Read More >>"> Perhaps It Never Will (Chapter 21) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Perhaps It Never Will
MENU
About Us  

            Jeremy keluar dari toko buku dengan penuh senyuman. Meskipun ia sempat meragukan Jenna, tapi rasanya senang jika melakukan sebuah misi dengan orang yang kau percaya. Mereka berjalan menuju alamat yang diberikan Ronnie. Dan ketika akhirnya sampai, mereka dibuat cemas karena rumah itu terlihat seperti tak berpenghuni.

            Tidak ada lampu yang menyala di dalam. Tidak ada suara. Seolah tidak ada kehidupan di dalamnya. Jenna sempat mengira bahwa Ronnie mempermainkannya, namun ketika melihat inisial WM yang terukir di dinding bawah kotak surat, ia yakin bahwa ini tempat yang benar.

            “Bagaimana jika ia tidak ada? Kita sudah berusaha sejauh ini,” kata Jeremy menatap cemas ke arah jendela rumah.

            Jenna maju untuk membuka gerbang kediaman sederhana itu. Dan tanpa berpikir dua kali, ia mengetuk pintu itu lumayan keras. Sekali, dua kali, tiga kali, tidak ada sahutan. Mereka lagi-lagi hampir putus asa ketika akhirnya pintu tersebut terbuka dan menampakkan sosok tampan Will yang kondisinya tidak jauh berbeda dari Jenna siang tadi. Will terlihat sangat lelah, tidak ada semangat hidup yang terukir di wajahnya. Sangat berbeda dengan Will yang Jeremy lihat malam itu.

            “Will,” ucap Jeremy. “Aku Jeremy, kau mengingatku?”

            Will tersenyum tipis tidak sampai ke matanya. “Halo, mate.” Tatapannya lalu beralih pada Jenna. “Kau pasti Jenna.”

            Jenna mengangguk. Ia tiba-tiba ingin menangis melihat kondisi Will.

            “Apakah orang tua kalian tahu kalian di sini?” tanya Will melihat ke sekeliling.

            Jeremy menggeleng sedangkan Jenna mengangguk. Will hampir tertawa melihatnya.

            “Masuklah kalau begitu.” Will membuka pintu lebih lebar dan ketika akhirnya Jenna dan Jeremy sudah masuk, mereka baru mendengar suara. Suara bayi menangis.

            “Aku akan ke lantai atas sebentar,” ucap Will yang akan menenangkan bayinya namun Jenna menggeleng tak setuju.

            “Kami ikut,” pinta Jenna. Will tidak memiliki pilihan selain mengangguk.

            Mereka bertiga berjalan menaiki tangga dalam diam, hanya diiringi dengan suara tangis bayi. Jenna tak bisa menahan diri untuk tidak melihat sekitar. Banyak sekali buku-buku yang mengelilingi ruangan. Lantai bawah dan lantai atas dikuasai oleh rak dan buku, tidak ada televisi. Tidak heran mengapa rumah itu terlihat sepi dan tak berpenghuni dari luar.

            Will mengajak mereka masuk ke sebuah kamar dan aroma bayi yang khas langsung menyeruak masuk ke hidung mereka. Jenna tanpa sadar langsung mendekat ke arah ranjang box bayi yang terletak di sudut kamar dan menatap makhluk mungil yang terbaring di dalamnya sambil tersenyum. Ia menyukai bayi.

            Jeremy memperhatikan gerak-gerik Will ketika dia mengangkat bayi itu ke pundaknya dengan hati-hati dan menenangkannya dengan cara menepuk-nepuk punggungnya perlahan.

            “Di mana istrimu? Bukankah seharusnya ini tugasnya? Papa tidak pernah melakukan hal ini ketika adik-adikku masih bayi,” tanya Jeremy polos. Jenna melempar tatapan penuh peringatan kepada Jeremy.

            “Tidak ada istri, Jer. Tidak semua orang beruntung memiliki istri dan anak sekaligus,” jawab Will datar. Bayi di gendongannya sudah mulai tenang merasakan kembali kehadiran ayahnya.

            Kini giliran Jenna yang bingung. “Tapi kata Grandma, kalian akan menikah. Maksudku kau dan ibu bayi lucu ini.” Ia mencolek tangan kecil bayi itu dengan gemas sesekali.

            Will akhirnya duduk di ujung ranjang besar dan kedua adik Hayley itu mengikutinya. “Tidak. Ibu dari bayi ini sudah cukup baik untuk mengirimkan ASI setiap hari. Kami tidak akan menikah, untuk sekarang.”

            Entah kenapa Jenna merasa lega. Itu berarti masih ada kesempatan bagi mereka untuk meminta Will membawa Hayley kembali. Namun kemudian, bayi itu menarik perhatiannya. Tidak, Will tidak akan bisa membantunya. Ada seseorang yang lebih membutuhkan kehadiran Will di sini.

