Mungkin aku belum memahami sepenuhnya
perasaanku pada Daniel. Perasaan yang begitu asing dan baru. Namun, aku menyadari bahwa menikmati saat lelaki
itu memandangku, menyentuh tanganku, atau membelai rambutku lembut. Aku juga senang
ketika Daniel menyempatkan waktu untuk bertemu denganku. Meski hanya di malam hari
ketika kami pulang bekerja.
Sejak dulu aku selalu menganggap diriku rendah.
Mungkin itu yang membuatku merasa minder dan sulit berteman dengan siapa pun. Pikiranku selalu
buruk dengan keadaanku sendiri. Ketakutan-ketakutan tak mendasar itu yang pada akhirnya membuat mereka menganggapku
aneh. Apalagi ketika kejadian waktu SMA di semester pertama.
Namun ketika melihat Mara di kantin,
untuk pertama kalinya, aku merasa lebih unggul darinya karena telah berhasil mendapatkan Daniel.
Kisahku dengan Daniel masih menjadi rahasia
sampai saat ini. Tidak satu pun orang mengetahui, sekalipun Iren atau pun kakakku.
**
Ibu sudah kembali lagi ke Amerika
bersama kedua anak perempuannya. Sebelum pulang, beberapa kali ibu mencoba menghubungiku, tetapi aku memilih
untuk tak menjawab panggilan telepon darinya. Dan dari Tante Asih lah aku mengetahui
bahwa Ibu telah pulang ke negara suami barunya itu.
Hatiku terasa terasa sesak dan kembali hampa ketika mendengar
berita itu. Aku ingin marah, ingin menangis, ingin meluapkan kesal. Entahlah, aku sendiri tak mengerti diriku sepenuhnya. Jelas-jelas aku sendiri yang menghindar,
tetapi mendengar ibu pergi lagi membuat hatiku tak terima.
Aku melampiaskan segala rasa kepada
Mentari. Hanya dia yang bisa aku andalkan saat ini. Tidak dengan Mara atau pun
kedua sahabatku yang punya kesibukannya sendiri.
“By, pulang manggung dari kafe kamu
bisa anta raku nggak?” tanya Mara dari seberang telepon sana. Setelah kepergok bohong, perasaan
pada Mara berangsur berubah. Seolah-olah segala usaha, cinta, dan perhatian
Mara selama ini hancur begitu saja. Hal ini tentu bukan tanpa alasan. Aku tidak
akan membiarkan Mara menghancurkan hatiku lebih dalam lagi. Meskipun begitu,
aku masih merahasiakan kecurigaanku. Pura-pura bodoh seolah tak mengerti
apa-apa.
“Lho … katanya kamu rapat sampai
malam hari ini?”
“Iya. Tapi tadi barusan aku baru dapat
kabar kalau Aris kecelakaan mobil. Aku berniat nengokin dia di rumah sakit.”
“Pantes. Tumben kamu minta anter aku,
biasanya kan ke mana-mana sama Aris sekarang.”
“By, ayolah. Aku lagi nggak mau
berdebat masalah ini. Kita udah sering perdebatin ini. Aku sama Aris tuh cuma
teman satu divisi.”
Mara terdengar menghela napas. Sementara di sini, aku hanya tersenyum kecut
mendengar omong kosongnya.
“Iya, iya. Aku nggak sama sekali mau berdebat
kok,” ujarku santai. “Jam 8, ya?”
“Oke, By. Makasih banyak, ya. Kalau
kamu sibuk, kamu pulang duluan aja.”
“Terus kamu pulang sama siapa kalau
gitu?”
“Ada Mas Zaid. Dia masih kejebak
macet di Tol Bekasi dari arah Bandung. Paling jam 9 juga udah sampai Jakarta.”
Mara memuliki saudara, dan Mas Zaid adalah kakaknya. Jawaban Mara membuat senyumku makin mengembang lebar. “Oke kalau gitu. See you!” Tentu saja jam 9 aku sudah harus kembali ke kafe. Karena tak mungkin membiarkan Mentari pulang seorang diri. Semua berjalan sempurna tanpa aku berusaha lebih keras untuk menutupinya.
**
“Lo mau denger gosip nggak?” Sebuah permulaan kalimat ghibah yang sempurna. Membuat setiap orang yang mendengar akan
penasaran. Aku dan Aksa menggeser kursi plastik di Warung Mie Ayam ke arah
Ethan yang sedang lonjoran di sofa yang biasa di duduki Babeh ketika berjualan.
“Apaan?”
“Ginian aja lo pada cepet,” kelakah
Ethan yang langsung dihujani pukul kecil dari aku dan Aksa.
