Loading...
Logo TinLit
Read Story - Luka Dan Perkara Cinta Diam-Diam
MENU
About Us  

"Makasih udah nemenin gue ya, Tar. Maaf kalau hari ini kesannya gue cengeng banget." Setelah makan malam di warung pecel ayam langganan, kami berjalan beriringan. Daniel bersikukuh mengantarkanku pulang ke rumah meskipun aku menolak. Padahal jarak yang harus di tempuh lumayan jauh dengan berjalan kaki sebab Daniel meninggalkan motornya di parkiran kampus.

Kepalaku mengangguk pelan diiringi seutas senyum tipis. Lalu kami lanjut berjalan kaki sembari memandangi gelap malam yang penuh bintang.

"Terus, Kak Daniel sama Mas Aksa gimana?"

Pertanyaanku sempat membuat langkah Daniel terhenti beberapa saat, lalu kembali mensejajarkan langkahnya dengan denganku yang berada di depannya. "Aksa masih marah. Gue bingung mau jelasin gimana. Udah jelas kan kalau gue emang menyembunyikan sesuatu. Wajar kalau dia kecewa."

"Tapi itu karena Kak Daniel berusaha nepatin janji ke gue untuk merahasiakan ini semua. Harusnya Mas Aksa marahnya ke gue, bukan ke lo."

Daniel masih bergeming, memasukan kedua tangannya ke kantung jaket, seolah ia telah kehilangan kata-kata dan tak mau membahas tentang hal ini. Karena mungkin saat ini kepalanya sedang banyak pikiran yang bercabang. Masalah datang silih berganti, sepertinya takdir sedang mempermainkan perasaannya.

"Tar ... menurut lo, hubungan kita itu apa?"

Kali ini pertanyaan Daniel mampu membuat langkahku terhenti.  Entahlah, aku juga tidak mengerti. Hubungan kami terasa begitu complicated.  Dibilang teman, kami lebih dari sekadar itu. Dibilang lebih, selama ini Daniel juga tidak pernah mengungkapkan perasaannya padaku.

"Gue nyaman kalau ada di dekat lo, Kak. Gue juga nggak keberatan meskipun lo punya pacar."

"Serius, Tar?" Daniel menggeleng tidak percaya dengan perkataan yang barusan keluar dari bibirku. "Setiap kali gue ketemu lo, gue merasa bersalah. Gue takut kalau lo mikir yang macem-macem. Gue takut lo mikir kalau gue cuma mempermainkan lo, manfaatin lo. Dan gue takut kalau lo bakal menghindar dan menjauh."

"Kok bilangnya gitu?"

"Ya ... maksudnya ... lo tahu kalau gue pacaran sama Mara. Gue belum putus sama dia. Terus gue malah deketin lo. Gue takut lo mikir macem-macem. Sekarang gini deh, mana ada sih cewek yang mau dijadiin yang kedua?"

"Ada. Contohnya gue," balasku dengan mantap, membuat tubuh Daniel yang berada di depanku berbalik dengan wajah yang terkejut. "Gue nggak terlalu peduli dengan status kok. Yang terpenting itu lo, Kak. Ada lo di sisi gue, udah buat gue bahagia banget."

Daniel tak mampu berkata apa-apa lagi, namun matanya bisa menjelaskan segalanya. Ia langsung berlari dan memeluk tubuhku erat di bawah lampu jalanan kota. Jari-jari tangannya membelai surai rambutku lembut, kecupan bibirnya di dahiku terasa tulus. Daniel tak henti-hentinya mengucapkan kata terima kasih karena aku hadir di hidupnya.

Aku bisa merasakan ketulusan Daniel kepada orang-orang yang membersamainya.  Sebab sejak dulu, hanya itu yang ia rindukan "kasih sayang." Daniel hanya perlu orang yang menemaninya. Sebab sejatinya, ia telah kehilangan suatu hal yang membuat hatinya terluka hingga saat ini.

Kebersamaan kami tidak berlangsung lama sebab jarak rumah sudah dekat. Sesuai perjanjian awal, Daniel hanya mengantarkan aku sampai di depan gerbang komplek karena tak mau jika Mas Aksa sampai mengetahuinya. Sebelum berpisah, tangan Daniel menggenggam tanganku lalu berkata, "Tidak sedikit orang datang untuk menasehati, untuk menghakimi atas permasalahan kita. Padahal tiap manusia nggak berada di dalam koci kehidupan yang sama. Terima kasih untuk menemani tanpa menggurui atau bahkan menghakimi, Tar.  Terima kasih untuk mau mendengarkan."

"Dan terima kasih karena udah percaya sama gue, Kak," balasku diselingi senyuman tulus.

"Tetap semangat, ya! Kita bisa lewatin ini bareng-bareng."

Daniel melambaikan tangannya, sementara aku kembali melanjutkan perjalanan ke rumah yang tinggal beberapa kilo saja. Dan betapa kagetnya ketika orang pertama yang kulihat pertama di depan rumah adalah Iren, sahabat baikku.

"Iren!!!!!"

"Mentari!!!"

