Mereka berjalan ke luar dan masuk ke mobil Yasmine. Jalanan kota New York tidak pernah sepi, Will bahkan heran pada pejalan kaki yang terus berjalan seolah tidak ada tujuan. Tidak ada obrolan apapun selama perjalanan, keduanya sama-sama hanyut dalam pikiran masing-masing.
Strand Bookstore di siang hari terlihat ramai. Pengunjung dengan segala usia sibuk memilih-milih buku di setiap section. Pemandangan itu mau tak mau mengingatkan Will pada pertemuan keduanya dengan Hayley di Goldie’s Bookshop. Hayley berdiri di bagian kasir dengan wajah kecewa karena Will berpura-pura tidak mengingatnya.
Ingatan itu cukup membuatnya ingin menemukan Hayley sekarang juga. Will berlari menuju lantai atas sedangkan Yasmine bertanya pada kasir dan penjaga di situ.
“Apakah kalian melihat ada seseorang atau mungkin dua orang yang mencurigakan tadi pagi di sini?” tanya Yasmine penuh harap.
Penjaga itu menggeleng. “Tidak ada. Apakah kau sedang mencari seseorang?”
“Ya! Aku mencari—“
“Yasmine, ikuti aku!” panggil Will dari ujung tangga atas. Yasmine tersenyum dengan rasa bersalah pada penjaga itu dan menuruti Will untuk mengikutinya ke lantai atas.
“Penjaga itu akan melaporkan apa yang terjadi pada paparazzi jika kau memberitahunya bahwa kau mencari Hayley di sini,” desis Will kesal ketika mereka sudah berjalan beriringan.
Yasmine mendengus. “Lalu apa rencanamu terbaikmu? Mengelilingi setiap rak buku di sini dan mencari Hayley yang siapa tahu berada di ujung rak sedang membaca novel romansa dengan tangan dan kaki terikat? Itu terdengar bodoh, Mr. Morrison.”
Will berhenti secara tiba-tiba dan memutar tubuhnya menjadi menghadap Yasmine. Otot di rahangnya bergerak-gerak. “Kau membuatnya jelas bahwa kau tidak menyukaiku. Dan aku pun tidak begitu menyukaimu. Tapi untuk kali ini, kita harus satu jalan. Demi Hayley.”
Will meneruskan ketika Yasmine hanya terdiam, “Aku bertanya pada salah satu pelanggan, dia bilang ada apartemen di lantai paling atas bangunan ini. Apakah kau memiliki pemikiran yang sama sepertiku?” tanya Will melirik Yasmine yang bersedekap dada.
Yasmine balas melirik Will. “Logan menyembunyikan Hayley di situ.”
“Senang bekerja sama denganmu, Yas—Yasmine! Tunggu!” Will mengejar Yasmine yang sudah berlari menaiki tangga untuk menuju apartemen itu lebih dulu. Ia berlari sangat cepat, membuat Will terkagum-kagum. Terkadang kita tidak sadar dengan kemampuan hebat yang kita miliki sampai kita terpaksa harus menggunakannya.
Mereka bisa saja menaiki lift, tetapi Will tidak mau mengambil resiko Logan mengetahui kedatangan mereka. Ia berkali-kali memperingati Yasmine untuk berhati-hati, takut-takut suara langkah kaki mereka terdengar terlalu keras.
Ternyata, ada banyak pintu apartemen di lantai itu. Tidak mungkin rasanya jika mereka harus mengetuk pintu itu satu per satu, tapi Will rela melakukannya demi menemukan Hayley. Ketika ia berniat untuk mengetuk pintu bernomor 103, Yasmine tiba-tiba menarik jaketnya dan menyeretnya untuk bersembunyi di balik tong sampah yang besar.
Di sana, di ujung lobby, berjalan seorang pria yang masih mengenakan kemeja putih pesta dengan jas biru dongker yang disampirkan di bahu. Ia menyulut rokok dan asap rokok itu mengepul mengelilinginya, membuatnya terlihat seperti penjahat di komik mafia.
Logan.
Ia menekan kode sandi di dekat salah satu pintu dan masuk ke dalam apartemen itu. Will tidak sadar jika ia sudah melangkah maju jika tangan Yasmine tidak menarik bahunya untuk kembali duduk.
“Kau gila? Kita harus memanggil polisi. Hayley pasti berada di dalam apartemen itu,” bisik Yasmine. Ia mengeluarkan ponselnya dan memencet nomor yang sudah dihafalnya.
Yasmine baru saja selesai melaporkan keberadaan Hayley ketika ia menyadari bahwa Will sudah tidak berada di sebelahnya. Ia dibuat semakin panik ketika melihat Will memencet kode sandi di pintu apartemen itu dengan wajah yang dikuasai amarah. Will ternyata memerhatikan gerak-gerik jari Logan tadi.