            “Siapa nama bayi ini?” tanya Jeremy, menatap bayi itu dengan penuh kekaguman. Ia menatap bola mata Will dan bola mata bayi itu bergantian, memastikan jika bola mata keduanya memang sama persis.

            Will menatap bayi itu lama sebelum akhirnya menjawab. “Wilhelmina Florence Morrison.”

            “Wilhelmina? Itu nama tengah Hayley! Apakah ini anak Hayley?” Jeremy kaget. Ia terlonjak hingga hampir terjatuh dari pinggir kasur.

            “Jeremy! Tidak baik berkata seperti itu!” tegur Jenna tajam. Ia melotot.

            “Aku hanya bertanya, Jen,” elak Jeremy tidak terima sambil membetulkan posisi duduknya.

            Tanpa mereka duga, Will tertawa. Tawa yang aneh karena tidak ada atmosfer kebahagiaan yang keluar dari tawanya. “Bukan. Ini bukan anak Hayley, walaupun aku berharap seperti itu.”

            Jenna menatap Will penuh iba sedangkan yang ditatap pura-pura tidak menyadari dan sibuk dengan bayi di gendongannya. Suasana menjadi hening, hanya ada detak jarum jam yang menyadarkan Jenna jika mereka harus kembali ke rumah secepatnya sebelum Mum menyadari kepergian mereka.

            “Jadi, ada keperluan apa kalian ke sini? Tidak mungkin kan jika kalian ke sini karena merindukanku? Walaupun aku memang hebat membuat orang lain rindu.” Will tersenyum. Kali ini Jeremy dapat melihat dengan jelas bawah mata Will yang sangat hitam.

            “Hayley,” ucap Jenna bersamaan dengan Jeremy yang berkata, “Kakakku.”

            Mendengar nama itu untuk kesekian kalinya membuat hati Will serasa ditusuk-tusuk oleh ribuan duri. Sakit rasanya ketika hanya bisa mendengar orang lain menyebut nama itu tanpa bisa menyentuh orang itu secara langsung. Hayley-nya.

            Ia menghabiskan beberapa hari ini untuk bertahan. Bertahan hidup. Bertahan untuk mengurusi bayi. Bertahan untuk tidak memesan tiket dan pergi ke New York untuk menemui Hayley untuk menjelaskan semuanya. Bertahan untuk kuat dalam menghadapi semua ini sendirian.

            “Ada apa dengan Hayley?” tanya Will pelan. Mulutnya serasa pahit ketika mengatakan nama itu. Seperti tak pantas setelah apa yang dilakukannya.

            “Kau tahu betul ada apa,” jawab Jenna lalu berdiri dari duduknya. “Dia pergi meninggalkan kami dan tidak akan pernah kembali. Dan itu semua karenamu,” lanjut Jenna.

            Jeremy menggeleng tak setuju. “Tidak, Jen. Itu bukan salah Will. Kau sendiri yang bilang itu adalah salah Grandma dan Matt.”

            “Kau tidak mengerti, Jeremy. Dia juga termasuk penyebab Hayley pergi. Kalau dia tidak punya bayi—“

            “Bayinya juga tidak salah!” potong Jeremy membela. “Kau ini kenapa? Tadi kau baik-baik saja.”

            “Aku marah, Jer. Tidakkah kau lihat? Aku marah karena semua orang menyakiti orang yang kusayang. Kau tidak mengerti—“

            “Aku mengerti! Ini ideku, membawamu ke sini untuk bertemu Will dan meminta bantuannya untuk membawa Hayley kembali. Jadi, jangan kau bilang aku tidak—“

            Wilhelmina kembali menangis mendengar perdebatan kakak beradik itu. Will kembali menenangkannya, ia menatap Jenna dan Jeremy dengan tatapan penuh peringatan. Membuat Jenna hampir merasa takut kalau saja amarahnya tidak berkobar-kobar. Beberapa menit kemudian setelah Wilhelmina tenang, Will dengan telaten menidurkan bayi itu di dalam box dan memberi kode pada kedua bocah itu untuk mengikutinya ke luar kamar.

            Di luar kamar, Will mengambil tempat di dekat jendela. Ia berdiri di situ sambil menatap ke luar, ke langit yang cerah, berbeda jauh dengan suasana hatinya. Baik Jenna maupun Jeremy merasa tidak nyaman dengan keheningan ini. Rasanya lebih baik menghilang daripada tidak diacuhkan seperti ini.

            Will akhirnya berbalik, menatap kedua adik tiri Hayley lekat-lekat. “Jenna benar, ini salahku. Seharusnya aku tetap pura-pura tidak mengenalnya dan mengubur perasaan ini dalam-dalam. Tapi, aku manusia biasa, begitupun Hayley. Fakta bahwa dia menyimpan novelku selama ini adalah bukti bahwa perasaan kami sama. Hanya saja kami berdua pengecut, tidak berani mengambil resiko.

