Read More >>"> Luka Dan Perkara Cinta Diam-Diam (16 - Ciuman Pertama) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Luka Dan Perkara Cinta Diam-Diam
MENU
About Us  

Aku mengendari motor, berkeliling ibu kota tanpa tujuan yang jelas. Meredam emosi yang masih meluap-luap ketika mengingat wajah ibu. Ponselku pun tak berhenti bergetar. Mungkin panggilan dari Om Hari, Tante Asih, atau pun ibu. Enntahlah, aku sudah tak peduli.

Sudah hampir 5 jam aku bekendara. Hari sudah makin larut, rasa lelah juga sudah mulai menjalar ke seluruh tubuhku. Tanpa sadar aku masih terus melajukan motor ke suatu tempat, yaitu rumah Mara.

Mara pendengar yang baik. Rasa empatinya sering membuatku nyaman untuk menceritakan keluh kesah. Memang tak selamanya ia memberikan nasihat, tetapi kehadirannya mampu membuat hatiku menghangat dan merasa jauh lebih baik. 

Dari kejauhan, kupandangi rumah tingkat dua berpagar hitam itu. Terlihat hidup karena orang di dalamnya penuh cinta dan kasih sayang. Keluarga Mara sangat harmonis. Lagi-lagi antara aku dan Mara punya banyak jarak. Aku terlalu tertinggal, dan ku takut makin tenggelam.

Aku mengurungkan niatku. Karena sejak pertengkaran kami, kamu belum berbaikan. Mara belum juga menghubungiku lagi dan aku pun tak berusaha untuk menghubunginya. Namun, ketika aku hendak menyalakan motor untuk pergi, mobil hitam Yaris berhenti di depan rumah Mara. Membuat aku penasaran, siapa yang malam-malam datang bertamu?

Kulihat Mara keluar dari mobil itu bersama dengan  Aris, pria satu divisi dengan Mara yang aku lihat kemarin. Mereka berdua terlihat akrab, berbincang-bincang, sesekali melempar canda tawa. Mara pun pamit masuk ke dalam rumah, lalu basa-basi menawari Aris untuk mampir sebentar. Sebagai pria baik-baik, Aris pun menolak. Namun, sebelum Mara membuk gerbang rumah, Aris menghentikan pegerakannya. 

“Tunggu, Ra!”

Mara sempat tertegun. Kemudian pria itu berlari kecil ke arah bagasi mobil, lalu menyerahkan sebuket bunga mawar merah yang ia bawa. 

“Ini apa?” kata Mara dengan nada malu-malu. Tak pernah kulihat dia begitu. Dari jauh saja aku bisa melihat perubahan warna merah di pipinya.

“Buat lo. Katanya lo suka banget bunga mawar merah. Gue sengaja mampir sebentar ke florist sebelum jemput lo.”

Jemput? Aku benar-benar tak paham dengan situasi ini. Jadi mereka bukannya tidak sengaja pulang ke rumah setelah ada kegiatan yang sama, melainkan Mara meminta Aris menjemputnta? Kenapa Mara harus meminta pria lain menjempunya padahal ia punya pacar. Sebesar apa pun marahnya aku, aku juga tak akan tega membiarkan dia pulang sendiri.

Kobaran api di dadaku sudah meluap-luap. Sangat sulit rasanya menahan diri dalam situasi ini. Rasanya hatiku sedang dipermainkan satu hari ini.

“Terima kasih. Lo emang paling bisa ngertiin gue,” kata Mara sembari tersenyum setelah menerima sebuket mawar merah pemberian Aris.

Anggap saja aku egois, childish, atau gegabah. Namun, aku benar-benar melangkahkan kakiku mendekat ke arah mereka. Meninggalkan motor yang terparkir di seberang sana. Pengalaman memang guru paling berharga. Aku tak lagi bersikap bodoh untuk marah-marah, karena tahu Mara akan mencoba playing fictim atas semua tindakan yang aku lakukan.

“Habis dari mana?”

Suara baritonku membuat Mara dan Aris terkejut, aku bisa melihat dengan jelas ekspresi mereka. Aris begitu gelagapan mencari alasan, sementara Mara tetap bersikap tenang, soolah-olah dia paham peran yang harus ia mainkan.

“Eh, kamu. Aku sama Aris habis pulang nyari danus buat acara BEM.”

“I—iya,” timpal Aris terbata-bata, tidak seperti beberapa waktu lalu yang seperti pria jantan.

