Bagian Kedua
✧
Beberapa menit seusai percakapan absurd tersebut, mereka berdua hanya melanjutkan dengan diam. Canggung mulai berkelana bebas. Tidak ada sepatah kata pun terucap hingga suara aba-aba dari kereta terdengar. Semua penumpang yang akan turun bersiap-siap mengambil lalu mengecek kembali barang bawaannya. Afuya dan pemuda baru dikenalnya itu tetap diam, sebab mereka hanya membawa tas ransel sekolah yang menempel di punggung masing-masing sejak tadi.
Pintu kereta gerbong tiga dan empat dibuka. Afuya yang dekat dengan pintu tersebut menjadi orang pertama menginjakkan kakinya di tanah berkerikil. Dilanjutkan oleh Winter membuntuti gadis di depannya. Afuya tanpa melihat kembali jam di ponselnya, langsung terburu-buru dengan iringan jalan cepat menuju sekolahnya. Ia tahu bahwa jam masuk sekolahnya sudah terlalu mepet. Karena setiap hari jadwal kereta memang sampai kurang sepuluh menit dari bel masuk.
Berjalan kurang lebih tujuh ratus lima puluh meter dari stasiun kereta menuju gerbang sekolahnya, tak membuat Afuya putus asa. Meskipun dibilang lelah, letih, lesu, menjadi santapan setiap hari. Senin ini masih banyak terlihat siswa-siswi berhamburan di lapangan dan koridor-koridor kelas. Upacara pagi akan dimulai dua menit lagi. Setelah memasuki area sekolah, Afuya mempercepat jalannya menuju kelas 7-B. Winter yang di belakangnya menyudahi celingak-celinguk membuntuti Afuya, langsung ambil arah berbeda menuju kelas 9-A.
Pukul tujuh tepat. Afuya mengusap keringat di dahinya. "Fyuh... Untung belum ditutup pagarnya." Gadis itu meletakkan tas pada kursinya dan hempas menuju lapangan sembari menggunakan topi.
Bukan barisan gerak jalan ata paskibra. Setiap upacara bendera di sekolahnya, Afuya selalu berada di barisan paling belakang. Karena tingginya yang sedikit melebihi siswi SMP pada umumnya. Seratus lima puluh tiga sentimeter terlihat begitu menonjol di kelasnya. Bahkan siswa lelaki di kelas 7-B hampir setara dengannya. Walau terbilang paling banyak gerak di kelas, Afuya masih mengerti tempat dan waktu saat harus disiplin dalam rangkaian kegiatan seperti upacara bendera.
✧
The clock shows half past ten, time for the first break. Teng nong nong nong....
Afuya mengeluarkan bantal kecil dari loker di dalam kelas. Ia meletakkannya di atas meja kemudian tanpa berlama lagi kepalanya diterjunkan pada atas bantal kecil tersebut. Sisa-sisa kain dan dakron kapas bekas pekerjaan mata pelajaran prakarya, sengaja ia kumpulkan dari kelompok lainnya juga untuk dijadikan bantal. Mata Afuya perlahan menutup akibat tidur yang kurang cukup.
Tidur hanya dalam waktu lima sampai enam jam tergolong masih kurang bagi anak seusia Afuya. Tanpa menghiraukan kelas yang lumayan ramai, dari permainan kejar-kejaran, lempar botol, hingga bergosip ria. Tidak membuat agenda tidur Afuya setiap istirahat pertama terganggu. Gadis itu terlelap, tetapi masih bisa terbangun sigap saat bunyi bel masuk telah menyala. Lumayan tidur setengah jam kiranya, meski terkadang membuatnya sedikit pusing.
The clock shows twelve, time for second break. Teng nong nong nong....
Tanpa terasa istirahat kedua kelah menjumpai. Afuya merenggangkan jemari tangannya sejenak. Kemudian merogoh tas bewarna cokelat moka itu sembari mengeluarkan sekotak bekal yang telah dibawakan Meira. Tutup bekal perlahan terbuka. Terlihat makanan empat sehat tetapi belum sempurna itu mengeluarkan aroma yang begitu sedap. Kotak bekal terbagi menjadi empat sekat.
