without realizing it, humans have made it easier for angels to kill lives by killing someone
Azaella duduk tidak tenang di depan meja riasnya, bersama Anne yang sedang menyisir rambut panjangnya. Azaella sedang bersiap untuk tidur. "Tuan Putri, kalau Tuan Putri tidak bisa diam sebentar, saya akan terus kesulitan menyisir rambut anda." Pinta Anne.
"Aku gelisah, Anne. Bagaimana jika aku mengacaukan segalanya? Merusak kuenya. Jatuh karena tersandung gaun? Lalu--"
"Tidak akan, Tuan Putri." Anne memotong kalimat Azaella dengan segera. Anne sudah sangat sabar sekali menghadapi sifat Azaella yang satu itu, terlalu panik disaat tertentu. Esok adalah pesta ulang tahun Azaella yang ke tujuh belas tahun. Pesta ulang tahun ini berbeda dengan pesat-pesta ulang tahun lainnya, lebih megah dan meriah. Pasalnya, bukan hanya merayakan hari kelahiran Azaella, akan ada saat dimana Azaella di pertemukan oleh beberapa laki-laki, agar bisa memilih pujaan hatinya. Inilah hal yang sangat Louvien tidak suka. Adik kecilnya akan di rayu banyak laki-laki. Azaella akan memberikan tarian pertamanya acara resmi itu pada laki-laki yang dipilihnya. Itulah yang dikatakan pelatih tari Azaella setiap melatihnya. Dan Azaella selalu menjawab kalau dia akan memberika tarian pertamanya pada kakaknya, tidak ingin dengan lelaki lain, kalau Eiljung dan Jimchean tak apa, tapi kalau yang lain? Tidak! Pelatih tari Azaella hanya menghela nafas. Tuan Putri mereka terlalu sayang dengan kakaknya. Brocon. Tak lupa kalau Louvien juga sama. Siscon.
"Aku tidak yakin, Anne." Lirih Azaella. Entah mengapa ia benar-benar sangat gugup. Bahkan tangannya saja bergemetar sekarang. Anne sedikit memiringkan kepalanya, menatap lebut Azaella dari pantulan cermin. Azaella sedang tertunduk, melihat tangannya yang sedang ia usahakan untuk tidak terus bergemetar. Anne sudah mengurus Azaella sejak ia berumur empat tahun. Tiga belas tahun lamanya. Anne adalah orang yang selalu ada disisi Azaella saat kematian kedua orang tuanya--Louvien sedang sibuk mengurus sesuatu sehingga tak bisa terus menurus ada disisi Azaella. Bagi Azaella, Anne adalah sosok ibu kedua baginya.
"Tuan Putri," panggil Anne dengan suara yang sangat lembut. Senyum yang terlukis di wajahnya juga tidak kalah lembutnya. "Jangan takut. Tak apa jika anda belum ingin memilih seseorang besok. Dengan Yang Mulia Raja saja juga tidak apa-apa, tidak ada yang melarangnya." Yakin Anne. "Saya sangat tahu apa yang di takuti oleh Tuan Putri. Tapi, Tuan Putri jangan terlalu memikirkannya. Tidak ada hal-hal aneh yang akan terjadi besok, percayalah." Anne mengusap rambut Azaella. "Tuan Putri sudah berlatih dengan sangat giat setiap harinya. Pasti besok tidak akan melakukan kesalahan. Jangan takut, Tuan Putri. Apapun yang terjadi, saya yakin Tuan Putri bisa melakukan semuanya."
Azaella yang masih tertunduk, semakin tidak ingin menaikan kepalanya. Malu. Air matanya sudah turun, membasahi gaun tidurnya. Anne sangat sayang padanya. Karena Anne, Azaella masih bisa merasakan kasih sayang seorang ibu. Anne sangat berharga bagi Azaella. Sangat senang sekali saat Anne berkata akan terus berada disininya.
"Terima kasih, Anne. Terima kasih," Azaella mengusap air matanya. Mengangkat kepalanya, tersenyum pada Anne dari pantulan cermin. Anne membalas senyumnya dengan lebih lembut. "Sekarang, Tuan Putri harus tidur."