Seperti orang-orang yang sudah lama yang tak bertemu, kami pun berpelukan erat. "Lo apa kabar, Tar?"

**

Hal yang paling aku takutkan akhirnya terjadi: Mara mengetahui hubunganku dengan Mentari. 

 Mara datang ke fakultasku dengan mata sembab khas habis menangis. Aku yang kebetulan pada saat itu sedang di kantin bersama Ethan pun menatapnya dengan penuh kekhawatirkan. Aku refleks bertanya ada apa, tanpa menjawab Mara pun mendorong tubuhku hingga tersungkur ke bawah lantai.  Hal dramatis itu begitu mengejutkan sekaligus menyita perhatian banyak orang, termasuk Ethan. 

"Gue menurunkan harga diri gue untuk datang ke sini. Sebenarnya gue nggak kepengen melakukan hal ini. Tapi nggak bisa, rasanya gue mau meluapkan segala amarah gue detik ini juga. Lo tega banget ya sama gue, Niel! Gue pikir selama ini lo setia. Tapi ternyata dibelakang gue lo malah selingkuh sama Mentari!"

Mara langsung mengambil ponsel untuk membeberkan bukti yang baru saja didapatnya. Ia menunjukan beberapa tangkap foto pada layar ponsel, lalu menunjukannya padaku. Foto itu diambil beberapa hari lalu, ketika aku mengantarkan Mentari pulang ke rumah. Masih jadi misteri, dari siapa Mara mendaparkannya. Di dalam foto itu aku sedang memeluk tubuh Mentari erat di bawah lampu jalanan. Makin saja suasana kantin menjadi gaduh, sumpah serapah mereka tak bisa terbendung lagi. Ethan dengan sigap datang memapah tubuhku untuk berdiri, sementara aku masih shock dengan apa yang barusan saja terjadi. Aku tak peduli jika sumpah serapah itu ditujukan padaku, tetapi hatiku sakit tiap kali nama Mentari dikait-kaitkan. 

"Betapa shock-nya gue saat pertama kali tahu. Mentari yang kelihatannya polos tetapi binal juga. Bisa-bisanya dia godain cowok orang. Pantes dia di bully. She's deserve that. Pencuri, dan sekarang jadi pelakor!"

"Kita bisa bicarain ini baik-baik, Ra. Lo sama Daniel ... kalian bisa bicarain ini empat mata saja. Tapi nggak di sini. Liat ... kalian udah kayak tontonan gratis di sini." Ethan berusaha bersikap bijak. Sebagai seorang sahabat, ia tak selalu memihak di antara kami. Ethan akan selalu membela yang ia anggap benar, dan memilih diam jika merasa tak cukup tahu dengan masalah yang terjadi. 

"Biar saja. Biar semua tahu kalau Daniel itu cowok bajingan dan Mentari itu cewek murahan. Bisa-bisanya kalian pura-pura berteman baik, tapi ternyata ada main di belakang gue."

"Lo boleh menghina gue, tapi nggak dengan Mentari." Hanya itu yang bisa aku ucapkan meskipun banyak hal yang ingin aku katakan. Seolah-olah kata-kata itu tersangkut di dalam kerongkonganku tak mau keluar.

"Gila, ya! Bisa-bisanya lo masih bela dia. Bener kata Aris, harusnya gue nggak perlu sedih begini. Cowok nggak tahu diri kayak lo cocoknya emang sama cewek nggak tahu malu kayak Mentari. Kalian berdua emang pasangan serasi!"

"Gue minta maaf kalau udah buat lo kecewa, Ra. Gue emang salah. Gue udah nyakitin lo dengan cara kayak begini."

Mara tertawa sarkas, wajahnya terkesan merendahkanku. "Asal lo tahu ya, Niel. Lo nggak perlu merasa di atas awan gitu karena udah nyakitin gue. Sejak awal, perasaan gue ke lo pure cuma rasa penasaran aja. Gue kira lo emang beda kayak cowok lainnya, tetapi ternyata nggak ada bedanya. Inget ya, tanpa gue ... mungkin dari dulu lo hidup udah hancur. Keluarga lo hancur berantakan. Oma yang mengasuh selama ini meninggal dunia. Dan mungkin lo ggak akan bisa manggung buat dapetin uang tambahan. Harusnya lo sadar posisi lo di mana!"

"Mara, lo udah keterlaluan banget!" Ethan sudah tak bisa tahan lagi mendengar aku begitu direndahkan. Ia masih setia memapah pundakku yang sudah naik turun menahan segala emosi yang kutahan agar tak keluar.