Sekat pertama berisi nasi putih dengan porsi yang lumayan banyak sebab ditekan. Sekat kedua ada lauk berisi sepotong ayam goreng bagian dada tanpa tulang, satu potong telur dadar dan dua biji bulat perkedel kentang. Sekat selanjutnya ada sekotak kecil susu rasa stroberi. Saat beralih melihat sekat terakhir, Afuya menjadi kehilangan mood untuk menyantap makanannya. Coba tebak, sayur apa yang disajikan bersama ketiga lauk tersebut. Benar, kuah sayur sop. Gadis itu paling membenci kuah sayur sop, sebab isiannya yang kompleks akan begitu banyaknya sayur.
"Bunda ini sengaja benget, bawain kuah ini. Aku 'kan, nggak suka," gerutu Afuya sembari menyendok nasi di kotak bekalnya.
Sesuap demi suap dilalui. Nasi putih dan rangkaian lauk tersebut telah habis disantap oleh gadis itu. "Masa iya, harus aku buang lagi sayur ini." Afuya berdecih beberapa kali.
Susu kotak rasa stroberi mulai diambilnya. Sedotan putih ditancapkan hingga ia dapat menikmati susu tersebut selepas minum air mineral. Tinggal kotaknya saja, Afuya bergegas menuju tempat sampah di depan kelas. Namun, tidak didapati sebuah tong sampah di sana. Sehingga gadis tersebut harus sedikit effort berjalan cepat menuju tong sampah di depan kelas sebrang yang harus melintasi lapangan terlebih dahulu.
Terik matahari waktu itu begitu panas menyengat. Beberapa kali keringat Afuya menetes dari dahinya. Gadis tersebut tidak suka berjalan lambat. Segeralah ia memperpendek jaraknya dengan tong sampah di seberang. Sambil membuka tutup di mangkuk kecil di salah satu sekat tempat makannya, Afuya celingak-celinguk pada sekitar. Guna memastikan tidak ada yang melihatnya, karena saat itu begitu sepi.
Mulailah ia mengambil mangkuknya dan sedikit memeringkannya di atas tong sampah. Namun, tanpa Afuya duga, suara seseorang menghentikan aksinya. "Eyo! Kamu yang tadi, kan?"
Afuya mengembalikan posisi mangkuk menjadi tegak kembali, lalu ia menoleh pada sumber suara. Kuah sayur sop belum jadi menetes dan tumpah di tong sampah. Terlihat seseorang lelaki dari kelas 9-A yang dekat dengan posisi gadis itu berdiri, langsung menghampiri Afuya. Sosok tinggi, bahkan dikatakan lebih tinggi dari rata-rata siswa SMP kelas sembilan lainnya. Berisi, tetapi bukan gemuk. Melainkan lebih ke sedikit kekar. Sepasang iris cokelat tua kehitaman memandang serius pada Afuya.
Pemuda yang tak asing itu melontarkan kalimat pertanyaannya. "Mau ngapain? Basi makanannya?"
Afuya tidak menghiraukan pemuda itu. Ia segera melanjutkan aksinya kembali agar segera meninggalkan area tersebut. Namun, tiba saja tangannya dihentikan oleh pemuda di depannya. "Eh, jangan dibuang!"
Afuya menyipitkan kedua mata pada Winter. "Kenapa?"
"Sayang tau, kalau dibuang. Toh, nggak ada bau basi. Sini berikan padaku sayur sopnya."
"Mau?"
Winter menganggukkan kepala seraya tersenyum tipis. Pemuda itu langsung meraih kangkuk kecil berisi kuah sayur sop ketika Afuya menyodorkan padanya. Pemuda tersebut melihat sejenak, tak didapati sendok di dalam mangkuk. Kemudian beralih melihat di kotak makan yang dibawa Afuya, mata Winter langsung melebar ketika terlukis jelas sendok bekas di dalam kotak makan milik gadis itu. Dengan cepat Winter mengambil sendok berbahan plastik kuat.
"Itu bekasku!" Afuya sedikit berteriak.