            “Jen, Jer, duniaku dan Hayley berbeda. Dia seorang bintang, aktor terkenal, hidupnya penuh glamour. Dia pantas berada di mana ia sekarang. Sedangkan aku, aku hanya penulis yang terkenal dengan nama pena. Dan orang tua tunggal. Hayley lebih baik tanpaku. Ketika kalian dewasa nanti, kalian akan paham.” Will kembali menatap ke luar jendela, menyembunyikan retakan di hatinya.

            “Aku tidak pernah mau jatuh cinta jika menyakitkan seperti ini,” celetuk Jeremy. Menatap nanar punggung Will.

            “To love is to destroy and to be loved is to be the one destroyed. Have you ever heard that quote, Jer?” tanya Will pilu.

            Jeremy menggeleng. Jenna di sebelahnya pun tanpa sadar ikut menggeleng.

            “I guess you have to read The Mortal Instruments series then, it’s one of my favorite book series,” jawab Will tertawa tanpa humor. Sepersekian detik kemudian, suasana kembali hening.

            Jenna maju beberapa langkah sehingga saat ini dirinya tepat berada di samping Will. “Tapi bagaimana jika Hayley tetap menginginkanmu dan sedang menunggumu kembali padanya?” tanya Jenna.

            Pertanyaan itu mengejutkan Will. Karena jujur saja, ia tidak begitu yakin. Hayley pantas mendapatkan seseorang yang lebih baik darinya. Hayley pantas mendapatkan seseorang yang bukan pembohong. Hayley pantas mendapatkan seseorang yang tidak memiliki anak dari orang yang tidak ia cintai. Hayley pantas mendapatkan kembali karirnya di industri perfilm-an di New York, bukan menjadi pegawai toko buku di The Cotswolds.

            Hayley lebih bahagia tanpanya.

            “Hayley tahu yang terbaik untuk dirinya sendiri dan menungguku kembali padanya bukan salah satunya,” jawab Will tanpa ekspresi, membuat Jenna hampir memukulnya.

            Jenna menggeleng tak habis pikir. Gerak-geriknya persis seperti Hayley. “Kau lebih pengecut dari yang kukira.” Ia mengalihkan tatapannya pada Jeremy. “Jer, misi kita gagal. Orang yang kita kira pahlawan ternyata hanya seorang pengecut. Ayo, kita pulang.”

            Namun, Jeremy tetap mematung di tempatnya berdiri. Ia menatap Will yang kini balas menatapnya dengan lurus. “Kakakku masih butuh permintaan maaf darimu. Jika kau tidak mau memperjuangkannya, paling tidak meminta maaf lah padanya.”

            Jeremy akhirnya mengikuti langkah Jenna menuruni tangga. Keduanya tampak kecewa, raut wajah mereka jauh berbeda dibanding saat datang tadi. Will mau tak mau merasa bersalah. Rasa bersalahnya semakin bertambah setiap harinya. Dan ia tidak tahu cara mengurangi atau menghindari semua itu.

            Semua orang seperti membencinya. Padahal tidak ada yang lebih membencinya daripada dirinya sendiri. Ia hanya memiliki Wilhelmina di hidupnya, tidak ada orang lain lagi. Dan ia yakin ketika besar nanti, Mina akan ikut membencinya karena hal ini. Pemikiran itu pun akhirnya membuat dirinya sadar. Ia tidak bisa menanggung kebencian dari satu-satunya orang di dalam hidupnya.

            Will berlari untuk mengejar Jeremy dan Jenna yang diyakini sudah berada di gerbang depan ketika tiba-tiba langkahnya harus terhenti. Karena Jenna dan Jeremy masih berdiri di ambang pintu. Namun, bukan hal itu saja yang membuatnya mematung, melainkan kehadiran seseorang di dekat mereka yang membuat Will ingin menghilang.

            “Gigi?”

            Matthew menatap Will dengan ekspresi yang tak terbaca. “Hello, William.”