πππ
Ketiga laki-laki yang masih berkutat dengan berkas-berkas yang sama sejak beberapa hari yang lalu itu tidak memiliki niat sedikit pun untuk beristirahat. Padahal, kehadiran mereka di pesta esok hari juga sama pentingnya dengan kehadiran Azaella.
Seperti yang mereka bahas beberapa minggu lalu, mereka sedang mencari tahu semua hal-hal yang berhubungan tentang Azaella. Terutama tentang penyakit Azaella. Tidak hanya itu, mereka juga tetap mecari tahu lebih jauh lagi tentang Two World yang menjadi pembahasan utama. Tidak disangka, berkas-berkas terkait penyakit Azaella bisa sebanyak ini. Ayah Louvien sangat berusaha keras mencari tahu obat dari penyakit putri tercintanya itu.
"Kenapa kita tidak langsung bertanya pada ayahmu, Jim. Dari sekian banyak berkas yang kita baca tentang penyakit El ini, tidak ada satupun yang bisa dijadikan petunjuk. Tidak dijelaskan sama sekali kenapa El bisa terkena penyakit ini. Yang ada hanya 'usaha Yang Mulia Raja menyembuhkan putrinya'." Eiljung membaringkan dirinya di atas meja. Ia kelelahan.
"Kau pikir ayahku akan langsung memberitahu? Jika seperti itu, aku tidak usah pusing-pusing lagi. Dan kau tidak usah melakukan ekpekdisi. Ayahku pasti tahu segalanya. Ayahku pasti punya jawaban apa yang selama ini kita cari. Hanya saja beliau sama sekali tidak ingin memberitahunya. Vi juga sudah berusaha membujuknya. Beliau masih saja."
"Hm?" Eiljung menemukan sesuatu. "Yang Mulia Ratu memangnya pernah sakit?" Tanyanya setelah ia membaca satu buku yag dimana tertulis bahwa Yang Mulia Ratu terdahulu mengidap sebuah penyakit.
"Katanya seperti itu. Aku tidak tahu. Ibuku selalu terlihat baik-baik saja. Tapi katanya juga, kondisi ibuku selalu terus memburuk saat hamil El. Tabib menyarankan untuk menggugurkannya saja, demi kesehatan ibuku. Bayi yang ada didalam kandungannya juga terlihat lemah dan tidak bisa diselamatkan. Ibu selalu bilang kalau itulah alasan Azaella terlahir dengan tubuh yang lemah."
"Bukankah alasan itu sudah jelas? Yang Mulia Ratu yang sakit saatt mengandung El, makanya El memiliki tubuh yang lemah. Kenapa kau berpikir kalau ada yang aneh dari penyakit El." Eiljung mempertanyakan maksud dari Jimchean sebelumnya.
"Alasan yang pertama. Seharusnya El tidak lahir. Aku dengar dari ibuku kalau saat itu Yang Mulia Ratu memang sakit parah. Bukan karena Yang Mulia Ratu yang lemah, tapi ada masalah pada bayi yang di kandungannya, yaitu El. Memang kabar yang beredar Yang Mulia Ratu-lah yang sakit dan berpengaruh pada kandungannya. Tapi menurut Ibuku yang saat itu selalu berada disisi Yang Mulia Ratu saat sakit, ada sesuatu yang aneh dalam kandungannya. Makanya Tabib menyarankan untuk digugurkan saja, namun Yang Mulia Ratu menolaknya. Yang kedua. El selalu merasa dirinya baik-baik saja, sudah sembuh dari penyakitnya. Tabib juga mengatakan kalau memang El sudah membaik. El juga sudah tidak selalu jatuh sakit sama seperti waktu kecil. Kondisinya membaik. Tapi apakah kalian pernah mendengar jawaban dari pertanyaan, 'kenapa tubuh El selalu pucat dan dingin'? Itu yang masih dipertanyakan."