Tidak ada jawaban atau bahkan pemuda tersebut menghentikan langkahnya, Afuya yang sedikit panik, mulai mereda saat melihat Winter menuju wastafel dekat kursi kayu di trotoar menghadap lapangan. Pohon besar berdaun lebat menjadi atap untuk di kursi kayu memanjang cukup dua orang berteduh. Tanaman hias dengan bunga warna-warni mulai bermekaran menambah nilai estetika.
Seusai membersihkan sendok di wastafel hanya dengan air saja, Winter lalu duduk di kursi tersebut sembari bersandar dan merenggangkan kakinya. Pemuda itu menyendok beberapa sayur sop dari mangkuk dan mulai menjantapnya. Kesegaran dari kuah dan rasa perpaduan sayuran dengan beberapa baso menambah kenikmatan dari rasa makanan yang lezat. Tiga suapan telah lolos melewati seleksi di kerongkongan.
Winter menoleh pada Afuya yang masih berdiri di depan tong sampah. "Hei, sini!"
Afuya seperti terhipnotis. Ia berjalan menuju Winter yang duduk santai di kursi kayu. Namun, belum sempat dirinya duduk, seketika kakinya terhenti tepat di sebelah kursi dan memilih tetap berdiri untuk menunggu Winter menghabiskan kuah sayur sop bekalnya itu. Akan tetapi, pemuda tersebut malah diam tidak melanjutkan agenda makannya dan malah memperhatikan Afuya yang berdiri.
Winter berdecih. "Sini, lho." Pemuda itu menepuk-tepuk slot kosong di kursi tepat pada sampingnya. "Sini, duduk. Takut banget sama aku," lanjut Winter.
Afuya malu campur rasa takut untuk melindungi diri seketika luntur kemudian duduk tepat di sebelah Winter. "Takut sama keturunan Avatar," timpal Afuya.
Winter tertawa renyah ketika gadis itu masih ingat dengan kejadian tadi pagi, saat pembahasan di kereta. "Duh, lupakan. Aku jadi malu," ucap pemuda tersebut sembari meneguk suapan terakhir atas makanannya.
"Mana palu sama pakunya?"
"Ih... Kamu lucu, deh," sahut Winter sembari tersenyum membuat Afuya seketika memalingkan pandangannya ke lapangan.
"Salting, kah?" Winter masih berlanjut dengan kalimat mematikan yang membuat pipi Afuya semakin memerah.
Belum ada jawaban, tiba saja dua anak lelaki keluar dari kelas 9-A itu berjalan mendekati mereka berdua. Afuya dan Winter masih saling diam. Semakin pendek jarak kedua lelaki siswa kelas 9-A tersebut dengan kedua murid yang duduk berduaan di kursi kayu. Hingga pada akhirnya kedua siswa laki-laki sampai. Afuya menyadari ketika melihat ada yang berjalan dari sudut matanya. Namun, ia tidak menghiraukannya, ia kira hanya orang lewat saja.
"Win, lama amat izin cuci tangan. Eh, malah pacaran," ucap salah satu dari dua siswa lelaki.
"Siapa yang pacaran?" sahut Afuya sedikit tak terima sambil mulai berdiri.
"Kalian lah, siapa lagi?" timpal satunya.
"Hehe...." Winter beranjak dari posisi duduknya. "Sayur sopnya enak. Kapan-kapan bawain lagi, ya," bisik Winter lirih pada Afuya sambil memberikan mangkuk dan sendok.
"Bunda nggak jualan sayur sop! Enak aja nyuruh bawain. Bawa sendiri!" Afuya langsung berjalan menuju lapangan meninggalkan tiga siswa lelaki kelas 9-A.
Punggung gadis itu semakin menjauh, salah satu dari teman Winter mulai lagi menggoda. "Kelas tujuh?"
Winter masih memandangi Afuya yang semakin terlihat kecil tanpa menanggapi obrolan temannya. Satu kawannya lagi itu menimpali yang lain. "Buset, adik kelas diembat juga." Mereka bertiga tertawa kemudian berjalan kembali memasuki ruang kelas 9-A.