Seno telah sampai di rumah Aldo. Ia harap teman satu panggungnya itu belum tidur pulas. Satu-satunya teman yang rumahnya dekat Diadjeng adalah Aldo. Ia telah menghubungi Aldo sebelumnya dan memang Aldo belum tidur. Semoga saja saat ini Aldo masih terjaga. Seno menekan bel pagar rumah Aldo. Tiga kali Seno menekan bel rumah Aldo. Tak lama Aldo muncul dari balik pintu rumahnya dengan mengenakan celana pendek hitam serta kaus kutang putih, Aldo membuka pagar.
"Taruh dalam gih, motormu. Maaf kalau lama buka pagarnya. Dari mana kamu Sen?" tanya Aldo sembari membuka pagar.
"Dari rumah Ajeng. Sepurane, ngrepotne pas yamene. Awakmu wis turu tah mau?" tanya Seno memastikan. Ia sebenarnya tak enak bertamu malam-malam di rumah Aldo, walaupun mereka sudah berteman cukup lama.
"Belum, untung kamu telepon. Kalau enggak telepon, ngorok aku dari tadi. Kita ngobrol di kamar ya. Anak-anak perlu tak kabari enggak, Sen? Kowe perlu saran saka arek-arek ora?" tanya Aldo karena ia menganggap jika masalah Seno sangat serius dan butuh saran dari teman-teman bandnya. Seno mengangguk. Jika dua kepala yang memikirkan hal ini mungkin akan lama. Tetapi dengan banyak kepala, mungkin dapat membantunya menemukan jalan keluar.
"Do, aku kalah karo Ibune Ajeng," kata Seno membuka cerita panjangnya malam itu.
"Sek, sek, mengko wae ceritane. Wis mangan gurung? Ibuku masak bakso, mangan sek wae yoh? Aku gurung mangan."
"Gurung, Do. Enggak isok mangan yen wis ngene, kepikiran terus awakku." Aldo menutup pintu rumahnya. Ia berjalan ke meja makan. Ia mengambil dua mangkuk lalu memberikan satu pada Seno.
"Sen, mangan disik yoh. Kancani mangan ben kuat cerita mengko." Tak ada pilihan lain, Seno dan Aldo makan sejenak di ruang makan. Rumah Aldo malam itu nampak sepi. Seno tidak melihat ibu Aldo dan bapaknya di rumah.
"Bapak, ibumu pergi ke mana, Do? Kok sepi sekali rumahmu," tanya Seno yang melihat rumah Aldo sepi sekali. Biasanya adik Aldo akan keluar jika Seno dan teman temannya itu keluar. Sinar, adik Aldo sering ikut melihat Band Gokil latihan. Terlebih jika Panji ikut, dua orang ini cukup dekat namun tidak ada status yang jelas.
"Mereka ke rumah mbahku, adikku ya ikut ke sana. Mungkin sebentar juga pulang. Itu kayaknya suara sepedanya. Sebentar, aku buka pagar dulu ya!" kata Aldo. Ia lantas pergi meninggalkan Seno sendiri.
"Bu, Pak, Seno dan teman-teman Aldo main ke sini. Mungkin juga nginap, enggak apa ya?" tanya Aldo meminta izin sekalian pada ayah dan ibunya. Bapak memarkir sepedanya dekat motor Seno lalu melepas helmnya. Ibu Aldo berpesan supaya anaknya itu tidak begadang karena temannya menginap di rumah, "Enggak apa, asal tidurnya jangan subuh-subuh. Toh kamu besok kuliah pagi kan?" kata Ibu Aldo mengingatkan kembali akan tanggung jawab analnya.
"Nggih, Bu. Aku kandha kanca-kancaku supaya ora turu bengi-bengi."