Aku tersenyum miring mendengar kebohongan mereka. Jelas-jelas aku tahu bahwa Aris sengaja datang untuk menjemput Mara di suatu tempat.

“Oh gitu …”

“Kamu udah lama di sini, By?”

“Nggak sih barusan aja. Pas mau ke rumah, eh… di depan ada mobil Yaris. Jadi aku parkir di sana.” Aku menunjuk motorku yang terparkir di seberang.

Merasa suasananya makin canggung, Aris pun berniat pulang. “Ya udah … kalau gitu, gue pulang dulu—”

“Kebetulan Aris ada di sini. Kedatangan gue ke rumah Mara mau minta maaf atas kejadian di FRSD-Fest kemarin. Gue emang keterlaluan,” ujarku yang langsung memotong perkataan Aris, sembari melirik bunga mawar merah yang sejak tadi Mara sembunyikan di belakang punggungnya.

“Eh … nggak perlu ke gue. Kayaknya lo yang harus m—minta maaf sama Mara deh.”

“Aku juga minta maaf sebesar-besarnya sama kamu, ya, Ra. Maaf nggak ngasih kabar dulu. Soalnya nomorku saja masih kamu blok.”

Mara mengigit bawahnya keras, melirik aku sekilas, lalu kembali menundukan wajahnya. “It’s okay. Nanti aku unblock, By. Maafin aku juga ya."

“Ya udah … silakan lanjutin lagi urusan kalian. Gue cuma mau bilang gitu aja kok.”

Lalu aku pergi. Meninggalkan dua pecundang itu dengan rasa sakit yang luar biasa. Ya, memang bodoh jika kita berharap pada manusia. Rasa sakitku makin terasa dalam dan mematikan.

**

Tidak ada tempat kembali. Aku tidak punya siapa-siapa. Namun, masih ada dua sahabatku yang setia. Seperti biasanya, aku selalu lari ke rumah ini setiap ada masalah. Bersembunyi dan melupakan. Hanya itu yang biasa aku lakukan.

Hari ini, hatiku benar-benar patah. Aku butuh seseorang untuk kupinjam pundaknya. Siapa pun itu, aku tidak ingin sendirian.

Kuketuk pintu kayu berwana hijau itu, lalu yang aku dapati adalah sosok Mentari dengan baju tidurnya. Wajahnya terlihat lelah, matanya sedikit sayu, tetapi senyum di wajahnya bersinar seperti Namanya.

“Aksa ada di dalam?”

Mentari menggeleng sembari mengusap-usap matanya. “Nggak ada, Kak. Tadi sore Babeh, Ibu, sama Mas Aksa pergi ke Klaten. Saudara jauh Babeh ada yang nikah sama orang sana.”

“Kok Aksa nggak bilang? Emang keadaan Babeh sudah baikan?”

“Kayak nggak tahu Babeh aja. Meskipun sakit gimana pun, kalau urusannya sama keluarga, pasti dibisa-bisain. Padahal Ncing juga bilang jangan maksain,” balas Mentari sedikit sebal. “Mas Aksa itu supir dadakan. Tadinya yang mau anter itu Mang Jana. Tapi karena tadi siang isterinya melahirkan, jadilah Mas Aksa yang gantiin.”

Aku hanya mengangguk-anggukan kepala. Nggak heran sih, mayoritas keluarga Betawi itu selalu kompak. Kalau lebaran, satu keluarga dikumpulin bisa RT sendiri.

“Oh, ya udah kalau gitu. Gue pikir ada Aksa.” Aku pamit pulang dan memutar tubuhku. Tetapi tangan Mentari mencegahnya. “Kenapa?” aku menaikan sebelah alisku bingung.

“Mau nginep di sini nggak, Kak? Aku takut.”

Aku mengedipkan kedua mata, bingung dengan keputusan apa yang akan ku ambil nanti.

**

Aku benar-benar menginap di rumah Aksa, tepatnya di ruang tengah. Tubuhku terbaring di sofa, kupandangi satu mangkok bekas mie instan yang sudah habis aku makan dan juga televisi yang menyala.

Jam sudah menujukan pukul 3 pagi, sementara mataku sulit sekali terpejam.

Otakku selalu mengingat kejadian yang menyedihkan, padahal aku butuh tidur untuk melupakan. Melupakan ibu, melupakan Mara. Semua kejadian hari ini, akan selamanya mebekas di hatiku. Ibu yang datang tiba-tiba dan Mara yang ketahuan berbohong.

