Death is indeed in the hands of God, but God tells us to survive, right? Is not resignation waiting for death?
Satu tahun yang lalu, Louvien memberikan perintah dadakan untuk melakukan ekspedisi besar ke sebuah reruntuhan kuno yang meresahkan beberapa warga desa yang berada tak jauh dari tempat ditemukannya jasad kedua orangtuanya. Puluhan prajurit dikerahkan untuk ekspedisi ini. Terlalu melebihkan memang. Bahkan sempat terjadi percekcokan karena keputusan Raja ini.
Louvien memang masih muda, sangat muda. Tapi bukan berarti para bangsawan bisa seenaknya mengaturnya dengan mengatas namakan rakyat. Sang Raja tak mudah dibodohi dan langsung percaya akan omongan mereka. Maka dari itu, Louvien tidak menarik kembali keputusannya dan menugaskan ksatria kepercayaannya yang juga sahabatnya untuk memimpin ekspedisi ini. Sebuah kehormatan bagi ksatria itu untuk mengemban tugas besar dari Raja.
Setelah melakukan beberapa persiapan dan kesiapan, ksatria dan pasukannya pun pergi. Keberangkatan mereka diantar langsung oleh Louvien. Bagaimanapun juga, Louvien-lah orang yang paling bertanggung jawab akan ekspedisi ini. Bukan hanya Louvien, beberapa bangsawan dan keluarga para prajurit pun ikun mengantar keberangkatan mereka di pagi buta satu tahun yang lalu.
Sebenarnya berat bagi Louvien untuk menempatkan sahabatnya di posisi itu--Louvien adalah tipe orang yang sangat memperdulikan teman--tapi mau bagaimana lagi, hanya ksatria itu yang dapat dipercaya, tak ada lagi.
Hari pun berlalu cepat. Padahal tujuan mereka tidak jauh dari kerajaan Naveyliam, tapi tidak ada satu pun surat yang masuk untuk mengabari keadaan disana. Khawatir. Tentu saja. Semuanya khawatir. Yang Mulia Raja, para bangsawan dan keluarga para prajurit. Ini hanya ekspedisi, bukan perang. Pilihan sang Louvien untuk melibatkan banyak orang benar-benar salah besar. Orang banyak berpikir Louvien tak memikirkan keamanan kerajaan dan menempatkan para prajurit itu di posisi tidak aman untuk membunuh mereka secara tidak langsung.
Itu semua salah besar.
Jika memang benar adanya, maka sang Louvien tak akan menunjuk sahabatnya sebagai pemimpin ekspedisi. Dia pasti akan memilih orang lain. Louvien bukanlah orang yang nekad yang memposisikan orang terpenting baginya di posisi seperti itu.
Daripada meladeni orang-orang yang berprotes, Sang Raja memilih untuk diam, membiarkan mereka tenggelam dalam pendapat mereka dan diam dengan sendirinya setelah menerima bahwa tak ada lagi yang bisa mereka lakukan selain menunggu kepulangan sambil berdoa sepanjang hari.
Disaat yang lain mengkhawatirkan orang-orang yang sedang melakukan ekspedisi, Tuan Putri hanya mengkhawatirkan kakaknya. Dia tahu, kakaknya pasti sangat merasa bersalah. Amat sangat merasa bersalah. Dapat dilihat dari wajah kakaknya, dia selalu memikirkan sahabatnya dan para prajurit itu. Dialah orang yang sangat yakin kalau ekspedisi ini tidak akan mendatangkan masalah dan malah akan membawa sebuah kunci pemecah masalah sebelumnya. Tapi, sekarang, setelah berbulan-bulan tak mendapatkan kabar, kakaknya orang yang paling murung dan merasa bersalah. Tak ada hal yang bisa Tuan Putri lakukan selain tetap memperhatikan kakaknya dari kejauhan sambil ikut berdoa akan kebaikan bagi semua orang.
