Aku mengendari motor, berkeliling ibu
kota tanpa tujuan yang jelas. Meredam emosi yang masih meluap-luap ketika
mengingat wajah ibu. Ponselku pun tak berhenti bergetar. Mungkin panggilan dari
Om Hari, Tante Asih, atau pun ibu. Enntahlah, aku sudah tak peduli.
Sudah hampir 5 jam aku bekendara. Hari
sudah makin larut, rasa lelah juga sudah mulai menjalar ke seluruh tubuhku.
Tanpa sadar aku masih terus melajukan motor ke suatu tempat, yaitu rumah Mara.
Mara pendengar yang baik. Rasa
empatinya sering membuatku nyaman untuk menceritakan keluh kesah. Memang tak
selamanya ia memberikan nasihat, tetapi kehadirannya mampu membuat hatiku
menghangat dan merasa jauh lebih baik.
Dari kejauhan, kupandangi rumah
tingkat dua berpagar hitam itu. Terlihat hidup karena orang di dalamnya penuh
cinta dan kasih sayang. Keluarga Mara sangat harmonis. Lagi-lagi antara aku dan Mara punya banyak jarak. Aku
terlalu tertinggal, dan ku takut makin tenggelam.
Aku mengurungkan niatku. Karena sejak
pertengkaran kami, kamu belum berbaikan. Mara belum juga menghubungiku lagi dan
aku pun tak berusaha untuk menghubunginya. Namun, ketika aku hendak menyalakan
motor untuk pergi, mobil hitam Yaris berhenti di depan rumah Mara. Membuat aku
penasaran, siapa yang malam-malam datang bertamu?
Kulihat Mara keluar dari mobil itu bersama
dengan Aris, pria satu divisi dengan Mara yang aku lihat kemarin. Mereka
berdua terlihat akrab, berbincang-bincang, sesekali melempar canda tawa. Mara
pun pamit masuk ke dalam rumah, lalu basa-basi menawari Aris untuk mampir
sebentar. Sebagai pria baik-baik, Aris pun menolak. Namun, sebelum Mara membuk
gerbang rumah, Aris menghentikan pegerakannya.
“Tunggu, Ra!”
Mara sempat tertegun. Kemudian pria
itu berlari kecil ke arah bagasi mobil, lalu menyerahkan sebuket bunga mawar
merah yang ia bawa.
“Ini apa?” kata Mara dengan nada
malu-malu. Tak pernah kulihat dia begitu. Dari jauh saja aku bisa melihat perubahan
warna merah di pipinya.
“Buat lo. Katanya lo suka banget
bunga mawar merah. Gue sengaja mampir sebentar ke florist sebelum jemput lo.”
Jemput? Aku benar-benar tak paham
dengan situasi ini. Jadi mereka bukannya tidak sengaja pulang ke rumah setelah
ada kegiatan yang sama, melainkan Mara meminta Aris menjemputnta? Kenapa Mara
harus meminta pria lain menjempunya padahal ia punya pacar. Sebesar apa pun
marahnya aku, aku juga tak akan tega membiarkan dia pulang sendiri.
Kobaran api di dadaku sudah meluap-luap.
Sangat sulit rasanya menahan diri dalam situasi ini. Rasanya hatiku sedang
dipermainkan satu hari ini.
“Terima kasih. Lo emang paling bisa
ngertiin gue,” kata Mara sembari tersenyum setelah menerima sebuket mawar merah
pemberian Aris.
Anggap saja aku egois, childish,
atau gegabah. Namun, aku benar-benar melangkahkan kakiku mendekat ke arah
mereka. Meninggalkan motor yang terparkir di seberang sana. Pengalaman memang
guru paling berharga. Aku tak lagi bersikap bodoh untuk marah-marah, karena
tahu Mara akan mencoba playing fictim atas semua tindakan yang aku
lakukan.
“Habis dari mana?”
Suara baritonku membuat Mara dan Aris
terkejut, aku bisa melihat dengan jelas ekspresi mereka. Aris begitu gelagapan
mencari alasan, sementara Mara tetap bersikap tenang, soolah-olah dia paham peran
yang harus ia mainkan.
“Eh, kamu. Aku sama Aris habis pulang
nyari danus buat acara BEM.”
“I—iya,” timpal Aris terbata-bata,
tidak seperti beberapa waktu lalu yang seperti pria jantan.
