“Setelah keluar dari penjara, ayah harus kabur satu tempat ke tempat lain demi mengindari renternir itu. Ayah keluar pulau jawa, bekerja di sana. Bekerja apa saja. Mengumpulkan pundi-pundi rupiah agar bisa melunasi hutang-hutang. Akhirnya setelah hampir 5 tahun, ayah bisa melunasi hutang itu. Dan tidak mudah untuk ayah datang menemuimu, Niel. Ayah mengumpulkan keberanian untuk menghadapi Oma, Om Hari, atau bahkan kamu yang ayah yakin begitu membenci ayah.”
“Bagaimana bisa Daniel nggak membenci ayah setelah apa yang ayah lakukan pada aku dan Ibu?” Aku bicara menggebu-gebu di bawah pohon rindang yang letaknya tak begitu jauh dari kampus. Aku tak perlu khawatir jika orang mendengar percakapan kami. Orang-orang di sini—yang kebanyakan sudah usia paruh baya—lebih tertarik untuk bermain catur atau pun antre ke tukang cukur rambut. “Luka di badan aku nggak seberapa, Yah. Tapi rasa trauma itu masih membekas sampai sekarang.”
“Ayah tidak akan membela diri karena memang perbuatan ayah memang salah. Selama di dalam penjara, hari demi hari, ayah hidup dalam penyesalan yang amat dalam. Gara-gara ayah, keluarga kita jadi berantakan. Demikian begitu, ayah tetap akan berusaha mendapatkan maaf dari kamu dan ibu. Agar suatu saat nanti jika ayah mati, ayah bisa mati dengan tenang.”
Aku bisa merasakan segala emosi dan rasa penyesalan di dalam diri ayah. Pria yang dulu penuh semangat dan harga diri tinggi itu, kini berlutut di hadapanku. Membuatnya seperti orang yang sangat berbeda. Kulihat air matanya yang hampir tumpah membasahi pipi, ketika bicara pun suaranya bergetar, seolah-olah tak sanggup mengutarakan dosa-dosanya.
Tak ingin membuang waktu untuk menyampaikan niatnya, ayah merogoh kantong jaketnya. Ia mengambil ponsel, lalu memberikannya padaku. Sebelah alisku terangkat, bingung dengan apa yang dilakukan ayah.
“Semoga ini bisa membantu memperbaiki namamu dan perempuan yang kau sayangi, Niel.”
Aku langsung mengambil ponsel milik ayah, dan melihat beberapa foto yang membuat mataku membelalak tak percaya. “Dari mana ayah mendapatkan foto ini?”
**
“Andai saat itu lo nggak bawa-bawa almarhum Oma atau Mentari ... mungkin gue akan diam saja. Karena gue memang salah. Tapi lo tahu kan kalau gue nggak pernah peduli tentang penilaian orang lain terhadap gue? Jadi, aksi lo di kantin kemarin, itu nggak ada pengaruhnya di hidup gue.”
Aku memberanikan diri datang ke kantin FRSD, tempat di mana Mara sedang menghabiskan waktu makan sorenya di sana. Semua orang mulai memperhatikanku yang berjalan tertatih dengan wajah babak belur.
Mara memutar bola matanya malas. Ia bangkit dari kursi, lalu berjalan mendekatiku tanpa sedikit ragu atau pun ketakutan. Aku tersenyum simpul, puas dengan ekspresi kemenangan yang dipancarkan olehnya. Kita lihat saja nanti. Apakah setelah ini, ia masih bisa tersenyum?
“Lo sadar nggak sih kalau kedatangan lo ke sini cuma bikin citra lo dan cewek murahan itu makin buruk? Kalau udah ketahuan salah, diem aja. Lo mau nantangin gue?"
Tentu saja pertanyaan itu terdengar lucu di telingaku. Banyak orang yang berkerumun, menjadikan kami objek tontonan gratis. Orang-orang memang gemar sekali mengurusi urusan orang lain.
Tanpa berniat basa-basi lagi, aku merogoh ponselku, dan mempelihatkan layarnya ke hadapan Mara. Persis seperti yang ia lakukan kepadaku beberapa hari lalu. Mara sangat terkejut dengan apa yang ia lihat, begitu pun dengan orang-orang di kantin yang langsung riuh.
