuti Afuya yang berjalan menuju kamarnya lalu menutup pintu.
Pandangan sang kakek beralih pada putrinya. "Ra, jangan terlalu dikekang, ya. Besok pagi, di rumah ini tidak boleh ada keributan lagi." Pria tua itu berjalan sembari membungkuk menuju kamarnya.