“Duh ... ini kok banyak banget donatnya?”
Bu Lela, ibu Aksa datang dari arah dapur membawa nampan beriskan minuman dan toples camilan. Aku membantu beliau meletakan satu per satu gelas dan toples itu ke meja.
“Ini ceweknya Daniel yang ngasih, Buk,” timpal Ethan yang berada di samping yang tentu saja mendapat pukulan dariku.
"Eh, Niel udah punya pacar? Siapa tuh?"
"Mulai deh ...."
"Belum official sih, Bu. Gatau deh ini Daniel jadi nembak apa nggak." Aksa yang baru saja keluar dari kamar untuk mengganti bajunya pun langsung menyambar donat J.Co rasa almond. "Padahal ceweknya cantik banget lhoooo."
"Udah gitu anak hits kampus lagi!" imbuh Ethan dengan ekspresi berlebihan yang dilebih-lebihkan.
"Waduh! Penasaran Ibu jadinya."
Bu Lela bukan sekadar ibu dari sahabatku. Aku sudah menganggapnya sebagai ibu kandungku sendiri. Sosoknya yang hangat membuatku nyaman bercerita banyak hal, termasuk kehidupanku. Beliau juga tahu kalau orang tuaku sudah bercerai, beliau tahu kalau aku hanya tinggal bersama nenek. Bu Lela bilang, pemikiran anak remaja dan dewasa tidak bisa berdampingan. Mereka akan terlihat seperti dua sisi koin yang berbeda. Kita nggak bisa sependapat karena tidak berada di sisi yang sama.
Namun, Bu Lela yang merasa berada di posisi orang dewasa selalu mengatakan bahwa aku tidak boleh membenci ibu dan ayahku atas keputusan mereka. Suatu saat aku pasti mengerti. Sejak saat itu, aku berusaha damai dengan kenyataan yang ada. Meski sebenarnya, aku masih sama sekali tidak mengerti.
Tidak lama, Mentari keluar dari arah dapur. Perempuan itu membawa satu piring besar berisikan french fries yang ditaburi bumbu halus, lengkap dengan saus tomat dan mayones.
"Silakan, dimakan," ujarnya dengan suara pelan. Meskipun begitu, Mentari tidak benar-benar melihat kami. Pandangannya selalu ke bawah lantai. Tanpa basa-basi, setelah meletakan piring itu, perempuan itu langsung kembali masuk ke dalam kamarnya.
“Buset ... kagak salah hari ini kemari. Ada acara rumah lo, Sa?” Ethan langsung menyambar kentang goreng-nya tanpa malu-malu.
“Acara apaan, Nyet!”
“Lhaaa ini? B-be-newane ala restoran ghitcuu.’’ Ethan berkomentar sambil menguyah. Membuat kata-katanya tak jelas.
"Adek gue kan kerja di kafe. Jadi kalau masih sisa stok, suka disuruh dibawa pulang sama bos-nya. Kemarin aja gua makan pizza. Tumbenan, kan?"
Ethan mengangguk setuju.
"Mentari kerja di kafe mana, Buk?" tanyaku pada Bu Lela yang masih berada di sana.
"Di kafe O'Eight. Itu lho, jejeran ruko di Jalan Anggrek."
"Lah?" Kini giliran Aksa yang terkejut. "Itu sih deket sama kafe sepupunya si Mara, kan?"
"Mara siapa?" tanya Bu Lela yang kini ikut penasaran.
"Itu cewek .... eh salah ... maksudnya gebetannya Niel. Itu lho yang kita ceritain tadi. Dia nawarin Daniel sama band-nya buat ngisi acara di sana."
"Ya ampun!" Ibu menepuk kedua tangannya. Tubuhnya menghadap ke arahku sambil berkata, "Ibu tuh kemarin sempet nyuruh Mentari resign aja. Khawatir kalau dia pulang malam terus. Tapi kebetulan aja Niel juga manggung di sana. Ibu jadi sedikit lega ada yang deket Mentari."
"Nitip kalau gue jemput telat, ya, Niel." Aksa menepuk pundakku erat. "Gue juga ikutan lega. Lo tau belakangan ini himpunan lagi sibuk-sibuknya, sering juga kelar rapat malem."
Kebetulan yang kebetulan, bukan? Aku sempat bergeming sebentar, tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban. Entah mengapa, akhir-akhir ini semesta sering mempertemukan kami dengan tidak sengaja.
***
Berawal dari iseng-iseng, aku benar-benar jatuh cinta pada musik. Banyak orang biasanya mengawali hari dengan baca buku atau minum kopi, sementara aku mengawali hari dengan bermain gitar atau mendengarkan musik. Kalau nggak ngelakuin, kayaknya ada yang kurang gitu.
