Haram hukumnya bagi budak organisasi kalau langsung pulang saat acara baru kelar. Setelah adik tingkat pulang, kami masih harus lanjut evaluasi kegiatan dari ketua pelaksana dan jajarannya. Padahal aku ingin segera pulang karena badan rasanya sudah mau rontok.
“Eh ... gue mau pesen seblak di Warung Gale. Lo mau nggak?” tanya Mara yang duduk di sampingku. Kebetulan saja kami berdua satu divisi. Tumben saja, biasanya Mara lebih memilih daftar ke seksi humas atau acara.
''Kagak deh, makasih. Gue kepengen makan nasi aja biar ada tenaganya."
"Oh ya udah, gue pesen di Warung Ayang aja. Lo Mau?"
Aku mengernyitkan dahi kebingungan. "Lha ... katanya lo mau seblak?"
Mara tersenyum lebar hingga membuat matanya menyipit seperti anak kelinci. "Nggak apa-apa. Kan katanya lo mau makan nasi?"
Sempat berpikir sebentar, aku pun menyetujui tawarannya. Aku tidak bodoh. Tepatnya selama ini aku pura-pura bodoh melihat perhatian yang Mara berikan untukku. Ethan, Aksa, dan temen-teman SMA-ku bilang kalau Mara sudah menyukaiku sejak dulu. Bahkan katanya, dia bela-belain ikut kepanitiaan ospek juga karena aku. Tetapi, aku memang belum mau pacaran dulu. Entahlah, aku merasa tidak ada keharusan untuk membalas perasaan Mara. Biar saja. Lagi pula Mara pun tidak pernah jujur sama perasaannya padaku. Yang terpenting, aku punya sahabat dan temen-teman yang selalu ada. Itu sudah cukup.
Lagi pula, keliatannya punya pacar itu nggak asik. Pasti mereka hobi melarang ini dan itu. Contohnya, Ethan. Sudah tiga kali pacaran dan semua ceweknya posesif.
Jam menunjukan pukul 8 malam. Setelah evaluasi dan mendengar wejangan dari alumni akhirnya kami bisa pulang juga. Oma sepertinya masih bersama Tante Asih, istri dari Om Hari, adik dari ibuku. Aku pun segera ke parkiran dan berniat segera pulang ke rumah agar Tante Asih tidak menunggu lama. Namun, gerak-gerik seorang wanita di depan gerbang kampus menarik perhatianku. Sepertinya aku kenal dia.
"Loh? Mentari?" Aku membuka helm, memastikan jika yang aku lihat memang dia. "Kok belum pulang?" Pandanganku melirik ke seragam ospek yang gadis itu kenakan. Ia terlihat sangat gelisah.
Mentari terlihat terkejut dan kikuk. Ia menggigit bibir bawahnya ragu. “Itu ... Kak ... Eum. Nungguin Mas Aksa.”
“Belum kelar himpunan dia?”
“Mas Aksa sudah kelar himpunan. Tapi aku disuruh nunggu. Tadinya udah mau pulang, tapi dia buru-buru nganterin temen yang pingsan karena kesurupan. Terus sampai sekarang belum ngehubungin lagi. Gue telepon juga ponsel-nya nggak aktif. Makanya agak khawatir.”
“Hah?” Kini giliranku yang kaget. “Kalau gitu … gue anter pulang aja. Takut lama urusannya. Terus lo makin lama nunggu di sini.”
“Nggak usah, Kak Niel. Gue mau pakai ojek online aja.”
“Ngapain pakai gojek online? Kan ini gue nawarin lo balik bareng?”
Sempat saling tawar dan tolak, akhirnya Mentari setuju setelah mendengar suara petir. Ia tidak punya pilihan lain. Kalau sudah hujan, pasti bakal makin susah nyari ojeknya. Appalagi hari sudah makin larut.
“Makasih ya, Kak.”
“Sama-sama. Pegangan. Nanti jatuh,” ujarku sebelum menyalakan motor dan mengendarainya di gelap malam.
**
“Gimana tawaran gue? Lo mau nggak?”
Aku mendengkus pelan, meletakan ponsel yang sedang aku mainkan ke meja. Harusnya aku memenangkan permainan ini, tetapi karena tawaran Mara yang menggiurkan, aku jadi tidak bisa berkonsentrasi bermain game.
“Gue bilang anak-anak dulu, ya!”
“Oke. Tapi jangan lama-lama lho. Sepupu gue juga butuh kepastian. Kalau band lo nggak bisa manggung di kafe-nya, dia bisa cari yang lain.”
“Sore deh. Gimana?”
"Sip!" Mara memberikan hormat. Aku balas dengan tersenyum tipis.
Semua orang tahu, Mara itu social butterfly. Dia baik, ramah, murah senyum, dan temannya di mana-mana. Gadis itu tidak menyebalkan sehingga meski tahu dia menyukaiku, aku tidak risih sama sekali.
Di sisi lain, aku juga merasa bersalah pada Mara. Harus sampai kapan dia begini? Meskipun selama ini aku nggak merasa kasih harapan apa-apa, tetapi karena sikap dia yang kelewat baik, aku jadi gak enak hati. Takut dibilang tukang pemberi harapan palsu.
"Lo risih nggak sih gue deketin gini?" tanya Mara lagi. Kali ini suaranya mengecil. Pandangan matanya pun melirik ke kanan ke kiri. Mungkin takut kalau ada yang mendengar percakapan kami. Apalagi ini kantin FISIP, bukan kantin FRSD yang merupakan fakultasnya. Tangan Mara bersidekap, mendekatkan wajahnya ke arahku. "Lo tahu kan kalau selama ini gue naksir lo?"
Aku berdeham, menjauhkan tubuhku. "Tau."
"Ih kenapa ngejauh gitu sih? Deketan aja sini biar nggak ada yang denger percakapan kita!"
"But it was closer!" Mataku membesar kaget. "Orang yang nggak kepo, malah kepo sama kita nanti. Dikira kita ngapa-ngapain!”
"Aturan mah demen di deketin cewek. Lo malah takut. Jangan bilang gosip itu bener?!"
"Gosip? Apa?" Refleks aku mendekatkan lagi tubuhku ke arah Mera.
"Iya gosip kalau lo naksir Aksa!" Mara terkekeh sendiri membuatku juga ikut-ikutan tertawa karena ekspresinya.
"Anjing!" Ketawaku makin kencang aja. "Gue straight, ya! Gila kali ya orang yang nyebar gosip begitu."
"Sssst ... Ketawa lo gede banget! Tuh liat kita malah jadi pusat perhatian, kan?!"
Tubuhku sempat membeku, memandang orang sekitar dengan wajah tak berdosa. Kemudian mengangguk-angguk menatap Mara, menutup mulutku dengan kedua tangan agar bisa menahan tawa. Sial ... orang-orang ngeliatin lagi. Sementara Mara masih cekikikan, menahan tawanya agar tak meledak lagi.
Begitulah, Mara. Meski tahu dia terang-terangan mendekatiku, aku sama sekali tidak merasa risih. Aku belum jatuh cinta, tapi nggak tahu nanti.
Masa depan, siapa yang tahu, bukan?