“Dasar bajingan!”
Setelah Aksa mengatakan itu, satu pukulan mendarat di tulang pipi sebelah kananku. Tidak sampai di situ saja, tangan kekar Aksa langsung meraih kerah kemejaku, kemudian menonjok perutku dengan lututnya hingga membuat aku meringis kesakitan.
Ethan dan Hilmy—yang entah datang dari mana—menahan tubuh Aksa agar tidak menyerangku membabi buta. Mereka terus mengatakan bahwa Aksa harus bisa menahan emosinya dan tak luput menydarkan bahwa aku adalah sahabatnya.
"Sabar, Sa. Itu Daniel, sahabat kita. Lo bisa obrolin ini baik-baik. Lo kenal Daniel nggak kemarin. Gue yakin dia punya alasan. Lebih baik kita dengerin penjelasanya dulu. Please ... jangan gegabah."
"Persetan! Gak ada yang bisa menghalangi gue buat menghancurkan orang ini!" Amarah Aksa bergitu bergelora. Suasana belakang gedung fakultas yang sejuk berubah menjadi panas tanpa api. Tensi yang makin naik membuat darah berdesir hebat, seolah-olah siap menelanku dalam kekalahan meski kami tidak sedang berperang.
Gosip menyebar begitu cepat bahkan sebelum jam makan siang dimulai. Tidak semuanya salah, tetapi terlalu dilebih-lebihkan. Aku belum sempat menjelaskan segalanya pada Mara karena apa pun alasannya, selingkuh bukan perbuatan yang dibenarkan. Aku merasa tak berhak membela diriku sendiri. Jadi ketika Mara benar-benar menumpahkan segala emosinya padaku, aku pun menerima. Tidak ada yang salah yang ia katakan. Semuanya yang ia katakan adalah benar.
Aku memang tidak tahu diri.
“Lo jangan diem aja dong, Niel. Lo jelasin, sebenarnya apa yang terjadi? Gosip yang dibilang Mara itu nggak benar, kan? Itu cuma salah paham aja, kan? Lo nggak mungkin sama Mentari, kan?” Ethan terus mendesakku agar bicara. Mungkin ia juga sudah tak tahan lagi dengan keadaan ini. Apalagi sebelumnya antara aku dan Aksa sudah saling menghindar dan mendiami. Padahal persahabatan kami bertiga yaris tak pernah ada pertengkaran. Kalau pun pernah, hanya hal sepele khas anak remaja ingusan.
"Gue bingung mau jelasin dari mana, Than. Bahkan Aksa juga nggak pernah kasih gue kesempatan. Kalau lo tanya tentang gosip yang beredar ... itu benar. Gue dan Mentari memang ada hubungan."
BUGH. Satu pukulan dari Aksa lolos lagi mengenai pipiku hingga meninggalkan bekas kebiruan di sana.
"Ini kenapa jadi begini sih, Anjing!" Ethan mengumpat kasar. Terlalu pusing bercampur bingung sampai-sampai menjambak rambut bagian depannya sendiri. Kemudian memandangiku dan Aksa bergantian. Aku yang masih tergeletak di bawah tanah tak mau bangun, serta Aksa yang masih menatapku dengan napas yang terengah-engah.
“Semua terjadi begitu aja. Ada hari di mana gue nggak sengaja melihat perundungan itu pake mata kepala gue sendiri. Gue pengen banget bilang ke lo meskipun harus ingkar janji pada Mentari yang memohon agar gue merahasiakannya dari semua orang. Karena gue paham ... ada hal di mana seseorang memang tak ingin membaginya dengan siapa pun, termasuk Mentari. Dan gue hargai itu. Tapi percaya sama gue, Mentari melakukan itu biar lo dan keluarga nggak sedih.”
"Pada akhirnya gue tahu. Dan kenyataan itu makin bikin gue sedih. Gue merasa jadi kakak yang nggak berguna karena nggak bisa jaga adek gue sendiri. Gue juga merasa kecewa karena dikhianati sama orang yang udah gue anggap saudara sendiri. Orang yang gue anggap bisa jaga Mentari malah bikin lubang yang jauh lebih dalam lagi. Setelah ini, Mentari akan jadi bulan-bulanan seluruh warga kampus karena di cap PHO."
“Gue berani bersumpah gak pernah punya niat untuk menghkhianati lo atau pun buat Mentari sedih. Tapi—"
"Stop!" potong Aksa cepat. "Udah cukup. Setelah ini gue harap lo nggak pernah muncul lagi di kehidupan gue atau pun Mentari. Gue rasa cukup sampai di sini aja pertemanan kita, Niel."