"Cuma Mas Seno saja, Mas? Mas Panji ada enggak?" tanya Sinar seperti biasa. Ketika grup band Aldo berkumpul, orang pertama yang selalu ia tanyakan adalah Panji. Di samping karena hubungan mereka yang mulai dekat, juga karena Panji pernah membantunya dalam mengerjakan tugas sekolahnya.
"Belum datang yang lain. Mending kamu buatkan teh hangat, Nar."
"Siap Mas, tapi nanti aku nimbrung ngobrol ya? Yah mas ya? Biar bisa ngobrol sama mas Panji, boleh kan mas?" Aldo menggeleng. Kalau adiknya ikut bisa-bisa Seno batal cerita. Bisa jadi ia dan anak-anak justru menyaksikan adiknya dan Panji bermesraan.
"Enggak usah. Seno mau cerita masalah pribadi, kamu kalau mau PDKT sama Panji, mendingan cari waktu lain saja. Toh udah kuberi nomor HP-nya." Sinar langsung cemberut. Ia lalu meninggalkan Aldo di teras dan langsung ke dapur membuatkan teh. Sementara itu, Ibu Aldo berpesan pada anaknya, "Jangan merokok di dalam kamar ya! Ibu enggak suka aroma rokok, kalau merokok ya di teras saja."
"Iya, Bu," ujar Aldo menuruti pesan ibunya. Ibu dan bapak Aldo masuk ke rumah. Mereka sempat bertemu Seno dan bersalaman dengan Seno.
"Pak, Bu, mangga dhahar rumiyin."
"Iya, silakan dinikmati. Om sama Tante sudah makan tadi. Tambah loh ya, jangan sungkan-sungkan." Seno tersenyum mengangguk. Aldo segera duduk di sampingnya lalu melanjutkan makan malamnya. Saat makan Seno tidak membahas soal permintaan ibu Diadjeng , setidaknya ia ingin agar makan malamnya dapat dinikmati dengan tenang dan nyaman.
"Aldo, permisi, Aldo! Do, Aldo!" sapa seorang pria dari luar teras.
"Mending buka dulu pagarnya, Do. Mungkin itu Danu sama Panji."
"Nar, kamu buka pintunya. Kayaknya Panji sama Danu." Sinar yang sibuk membuat teh segera beranjak dari dapur. Ia memberikan teh Seno dan Aldo lebih dahulu baru ke teras membuka pagar.
"Malam Mas Panji!" sapa Sinar pada Panji saja. Danu yang merasa tidak digubris segera berkomentar, "Lah aku enggak disapa, Nar?" protes Danu mendadak merasa tak diacuhkan.
"Eh, iya Mas Danu. Mari silakan masuk!" kata Sinar mempersilahkan Danu dan Panji masuk. Panji dan Danu segera masuk. Mereka memarkir sepedanya di dekat motor bapak ibu Aldo. Belum lama mereka masuk, Aldo keluar ke teras.
"Cepet banget udah datang. Kebetulan, aku dan Seno lagi makan bakso. Ndang mlebu, mangan bareng. Mumpung gurung entek baksone!"
"Oke siap, bos! Seno wis ket mau tah tekane?" tanya Panji pada Aldo.
"Ora, barusan kok. Dia juga baru selesai makan," jelas Aldo pada kawannya yang baru datang.
"Wah pas iki, aku gurung mangan!" kata Panji. Danu menggeleng mendengar komentar temannya itu, "Mangan tok terus sing dipikir! Eling, wetengmu, Nji!" ujar Danu sambil memukul pelan perut temannya itu yang mulai membesar.
"Enggak apa, jangan sungkan ya Mas Panji. Mas makan saja yang banyak, tetep ganteng kok meskipun gemuk," kata Sinar membela gebetannya itu. Danu berdecak kesal dan memberi sindiran, "Haduh, iya, iya. Repot emang yang lagi jatuh cinta gini."
"Betul, dek Sinar. Lemu Yoh, urusan mburi! Sen! Gimana, ceritanya? Ibune Ajeng njaluk apa wae nang awakmu?" tanya Panji langsung tanpa basa-basi.