Eiljung mengacak-acak rambutnya. "Argh! ini sangat membuatku pusing. Memang satu-satunya jalan bertanya pada Ayahmu, ah bukan, kepada orang tuamu. Ibumu juga sepertinya tahu banyak soal kasus ini. Aku sudah tidak bisa berpikir lagi."
πππ
Azaella membuka buku dongengnya. Kembali membacanya seperti biasa. Saat ingin membaca kalimat pertama, terpaan angin malam dari jendela yang terbuka lebar menyapa kulit Azaella, membuatnya menggigil. Seingatnya, jendela itu sudah di tutup dan di kunci oleh Anne.
"Hai, Ailia." Sapa seorang pria yang sedang duduk di pagar balkon, dengan baju berwarna hitam, jubah panjang yang berkibar karena angin, rambut hitam pekat, mata merah yang menatap dalam Azaella. "Kamu sedang apa? Membaca buku cerita?" Pria itu turun ke balkon, berjalan menghampiri Azaella yang terdiam kaku di atas kasurnya. Laki-laki itu bukan pria yang datang ke istana waktu itu. Tapi aura keduanya sama. Mereka pasti berteman.
"Ke-kenapa kamu bisa masuk?"
"Kenapa, ya?" Pria itu duduk di sisi ranjang. Mengusap rambut Azaella. Menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. "Aku juga tak tahu. Aku hanya ingin bertemu dengan dirimu. Jadi, tanpa sadar aku terbang kesini. Untung saja kamu belum tidur." Tidak ada ancaman. Tidak ada kalimat yang penuh penekanan. Caranya berbicara bukan seperti orang yang ingin menculik atau melakukan kejahatan. Tapi seperti seseorang yang ingin bertemu dengan kekasih pujaannya yang telah lama berpisah.
"Siapa kamu? Kamu bukan manusia, kan?" Tanya Azaella tanpa basa-basi lagi. Ia melihat aura hitam yang sama seperti yang ia lihat sebelumnya, bedanya hanya lebih pekat dan menyeramkan. Selain itu, matanya juga berubah. Sebelumnya, berwarna hitam. Tapi sekarang berwarna merah.
"Kamu juga bukan manusia," Pria itu mendekat. Berbisik di telinga Azaella. "Kita bukan manusia." Tanpa disadari Azaella menahan nafasnya. "Ternyata kamu secantik ini kalau dilihat dari dekat. Walaupun sekarang wujudmu manusia, aura kecantikan dan pesonamu sebagai Dewi tidak hilang. Apa itu karena kekuatanmu?" Pria itu membelai pipi Azaella dengan lembut. Sentuhannya begitu memabukkan, apalagi di tambah dengan suara baritonnya--lebih berat dari suara Louvien. Seperti iblis yang sedang menggoda manusia.
"Apa kamu tak merindukan duniamu Ailia? Kamu Dewi yang bertanggung jawab untuk menjaga dunia itu, bukan? Apa tidak apa-apa kalau kamu berlama-lama disini? Tidak menganggung keseimbangan dunia? Atau... Kamu ingin pulang bersamaku?" Pria itu terus mengoceh.
Pria itu mengusap bibir Azaella. "Apa ingatanmu hilang? Apa kamu lupa siapa dirimu? Atau kau sedang tidur di tubuh Tuan Putri ini, Ailia? Apa aku harus mengeluarkan dirimu dari tubuh Tuan Putri? Apa aku harus menciummu terlebih dahulu agar kamu terbangun, baru mengeluarkanmu?"
Bohong kalau Azaella tak ketakutan. Pria ini sangat dekat dengannya. Jika maju sedikit lagi, maka sudah tak ada jarak antara keduanya. Dada Azaella berdegup kencang bukan karena gugup, tapi karena takut, sangat takut. Angin malam yang dingin membuat bulu kuduknya semakin merinding. Ia harus bangkit, lari, kabur, lalu meminta bantuan. Atau yang lebih sederhananya, ia berteriak dengan keras agar penjaga di luar kamarnya bisa membantunya. Tapi, kalau ia melakukan hal itu, pasti laki-laki ini akan membekap mulutnya atau langsung mencekiknya, membunuhnya demi keselamatan laki-laki itu.
