Read More >>"> Toko Kelontong di Sudut Desa (Page 371) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Toko Kelontong di Sudut Desa
MENU
About Us  

Bagian Pertama

Selepas sedikit bertengkar dengan sang bunda, Afuya berdiam diri di dalam kamarnya. Entah sampai berapa lama. Bagi seorang Afuya, mengembalikan mood membutuhkan waktu yang lumayan lama. Senja telah terlewat. Tidak ada makan malam bersama. Meira hanya menyiapkan hidangan di meja makan. Mau di waktu kapanpun mereka makan, yang terpenting Meira sudah menjalankan tugasnya untuk memasak. 

Tepat pukul delapan malam, Afuya baru keluar kamar, sebab tak dapat menahan perutnya yang mulai keroncongan. Ia berjalan pelan agar tidak menghasilkan suara yang keras, sehingga akan membangunkan ibunya. Sampai di depan meja makan, tutup saji dibukanya. Terlihat jelas hanya nasi putih dengan lauk tumis kacang panjang dicampur dengan ikan pindang dan tahu. Afuya sedikit malas. Ia rindu masakan enak kesukaannya waktu dulu masih di Surabaya. 

"Kalau nggak ini, sayur sop. Kadang juga cuma tumis tahu tempe. Bosan kali," gerutu Afuya sembari tetap terpaksa mengambil makanann di piringnya. 

Meskipun begitu, Afuya tetap memakan masakan sang bunda. Tidak hanya sekali melainkan dua kali menyentong nasi, kemudian mengambil tumisan tersebut di atas nasi putih pada piringnya. Menarik pelan kursi kayu lalu lekas ia duduk santai di sana. Sesuap nasi dirasakan dengan ekspresi datar. Beralih mencicipi ikan pindang yang telah di potong menjadi kecil-kecil serta kacang panjang yang masih bisa Afuya telan. 

Suapan terakhir tersisa beberapa potong tahu dan kacang panjang, ia lahap tanpa menunggu waktu lama. Kunyah pelan-pelan ternyata membuat giginya sedikit lelah. Afuya meneguk air mineral yang telah ia siapkan sebelum makan. Segelah telah habis tanpa sisa. Gadis itu diam sejenak menarik napas sembari memikirkan bagaimana ia dapat membeli kuota internet tanpa nominal tabungan yang ia punya. 

Afuya berdiri dari posisi duduknya, lalu membersihkan alat makan untuk dicuci. Gadis tersebut tidak ingin merepotkan ibunya, sebab Meira pasti tiap hari mencucii piring dan alat masak yang banyak seusai membuat aneka kue dan roti. Hanya tiga benda saja yang Afuya cuci, kemudian ia kembalikan ke tempat asalnya. Afuya melihat pintu rumah yang sudah tertup itu. Ia bergegas menuju apa yang baru saja dilihatnya. 

Membuka pintu utama lalu menyaksikan jalanan malam yang sepi. Lampu jalanan desa tidak seterang dan sepadat di kota. Bahkan begitu heningnya, suara jangkrik di ladang terdengar terlalu nyaring, seakan mereka sedang paduan suara. Rumah Afuya menghadap langsung dengan simpang tiga. Sehingga bisa leluasa melihat kanan, kiri dan depan secara bersamaan. 

Gadis itu celingak-celinguk sebentar. Tidak didapati anggota keluarga satunya di lingkungan rumah. Afuya langsung meluncurkan ide cemerlangnya. Ia berjalan berjinjit-jinjit bahagia melintasi simpang tiga kemudian belok ke kanan, guna menuju sebuah toko kelontong milik kakeknya. Tidak begitu jauh, jika dihitung hanya berjarak sekitar kurang lebih lima puluh meter dari rumah Afuya. Dari simpang tiga kemudian belok kanan hanya sebuah jalan buntu yang ujungnya adalah sebuah toko kelontong tua. 

Sampailah gadis itu pada tujuannya. Lampu di toko masih menyala. Tidak begitu besar, bahkan toko itu tak melebihi besarnya rumah Afuya yang terbilang kecil. Meskipun begitu, toko kelontong milik kakek memiliki barang yang lengkap untuk skala kebutuhan orang-orang desa. Gadis itu masuk tanpa mengetuk pintu di samping. Terlihat pria tua duduk sembari bersandar di kursi goyang berbahan kayu yang sedikit rapuh. 

"Kakek!" Afuya mendekati pria tua itu. 

"Ada apa ke sini, Nduk?" 

Afuya langsung meraih kedua bahu kakeknya dan memijatnya pelan. "Kek, Afuya boleh minta sesuatu?" 

"Kapan kakek tidak memberikan apa yang Kamu mau, Nduk," jawab pria tua tersebut sembari menyeruput teh hangat di cangkir. 

"Kek, Afuya butuh uang untuk beli kuota internet." Gadis itu beralih posisi ke depan sang kakek. "Buat sekolah." Ia mencoba meyakinkan pria berusia hampir tujuh puluh tahun itu.