Tuan Putri sangat tidak suka dengan para bangsawan tua yang terus menyalahkan kakaknya akan hal ini. Padahal mereka waktu itu hanya bisa berdebat dengan omong kosong. Tidak menahan kakaknya dengan sungguh-sungguh. Selalu membicarakan kekuasaan dan harta. Dan sekarang malah menyalahkan kakaknya? Seharusnya mereka jangan menyalahkan, cukup para keluarga saja. Seharusnya mereka memberi saran untuk mengatasi masalah ini. Membantu kakaknya berpikir jernih di saat kakaknya sudah mulai kacau dan terus menyalahkan dirinya. Inilah alasan Tuan Putri selalu bersikap angkuh di depan para bangsawan di saat acara kerajaan. Dan menolak dengan terang-terangan laki-laki yang mendekatinya. Menurutnya, semua bangsawan sama saja. Mereka pasti mengincar tempat yang sama, tahta kerajaan. Sudah pasti. Kalau bukan itu, pasti kekuasaan lain dan kekayaan yang melimpah. Mudah tertebak sekali mereka. Tidak ada orang yang tulus, setulus dua sahabat kakaknya yang selalu membantu kakaknya dengan suka rela tanpa mengincar sesuatu demi kesenangan pribadi. Tuan Putri bertaruh, pasti diantara para bangsawan penjilat ini, pasti ada pelaku di balik kematian kedua orang tuanya. Pasti ada. Tak salah lagi.
Kembali kepada ksatria dan para prajurit yang melakukan ekspedisi.
Ekspedisi hanyalah kedok semata untuk menutupi tujuan asli, menyelidiki kematian Raja dan Ratu sebelumnya.
Mengapa mereka baru melakukan penyelidikan, tepat setelah beberapa tahun setelah kematian dua orang penting itu?
Iya. Itu karena awalnya, semua orang menganggap bahwa kematian ini adalah sebuah kecelakaan. Mereka berspekulasi kalau kereta kuda yang membawa Raja dan Ratu sebelumnya itu terpeleset karena jalanan yang licin akibat hujan. Pangeran dan Putri hanya diam dan menerima saja kenyataan itu. Saat itu pangeran masih berumur delapan belas tahun dan Putri berumur tiga belas tahun. Masih muda sekali. Butuh waktu lama bagi mereka untuk mencoba menjalani kehidupan seperti biasanya, namun dengan sedikit perbedaan karena mereka harus membiasakan diri lagi bertahan di istana tanpa kedua orangtuanya. Dan akhirnya sang Pangeran naik tahta setahun setelah kecelakaan itu. Pangeran menghabis waktu untuk mempelajari banyak hal dan mempersiapkan diri.
Namun, setelah Pangeran menjadi Raja, ia menemukan sebuah fakta kalau kecelakaan kedua orang tuanya adalah kebohongan. Kedua orang tuanya dibunuh. Entah oleh siapa. Para bengsawan menutupinya. Dari kabar burung yang sudah tersebar, alasan mereka menutupinya yaitu karena kematian Raja dan Ratu sebelumnya adalah hal aneh yang tidak di
mengerti. Daripada dibilang mereka meninggal dunia, ada satu kata yang dapat lebih tepat menggambarkan, hilang. Benar. Jasad Raja dan Ratu terdahulu, para prajurit yang pergi bersama mereka, kusir kereta kuda mereka, semuanya tidak ditemukan, hilang begitu saja bagai di telan bumi. Akan tetapi, tetap saja Raja dan juga dua sahabatnya yang sedikit demi sedikit menyelidiki secara diam-diam pasti mencurigai beberapa orang bangsawan yang terlibat akan pembunuhan kedua orang tua Raja dan Tuan Putri ini. Motifnya satu. Kekuasaan.
Setelah satu tahun lebih lamanya kabar tak kunjung datang dari ksatria dan para prajurit, akhirnya yang di tunggu-tunggu datang. Seekor burung pengantar surat datang membawa sepucuk surat yang berisi kabar dari mereka. Saat Raja sudah menerimanya, lalu membacanya, sungguh terkejut bukan main saat melihat isinya.
"Kami akan pulang esok hari."
Hanya satu kalimat singkat. Tak ada arti tersembunyi, namun berhasil membuat Raja tersenyum lebar. Semua pikiran buruknya hilang begitu saja. Bebannya sedikit berkurang. Dia tidak 'membunuh' mereka. Mereka pulang. Mungkin dalam keadaan selamat semua. Semoga saja. Berita baik ini tersebar dengan cepat keseluruh penjuru istana hingga sampai ke telinga para rakyat. Senang bukan main. Apalagi bagi keluarga para prajurit. Raja mereka tak sekejam itu.
Raja beserta bawahannya, berdiri di depan istana sejak pagi hari, menunggu kedatangan sahabatnya dan para prajurit.
"Apa ini tidak terlalu berlebihan? Mereka hanya pulang dari ekspedisi yang mungkin saja tidak mendapatkan hasil yang kita harapkan. Mereka bukan pulang sehabis perang." Jimchean yang berdiri di belakang sebelah kanan Raja, menggunakan baju formal--ia terpaksa karena sang Raja yang memperintahkannya--melontarkan pendapatnya yang sejak semalam ia tahan.
