Setelah berpikir keras selama berjam-jam untuk menentukan apakah Yasmine harus mengetahui peringatan dari Jessie atau tidak, Hayley akhirnya mengungkapkan semuanya pada Yasmine malam itu. Mereka duduk di sofa empuk, menonton TV Series Shooter sambil menyantap popcorn.
Reaksi Yasmine di luar dugaan Hayley. “Aku tahu tadi siang kau berbohong di fitting room. Dan aku tahu Jessie menemuimu. Aku melihatnya ke luar toko dengan terburu-buru ketika sedang mengambil gaunmu.”
Hayley memutar tubuhnya sehingga sekarang ia menghadap Yasmine yang duduk di sampingnya. “Mengapa kau tidak mengatakan sesuatu?”
“Aku tidak akan pernah memaksakan suatu hal darimu. Tadinya, jika kau tidak memberitahuku, aku akan mencari tahu sendiri.” Pandangan Yasmine memang tertuju pada layar televisi di depannya, namun pikirannya melayang ke tempat lain.
Hayley menyentuh tangan Yasmine perlahan. “Aku tidak bermaksud untuk meragukanmu. Hanya saja apa yang dikatakan Jessie benar-benar membuatku takut. Bagaimana jika memang benar Logan memiliki kaset dengan videoku di dalamnya? Bukan karirku saja yang hancur, tapi seluruh hidupku.”
Yasmine mematikan TV dengan remot dengan sekali klik lalu memusatkan perhatiannya pada Hayley. Ia balas menggenggam tangan Hayley. “Hay, aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Sudah berbulan-bulan aku dan tim berusaha mengembalikan nama baikmu. Sudah berbulan-bulan pula kau menderita. Aku tidak sanggup melihatmu menderita lagi, kau tidak layak mendapatkannya. Jadi, biarkan aku menyusun rencana.”
Hayley menatap Yasmine penuh tanya. “Rencana apa? Bukankah seharusnya kau memberitahu pengacaraku tentang itu?”
Yasmine tersenyum penuh misteri. “Rencana yang ini tidak melibatkan siapapun kecuali kau dan aku.”
Di detik itu Hayley sadar bahwa rencana apapun yang akan keluar dari mulut Yasmine sebaiknya tidak ada yang tahu selain dirinya dan wanita itu karena Hayley yakin rencana itu berbau kriminal atau penjebakan.
“Tidak, Yas, Tidak.” Hayley menggeleng, menjauhkan tubuhnya dari Yasmine.
“Aku bahkan belum memberitahumu rencanaku,” tukas Yasmine tidak terima.
“Tidak perlu, aku sudah tahu,” balas Hayley berusaha mencari remot untuk kembali menyalakan TV. Ia menemukannya di bawah paha Yasmine. Namun, ketika hendak mengambil benda itu, Yasmine mencegahnya.
“God damn it! Let me explain it first,” pinta Yasmine. “Please.”
Hayley menghela nafas kasar. Ia akhirnya mengalah. “Go ahead.”
Yasmine menegakkan posisi duduknya, setelah sebelumnya menjauhkan remot dari jangkauan Hayley. “Saat ini di apartemen Logan tidak ada siapapun kan? Ya karena dirinya dan Jessie sudah putus. Dia kembali sendiri.”
Hayley hanya mengangguk malas.
“Langkah pertama, ajak dia bertemu di suatu tempat. Katakan padanya kau ingin membicarakan semua ini dengan face to face. Langkah kedua, ketika kalian bertemu, katakan apapun yang akan menyenangkan dirinya dan membuat dia merasa menang atas dirimu. Itu sangat baik untuk mengulur waktu ketika aku masuk ke apartemennya dan mengambil kaset sialan itu,” lanjut Yasmine penuh percaya diri.
“Ide yang bagus,” balas Hayley seperti menimang-nimang saran ini. “Tapi tetap saja, jawabanku, tidak.”
Yasmine mengacak rambutnya frustasi. “Ya Tuhan, Hay. Kau benar-benar keras kepala.”
“Kau gila, Yas. Bagaimana jika kau tertangkap? Semua ini akan semakin rumit. Dan bagaimana pula kau bisa masuk ke apartemennya? Aku mengapresiasi idemu itu, tapi ini semua tidak layak jika berakhir dengan buruk.” Hayley menggeleng tak habis pikir.