Kakek Afuya beranjak berdiri kemudian berjalan sembari sedikit membungkuk sebab usia. Tangan kanannya membuka laci di sebuah nakas. Mengambil tiga lembar uang bewarna ungu lali memberikannya pada Afuya yang sudah berdiri tepat di sampingnya. Kalau soal meminta uang ke kakek, Afuya semangat maju paling depan. Namun, ketita uang berjumlah tiga puluh ribu rupiah tersebut diberikan, gadis itu menerima tetapi diam sejenak. 

"Kurang, Nduk?"

Afuya tersenyum sembari menggaruk rambutnya yang tak gatal. "Hehe... iya, Kek." 

Sang kakek kembali membuka laci kemudian mengambil selembar uang berwarna hijau, lalu memberikannya lagi pada Afuya. "Lagi?"

"Nggak, Kek. Sudah cukup. Terima kasih, Kek!" Afuya langsung hempas keluar toko kelontong dan berlari kembali ke rumah untuk mengambil sepeda guna membeli kuota. Sementara pria tua itu tersenyum melihat tingkah cucunya yang mulai tumbuh remaja tanpa seorang ayah. 

Afuya usai membeli kuota internet di desa sebelah dekat dengan rumah Eryn. Walau tidak melewati rumah tersebut, Winter tiba saja muncul di pikiran Afuya. Gadis itu menaiki sepedanya lalu mengayuh pelan kembali menuju arah toko kelontong. Beberapa kali Afuya menoleh ke belakang sembari berada di atas sepeda. Entah mengapa, bayang-bayang Winter seakan mengikutinya. Namun, ekspektasi gadis tersebut hanyalah ilusi hayalan. Jalanan yang dilintasi masih sepi. Dirinya seorang yang berada di sana malam itu. 

Afuya berhenti sejenak tanpa turun dari sepeda di tengah perladangan yang luas. Ia menghirup udara dingin kala malam. Suara alam terdengar begitu syahdu. Memejamkan mata sembari membayangkan tempat indah yang cocok untuk healing. Tarik lalu diembuskan berulang kali secara perlahan, napas Afuya menjadi ringan seperti terbang bersama seseorang. 

Lagi-lagi, bayangan Winter merusak suasana angannya. Spontan merasa kesal dan langsung membuka batanga lebar-lebar. Kini semua imajinasinya buyar. Tangan kanannya meraih ponsel di keranjang sepeda. Menyalakan sejenak guna melihat waktu. Sudah menunjukkan pukul sembilan malam, Afuya merasa udara semakin menusuk. Sehingga ia memutuskan melanjutkan perjalanannya untuk pulang. 

"Andai aku bisa keluar malam begini tiap hari," monolog Afuya dengan mengayuh sepedanya pelan sambil menikmati suasana. "Sayangnya... aku nggak akan diberi kesempatan ini lagi kalau bunda belum tidur," lanjutnya. 

Rasa-rasanya Afuya ingin sekali menghabiskan malam dengan berkelana, tetapi ia tidak pernah diizinkan keluar malam oleh Meira. Bahkan terkadang pukul tujuh malam, semua pintu sudah terkunci. Ini pertama kalinya ia bebas menikmati awal-awal malam sebelum menuju fajar. Kalau saja besok dirinya libur sekolah, pasti akan lebih lama lagi duduk di pinggiran jalan sembari memandang ladang yang luas tanpa adanya rumah. 

"Astaga... tugas rumah matematika belum aku selesaikan. Kenapa sih harus ada pelajaran matematika," gerutu Afuya mulai mempercepat gayuhannya pada pedal sepeda. 

Rumahnya yang menghadap simpang tiga, serta toko kelontong telah tutup milik kakek sudah terlihat. Ia hampir sampai, tetapi saat mulai memasuki gapura masuk desa, Afuya dibuat tercengang oleh apa yang baru saja ia saksikan. Tanpa berhenti, gadis itu menoleh kanan-kiri ke area ladang. Tanaman padi yang masih berukuran sedang dan hijau, kini yang dilihat Afuya adalah gerombolan rumput ilalang yang tingginya hampir seatap rumah. 

Afuya meneguk salivanya kasar. 

Tanaman ini bukan padi maupun jagung yang biasanya kakek tanam. Mereka begitu tinggi. Gelap. Mereka bergerak, seakan melambai dan ingin menerkam. Apa karena ini bunda melarangku keluar malam? 

Gadis itu gemetaran dan masih melanjutkan bahkan mempercepat gayuhannya. Dari ujung mata Afuya, rumput ilalang tinggi tersebut terlihat bergerak memperpendek jarak antara keduanya. Seperti akan mengkeprek Afuya. Semakin dekat dengan rumahnya, ia langsung membuka pintu yang tidak dikunci kemudian memasukkan sepedanya dengan cepat. Selanjutnya menutup pintu rapat-rapat tanpa memastikan lagi keadaan ladang yang baru saja ia lihat. 

Afuya bersandar di balik pintu, sambil mengatur tempo napasnya yang tak karuan. Dadanya begitu sesak. Keringat mulai deras membasahi seluruh muka dan badannya. Gadis itu memejamkan mata rapat-rapat tidak ingin membayangkan hal menakutkan tadi. Pikirnya hanya satu, kemungkinan itu hanya halusinasi liar sebab ia terlalu lelah dan sudah lumayan malam juga. 