"Tentu tidak terlalu berlebihan, Jim. Bagaimanapun juga, kita harus menyambut mereka dengan megah, seperti saat kita menghantar mereka," jawab Louvien dengan senyumnya yang tak luntur semejak ia mendapatkan surat itu semalam. Kalau Jimchean menggunakan pakaian formal, tentu saja Louvien juga. Coba bayangkan betapa tampannya Raja yang masih berumur dua puluh dua tahun ini. Dengan baju formal yang menambah ketampanannya, rambut yang di tata kebelakang memperlihatkan jidatnya, berdiri dengan tegap, mencondongkan dada bidangnya, dengan senyum yang begitu manis. Bohong kalau kini para pelayan perempuan tak menjerit. Mereka hanya sedang menahannya saja. Bagaimana pun, mereka harus bersikap tenang.
"Lalu, kau..." Jimchean menoleh kekiri, lebih tepatnya ke orang yang berdiri di belakang kiri Louvien. "Kenapa kau juga berias cantik dengan gaun formal, El?" Sungguh, kehadiran Azaella adalah hal yang paling Jimchean bingungkan.
"Kenapa? Memangnya aku tidak boleh ikut menyambut Jung?" Tanya Azaella dengan mata yang berbinar-binar.
Jimchean menghelakan nafas panjang. "Aku sudah tidak mengerti lagi dengan kalian berdua."
Suara lantang penjaga gerbang mengintrupsi. Pintu besar gerbang terbuka lebar, menampakan sesosok orang berkuda putih dengan pasukan yang banyak di belakangnya berjalan menuju ketiga orang yang sudah mengembangkan senyum.
"Kalian merindukanku?"
πππ
"Bagaimana, Vi?" Jimchean memecahkan keheningan yang sudah berlangsung selama satu jam. Banyak sekali kertas laporan yang Eiljung bawakan untuk menjelaskan semua yang ia dapatkan selama satu tahun lebih di luar istana.
Setelah acara makan siang bersama, ketiga laki-laki itu pun berpindah tempat ke ruang kerja Louvien. Bagaimana dengan Azaella? Sekarang dia sedang menata bunga di taman, melakukan kegiatan yang biasa ia lakukan. Ia sadar, dia tidak boleh ikut campur dalam urusan mereka.
"Tidak mungkin. Itu hanya dongeng. Bukan kisah asli yang di tulis seperti dongeng." Louvien melempar pelan kertas terakhir. Mengacak rambutnya. Yang ia maksud 'tidak mungkin' adalah tentang dongeng Two World yang sangat terkenal. Dongeng penuh fantasi yang membuat semua orang membuat imajinasinya sendiri. Louvien pernah di ceritakan kisah ini, dua kali. Yang pertama oleh ibu Jimchean saat ia menginap saat kecil, yang kedua oleh ibunya seminggu sebelum meninggal. Walaupun hanya dua kali mendengar cerita itu, Louvien masih hafal dengan jalan ceritanya. Memang berbeda dengan Azaella yang selalu diceritakan dongeng ini setiap harinya.
"Aku juga beranggapan seperti itu, Vi." Eiljung angkat bicara. "Makanya aku dan lainnya terus menyelidikinya. Namun hasilnya tetap sama saja. Raja dan Ratu meninggal, di bunuh oleh penjaga dari Two World itu. Entah dari kerajaan lightworld atau kerajaan darkworld. Orang tuamu memiliki satu hal yang mereka incar. Semua bukti tertuju pada fakta ini. Mulai dari para warga yang melihat sebuah kilatan cahaya dari bangunan kuno yang sekarang menjadi reruntuhan karena kilatan cahaya itu, delapan belas tahun yang lalu. Lalu, kehadiran seorang perempuan yang memiliki paras cantik bagaikan malaikat yang diyakini para warga bukan seorang manusia. Bahkan ada yang bersaksi kalau perempuan itu pernah bertamu dan menanyakan tentang reruntuhan kuno itu.
'apa ada yang datang?'
'apa ada seseorang yang memiliki badan bla bla bla, mata berwarna bla bla bla...'
Pokoknya seperti itu. Seorang bapak-bapak juga bersaksi kalau ia melihat sepasang suami-istri berdebat dengan seorang pria berwarna rambut gelap dengan tinggi badan dan tubuh yang bukan seperti manusia. Entah apa yang mereka bahas, katanya sepasang suami-istri itu terlihat ketakutan tapi mencoba untuk melawannya."