"Two World?" Tanyanya saat melihat judul buku yang di pegang Azaella. "Ingin dengar satu hal yang sangat rahasia Tuan Putri? Ini rahasia antara kita berdua." Pria itu tersenyum miring. "Kita berasal dari dunia dongeng ini. Bukan kita, tapi aku dan perempuan yang mungkin sedang tidur di tubuhmu berasal dari dunia dongeng itu. Aku adalah salah satu penjaga Darkworld. Dan perempuan yang tidur di tubuhmu adalah Dewi yang menjaga Two World. Aku harus segera membawanya pulang. Kalau tidak, dunia ini akan hancur. Kamu, kakakmu dan seluruh manusia akan hancur tanpa sisa seperti kedua orang tuamu yang aku bunuh."
Air mata Azaella pun turun. Ternyata, pria yang ada di depannya ini adalah pelaku di balik kematian kedua orang tuanya. Dengan segala kekuatan dan keberanian yang ia punya, Azaella pun membuka suara. "Kau brengsek! Kau pasti akan mati! Tempat iblis yang seharusnya adalah neraka. Tidak akan pernah kau merasakan cahaya kehidupan. Enyahlah kau dari sini, Iblis! Tempatmu bukan disini!"
Pria itu mengangkat alisnya. "Berani sekali kamu, sayangku. Seorang perempuan tidak boleh berbicara kasar seperti itu. Aku lebih suka kamu bersikap manis."
Azaella menarik nafas. Menatap tajam laki-laki itu, lalu mendorongnya sekeras tenaga. Turun dari kasurnya, berlari menuju pintu dan kabur. Saat ia keluar, ia terkejut. Tidak ada satu pun penjaga yang berjaga di depan pintu kamarnya? Bagaimana bisa. Azaella menoleh, melihat pria itu yang sudah berdiri, bersiap mengejarnya. Tanpa berpikir dua kali, Azaella langsung berlari secepat mungkin. Ia harus meminta bantuan. Ia berlari menuju istana utama. Semoga saja Louvien ada disana. "Kakak... Tolong aku..." Gumamnya dengan suara pelan. Rasa takutnya membuat ia kesulitan berbicara.
"Tuan Putri, tolong jangan berlari-lari di lorong." Teriak pria yang sudah mulai dekat dengan Azaella. Bukannya, sebelumnya pria itu mengatakan kalau ia bisa terbang? Kenapa pria itu tidak terbang saja, menangkap Azaella dengan mudah daripada berjalan dengan langkah yang pelan namun sangat menyeramkan. Tidak! Malah lebih bagus seperti ini. Azaella bisa terus berlari kabur, membuatnya kesulitan. Ini sebuah keberuntungan bagi Azaella. Jangan sia-siakan ini.
Aneh sekali. Istana sangat sepi. Azaella tidak menemukan siapapun. Kemana orang-orang? Kenapa disaat seperti ini, orang yang dibutuhkan tidak ada? "Kemarilah Tuan Putri. Bermainlah bersamaku. Ayo kita bangunkan perempuan yang tidur di dalam tubuhmu itu. Ia harus pulang." Azaella mengabaikan pria itu. Ia terus berlari sekencang mungkin.
Hal yang tak diinginkan pun terjadi.Karena tidak fokus dengan jalan, hanya terus memikirkan bagaimana ia bisa kabur dari pria itu, Azaella tersandung. Ia terjatuh. Lulutnya terluka. Saat ia menoleh ke belakang, pria itu sudah sangat dekat dengannya. Tubuhnya semakin bergetar. Ia pun menangis tanpa suara. Iblis akan mengambil nyawanya.