Aku tersenyum miring mendengar
kebohongan mereka. Jelas-jelas aku tahu bahwa Aris sengaja datang untuk
menjemput Mara di suatu tempat.
“Oh gitu …”
“Kamu udah lama di sini, By?”
“Nggak sih barusan aja. Pas mau ke rumah,
eh… di depan ada mobil Yaris. Jadi aku parkir di sana.” Aku menunjuk motorku
yang terparkir di seberang.
Merasa suasananya makin canggung,
Aris pun berniat pulang. “Ya udah … kalau gitu, gue pulang dulu—”
“Kebetulan Aris ada di sini.
Kedatangan gue ke rumah Mara mau minta maaf atas kejadian di FRSD-Fest kemarin.
Gue emang keterlaluan,” ujarku yang langsung memotong perkataan Aris, sembari
melirik bunga mawar merah yang sejak tadi Mara sembunyikan di belakang punggungnya.
“Eh … nggak perlu ke gue. Kayaknya lo
yang harus m—minta maaf sama Mara deh.”
“Aku juga minta maaf sebesar-besarnya
sama kamu, ya, Ra. Maaf nggak ngasih kabar dulu. Soalnya nomorku saja masih kamu
blok.”
Mara mengigit bawahnya keras, melirik
aku sekilas, lalu kembali menundukan wajahnya. “It’s okay. Nanti aku unblock, By. Maafin aku juga ya."
“Ya udah … silakan lanjutin lagi
urusan kalian. Gue cuma mau bilang gitu aja kok.”
Lalu aku pergi. Meninggalkan dua pecundang
itu dengan rasa sakit yang luar biasa. Ya, memang bodoh jika kita berharap pada
manusia. Rasa sakitku makin terasa dalam dan mematikan.
**
Tidak ada tempat kembali. Aku tidak
punya siapa-siapa. Namun, masih ada dua sahabatku yang setia. Seperti biasanya,
aku selalu lari ke rumah ini setiap ada masalah. Bersembunyi dan melupakan.
Hanya itu yang biasa aku lakukan.
Hari ini, hatiku benar-benar patah.
Aku butuh seseorang untuk kupinjam pundaknya. Siapa pun itu, aku tidak ingin sendirian.
Kuketuk pintu kayu berwana hijau itu,
lalu yang aku dapati adalah sosok Mentari dengan baju tidurnya. Wajahnya terlihat
lelah, matanya sedikit sayu, tetapi senyum di wajahnya bersinar seperti Namanya.
“Aksa ada di dalam?”
Mentari menggeleng sembari mengusap-usap
matanya. “Nggak ada, Kak. Tadi sore Babeh, Ibu, sama Mas Aksa pergi ke Klaten.
Saudara jauh Babeh ada yang nikah sama orang sana.”
“Kok Aksa nggak bilang? Emang keadaan
Babeh sudah baikan?”
“Kayak nggak tahu Babeh aja. Meskipun
sakit gimana pun, kalau urusannya sama keluarga, pasti dibisa-bisain. Padahal Ncing juga bilang jangan maksain,” balas Mentari sedikit sebal. “Mas Aksa itu supir
dadakan. Tadinya yang mau anter itu Mang Jana. Tapi karena tadi siang isterinya
melahirkan, jadilah Mas Aksa yang gantiin.”
Aku hanya mengangguk-anggukan kepala.
Nggak heran sih, mayoritas keluarga Betawi itu selalu kompak. Kalau lebaran, satu keluarga
dikumpulin bisa RT sendiri.
“Oh, ya udah kalau gitu. Gue pikir
ada Aksa.” Aku pamit pulang dan memutar tubuhku. Tetapi tangan Mentari mencegahnya.
“Kenapa?” aku menaikan sebelah alisku bingung.
“Mau nginep di sini nggak, Kak? Aku
takut.”
Aku mengedipkan kedua mata, bingung dengan keputusan apa yang akan ku ambil nanti.
**
Aku benar-benar menginap di rumah
Aksa, tepatnya di ruang tengah. Tubuhku terbaring di sofa, kupandangi satu
mangkok bekas mie instan yang sudah habis aku makan dan juga televisi yang
menyala.
Jam sudah menujukan pukul 3 pagi,
sementara mataku sulit sekali terpejam.
Otakku selalu mengingat kejadian yang
menyedihkan, padahal aku butuh tidur untuk melupakan. Melupakan ibu, melupakan
Mara. Semua kejadian hari ini, akan selamanya mebekas di hatiku. Ibu yang
datang tiba-tiba dan Mara yang ketahuan berbohong.
