Bagian Kedua
✧
Hari berganti berikutnya. Afuya telah siap dengan seragam sekolah batik di hari Kamis. Tas ransel warna cokelatnya juga sudah menempel di punggungnya. Sepatu hitam bertali itu cocok dengan kakinya yang terbilang panjang. Kali ini tidak berkuncir satu seperti ekor kuda maupun kepang dua, tetapi hanya ia biarkan mengurai. Jepitan rambut bentuk simpel warna kuning itu menempel di sisi kanan poninya.
Afuya menemui sang bunda yang sibuk akan bahan-bahan roti di dapur. Tidak ada bekal makanan yang telah disiapkan di meja. Gadis itu berniat untuk membeli di kantin sekolah saja. Mengingat kejadian sore kemarin, masih membuat Meira tak ingin menyapa anak gadisnya. Afuya berjalan pelan ke dapur guna meminta ponselnya. Meira menyadari kehadiran gadis itu. Sebelum Afuya berbicara, wanita tersebut sudah menyodorkan ponsel tanpa menatap wajah putrinya.
Afuya juga sempat berpamitan, tetapi tidak ada tanggapan. Bahkan menoleh pun tidak. Segeralah gadis itu menaiki sepeda butut pemberian kakek, lalu mengayuhnya dengan santai. Karena dirasa waktu masih cukup, Afuya memutuskan untuk berbelok ke rumah Eryn dengan tujuan menunggu seorang remaja lelaki yang baru ia kenal tiga hari kemarin. Walaupun, Winter tidak berpesan atau meminta untuk ditunggu, Afuya sendirilah yang berinisiatif.
Gadis itu sengaja hanya diam di atas sepeda sambil sesekali celingukan ke melihat ke dalam rumah Eryn yang sudah dibuka. Beberapa menit kemudian, wanita pemilik rumah keluar. Mau tak mau, afuya ketahuan menunggu Winter. Eryn yang begitu baik hati dan lemah lembut, otomatis langsung melontarkan pertanyaan dengan senyum bahagia.
"Nunggu Winter, ya?" Eryn berjalan mendekat pada Afuya.
"Iya, Tante," jawab gadis itu membalas senyuman pemilik rumah.
"Kenapa tidak masuk dulu?" Eryn mengubah ekspresinya menjadi lesu. "sayangnya, Winter tidak masuk hari ini."
Kenapa nggak bilang dari tadi, sih? Tapi salahku juga nunggu nggak bilang-bilang.
Afuya telanjur kesal. Ia tak ingin menanyakan mengapa pemuda itu tidak masuk. Apakah karena kemarin kena marah oleh Meira? Atau masih kesal dengan mamanya? Afuya lebih memikirkan agar ia tidak terlambat lagi ke stasiun. Meskipun dekat dengan posisinya sekarang, gadis itu ingin segera hempas agar rasa kesalnya tidak bertambah berkali-kali lipat.
"Oh iya, titip suratnya Winter, ya. Nanti minta tolong kamu kasihkan temannya di kelas 9-A." Eryn mengeluarkan amplop putih berisi surat perizinan tidak masuk itu dari saku celemeknya. Kemudian memberikannya pada Afuya.
Afuya langsung menerimanya. Ia mulai mengayuh sepeda. Menjalani rutinitas sehari-hari yang sama. Bahkan terbilang sedikit membosankan jika tanpa adanya oemudabitu yang tiba-tiba membuatnya jatuh di waktu awal. Afuya merasa ada yang kurang. Tiga hari selalu bersama dengan Winter, membuat ia sedikit tidak bersemangat. Diakui tidaknya, semakin ke sini Afuya merasakan sebuah dentuman cinta monyet yang melanda para anak remaja.
✧
Sore yang membosankan untuk Afuya. Gadis itu mencoba agar melupakan Winter sejenak dan menganggap pemuda itu hanya teman saja. Sekeras mungkin Afuya menco mengingat semua keburukan dan keusilan Winter padanya agar ia tidak terus dilema sebuah rasa rindu terhadap keponakan Eryn. Tanpa terasa, gayuhan sepeda yang menurut Afuya pelan, sudah tepat berada di depan rumah Eryn. Secara langsung, kepala Afuya seperti bergerak sendiri tanpa disuruh langsung menengok ke arah rumah tersebut.
Sebenarnya tidak berharap, tetapi andai saja yang ditunggu itu berada di sana. Kali ini realita memang tidak berpihak pada gadis tersebut. Daripada ketahuan lagi oleh Eryn, Afuya memutuskan untuk melanjutkan gayuhannya tanpa berhenti terlalu lama. Kini pandangannya hampa. Suasana sore yang elok tak berhasil menembus bayangan abu-abu begitu pekat menyelimuti Afuya dengan segala kerinduannya.
Sampailah di rumah, Afuya bergegas masuk dan berganti pakaian bebas seusai menyandarkan sepedanya di pohon. Demi membujuk kembali suasana hati Meira agar tidak suram, gadis itu langsung menuju dapur dengan membawa ponselnya. Terlihat Meira sedang sibuk menghitung roti yang masih baru keluar dari tempat pemanggangan. Afuya memberikan ponsel pada bundanya. Melihat kelakuan anak gadis yang sedikit berubah dengan menuruti peraturan, Meira tersenyum tipis.
"Letakkan saja di meja." Wanita itu beralih kegiatan menghitung plastik roti. "Bisa bantu Bunda?" tanyanya pada Afuya yang baru beranjak dari meja.
"Iya, Bun."
"Tolong masukkan roti yang sudah dibungkus plastik itu ke dalam kardus. Jangan lupa hitung lagi jumlahnya," jelas Meira pada putrinya.
Tanpa penolakan, tanpa protes dan berkata sepatah apapun, Afuya segera meraih kardus karton berukuran besar di lemari dekat meja. Sebenarnya kardus tersebut masih dalam keadaan terlipat, belum terbuka. Afuya langsung merakitnya sejenak kemudian beralih memasukkan roti sembari menghitungnya dalam hati. Pas berjumlah empat kardus karton yang berisi lima puluh buah roti di setiap kardusnya. Tinggal menselotip saja, kegiatan Afuya harus terpaksa dihentikan karena sang kakek memanggilnya.
"Nduk, bisa tolong menjaga toko sebentar? Kakek mau mengecek ladang."
"Bun, boleh?" Afuya langsung menoleh pada Meira.
Tanpa menjawab wanita itu hanya mengangguk. Dengan segera Afuya langsung bergegas keluar rumah. Berjalan menuju toko kelontong sembari menikmati angin sore memang menyenangkan. Inilah yang membuat Afuya betah hidup di desa. Meskipun ia juga terkadang bosan sehingga memilih untuk bersekolah beda kota.
Meskipun toko kelontong milik kakek sepi, jujur saja Afuya lebih senang jika disuruh menjaga toko dibandingkan membantu bundanya membuat roti. Afuya sampai di pintu toko tersebut dan membukanya. Dari jarak uang lumayan jauh memang tidak dilihatnya siapapun di sana. Namun, ketika akan melangkahkan kakinya ke dalam, Afuya dibuat terkejut dengan apa yang baru saja disaksikan.
"Heh!"