"Afuya?" Suara wanita yang keluar dari salah satu kamar tak lain adalah Meira menambah suasana menegangkan.

Afuya terkejut, badannya gemetaran sesaat. "Bunda, ngagetin aja!" 

"Kenapa Kamu?" tanya Meira sambil berjalan mendekat ke anak gadisnya. 

"Ee... habis lari-larian tadi dari toko kelontong," jawab Afuya sedikit gugup. 

Meira justru teralihkan dengan kalimat gadis di depannya. "Kakekmu belum pulang?" 

Afuya berpikir sejenak. Seharusnya kakek sudah pulang soalnya tadi ia melihat toko kelontong yang telah tutup. "Nanti juga pulang, Bun. Afuya mau tidur dulu, ya, Bun." Tanpa balasan, kalimat Afuya menjadi salam perpisahan untuk malam ini. 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Ayat-Ayat Suci
571      320     1     
Inspirational
Tentang kemarin, saat aku sibuk berjuang.
Adiksi
6070      2045     2     
Inspirational
Tolong ... Siapa pun, tolong aku ... nafsu ini terlalu besar, tangan ini terlalu gatal untuk mencari, dan mata ini tidak bisa menutup karena ingin melihat. Jika saja aku tidak pernah masuk ke dalam perangkap setan ini, mungkin hidupku akan jauh lebih bahagia. Aku menyesal ... Aku menyesal ... Izinkan aku untuk sembuh. Niatku besar, tetapi mengapa ... mengapa nafsu ini juga sama besarnya!...
Ada Cinta Dalam Sepotong Kue
5331      1731     1     
Inspirational
Ada begitu banyak hal yang seharusnya tidak terjadi kalau saja Nana tidak membuka kotak pandora sialan itu. Mungkin dia akan terus hidup bahagia berdua saja dengan Bundanya tercinta. Mungkin dia akan bekerja di toko roti impian bersama chef pastri idolanya. Dan mungkin, dia akan berakhir di pelaminan dengan pujaan yang diam-diam dia kagumi? Semua hanya mungkin! Masalahnya, semua sudah terlamba...
Gagal Menikah
4398      1426     4     
Fan Fiction
Cerita ini hanya fiktif dan karanganku semata. Apabila terdapat kesamaan nama, karakter dan kejadian, semua itu hanya kebetulan belaka. Gagal Menikah. Dari judulnya udah ketahuan kan ya?! Hehehe, cerita ini mengkisahkan tentang seorang gadis yang selalu gagal menikah. Tentang seorang gadis yang telah mencoba beberapa kali, namun masih tetap gagal. Sudut pandang yang aku pakai dalam cerita ini ...
Akhir SMA ( Cerita, Cinta, Cita-Cita )
1568      786     1     
Romance
Akhir SMA yang tidak pernah terbayangkan dalam pikiran seorang cewek bernama Shevia Andriana. Di saat masa-masa terakhirnya, dia baru mendapatkan peristiwa yang dapat mengubah hidupnya. Ada banyak cerita terukir indah di ingatan. Ada satu cinta yang memenuhi hatinya. Dan tidak luput jika, cita-cita yang selama ini menjadi tujuannya..
Between the Flowers
564      311     1     
Romance
Mentari memilih untuk berhenti dari pekerjaanya sebagai sekretaris saat seniornya, Jingga, begitu menekannya dalam setiap pekerjaan. Mentari menyukai bunga maka ia membuka toko bersama sepupunya, Indri. Dengan menjalani hal yang ia suka, hidup Mentari menjadi lebih berwarna. Namun, semua berubah seperti bunga layu saat Bintang datang. Pria yang membuka toko roti di sebelah toko Mentari sangat me...
Meet You After Wound
239      202     0     
Romance
"Hesa, lihatlah aku juga."
ARMY or ENEMY?
11883      3912     142     
Fan Fiction
Menyukai idol sudah biasa bagi kita sebagai fans. Lantas bagaimana jika idol yang menyukai kita sebagai fansnya? Itulah yang saat ini terjadi di posisi Azel, anak tunggal kaya raya berdarah Melayu dan Aceh, memiliki kecantikan dan keberuntungan yang membawa dunia iri kepadanya. Khususnya para ARMY di seluruh dunia yang merupakan fandom terbesar dari grup boyband Korea yaitu BTS. Azel merupakan s...
Selfless Love
4211      1214     2     
Romance
Ajeng menyukai Aland secara diam-diam, meski dia terkenal sebagai sekretaris galak tapi nyatanya bibirnya kaku ketika bicara dengan Aland.
Special
1365      743     1     
Romance
Setiap orang pasti punya orang-orang yang dispesialkan. Mungkin itu sahabat, keluarga, atau bahkan kekasih. Namun, bagaimana jika orang yang dispesialkan tidak mampu kita miliki? Bertahan atau menyerah adalah pilihan. Tentang hati yang masih saja bertahan pada cinta pertama walaupun kenyataan pahit selalu menerpa. Hingga lupa bahwa ada yang lebih pantas dispesialkan.