Makin pagi, rasanya aku makin melankolis.
Apalagi ketika mengingat wajah Oma. Hanya Oma satu-satunya keluarga yang
menyayangiku. Dan aku menyesal belum bisa membuatnya Bahagia.
Tak terasa, air mataku jatuh juga.
Makin lama, makin deras. Isak tangisku tak kalah beradu dengan suara televisi yang sedang
menampikan berita nasional. Sampai-sampai suara itu terdengar ke kamar Mentari
yang letaknya di samping ruang tengah.
Suara gagang pintu kamar Mentari yang ditekan terdengar
olehku. Buru-buru aku seka air mata agar tak ketahuan Mentari. Kupikir perempuan
itu hendak pergi ke kamar mandi, atau ke dapur untuk mengambil minum, tetapi
ternyata ia malah mendekat ke ruang tengah.
Aku pura-pura tidur. Agak aneh
rasanya ngobrol dengan mata sembab seperti ini. Namun, betapa kagetnya aku
ketika jari-jari Mantari menyisir rambutku dengan lembut.
“Ternyata … tiap manusia memang punya
masalahnya sendiri,” ujar Mentari mengawali percakapan. “Bahkan, pria yang
terlihat ceria seperti Kak Daniel pun, pasti punya masalah yang tidak ingin ia
bagi pada siapa pun.”
Ucapan Mentari makin membuat aku
ingin menangis. Seumur hidupku, tak ada orang yang membelai rambutku selembut
ini selain Oma. Aku tidak sema sekali marah atau menganggap Mentari lancang.
Malah, apa yang ia lakukan membuat hatiku sangat terenyuh. Aku tak bisa
membalas perkataannya karena tak sanggup menahan tangis.
“Tadi siang … aku nggak sengaja
melihat Kak Daniel bertemu dengan wanita paruh baya yang sangat cantik. Ketika di rumah, barulah aku tahu dari
Mas Aksa kalau itu ibu Kak Daniel. Berbeda dengan mata
anak-anak yang memandang ibunya, aku melihat sorot mata Kak Daniel seperti melihat
orang asing. Dan tak ada yang lebih memilukan dari pada itu.”
Pundakku makin bergetar hebat. Mentari
mengusap-usap pundakku seperti mengusap pundak seorang anak kecil yang sedang
menangis. Kemudian memapah tubuhku agar duduk. Ruangan begitu gelap, hanya ada
sinar televisi saja yang menerangi kami. Kuliht Mentari tersenyum, lalu tangannya
menghapus air mataku.
Aku refleks memeluk tubuhnya. Menghirup
udara sebanyak-banyaknya dan melepas semua rasa sesak di dada. Sementara Mentari tak berhenti
mengusap pundakku yang masih naik turun.
Kami berpelukan cukup lama. Sampai pada
akhirnya, aku melepas pelukan itu.
“It’s okay. Kak Daniel bisa cerita
apa pun sama aku. Sama seperti Kak Daniel yang merahasiakan tentang aku pada
Ibu, Babeh, dan Mas Aksa. Aku pun makan merahasikan kejadian ini pada siapa
pun.”
Setelah Mentari mengucapkan itu, hatiku
merasa makin tenang. Aku merasa kami berdua saling melindungi. Entah karena Suasana
yang sepi dan syahdu, atau perasaanku yang sedang stabil, aku memberanikan diri
untuk mencium bibirnya.
Aku mendekatkan tubuhku, mengecup singkat bibir miliknya. Aku menunggu respons dari Mentari. Ternyata, perempuan itu tak marah, bahkan ia terlihat memejamkan matanya. Maka, aku tak harus membuatnya menunggu lama. Kupegang pipinya, lalu aku mencium bibirnya lagi. Kecupan itu berubah menjadi lumatan-lumatan kecil yang membuatku makin bergairah. Tangan Mentari bergelayut di pundakku, sesekali menjambak rambutku pelan, refleks membuatku memapah tubuhnya bergeser di atas pahaku. Mentari cukup cepat belajar. Ia tidak sama sekali pasif. Dengan gesit, ia memainkan perannya. Aku tak bisa tahan. Ciuman kami makin lama makin lama dan makin dalam.
Suara ciuman kami beradu. Sama kerasnya dengan suara televisi. Di ruangan gelap dan sepi, tdak ada yang bisa menghentikan kami.