“Will, you stupid son of bitjh!” rutuk Yasmine laku ikut mendekat ke arah pintu dengan langkah cepat.
Will langsung masuk ketika pintu sudah tidak terkunci dan di detik berikutnya ia sudah berlari menghantam Logan yang berdiri dengan wajah shock di dekat jendela. Logan terbanting, punggungnya menghantam lantai dengan keras. Seperti orang kesetanan, Will memukuli wajah yang pernah dicintai Hayley itu habis-habisan.
Meskipun sempat shock, Logan akhirnya bisa membalas pukulan Will. Ia menendang kepala Will yang berada di atasnya dari belakang. Will terhentak ke samping, kesempatan itu digunakan Logan untuk mengambil vas bunga terdekat dan melemparkannya ke wajah Will.
Will tidak mengaduh kesakitan. Ia mengambil pecahan vas bunga itu dan menusukkan ujungnya ke tangan Logan yang hendak bangun. Logan memekik ketiga lengannya mengeluarkan darah. Will kembali mengambil kontrol, ia memukul hidung Logan yang diyakini sudah patah dan menginjak perut rata lelaki itu keras-keras sambil menodongkan pecahan vas bunga ke wajahnya.
“Di mana Hayley?” tanya Will.
Logan tersenyum miring dengan hidung yang mengeluarkan darah. “Oh, William. William, William, William. Nama itu yang terus-menerus keluar dari mulut jalang itu.”
Terdengar suara tulang yang patah ketika Will menginjak pergelangan tangan Logan. Logan memekik untuk yang kesekian kalinya. Namun senyum miring itu kembali muncul.
“William, sekarang kau mungkin mencintainya, aku pernah ada di posisi itu. Tergila-gila pada lekuk tubuhnya, aromanya, bibir manisnya, suaranya. Tapi suatu saat nanti ketika dia sudah bosan mencintaimu dan berlagak seperti jalang, kau akan melakukan hal yang sama sepertiku. Kau akan mencari wanita yang lebih—AH!” Logan lagi-lagi memekik ketika Will menonjok bibirnya.
“Sebaiknya kau gunakan mulut sialanmu itu untuk menjawab pertanyaanku. Karena aku hanya akan mengizinkanmu untuk mengatakan itu sebelum menyatukan bibir atas dan bibir bawahmu dalam satu jahitan,” ancam Will kejam.
Logan tertawa. Tawanya terdengar perih di telinga. “Oh, William. Kau bahkan belum pernah melihatnya tanpa busana, tapi kau sudah kesetanan seperti ini. Ya, aku tahu soal itu, my darling Hayley mengatakannya sendiri. Sayangnya, kau tidak akan pernah karena dia sudah mati. Tetapi, kabar bagus, sebagai gantinya aku akan memberimu kaset. Kaset itu berisi—AH SHIT!” Will menonjok bibirnya lagi. Bibir Logan sudah diselimuti darah.
Hilang sudah kesabaran Will, ia menarik kerah Logan dengan kasar sampai pria itu berdiri lunglai dan membenturkan tubuh Logan ke kaca jendela secara keras berkali-kali. Nafas Will memburu, wajahnya memerah dikuasai amarah. Ia sudah tidak peduli atas konsekuensi yang akan ia hadapi jika Logan mati di tangannya.
Logan hampir kehilangan kesadaran ketika kepalanya membentur jendela dengan keras, tetapi tanpa Will sadari ia mengeluarkan sebuah pistol kecil dari saku belakang celananya dan mengarahkan pistol itu pada dada Will. Ia tersenyum penuh kemenangan ketika akan menarik pelatuknya. Sayangnya, senyum itu langsung pudar ketika merasakan peluru panas yang menembus kulitnya di bagian perut.
Ia menganga tak percaya melihat darah yang membasahi kemeja putihnya. Tatapannya langsung terarah pada Yasmine, yang berdiri di tengah ruangan, dengan pistol yang mengarah padanya. Tangan Yasmine gemetar, ia bahkan seperti lupa bernafas. Tidak percaya pada apa yang baru saja dilakukannya. Menembak Logan.
Will tersentak. Ia mundur beberapa langkah, membiarkan tubuh Logan jatuh perlahan ke lantai. Will berbalik, menatap Yasmine yang masih membeku di tempat dengan pistol yang mengarah pada Logan. Yasmine seperti kehilangan kesadaran dengan mata yang tak tertutup. Ia seperti hantu.
Perlahan, Will menyentuh pistol itu dan menurunkannya dari tangan Yasmine dengan lembut. “It’s okay, Yas. It’s okay. You’re okay,” ujar Will dengan suara yang menenangkan.