"Jangan coba ikut campur dalam masalah ini, Than. Gue sama sekali nggak minta pendapat lo. Apa yang gue lakukan hari ini untuk mempermalukan Daniel, nggak akan sebanding dengan rasa sakit yang gue terima." Mara sedang dipenuhi amarah. Sangat wajar jika begitu. Meski tak mengungkapkan perasaanku pada Mentari, tetapi perasaanku memang sudah kubagi dengannya. Dan meski aku ingin teriak dan marah, rasanya aku memang tak berhak. "Lo akan menyesal, Niel. Gue bersumpah!" Itu kata-kata terakhir yang kudengar dari Mara sebelum akhirnya ia meninggalkan kantin FISIP yang berubah hening dan terasa dingin. 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Play Me Your Love Song
4494      1599     10     
Romance
Viola Zefanya tidak pernah menyangka dirinya bisa menjadi guru piano pribadi bagi Jason, keponakan kesayangan Joshua Yamaguchi Sanjaya, Owner sekaligus CEO dari Chandelier Hotel and Group yang kaya raya bak sultan itu. Awalnya, Viola melakukan tugas dan tanggung jawabnya dengan tuntutan "profesionalitas" semata. Tapi lambat laun, semakin Viola mengenal Jason dan masalah dalam keluarganya, sesu...
Cinta Pertama Bikin Dilema
5017      1383     3     
Romance
Bagaimana jadinya kalau cinta pertamamu adalah sahabatmu sendiri? Diperjuangkan atau ... diikhlaskan dengan kata "sahabatan" saja? Inilah yang dirasakan oleh Ravi. Ravi menyukai salah satu anggota K'DER yang sudah menjadi sahabatnya sejak SMP. Sepulangnya Ravi dari Yogyakarta, dia harus dihadapkan dengan situasi yang tidak mendukung sama sekali. Termasuk kenyataan tentang ayahnya. "Jangan ...
When Magenta Write Their Destiny
6028      1636     0     
Romance
Magenta=Marina, Aini, Gabriella, Erika, dan Benita. 5 gadis cantik dengan kisah cintanya masing-masing. Mereka adalah lima sahabat yang memiliki kisah cinta tak biasa. Marina mencintai ayah angkatnya sendiri. Gabriella, anak sultan yang angkuh itu, nyatanya jatuh ke pelukan sopir bus yang juga kehilangan ketampanannya. Aini dengan sifat dingin dan tomboynya malah jatuh hati pada pria penyintas d...
Pacarku Arwah Gentayangan
5783      1736     0     
Mystery
Aras terlonjak dari tidur ketika melihat seorang gadis duduk di kursi meja belajar sambil tersenyum menatapnya. Bagaimana bisa orang yang telah meninggal kini duduk manis dan menyapa? Aras bahkan sudah mengucek mata berkali-kali, bisa jadi dia hanya berhalusinasi sebab merindukan pacarnya yang sudah tiada. Namun, makhluk itu nyata. Senja, pacarnya kembali. Gadis itu bahkan berdiri di depannya,...
Untuk Takdir dan Kehidupan Yang Seolah Mengancam
760      518     0     
Romance
Untuk takdir dan kehidupan yang seolah mengancam. Aku berdiri, tegak menatap ke arah langit yang awalnya biru lalu jadi kelabu. Ini kehidupanku, yang Tuhan berikan padaku, bukan, bukan diberikan tetapi dititipkan. Aku tahu. Juga, warna kelabu yang kau selipkan pada setiap langkah yang kuambil. Di balik gorden yang tadinya aku kira emas, ternyata lebih gelap dari perunggu. Afeksi yang kautuju...
Rewrite
9187      2670     1     
Romance
Siapa yang menduga, Azkadina yang tomboy bisa bertekuk lutut pada pria sederhana macam Shafwan? Berawal dari pertemuan mereka yang penuh drama di rumah Sonya. Shafwan adalah guru dari keponakannya. Cinta yang bersemi, membuat Azkadina mengubah penampilan. Dia rela menutup kepalanya dengan selembar hijab, demi mendapatkan cinta dari Shafwan. Perempuan yang bukan tipe-nya itu membuat hidup Shafwa...
Love Al Nerd || hiatus
133      105     0     
Short Story
Yang aku rasakan ke kamu itu sayang + cinta
Aku Benci Hujan
7056      1861     1     
Romance
“Sebuah novel tentang scleroderma, salah satu penyakit autoimun yang menyerang lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki.” Penyakit yang dialami Kanaya bukan hanya mengubah fisiknya, tetapi juga hati dan pikirannya, serta pandangan orang-orang di sekitarnya. Dia dijauhi teman-temannya karena merasa jijik dan takut tertular. Dia kehilangan cinta pertamanya karena tak cantik lagi. Dia harus...
Mendadak Halal
8042      2199     1     
Romance
Gue sebenarnya tahu. kalau menaruh perasaan pada orang yang bukan makhramnya itu sangat menyakitkan. tapi nasi sudah menjadi bubur. Gue anggap hal ini sebagai pelajaran hidup. agar gue tidak dengan mudahnya menaruh perasaan pada laki-laki kecuali suami gue nanti. --- killa. "Ini salah!,. Kenapa aku selalu memandangi perempuan itu. Yang jelas-jelas bukan makhrom ku. Astagfirullah... A...
Premium
RESTART [21+]
9304      3238     22     
Romance
Pahit dan getir yang kurasa selama proses merelakan telah membentuk diriku yang sekarang. Jangan pernah lagi mengusik apa yang ada di dalam sini. Jika memang harus memperhatikan, berdirilah dari kejauhan. Terima kasih atas semua kenangan. Kini biarkan aku maju ke depan.