"Wis mangano disik. Aku cerita yen kabeh wis padha mari mangan wae," ucap Seno pada Panji.
Danu dan Panji segera merapat ke meja makan. Mereka mengambil mangkuk bakso dan bergabung makan dengan Seno dan Aldo. Sinar masih berada di ruang makan. Ia masih ingin berlama-lama melihat Panji.
"Dek, buatkan minum untuk Danu sama Panji," pinta Aldo pada saudarinya itu.
"Mas Panji mau minum apa? Ada susu, ada soda, ada teh, ada jeruk? Pilih yang mana mas?" kata Sinar menawarkan.
"Aku teh hangat saja, Nar. Makasih ya!" pinta Panji ke Sinar. Sinar mengangguk lalu membuatkan teh untuk Sinar. Danu langsung menyambar Sinar, "Aku es jeruk Nar, satu." Sinar menggeleng dan berkata, "Enak saja, lah aku nawari kanggo Mas Panji. Mas Danu ngunjuk teh anget, padha karo Mas Seno lan Mas Aldo." Danu menggelengkan kepala melihat kelakuan adik Aldo. Giliran Panji yang minum ditawari semuanya, giliran dirinya hanya ditawari teh hangat.
"Nar, Sinar, jatuh cinta kok nggarai wong medit seh!" Sinar lalu mencubit lengan Danu keras. Danu berteriak kesakitan karena dicubit Sinar. Hampir saja ia tersedak karena sinar mencubitnya saat mengunyah pentol.
"Aku, Seno mlebu kamar disik. Yen wis mari mangan, deleh dapur piring'e. Mengko aku sing kora-kora. Tak enteni njeru kamar yoh. Nar, teh hangatnya dibawakan ke kamarku saja, ya " kata Aldo pada sobat duanya yang menikmati bakso gratis malam itu. Kini hanya tinggal Panji dan Danu yang masih sibuk menghabiskan baksonya. Sambil menngunyah Danu berkata pada Panji, "Menurut awakmu Seno arep cerita opo yo Dan?" tanya Danu ke Panji. Panji meletakkan sendoknya kemudian ia berkata, "Ya cerita apalagi kalau bukan soal mertuanya. Aku wis tahu ngomong Seno masalah mertuane. Tapi jenenge wis tresna, ya piye meneh. Seno tak suruh medot Ajeng yo ora gelem. Mosok aku arep mekso dekne ben pedot karo pacare?"
"Iyoh se. Pokoknya kalau ada masalah dengan mertua perempuan, aduh ruwetnya setengah mati. Ndisik awakmu karo Rahayu kan masalahne podo karo masalahne Seno kan?" ujar Danu membahas kembali masa lalu Panji. Panji menganggguk. Ia menjelaskan kembali, "Rahayu karo aku pedot ya karena ibunya. Sama persis kok masalahku karo Seno. Ibunya Rahayu enggak setuju kalau calon suami anaknya pekerjaannya sebagai pemain band saja. Sampai berapa tahun pun aku coba buat pertahankan semuanya, tapi nihil. Rahayu juga bukan tipe cewek yang bisa berontak pada ibunya. Ia menuruti semua permintaan ibunya. Akhirnya ya aku yang kalah. Aku menyetujui permintaan ibu Rahayu untuk mengakhiri hubungan kami," jelas Panji panjang. Danu mengangguk paham. Sinar yang masi berada di situ mendengarkan dengan seksama, kemudian ia berkata, "Lah bukannya sekarang mas Panji juga bekerja di kantor swasta?" tanya Sinar. Panji mengangguk, "Iya Nar. Aku sudah bekerja di kantor swasta. Band Gokil juga tetap kujalani toh ya band ini yang membuatku mampu membeli beberapa kebutuhan pentingku. Seno juga sudah mengatur jadwal latihan band kami supaya tidak mengganggu jadwal bekerjaku."