"Mungkin pria itu adalah orang yang sama dengan orang yangg datang waktu itu, Vi."
Louvien mengingat. Benar! Adiknya juga pernah bilang kalau orang itu bukan manusia, melainkan iblis. "Tapi, bisa sajakan para warga berbohong." Bagaimanapun juga, logika harus dipakai saat ini. Jangan hanya mengandalkan cerita orang lain.
Eiljung menghela nafas, "tapi dari caranya mereka bercerita tidak seperti itu. Terlalu detail dan jelas. Mereka tak mungkin bisa mengarang cerita sedetail dan sejelas itu."
"Lalu, sekarang kita harus apa? Aku sudah membiarkan orang yang mungkin membunuh kedua orang tuaku pergi begitu saja. Apa kita harus mencarinya, dan membunuhnya?" Louvien bertanya pada kedua sahabatnya.
"Itu tidak mungkin Vi. Dia bukan manusia bukan? Dan berasal dari dunia yang semua orang yang hidup disana memiliki kekuatan magis. Sudah pasti kita akan kesulitan. Kehebatan bertarung kita masih kurang." Jimchean berpendapat.
"Mungkin kita bisa meminta bantuan seseorang," ujar Eiljung. "Mungkin saja kita bisa meminta bantuan pada perempuan itu. Ingat! Yang membunuh adalah seorang pria dan yang datang waktu keistana pria. Berarti kemungkinan besar, perempuan itu ada di pihak kita."
"Kenapa kau yakin kalau perempuan itu berada dipihak kita, Jung? Bisa jadi ia komplotan pria iblis itu. Dan juga, kenapa kau bisa menyimpulkan kalau yang membunuh itu orang yang katamu berasa dari Two World. Itu hanya dongeng belaka. Semua orang tahu itu--"
"Tapi mereka tidak." Eiljung memotong pembicaraan Jimchean. "Para warga sekitar reruntuhan itu berbeda dengan kita dan yang lainnya, yang menganggap Two World hanyalah sebuah dongeng. Kau tahu kan kalau dongeng itu hanya tersebar dari lisan ke lisan, tidak tahu pasti asalnya darimana. Dan ya, ternyata dari desa itu. Konon katanya leluhur mereka dipercaya sebagai penjaga gerbang antara dunia kita dan Two World. Tapi karena ada satu dua hal, gerbang itu di tutup selamanya. Dan demi mempertahankan Two World dalam ingatan orang-orang, mereka mulai menyebarkan cerita tentang Two World sebagai dongeng. Percayalah padaku, kalau apa yang mereka katakan padaku, yang tertulis dilaporan-laporan ini benar adanya."
"Kalau memang seperti itu, sekarang kita harus apa?" Jimchean menatap Louvien dan Eiljung bergantian.
"Sebentar--" Louvien mengusap kasar wajahnya. "Jung, apa benar perempuan yang mungkin berada dipihak kita ini memiliki mata berwarna biru terang?"
Eiljung mengangguk pelan. "Benar. Matanya memiliki warna biru terang, seperti warna langit biru, kalau kita melihatnya terlalu lama kita bisa terasa tenggelam kedalam birunya lautan.
Louvien menghela nafas kasar. "Sebenarnya, saat pria aneh yang datang ke istana hari itu pergi, aku melihat mata Azaella berubah menjadi warna biru. Biru terang seperti permata. Saat aku melihatnya, aku merasa kalau yang berada disampingku saat itu bukan adikku. Auranya sangat berbeda." Louvien kembali mengusap kasar wajahnya. "Dulu, ibuku selalu berkata. 'sayangi Azaella seperti adikku sendiri'. Azaella, kan memang adikku. Tapi, kalau dipikirkan lagi, apa memang benar ia adikku? Aku sangat tidak ingin berpikir seperti ini. Aku sangat tidak ingin meragukan Azaella seperti ini."
"Apa mungkin ini juga ada hubungannya dengan penyakit Azaella?" Louvien dan Eiljung spontan menatap Jimchean. "Penyakit Azaella juga sangat aneh. Tabib selalu mengatakan kalau tidak ada yang salah pada Azaella secara fisik. Ia sudah sehat. Tapi ada yang aneh, entah apa itu. Bukankah ini juga bisa jadi berkesinambungan dengan kasus ini? Maksudku semuanya seperti tertuju pada satu hal,
Azaella."