“Kalau ngasih info setengah-setengah,
niscaya pantatnya berat sebelah,” kataku yang langsung disabut gelak tawa Aksa.
“Omongan lo kagak ada ayakannya kayaknya!”
balas Ethan yang juga tak mampu menahan tawa. “Tapi ini info serius. Ya … bukan
buat gue atau pun Daniel sih, tapi penting untuk Aksa.”
Aku dan Aksa makin penasaran saja. “Apa
tuh, apa tuh?”
“Lo kenal sama cowok ganteng kampus dari
fakultas teknik yang Namanya Hilmy nggak?”
“Mana tahu! Gue kagak doyan cowo, ya!”
Berbeda dengan Aksa, aku kenal siapa lelaki
yang disebutkan Ethan. “Gue tahu. Pernah beberapa kali ngobrol juga di kafe pas
manggung di kafe Let It Be. Dia temen SMA-nya Ben—gitaris JP—”
“Nah kan, si Daniel aja yang orangnya
peduli setan aja tahu.”
“Iya, terus apa infonya? Terus apa hubungannya
sama gue?” Aksa makin penasaran dan mendesak Ethan agar cepat bicara.
“Hilmy naksir adik lo!”
“Hah?” Mata Aksa melotot tak percaya.
Sementara aku batuk-batuk karena sama kagetnya dengan Aksa. Tidak menyangka
bahwa kalimat itu keluar dari bibir Ethan. Mentari perempuan yang manis dan
menarik. Bisa dibilang, ia adalah versi perempuan dari Aksa, tetapi dengan sifat
yang berbeda. Mentari yang pendiam membuat ia tak memiliki banyak teman. Jangankan
pacar, ia bahkan tak pernah membawa teman lawan jenis ke rumah. Berbeda sekali
dengan Aksa. Jadi wajar saja jika hal ini mengangetkan kami semua. Dari mana
mereka saling mengenal?
“Kok bisa?” Aku refleks saja bilang
begitu.
“Ya bisa aja, Nyet! Mentari kan cantik.”
“Maksud gue … gimana bisa Hilmy kenal
Mentari? Kan mereka beda fakultas?”
“Waktu Let It Be lagi rame, dia mampir
ke O’Eight. Terus ketemu deh sama Mentari. Ya kayak love for the first sight
gitu—”
“Pret!” potongku merasa mual dengan
kata-kata Ethan. Entah Hilmy memang bilang begitu, atau Ethan yang berlebihan.
Sontak saja hal itu membuat tanganku dapat hadiah pukulan dari Aksa.
“Lo bisa diem dulu nggak sih! Terus
gimana, Than?”
“Ya terus dia nggak nyangka ketemu
lagi di Dwingga. Waktu itu, doi nggak sengaja liat lo anterin Mentari di
gerbang FRSD. Patah hati dong dia karena
ngira lo cowoknya. Tapi pas Mara bilang lo kakaknya … girang bener dia. Makanya
nih, malam ini Hilmy mau ajak kita semua nongki. Mau PDKT kali sama lo biar lancar
ngedeketin Mentari.”
“Nggak usah, Sa! Hapal gue sama
modelan cowok kayak Hilmy. Pas gue ngoborol sama dia juga kayak belagu, terus
suka flirity sana, sini.”
“Lha? Dia baik kok. Maksud gue …
nggak punya record jelek atau berengsek, reputasinya juga bagus.” Ethan terlihat
sekali membela Hilmy. Makin saja aku kesal dan belibet menjawab.
“Sifat asli manusia mah nggak ada yang
tahu!”
“Nah, itu lo tahu! Bisa jadi dia
emang baik orangnya. Lagi pula, lo kan baru beberapa kali ngobrol doang sama
dia, Niel.”
“Ya, tapi—”
“Udah ya elah! Gitu aja kok ribut
sih!” Aksa yang sejak tadi diam mulai bicara dan menengahi adu mulut di antara
aku dan Ethan. “Kalau mau ajak nongki mah boleh aja. Tapi nggak usah cari
alasan buat deketin Mentari. Mungkin kedengerannya egois … tapi gue belum bisa
izinin Mentari untuk deket sama siapa pun.”
“Kenapa?” Sial! Rasanya ingin
mengutuk diri sendiri. Kenapa juga sih harus keceplosan ngomong gitu?
Mudah-mudahan mereka nggak menaruh curiga.
“Keadaan, terutama finansial keluarga
gue lagi nggak bagus. Gue nggak mau Mentari jadi nggak fokus kuliah karena
cinta-cintaan. Tapi kalau berteman boleh. Gue malah seneng kalau Mentari punya
banyak teman,” jawabnya mengakhiri percakapan kami siang itu.