"Oh jadi begitu. Kalau ibuku enggak seperti itu kok, Mas," ujar Sinar kini menjelaskan soal keluarganya. Danu terkekeh mendengar Sinar mendeskripsikan ibunya, "Terus ibumu gimana sih, Nar? Apa yakin dia bisa menerima Panji yang perutnya buncit begitu?" ledek Danu masih seputar perut buncit Panji. Sinar menambahkan, "Ibu selalu menerima apa yang menjadi keputusanku dan mas Aldo. Ibu dan bapak selalu memihak kami berdua kok. Mas Panji enggak perlu khawatir masalah restu, pasti langsung direstuin ibuku," kata Sinar masih membahas restu. Danu menggelengkan kepala lalu berkata, "Kalian berdua pacaran gih, jangan mengumbar mesra di depan orang yang jomblo. Tuh Panji, Sinar sudah menjelaskan kondisi ibunya. Kamu enggak perlu khawatir lagi masalah restu," celetuk Danu. Panji segera membalas celotehan asal temannya itu, "Pacaran itu enggak melulu soal mertua Dan. Masih banyak pertimbangan yang harus aku pikirkan, apalagi jika yang perempuan meminta supaya segera dinikahi. Aku sendiri belum siap untuk itu semua," kata Panji. Panji kemudian masuk ke kamar Aldo. Danu menepuk bahu Sinar dan berkata, "Sabar ya Nar, Panji emang begitu. Pasti sakit banget kan, ditolak di depan orangnya," kata Danu kemudian mengikuti Panji yang masuk ke kamar Aldo. Sinar mendengar itu kesal setengah mati. Maksudnya ia menjelaskan soal ibunya supaya Panji tidak perlu berkecil hati dengan ibunya. Namun, segala usaha Sinar dalam memberikan sinyal-sinyal perasaan ke Panji belum memberikan pertanda yang manis. Sepertinya Sinar butuh waktu yang lama untuk meyakinkan Panji.
*
___________________________
Footnote:
Sepurane, ngrepotne pas ya'mene. Awakmu wis turu tah mau: Maaf, merepotkan saat seperti ini. Apa kamu sudah tidur tadi?
Kowe perlu saran saka arek-arek ora: kamu perlu saran dari teman-teman tidak
Sek, sek, mengko wae ceritane. Wis mangan gurung? Ibukku masak bakso, mangan sek wae yoh? Aku gurung mangan: sebentar, sebentar nanti saja ceritanya. Sudah makan belum?Ibuku masak bakso, makan dulu saja ya? Aku belum makan.
Gurung, Do. Enggak isok mangan yen wis ngene, kepikiran terus awakku: Belum, Do. Enggak bisa makan kalau begini, kepikiran terus aku.
mangan disik yoh. Kancani mangan ben kuat cerita mengko: makan dulu ya. Temani makan, biar kamu kuat cerita nanti
Nggih, Bu. Aku kandha kanca-kancaku supaya ora turu bengi: Iya, Bu. Aku akan bilang ke teman-teman supa
mangga dhahar rumiyin: mari makan dulu
Mumpung gurung entek baksone: selagi belum habis baksonya.
wis ket mau tah tekane: apa sudah dari tadi datangnya?
Wah pas iki, aku gurung mangan: wah, cocok ini, aku belum makan.
Mangan tok terus sing dipikir! Eling, wetengmu: makan terus yang dipikir! Ingat, perutmu
ngunjuk: minum
kanggo: untuk
lan: dan
padha karo: sama seperti
nggarai wong medit seh: membuat orang pelit
mlebu: masuk
disik: dahulu, duluan, lebih dulu
Yen wis mari mangan, deleh dapur piring'e. Mengko aku sing kora-kora. Tak enteni njeru kamar: jika sudah selesai makan, letakkan piringnya di dapur. Nanti aku yang cuci piring. Aku tunggu dalam kamar.