Aksa putar badan untuk meninggalkan tempat ini, diikuti oleh Hilmy di belakangnya. Aku tak boleh tinggal diam, kemudian berlari mencegah pergerakannya. Namun, lagi-lagi Aksa memukul wajahku hingga tersungkur lagi ke bawah tanah.
"Harusnya lo tahu batasan, Niel. Pantas saja dibuang orang tua lo," ucap Aksa dengan wajah datar.
Seketika aku seperti terkena petir di siang bolong. Bergeming cukup lama sebab tak pernah mendengar ucapan sebegitu menyakitkannya. Sakit sekali hingga rasanya ingin mati.
**
Aku berjalan tertatih ke area parkiran kampus. Ethan tetap setia mendampingiku dan berbaik hati menawarkan diri untuk mengantarkan aku pulang ke kosan. Akan tetapi, aku menolak dengan alasan ingin punya waktu sendiri. Untuk hal seperti ini, Ethan yang paling mengerti. Ia menghargai keputusanku meski kulihat di matanya banyak sekali macam pertanyaan yang ingin ia tanyakan.
Tanganku gemetar mamasang kunci motor hingga terjatuh ke bawah tanah. Namun, ketika ingin mengambilnya, seseorang dengan sepatu pantofel hitam lebih dulu mengambilnya. Bibirku refleks bilang ‘terima kasih’, tetapi ketika tahu siapa sosok yang menolongku, aku sangat menyesal mengatakannya.
Ayah, kenapa dia menemuiku. Sudah jelas bahwa aku memang sedang menghindarinya.
“Tidak mungkin ada orang tua yang tak mengenali anak kandungnya sendiri meskipun anak itu telah tumbuh dewasa dan terlihat jauh berbeda ketika terakhir bertemu.” Ayah menjulurkan tangan memberikan kunci itu, dengan kasar aku menerimanya.
“Tapi saya nggak kenal bapak.”
“Dan mustahil kamu melupakan seseorang yang paling kau benci di dunia ini. Dari matamu, ayah tahu kalau kamu mengingatnya. Bahkan mungkin mengingat segalanya dengan baik.”
“Otak Daniel tidak mati, Yah. Jelas masih mengingat segalanya. Aku masih mengingat semua perlakukan kejam ayah terhadap ibu dan aku. Dan apa aku salah memilih kabur dan menganggap kita nggak pernah ketemu lagi? Karena rasanya sakit sekali.”
Napas ayah sempat tertahan sebentar, kemudian menghembuskannya pelan-pelan. Ia tidak terlihat sama sekali terkejut dengan apa yang aku ucapkan, karena mungkin sudah bisa menebak bagaimana aku meresponsnya.
Kehadiran ayah begitu tiba-tiba. Aku bahkan tak pernah membayangkan hari ini akhirnya datang juga. Tetapi perasaanku sudah jauh berbeda. Aku tak lagi mendambakan sesuatu yang sudah hilang dan usang. Sekian lama berharap membuatku jengah dan lelah. Sesuatu yang aku harapkan membaik nyatanya tak akan pernah kembali ke tempat semula. Benar kata Aksa, aku merasa dibuang dan tak diharapkan lagi.
“Setidaknya beri Ayah kesempatan untuk meminta maaf.”
“Minta maaf?” ulangku lagi dengan tawa yang terkesan dibuat-buat. “Selama ini ayah ke mana saja?”
Ayah diam cukup lama, membuatku tersenyum kecut. Kenapa aku masih di sini, menunggunya menjelaskan sesuatu. Buang-buang waktu saja!
“Waktu Daniel sedang tidak senggang, Yah. Kalau sudah selesai dengan apa yang ingin ayah katakan, Daniel pamit pergi.”
“Perlu bertahun-tahun untuk bisa bertemu denganmu setelah keluar dari penjara, Niel. Dan setelah ayah punya kesempatan itu … Oma dan Om Hari tak pernah mengizinkannya. Ayah juga menderita, Niel. Ayah tak mungkin bisa meninggal dengan tenang jika belum dapat maaf dari kau dan ibumu,” jelas ayah dengan suara bergetar. Ia tak mampu lagi menutupi kesedihannya. Bahkan tak peduli jika banyak orang lalu-lalang di parkiran yang melihatnya.
“Oma? Om Hari?” Kepalaku menggeleng tak percaya. Selama ini mereka tak pernah membicarakan tentang ayah. Karena yang berkaitan dengannya merupakan aib yang harus ditutup rapat-rapat. Teapi aku tak menyangka bahwa mereka benar-benar merahasiakannya dariku.
“Jadi tolong … beri ayah waktu dan kesempatan. Setidaknya kasih ayah kesempatan untuk meminta maaf dengan tulus,” ujar Ayah setengah memohon.