"Wah, gila nih ... Gue bener-bener ketagihan sama Mie Ayam Babeh! Rela dah beneran gue ke sini setiap hari. Ya ... meskipun tekor bensin karena jarak kampus ke sini jauh," ujar Ethan yang masih mengunyah penuh mie ayam dalam mulutnya.
"Enak apa karena bokap gue suka kasih gratisan?" Aksa melempar tisu bekas, lidahnya berdecak kesal. Sementara Ethan hanya terkekeh sendiri, seolah-olah Aksa bisa menebak jalan pikirannya.
"Kayak kagak tau Ethan aja lo, Sa!" Aku menimpali. "Padahal kan di antara kita bertiga dia yang paling kaya. Tapi masih aja doyan gratisan!"
Kami bertiga tidak pernah menyangka bahwa kejadian dipalak preman saat SMA membuat persahabatan kami terjalin hingga saat ini. Saat itu, tahun ajaran baru di awal sekolah menengah. Saat pulang sekolah, ada segerombolan preman yang memalak Ethan di belokan terminal bus yang lokasinya tak begitu jauh dari sekolah.
Rumor pemalakan itu sudah terkenal sejak kami ospek sekolah. Kakak tingkat kami sendiri yang cerita. Mereka bilang kita harus hati-hati dan sebisa mungkin jangan suka rela memberikan uang. Takut jadi kebiasaan.
Ethan yang penampilannya memamg mentereng, membuat preman-preman itu menganggunya. Aksa yang punya jiwa pahlawan datang untuk menolongnya. Nyari mati saja, sudah pasti ka'o karena kalah jumlah. Ketika preman-preman itu hendak menghajar Ethan dan Aksa, aku-yang sejak tadi memperhatikan mereka di belokan gang-- tergugah hatinya untuk menolong dengan car melempar batu ke arah preman-preman itu. Entah datang dari mana keberanian itu. Atau mungkin karena mereka teman satu kelasku di sekolah. Sampai akhirnya kami berhasil kabur dan lapor polisi. Kejadian itu membuat kami merasa menang. Dan sejak saat itu, kami mulai saling dekat satu sama lain.
"Tau nih. Malu tuh sama Si Merah." Merah sendiri merupakan julukan motor-gede yang baru saja dibeli beberapa hari lalu. Bahkan di antara kami bertiga pun, kendaraannya yang paling mentereng.
Aksa kemudian bangkit dari duduknya setelah melihat beberapa pelanggan yang baru saja datang, lalu menaruh tas ranselnya ke atas mesin pendingin minuman. Waktunya berhenti bercanda sebab ia harus membantu Babeh untuk melayani pelanggan.
"Eh, Sa ... si Mentari jadi masuk ke Dwingga?" tanyaku penasaran. Biasanya jam segini Mentari sudah ada di warung membantu Babeh. Namun, sudah belakangan ini batang hidungnya tak terlihat.
Aksa mengangguk sebagai jawaban. Ia tidak balas apa-apa karena sibuk membawa satu nampan berisi empat mangkuk mie ayam pesanan orang yang duduk di depan.
"Eh oprek kepanitiaan ospek paling lambat sore ini nih. Lo mau pada ikut kagak?" tanya Ethan setelah menghabiskan satu gelas es teh manis miliknya. "Gisel ngajak gue nih!"
"Gue sibuk HIMA. Skip deh," timpal Aksa. Memasuki semester 5, Aksa makin sibuk saja. Apalagi setelah didaulat menjadi ketua HIMA Sosiologi. Sementara aku dan Ethan lebih memilih kesibukan di luar kampus.
"Lah kan Gisel ngajaknya elu?"
"Ck .. ini gue juga ngajakin elu monyet!" kata Ethan kesal. "Gisel bilang lagi butuh banyak orang. Lo mau ikutan daftar nggak?"
Aku sedikit berpikir. Selain kuliah dan nge-band, aku memang tidak punya kegiatan lain sih sebenarnya.
"Ikut saja Nak Niel. Biar Babeh bisa nitipin Mentari," timpal Babeh yang baru saja kembali dari rumah yang letaknya di belakang ruko warung. Pria paruh baya itu berjalan menuju meja kami.
"Emang jadi mau masuk ke Dwingga, Beh? Ambil apa?" tanya Ethan yang juga penasaran.
Selama ini Mentari-adik Aksa-memang dikenal sebagai pribadi yang pendiam dan tertutup. Selama berteman dekat dengan kakaknya, kami bahkan hanya pernah mengobrol beberapa kali saja.
"Jadi, Niel. Tari nggak keterima di negeri. Dia ambil Seni dan Design."
"Terus ...." kataku memberi jeda. Sebenarnya aku ragu, tapi rasa penasaranku membuat mulutku ini tidak bisa dikontrol. "Sekarang anaknya mana? Kok tumben jarang liat lagi di mari?"