“I killed him,” rintih Yasmine. Matanya mengeluarkan air mata.
Will menggeleng lalu menarik Yasmine ke dalam pelukan. “No. He’s not dead, yet.” Will menyadari Logan yang masih bernafas, walaupun pendek-pendek. “You saved my life.”
Yasmine tidak berontak. Ia tetap terdiam membeku di dalam dekapan Will. “Hayley tidak ada di sini, dia pasti menjebak kita, dia—“
“Kita ke rooftop sekarang,” potong Will. “Logan berjalan dari arah rooftop tadi, ayo!” Ia merangkul Yasmine untuk berjalan keluar dari apartemen itu meninggalkan Logan yang sekarat.
Will benar. Entah bagaimana feeling-nya tentang Hayley selalu benar. Karena di sanalah Hayley, terikat di kursi kayu, dengan mata dan mulut yang tertutup kain hitam. Ia masih mengenakan pakaian hitam yang sama seperti tadi malam, bedanya jaketnya sudah hilang entah kemana. Logan sepertinya sengaja membuang jaket Hayley agar wanita itu kedinginan.
“Love,” panggil Will sembari berjalan mendekati Hayley dengan perlahan. “It’s okay, it’s me.”
Tubuh Hayley menegang seketika. Suara Will terdengar seperti mimpi. Hayley yakin ini mimpi, ia sedang sekarat, dan Will datang untuk menjemputnya menuju alam lain seperti di novel dan film-film. Will tidak ada di sini. Itu hanya halusinasinya saja. Logan tidak memberinya makan selama di sini, perutnya perih, kesadarannya perlahan mulai tak dapat dikontrol. Wajar jika dirinya berhalusinasi.
“Will. Will, kaukah itu?” tanya Hayley parau.
Will menyentuh kain hitam yang menutupi mata Hayley dengan hati-hati lalu membukanya dan ketika akhirnya matanya bertatapan dengan bola mata hijau itu lagi, ia menyesal karena bukan dirinya yang menembak Logan tadi. Will berharap Logan sudah mati sekarang. Mata Hayley sembab, tidak ada cahaya yang dikenalnya yang menguar dari mata itu. Mata itu seperti siap tertutup kapan saja.
Will berlutut di hadapan Hayley. “Yes, Love. Ini aku.” Ia lalu membuka ikatan yang mengikat kaki dan tangan Hayley dibantu oleh Yasmine yang masih sedikit gemetar.
“Apakah aku sedang sekarat? Apakah kau malaikat yang menjemputku?” tanya Hayley meracau. “Kau mirip sekali dengan Will.”
“It’s me, Love. You’re safe now.” Will menahan diri untuk tidak menangis melihat kondisi lemah Hayley. Ia mengangkat tubuh itu ke dengan hati-hati.
“Aku merindukan Will-ku,” gumam Hayley di gendongan Will. Kedua matanya setengah terbuka sekarang.
“Dia dehidrasi,” jelas Yasmine memegang pergelangan tangan Hayley yang memerah. “Logan tidak memberinya makanan atau minuman apapun dan membiarkannya di sini semalaman tanpa jaket.”
Will mempercepat langkahnya keluar dari rooftop menuju lift untuk membawa Hayley ke rumah sakit terdekat diikuti Yasmine yang berlari kecil untuk menyamakan langkahnya dengan Will. Dan ketika mereka sampai di lobby apartemen yang ditempati Logan, puluhan polisi sudah mengepung tempat itu. Mereka secara bersamaan menoleh ketika Will, Yasmine, dan Hayley yang masih sedikit sadar di gendongan Will muncul.
“Minggir, dia tidak butuh kalian. Dia butuh dokter!” seru Yasmine mendorong polisi-polisi itu agar tidak menghalangi langkahnya dan Will.
Yasmine terlihat mengerikan, membentak-bentak para polisi dengan berani dan mendorong mereka yang berani menyentuhnya untuk menanyakan sesuatu. “Kubilang minggir, kau tak punya telinga? Minggir!”
“Yasmine,” ujar Will berusaha menenangkan padahal dirinya sendiri pun panik setengah mati.
Mereka akhirnya masuk ke dalam lift. Yasmine buru-buru menutup pintu lift itu sebelum salah satu polisi ikut masuk. Nafas Yasmine terengah-engah, Will di sebelahnya tidak mengatakan apapun. Ia membiarkan Yasmine menenangkan diri.
“Jangan tinggalkan aku lagi, Will,” bisik Hayley sangat pelan. Matanya sudah tertutup sempurna. “I wanna go home,” lanjutnya semakin pelan.
“I’ll get you home, Love. I’ll get you home. I promise,” balas Will lalu mengecup kening Hayley yang terasa dingin.