Arts is therapy. Aku healing dan berdamai melalui musik. Musik membuatku hidup, membuatku bersemangat, dan membuatku melupakan masalah-masalah untuk sementara.
Malam ini adalah hari pertama aku manggung bersama band-ku, JupiterMoon, atau yang biasa disingkat JP. Personil JP sendiri berjumlah 3 orang. Aku sebagai vokalis sekaligus gitar, Ben sebagai pianis, dan Dimas Bass.
Kafe Let It Be punya space yang besar. Kira-kira mengambil 3 kavling. Mengusung konsep arts, indoor dan outdoor. Di salah satu spot-nya terdapat banyak sekali (mungkin jumlahnya ratusan) jendela warna warni yang di susun secara acak. Menariknya susunan bingkai jendela itu terlihat jadi artistik, instagramable banget deh. Sementara bagian outdoor-nya terdapat aksen-aksen kayu yang terdapat lukisan dan tulisan quotes-quotes yang relate sama anak zaman sekarang.
Menu yang disajikan pun bervariatif. Namun, Let It Be punya Gelato yang enak banget! Harganya juga masih ramah di kantong anak-anak muda.
Ngomong-ngomong masalah kafe, aku baru tahu kalau kafe O'Eight berada tak jauh dari Let It Be. Kira-kira hanya terpisah 6 ruko saja. O'Eight tepat berada di belokan blok ruko.
Malam minggu ini pengunjung kafe lumayan ramai. Mara dan Ethan juga datang, sementara Aksa masih sibuk sama urusan HIMA.
Lagu pertama yang dibawakan JP adalah Here, There, And Everywhere dari The Beatles. Aku sangat gugup, padahal ini bukan kali pertama aku manggung depan banyak orang. Entahlah ... mungkin ini karena aku harus kerja secara profesional aja, sih. Kalau kemarin-kemarin nge-band kan nggak dibayar.
Setelah lagu selesai, semua orang bertepuk tangan. Terlihat sekali kalau mereka menikmati pertunjukan kami. Lagu kedua, kami membawakan lagu Don't Look Back In Anger dari OASIS. Di bagian reff lagu, semua orang yang hadir serempak bernyanyi bersama mengikutiku. Aku senang, ini seperti sedang melakukan konser besar.
"Selamat, ya!" Mara datang mengampiriku. Seperti biasa, ia selalu menunjukan perhatiannya. Gadis itu mengulurkan tangan, lalu kami pun berjabat tangan.
Ketika aku hendak duduk, di meja sudah ada sebucket bunga mawar yang dirangkai indah. Lengkap dengan notes-nya. "Ini dari lo, Than?"
"Najis banget! Itu dari Mara," balas Ethan yang masih fokus bermain game di ponselnya.
"Iya ... ini dari aku." Mara kemudian memberikan bunga itu padaku. Lalu godaan kecil muncul dari mulut Ben dan Dimas yang baru saja bergabung di meja kami.
"Thanks!" kataku pelan, berkata tulus pada Mara.
"Kebakaran! Kebakaran!" teriak orang-orang di luar kafe. Terdengar suara hentakan sepatu yang yang berlari meninggalkan jejeran ruko.
Sontak saja hal itu membuat gaduh para pengunjung lain. Tanganku refleks menarik Mara keluar dari kafe. Awalnya aku berpikir bahwa yang kebakaran kafe ini, tetapi ternyata bukan. Bahkan alarm kebakaran saja tidak berbunyi.
“Di mana kebakarannya?” tanya salah satu pengunjung kafe pada salah satu orang yang berlari dari arah depan. Semua orang benar-benar panik.
“Itu Kafe O'Eight. Kebakaran!”
Mendengar penjelasan orang yang lewat itu membuat otakku sempat membeku sebentar. Tidak ada yang aku pikirkan kecuali wajah Mentari.
"Lo tunggu sini ya, Mar!"
Mara yang masih panik itu pun sulit untuk mencerna kata-kataku. Ia sendiri tak habis pikir dengan tindakanku yang nekad. "Hah! Ka-kamu emang mau ke mana?"
“Tunggu benar. Bilangin ke Ethan gue ke O'Eight!”
“Tapi itu kan kafe yang kebakaran. Ken—“
Belum sempat Mara menyelesaikan perkataannya, aku langsung pergi meninggalkannya. Berlari menuju ruko yang letaknya di ujung dari kafe ini. Mentari ... gue harap lo baik-baik saja.