Sebuah pedang terbang di samping Azaella dan berhasil mengenai pria itu. Pedang itu tertancap tepat di dada pria itu. Ingatlah! Dia bukan manusia. Tubuh Azaella pun terangkat. Di gendong ala bridal style. Lalu dibawa menjauh dari pria itu selagi ia sedang berusaha menahan sakit. "El, kau tak apa-apa?" Tanya Eiljung. Azaella sudah aman. Eiljung menolongnya. Untung saja Eiljung sedang berkeliling untuk mendinginkan kepala. "Siapa dia?" Pertanyaan Eiljung , baik yang pertama ataupun yang kedua tak di jawab. Azaella malah memeluk Eiljung, menangis. Eiljung menatap sendu. Azaella pasti sangat ketakutan, pikirnya. "Menangislah. Aku akan diam." Ujar Eiljung. Ia masih berlari sambil menggendong Azaella, membawanya menuju ruangan Louvien.
Louvien dan Jimchean masih disana.
Saat berada di lorong, Eiljung melihat Louvien dan Jimchean yang baru saja keluar. "Vi! Jim!" Teriaknya. Sang pemilik nama pun menoleh. Terkejut bingung karena Eiljung yang sedang menggendong Azaella yang menangis. "Ada penyusup. Ia mengejar El tadi. Untung saja aku datang tepat waktu." Kata Eiljung untuk menjawab kebingungan dua orang itu. "Sepertinya, penyusupnya adalah orang itu."
Rahang Louvien mengeras. Padahal belum lama ia membicarakan tentang pria aneh waktu itu, tapi sekarang ia sudah menyusup. Membuat Azaella ketakutan seperti ini. "perintahkan para prajurit untuk menangkap orang itu!" Perintah Louvien pada Jimchean. Tangannya sudah terkepal dengan erat. Ia tidak bisa membiarkan pria itu lolos.
"Jangan!" Azaella menahan Jimchean yang baru saja ingin berbalik badan. Memanggil para prajurit. "Dia bukan manusia. Kita tidak bisa mengalahkannya. Kita harus kabur. Kita berempat harus kabur sejauh mungkin. Dia akan membunuh kita. Kita harus kabur secepatnya. Aku mohon..." Pinta Azaella. Suaranya begitu serak. Hidung memerah. Air matanya masing menggenangi pelupuk matanya, tubuhnya masih bergemetar di gendongan Eiljung.
Hati Louvien merasa sakit. Melihat adiknya ketakutan seperti ini membuat hatinya sakit. "Tapi..." Louvien agak sedikit ragu. Tentu saja. Ia adalah raja, harus selalu berada di istana. Tidak bisa pergi begitu saja tanpa memberi tahu sebelumnya. Masih banyak pekerjaannya yang masih menumpuk. Belum lagi besok ada acara besar, acara ulang tahun Azaella. Akan banyak tamu yang datang ke istana. Louvien harus benar-benar memikirkan hal itu. Tapi, adiknya sudah memohon dengan sangat. Ia juga sangat ingin melindungi adiknya.
"Aku mohon, kak." Pinta Azaella lagi.
"Kalau kau memikirkan tentang acara besok dan lainnya, aku bisa mengaturnya. Bawa pergi adikmu bersama Jung, Aku akan mengurus orang itu." Ujar Jimchean. Ia menawarkan dirinya untuk menahan laki-laki itu agar Louvien dan Eiljung bisa membawa kabur Azaella.
Azaella menggelengkan kepalanya. "Tidak! Kau juga harus ikut Jim. Kita pergi berempat."
Kini Jimchean dan Louvien saling bertatapan. Permohonan Azaella saat ini sungguh membingungkan. Eiljung pun menarik nafas berat. "Persetan dengan urusan kerajaan. Sudah ada buktinya kalau orang aneh itu--bukan, makhluk aneh itu mengincar El. Saat ini, keselamatan El-lah yang paling utama bagiku. Bagimu juga, kan Vi? Kau harus terus menjaga El walau nyawamu adalah taruhannya? Jadi, lupakan tentang urusan kerajaan. Kita harus kabur dari sini secepatnya. Jika keadaan sudah aman, baru kita memikirkan urusan kerajaan."
{;}