“Mungkin lo lupa sama peribahasa sepintar-pintarnya menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga baunya. Gue gatau harus sedih atau seneng sama berita yang gue baru dapet. Kecurigaan gue selama ini benar. Lo emang ada main sama Aris. Bahkan sebelum gue sama Mentari. Lihat foto ini … kalian begitu mesra untuk ukuran seseorang yang katanya berteman? Terlalu intim untuk sekadar teman satu divisi. Secara gak langsung ... lo juga udah selingkuh. Dan hal yang bikin gue seneng ... ternyata lo nggak ada bedanya sama gue, Ra. Sama-sama bajingan."
“Dari mana lo—”
“Foto ini diambil pakai ponsel Aris. Jelas ini koleksi pribadinya. Tapi kalau lo tanya dari mana gue mendapatkan ini semua … lo harus usaha lebih keras untuk memecahkannya seorang sendiri.” Aku berjalan selangkah demi selangkah. Ingin melihat wajah angkuh itu berubah menjadi wajah ketakutan bercampur malu. Aku ingin melihat wajah itu lebih dari sekadar itu. “Jadi, jangan berpikir lo lebih baik dari gue atau pun Mentari. Jangan merasa seolah-olah lo korban, dan gue pelakunya. Sekarang … kita impas.”
Sesaat Mara bergeming, tubuhnya mematung. Ia hampir menangis karena merasa dipermalukan di depan banyak orang. "HIDUP LO AKAN HANCUR, NIEL!"
Aku menunggingkan senyum miring. "Silakan. Sebelum ini pun, hidup gue sudah hancur kok." Setelah selesai dengan urusanku, aku berjalan pergi meninggalkan kantin dengan perasaan asing dan baru.
Ayah melakukannya untukku. Selama ini beliau sudah tahu keberadaanku dan diam-diam sering memperhatikan dari jauh. Setidaknya ayah tahu tentang apa saja keseharianku dan tentunya tentang Mara.
Keberuntungan sedang memihak. Ayah bekerja di keluarga Aris dan belakangan menjadi supir pribadinya. Tentu ayah tahu tentang perselingkuhan mereka di belakangku. Bahkan selama "renggang" hubungan mereka makin parah dan diluar batas pada umumnya.
Entah apa yang ayah pikirkan ketika ia memperlihatkan foto-foto itu. Tapi yang aku tangkap, ayah ingin aku melakukan sesuatu. Yaitu, memperlihatkan fakta baru. Agar semua orang tahu bahwa bukan hanya aku dan Mentari saja yang bajingan di sini.
Meskipun begitu, aku tak membenarkan bahwa sikapku benar. Selingkuh itu salah. Apa pun alasannya.
Aku banyak mengurung diri dalam kamar kos. Bersembunyi dari masalah-masalah yang datang. Lagi pula tak ada lagi hal yang bisa aku lakukan. Sahabatku pergi, dan aku juga tak bisa manggung di kafe lagi.
Ponselku terus berdering, menampilkan nomor tak dikenal di layarnya. Sejak dua jam lalu nomor itu terus menerorku. Tak lama, pintu kosanku digedor dengan tergesa. Kudengar Ethan memanggil-manggil namaku. Tadinya ingin aku diamkan saja. Tetapi Ethan tidak begitu saja menyerah. Ia bilang tahu aku ada di dalam. Ia ingin aku segera membuka pintunya karena ada berita penting yang ingin ia sampaikan.
Akhirnya menyerah. Kuseret kakiku pada lantai kotor penuh dengan puntung rokok dan abunya yang berserakan. Kubuka pintu, lalu menemukan sosok Ethan dengan mata berkaca-kaca, dan tubuhnya penuh dengan keringat hingga membuat kaosnya basah.
“Ada apa, Than?” Aku ikutan panik. Selama mengenal Ethan, aku tak pernah melihat ia begitu ketakutan begini.
“Aksa, Niel. Aksa ditangkap polisi.”
“Hah?”