Bagian Ketiga
✧
"Halo, Afufu!"
Terlihat seorang remaja lelaki menggunakan pakaian bebas, kaus oblong dan celana pendek selutut. Afuya membulatkan matanya. Pikirnya tadi Winter tidos masuk sekolah karena kurang sehat atau lagi sedikit depresi saja. Saat ini yang dilihatnya jauh dari apa yang telah diekspektasikannya. Terlihat segar dan sehat-sehat saja. Bahkan wajahnya itu begitu ceria.
"Ngapain ke sini?" tanya Afuya dengan ketus.
"Main, lah," timpal Winter dengan santainya.
Afuya menyela tanpa memberikan jeda. "Main... main. Kalau Bunda tahu nanti dimarahin lagi."
Winter menurunkan kedua pangkal alisnya. "Kalau gitu ngajarin Kamu matematika."
"Kan, bisa aku ke rumah tante Eryn."
"Lebih seru di sini. Sambil bercanda sama kekekmu."
Afuya masuk langsung menutup pintu toko kelontong rapat-rapat. Ia duduk di bawah menghadap Winter secara langsung. Saat duduk di lantai, dari luar memang tidak kelihatan. Oleh sebab itu Afuya sedikit tenang menyembunyikan Winter di toko kelontong milik kakeknya. Afuya diam sejenak sembari berdiri kemudian celingak-celinguk memastikan keadaan. Dirasa cukup aman, Afuya kembali duduk tepat menghadap pemuda itu dan lebih dekat.
Menyaksikan gadis di depannya, Winter tersenyum. Seakan hatinya dipenuhi bunga-bunga yang bermekaran. Afuya begitu menggemaskan baginya. Bahkan bunga indah sekalipun tidak bisa menandingi kegemasan Winter terhadap Afuya. Gadis itu mendekatkan diri. Terdengar samar-samar seperti berbisik, Afuya memulai sesi obrolan untuk mengintrogasi Winter.
"Kau tadi kenapa nggak masuk?" Afuya menelisik dengan sorot matanya yang tajam.
Bukannya menjawab atas pertanyaan gadis di depannya, Winter malah tersenyum sembari menyipitkan matanya. Sungguh membuat Afuya kesal. Andai saja jika ada sepeda butut milik kakeknya, pasti sudah mendarat di wajah Winter. Afuya menarik kembali tubuhnya yang tadi sempat berjarak dekat dengan pemuda itu. Ia ikut menyipitkan mata tetapi tidak ada sentuhan senyum di wajahnya. Hanya datar saja.
Afuya berdecih. "Ditanya malah nyengir."
"Hehe...." Winter menyahuti. "Di sini suasananya enak," lanjut pemuda itu.
"Sama saja dengan rumah tante Eryn," timpal Afuya.
"Lebih enak di sini. Kakekmu baik sekali padaku."
"Enak di sana. Tante Eryn juga baik padaku, nggak seperti bunda."
Percakapan mereka terhenti ketika ada sebungkus mie instan jatuh ke lantai membentur keramik. Pandangan mereka yang sebelumnya saling menatap, teralihkan menjadi menoleh ke arah tumpukan mie instan. Winter masih bersila, Afuya tergerak untuk berdiri guna mengembalikan mie instan yang jatuh itu ke tempat asalnya. Jemari Afuya memungut barang tersebut lalu meneliti sejenak dengan pandangannya.
Mie instan itu ternyata tinggal sebiji saja jenisnya. Tidak ada yang sama dengan lain. kotaknya juga begitu longgar, bahkan bisa diisi dua puluh lima bungkus mie instan. Anehnya, mengapa sebungkus itu tiba-tiba jatuh. Jika dipikir secara logika, yang berpotensi untuk jatuh adalah mie instan yang berdesakan isinya. Afuya tidak ingin ambil pusing. Ia meletakkan sebungkus yang dipegangnya itu di kotak kosong.
Winter masih tak memalingkan tatapannya pada Afuya. Di usianya yang masih satu setengah dasawarsa, Winter bisa dikatakan pemuda normal pada umumnya. Mereka sudah mengenal yang namanya cinta dan rasa suka, tetapi kedua hal itu terkadang tidak benar-benar mereka mengerti. Selain tergolong anak yang cerdas dan periang, Winter juga anak yang pengertian.
Saat Afuya akan membuang muka dari tumpukan mie instan. Tanpa sengaja, tatapan dari ujung matanya itu menyaksikan sebuah kotak kecil bewarna cokelat tua berbahan kayu mahoni. Jelas saja, gadis itu langsung mengurungkan niatnya untuk kembali dan memilih mendekati kotak tersebut. Saat dipegangnya, terktur kotak masih terasa seperti kulit kayu. Sedikit mengkilap dan begitu antik.
Kotak apa ini? Bagus. Kalau dijual pasti mahal.
Afuya mengambil kotak tersebut lalu membawanya kembali ke arah Winter. Ia duduk bersila juga, mengimbangi lawan bicara. Melihat Afuya membawa sebuah kotak kecil bewarna cokelat tua itu, Winter mengerutkan kening. Merasa penasaran. Ia menggeser posisi duduknya, mendekati Afuya yang fokus untuk segera membuka pengait engsel kunci di bagian luaran kotak.
"Apaan itu?" tanya Winter.
Mulut Afuya diam. Tanpa mengeluarkan kata-kata, gadis itu mengangkat kedua bahunya secara bersamaan. Meskipun tidak membalas pertanyaan winter dengan kalimat, gerak-gerik Afuya telah menjelaskan jawabannya. Bahwa dirinya juga baru pertama kali melihat dan tidak tahu apa isi di dalam kota tersebut. Selama ini ia bolak-balik ke toko kelontong milik kakeknya, tetapi tidak pernah menemukan kotak itu. Bahkan kakeknya juga tidak pernah memberitahukan tentang benda tersebut.
Ketika engsel penguncinya terlah terbuka, Afuya maupun Winter dibuat terkejut dengan isi di dalam kotak. Pasalnya buka terkejut karena kagum, melainkan karena dilanda banyak pertanyaan yang seketika muncul di kepala mereka berdua. Dilihatnya sebuah besi yang dilapisi kuningan berbentuk seperti sebuah kunci pintu zaman abad delapan belas. Namun, bentuknya tidak utuh. Terbelah menjadi dua dengan bagian sisi yang sama.
"Aih, setengahnya di mana?" Winter mulai duluan.
Afuya diam sejenak. Setengah kunci yang tidak asing menurutnya. Seperti pernah melihat, tetapi di mana. Afuya bak dilanda déjà vu. Manik pikirannya dengan cepat kembali. Ia sekejap teringat. Afuya mengeluarkan kalung yang dikenakan. Benar saja, ketika gadis itu telah menyandingkan kalungnya dengan kunci di dalam kotak. Ternyata liontin kalun yang ia pakai itu adalah belahan sisi satunya dari kunci tersebut. Winter spontan mengambil bagian kunci di dalam kotak lalu menggabungkannya pada liontin kalung milik Afuya.
"Pas...," ucap Winter.
"Kakek nggak pernah bilang tentang ini padaku."
Winter menatap Afuya serius. "Berarti ada yang disembunyikan kakekmu padamu."
Afuya mencoba menelaah kalimat dari remaja lelaki di depannya. "Kalau begitu, nanti aku tanya langsung ke kakek aja," cetusnya membuat Winter melotot.
"Jangan!" Winter mengurungkan niat Afuya yang sedang mengembalikan potongan sebelah kunci itu. Pemuda tersebut memegang erat pergelangan tangan Afuya.