***

 

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Luka Dan Perkara Cinta Diam-Diam
5303      2097     22     
Romance
Kenangan pahit yang menimpanya sewaktu kecil membuat Daniel haus akan kasih sayang. Ia tumbuh rapuh dan terus mendambakan cinta dari orang-orang sekitar. Maka, ketika Mara—sahabat perempuannya—menyatakan perasaan cinta, tanpa pikir panjang Daniel pun menerima. Sampai suatu saat, perasaan yang "salah" hadir di antara Daniel dan Mentari, adik dari sahabatnya sendiri. Keduanya pun menjalani h...
Jelita's Brownies
2915      1259     11     
Romance
Dulu, Ayahku bilang brownies ketan hitam adalah resep pertama Almarhum Nenek. Aku sangat hapal resep ini diluar kepala. Tetapi Ibuku sangat tidak suka jika aku membuat brownies. Aku pernah punya daun yang aku keringkan. Daun itu berisi tulisan resep kue-kue Nenek. Aku sadar menulis resep di atas daun kering terlihat aneh, tetapi itu menjadi sebuah pengingat antara Aku dan Nenek. Hanya saja Ib...
SORRY
14433      2740     11     
Romance
Masa SMA adalah masa yang harus dipergunakan Aluna agar waktunya tidak terbuang sia-sia. Dan mempunyai 3 (tiga) sahabat cowok yang super duper ganteng, baik, humoris nyatanya belum untuk terbilang cukup aman. Buktinya dia malah baper sama Kale, salah satu cowok di antara mereka. Hatinya tidak benar-benar aman. Sayangnya, Kale itu lagi bucin-bucinnya sama cewek yang bernama Venya, musuh bebuyutan...
Call Kinna
3899      1564     1     
Romance
Bagi Sakalla Hanggra Tanubradja (Kalla), sahabatnya yang bernama Kinnanthi Anggun Prameswari (Kinna) tidak lebih dari cewek jadi-jadian, si tomboy yang galak nan sangar. Punya badan macem triplek yang nggak ada seksinya sama sekali walau umur sudah 26. Hobi ngiler. Bakat memasak nol besar. Jauh sekali dari kriteria istri idaman. Ibarat langit dan bumi: Kalla si cowok handsome, rich, most wante...
Allura dan Dua Mantan
2960      949     1     
Romance
Kinari Allura, penulis serta pengusaha kafe. Di balik kesuksesan kariernya, dia selalu apes di dunia percintaan. Dua gagal. Namun, semua berubah sejak kehadiran Ayden Renaldy. Dia jatuh cinta lagi. Kali ini dia yakin akan menemukan kebahagiaan bersama Ayden. Sayangnya, Ayden ternyata banyak utang di pinjol. Hubungan Allura dan Ayden ditentang abis-abisan oleh Adrish Alamar serta Taqi Alfarezi -du...
Negeri Tanpa Ayah
8608      1925     0     
Inspirational
Negeri Tanpa Ayah merupakan novel inspirasi karya Hadis Mevlana. Konflik novel ini dimulai dari sebuah keluarga di Sengkang dengan sosok ayah yang memiliki watak keras dan kerap melakukan kekerasan secara fisik dan verbal terutama kepada anak lelakinya bernama Wellang. Sebuah momentum kelulusan sekolah membuat Wellang memutuskan untuk meninggalkan rumah. Dia memilih kuliah di luar kota untuk meng...
Palette
3918      1575     6     
Romance
Naga baru saja ditolak untuk kedua kalinya oleh Mbak Kasir minimarket dekat rumahnya, Dara. Di saat dia masih berusaha menata hati, sebelum mengejar Dara lagi, Naga justru mendapat kejutan. Pagi-pagi, saat baru bangun, dia malah bertemu Dara di rumahnya. Lebih mengejutkan lagi, gadis itu akan tinggal di sana bersamanya, mulai sekarang!
RUMIT
4124      1399     53     
Romance
Sebuah Novel yang menceritakan perjalanan seorang remaja bernama Azfar. Kisahnya dimulai saat bencana gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi yang menimpa kota Palu, Sigi, dan Donggala pada 28 September 2018. Dari bencana itu, Azfar berkenalan dengan seorang relawan berparas cantik bernama Aya Sofia, yang kemudian akan menjadi sahabat baiknya. Namun, persahabatan mereka justru menimbulkan rasa baru d...
Aku Benci Hujan
4944      1410     1     
Romance
“Sebuah novel tentang scleroderma, salah satu penyakit autoimun yang menyerang lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki.” Penyakit yang dialami Kanaya bukan hanya mengubah fisiknya, tetapi juga hati dan pikirannya, serta pandangan orang-orang di sekitarnya. Dia dijauhi teman-temannya karena merasa jijik dan takut tertular. Dia kehilangan cinta pertamanya karena tak cantik lagi. Dia harus...
Hujan Paling Jujur di Matamu
5404      1483     1     
Romance
Rumah tangga Yudis dan Ratri diguncang prahara. Ternyata Ratri sudah hamil tiga bulan lebih. Padahal usia pernikahan mereka baru satu bulan. Yudis tak mampu berbuat apa-apa, dia takut jika ibunya tahu, penyakit jantungnya kambuh dan akan menjadi masalah. Meski pernikahan itu sebuah perjodohan, Ratri berusaha menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik dan tulus mencintai Yudis. Namun, Yudis...