"Oh ... dia lagi kerja sambilan di tempat lain. Kafe tantenya temannya, itu lho si Iren."
Aku dan Ethan serempak menjawab Oh....
"Tahu sendiri, Mentari itu anaknya pendiam. Nggak banyak ngomong. Dari kecil memang susah buat sosialisasi sama temen-temen. Makanya temen dia dikit. Bisa diitung pakai jari. Babeh jadi khawatir dia di kampus gimana nantinya. Makanya ... Babeh nitip Mentari, ya?"
"Beres, Beh! Ada yang macem-macem ... Ethan bogem itu bocahnya." Ethan belagak sok pahlawan kesiangan. Jawaban yang terdengar berlebihan itu langsung mendapat respon tawa dari Babeh Edi dan Aksa yang baru saja duduk setelah melayani pelanggan.
Aku ikut tertawa. Namun pikiranku pergi entah ke mana. Kira-kira Mentari kerja parttime di mana, ya?"
***
Aku menghembuskan napas berkali-kali sebelum memasuki gerbang universitas. Rasa gugup membuat dadaku berdetak lebih cepat. Bahkan berjalan pun rasanya tak nyaman.
Aku memakai atribut ospek lengkap. Mulai dari seragam SMA, rambut kepang 8, membawa berbagai macam perlengkapan ospek yang semuanya aku masukan ke dalam tas ransel. Rasanya hari ini aku menggendong ransel lebih berat daripada biasanya.
"Pagi, Kak!" sapa kawanan yang memakai atribut yang sama sepertiku. Mereka menyapa kakak tingkat yang berdiri berjejer memanjang yang sedang menyambut kedatangan kami. Aku refleks mengikuti teman-temanku yang lain.
"Pagi. Semangat!!!" balas kakak-kakak tingkat itu dengan suara dan wajah yang ramah. Mereka kompak mengenakan kemeja warna putih dan jeans biru. Bayanganku tentang ospek yang menyeramkan itu jadi runtuh seketika.
Dari novel yang kubaca, katanya, dunia kuliah itu menyeramkan. Meskipun tidak 100% sih. Budaya senioritas di negeri ini masih tinggi. Tak jarang hal itu jadi awal mula terjadinya perploncoan senior ke junior. Dan ospek adalah salah satu aksi yang mewadahi mereka turun temurun.
Namun sisi enaknya, kami nggak setiap hari belajar dari jam 8 sampai jam 4 sore. Dosen juga tidak seperti guru yang menuntut kami untuk mengerjakan seluruh tugas yang ada. Setidaknya aku tidak perlu memaksakan sesuatu yang enggan aku lakukan.
"Selamat pagi. Semangat, ya!"
Suara itu terdengar tak asing. Aku yang menundukan wajahku ke jalan, refleks mengadah untuk memastikan bahwa suara itu adalah suara orang yang aku pikirkan.
Mata kami bertemu. Pria itu tersenyum sedikit kaku. Hatiku mendadak tidak karuan sehingga aku tak membalas lagi senyumannya. Aku malah melemparkan pandanganku kembali ke bawah tanah.
Daniel. Dia adalah sahabat baik kakakku. Aku sering melihatnya. Di warung atau pun di rumah. Suara baritonnya terdengar tidak asing di telingaku. Meskipun selama ini interaksi kami minim, tetapi aku hapal bagaimana suaranya bicara, suaranya tertawa, suaranya mengumpat, suaranya menyanyi. Aku hapal meski tak melihat wajahnya.
"Nah, teman-teman. Di depan kalian ada papan bertuliskan nomor kelompok. Sekarang teman-teman yang sudah datang bisa baris ke kelompok masing-masing berdasarkan nomor kelompok yang sudah dikirimkan by email, ya!" seru salah satu Kakak Panita menggunakan pengeras suara dari atas mimbar samping lapangan.
"Kelompok berapa?" Suara itu mengagetkanku lagi. Aku sampe mengangkat bahuku saking kagetnya. "Eh sori, sori, kaget, ya?"
Aku balas dengan anggukan kaku.
"Jadi ... kelompok berapa?" tanya Daniel lagi.
"Lima belas, Kak," balasku sedikit gugup. Mataku bahkan sempat melirik ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada yang melihat interaksi kami berdua.
"Kebetulan dong. Gue juga jadi Kambing kelompok 15." Daniel tersenyum lebar, memperlihatkan gigi-giginya yang rapih.
"Kambing?"
"Kakak pembimbing!" balas Daniel diiringi tawanya yang meledak. "HAHAHAHA. Yuk! Barisan 15 agak ujung sana." Tangannya menunjuk satu barisan dekat pohon beringin.
Tanpa perlu menjawab apa-apa, aku berjalan mengekorinya dari belakang.