Makin pagi, rasanya aku makin melankolis. Apalagi ketika mengingat wajah Oma. Hanya Oma satu-satunya keluarga yang menyayangiku. Dan aku menyesal belum bisa membuatnya Bahagia.

Tak terasa, air mataku jatuh juga. Makin lama, makin deras. Isak tangisku tak kalah beradu dengan suara televisi yang sedang menampikan berita nasional. Sampai-sampai suara itu terdengar ke kamar Mentari yang letaknya di samping ruang tengah.

Suara gagang pintu kamar Mentari yang ditekan terdengar olehku. Buru-buru aku seka air mata agar tak ketahuan Mentari. Kupikir perempuan itu hendak pergi ke kamar mandi, atau ke dapur untuk mengambil minum, tetapi ternyata ia malah mendekat ke ruang tengah.

Aku pura-pura tidur. Agak aneh rasanya ngobrol dengan mata sembab seperti ini. Namun, betapa kagetnya aku ketika jari-jari Mantari menyisir rambutku dengan lembut.

“Ternyata … tiap manusia memang punya masalahnya sendiri,” ujar Mentari mengawali percakapan. “Bahkan, pria yang terlihat ceria seperti Kak Daniel pun, pasti punya masalah yang tidak ingin ia bagi pada siapa pun.”

Ucapan Mentari makin membuat aku ingin menangis. Seumur hidupku, tak ada orang yang membelai rambutku selembut ini selain Oma. Aku tidak sema sekali marah atau menganggap Mentari lancang. Malah, apa yang ia lakukan membuat hatiku sangat terenyuh. Aku tak bisa membalas perkataannya karena tak sanggup menahan tangis.

“Tadi siang … aku nggak sengaja melihat Kak Daniel bertemu dengan wanita paruh baya yang sangat cantik. Ketika di rumah, barulah aku tahu dari Mas Aksa kalau itu ibu Kak Daniel. Berbeda dengan mata anak-anak yang memandang ibunya, aku melihat sorot mata Kak Daniel seperti melihat orang asing. Dan tak ada yang lebih memilukan dari pada itu.”

Pundakku makin bergetar hebat. Mentari mengusap-usap pundakku seperti mengusap pundak seorang anak kecil yang sedang menangis. Kemudian memapah tubuhku agar duduk. Ruangan begitu gelap, hanya ada sinar televisi saja yang menerangi kami. Kuliht Mentari tersenyum, lalu tangannya menghapus air mataku.

Aku refleks memeluk tubuhnya. Menghirup udara sebanyak-banyaknya dan melepas semua rasa sesak di dada. Sementara Mentari tak berhenti mengusap pundakku yang masih naik turun.

Kami berpelukan cukup lama. Sampai pada akhirnya, aku melepas pelukan itu.

“It’s okay. Kak Daniel bisa cerita apa pun sama aku. Sama seperti Kak Daniel yang merahasiakan tentang aku pada Ibu, Babeh, dan Mas Aksa. Aku pun makan merahasikan kejadian ini pada siapa pun.”

Setelah Mentari mengucapkan itu, hatiku merasa makin tenang. Aku merasa kami berdua saling melindungi. Entah karena Suasana yang sepi dan syahdu, atau perasaanku yang sedang stabil, aku memberanikan diri untuk mencium bibirnya.

Aku mendekatkan tubuhku, mengecup singkat bibir miliknya. Aku menunggu respons dari Mentari. Ternyata, perempuan itu tak marah, bahkan ia terlihat memejamkan matanya. Maka, aku tak harus membuatnya menunggu lama. Kupegang pipinya, lalu aku mencium bibirnya lagi. Kecupan itu berubah menjadi lumatan-lumatan kecil yang membuatku makin bergairah. Tangan Mentari bergelayut di pundakku, sesekali menjambak rambutku pelan, refleks membuatku memapah tubuhnya bergeser di atas pahaku. Mentari cukup cepat belajar. Ia tidak sama sekali pasif. Dengan gesit, ia memainkan perannya. Aku tak bisa tahan. Ciuman kami makin lama makin lama dan makin dalam. 

Suara ciuman kami beradu. Sama kerasnya dengan suara televisi. Di ruangan gelap dan sepi, tdak ada yang bisa menghentikan kami.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Untuk Takdir dan Kehidupan Yang Seolah Mengancam
443      309     0     
Romance
Untuk takdir dan kehidupan yang seolah mengancam. Aku berdiri, tegak menatap ke arah langit yang awalnya biru lalu jadi kelabu. Ini kehidupanku, yang Tuhan berikan padaku, bukan, bukan diberikan tetapi dititipkan. Aku tahu. Juga, warna kelabu yang kau selipkan pada setiap langkah yang kuambil. Di balik gorden yang tadinya aku kira emas, ternyata lebih gelap dari perunggu. Afeksi yang kautuju...
SEMPENA
2388      883     0     
Fantasy
Menceritakan tentang seorang anak bernama Sempena yang harus meraih harapan dengan sihir-sihir serta keajaiban. Pada akhir cerita kalian akan dikejutkan atas semua perjalanan Sempena ini
Love Al Nerd || hiatus
92      69     0     
Short Story
Yang aku rasakan ke kamu itu sayang + cinta
Selepas patah
116      97     0     
True Story
Tentang Gya si gadis introver yang dunianya tiba-tiba berubah menjadi seperti warna pelangi saat sosok cowok tiba-tiba mejadi lebih perhatian padanya. Cowok itu adalah teman sebangkunya yang selalu tidur pada jam pelajaran berlangsung. "Ketika orang lain menggapmu tidak mampu tetapi, kamu harus tetap yakin bahwa dirimu mampu. Jika tidak apa bedanya kamu dengan orang-orang yang mengatakan kamu...
Premium
RESTART [21+]
4445      2133     22     
Romance
Pahit dan getir yang kurasa selama proses merelakan telah membentuk diriku yang sekarang. Jangan pernah lagi mengusik apa yang ada di dalam sini. Jika memang harus memperhatikan, berdirilah dari kejauhan. Terima kasih atas semua kenangan. Kini biarkan aku maju ke depan.
Mendadak Halal
5639      1772     1     
Romance
Gue sebenarnya tahu. kalau menaruh perasaan pada orang yang bukan makhramnya itu sangat menyakitkan. tapi nasi sudah menjadi bubur. Gue anggap hal ini sebagai pelajaran hidup. agar gue tidak dengan mudahnya menaruh perasaan pada laki-laki kecuali suami gue nanti. --- killa. "Ini salah!,. Kenapa aku selalu memandangi perempuan itu. Yang jelas-jelas bukan makhrom ku. Astagfirullah... A...
KEPINGAN KATA
329      213     0     
Inspirational
Ternyata jenjang SMA tuh nggak seseram apa yang dibayangkan Hanum. Dia pasti bisa melalui masa-masa SMA. Apalagi, katanya, masa-masa SMA adalah masa yang indah. Jadi, Hanum pasti bisa melaluinya. Iya, kan? Siapapun, tolong yakinkan Hanum!
Rewrite
5927      2075     1     
Romance
Siapa yang menduga, Azkadina yang tomboy bisa bertekuk lutut pada pria sederhana macam Shafwan? Berawal dari pertemuan mereka yang penuh drama di rumah Sonya. Shafwan adalah guru dari keponakannya. Cinta yang bersemi, membuat Azkadina mengubah penampilan. Dia rela menutup kepalanya dengan selembar hijab, demi mendapatkan cinta dari Shafwan. Perempuan yang bukan tipe-nya itu membuat hidup Shafwa...
ARMY or ENEMY?
9298      2878     142     
Fan Fiction
Menyukai idol sudah biasa bagi kita sebagai fans. Lantas bagaimana jika idol yang menyukai kita sebagai fansnya? Itulah yang saat ini terjadi di posisi Azel, anak tunggal kaya raya berdarah Melayu dan Aceh, memiliki kecantikan dan keberuntungan yang membawa dunia iri kepadanya. Khususnya para ARMY di seluruh dunia yang merupakan fandom terbesar dari grup boyband Korea yaitu BTS. Azel merupakan s...
Konspirasi Asa
2137      681     3     
Romance
"Ketika aku ingin mengubah dunia." Abaya Elaksi Lakhsya. Seorang gadis yang memiliki sorot mata tajam ini memiliki tujuan untuk mengubah dunia, yang diawali dengan mengubah orang terdekat. Ia selalu melakukan analisa terhadap orang-orang yang di ada sekitarnya. Mencoba untuk membuat peradaban baru dan menegakkan keadilan dengan sahabatnya, Minara Rajita. Tetapi, dalam mencapai ambisinya itu...