Yasmine berdiri dari duduknya. “Jadi, kau akan membiarkan dia menyebarkan video itu begitu saja tanpa melakukan apapun? Ya, memang benar kau bisa mengelak dan mengaku bahwa kau korban di persidangan, tapi video itu tetap akan tersebar, Hay. Semua orang akan tahu. Aku tidak rela jika semua itu terjadi, aku tidak pernah rela!” Ia berjalan begitu saja meninggalkan Hayley di ruang tamu seorang diri.
Hayley menatap kosong ke arah TV yang masih mati. Yasmine salah jika mengira bahwa ia akan membiarkan Logan menyebarkan video itu. Tapi, ia tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri jika sesuatu yang buruk menimpa Yasmine ketika mereka melakukan rencana itu. Hayley sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Yasmine. Semua orang yang dia kira adalah keluarganya, sahabatnya, mengkhianatinya.
Ia tidak bisa kehilangan Yasmine. Sudah cukup dengan hatinya yang hancur ketika harus pergi dari Will, ia tidak mau hal itu terjadi lagi. Maka dari itu, ia harus memikirkan rencana lain. Rencana yang tidak melibatkan siapapun kecuali dirinya sendiri.
***
Sudah tiga hari Hayley pergi dari kediaman Jane. Dan sudah tiga hari pula Jenna enggan keluar dari kamar yang selama berbulan-bulan ditempati Hayley. Madison telah melakukan beberapa cara untuk membujuk Jenna, namun gadis kecil itu tetap tak mau keluar kamar. Jeremy bahkan turut andil dalam hal itu.
“Jen, kau belum sarapan. Ini sudah pukul dua siang. Bukalah pintunya, biarkan aku masuk,” pinta Jeremy dengan nampan berisi makanan dan minuman di tangannya.
Tidak ada sahutan suara dari dalam, tapi beberapa detik kemudian pintu kamar terbuka. Menampakkan raut wajah Jenna yang kusut dan matanya yang sembab. Ia tidak mengatakan apapun pada Jeremy, hanya membuka pintu kamar sedikit lebar. Memberi kode pada adiknya untuk masuk.
Jeremy pun masuk dan menaruh nampan itu di atas meja rias yang sekarang terlihat kosong, tidak ada lagi peralatan make-up Hayley. Hal itu mau tak mau membuat hatinya mencelos. Mereka semua merindukan Hayley. Jeremy bahkan rela melakukan apapun untuk membuat Hayley kembali. Namun sepertinya, Hayley tidak akan pernah mau untuk kembali.
“Makanlah, Jen.” Jeremy duduk di ujung ranjang.
“Aku tidak lapar,” tolak Jenna yang sudah kembali menyembunyikan tubuhnya di bawah selimut. Menghirup aroma tubuh Hayley yang menempel di situ dalam-dalam.
Jeremy menghela nafas lalu ikut berbaring di samping Jenna. Ia menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. “Aku minta maaf, Jen. Ini semua salahku. Hayley pergi karena aku. Kalau saja malam itu aku tidak bersikeras untuk tidur di rumah Matt, ini semua tidak akan terjadi.”
Jenna mengintip wajah Jeremy dari balik selimut. “Bukan salahmu. Ini salah Matt dan Grandma yang berbohong pada Hayley.”
Jeremy tidak membalas. Ia hanya tetap diam, mendengarkan hembusan angin dari jendela yang terbuka. Selama beberapa menit, hanya ada keheningan di antara kakak beradik yang biasanya beradu mulut itu. Jeremy sibuk memikirkan cara agar Hayley kembali sedangan Jenna masih kalut dalam rasa kehilangannya.
“Aku tahu seseorang,” ujar Jeremy tiba-tiba.
“Seseorang untuk apa?” tanya Jenna sedikit penasaran.
“Seseorang yang bisa membuat Hayley kembali,” jawab Jeremy.
Jenna kembali menenggelamkan tubuhnya di bawah selimut. Merasa hilang harapan. “Seseorang yang dapat membuat Hayley kembali hanya Hayley sendiri.”
“Will. Will bisa membuat Hayley kembali. Ayo kita temui dia!” ajak Jeremy bersemangat.
Jenna menggeleng lemah. “Kau dengar sendiri apa yang dikatakan Grandma kemarin, pemuda Will itu sudah memiliki anak dan mungkin istri. Tidak ada kesempatan bagi kita untuk membuatnya membawa Hayley kembali.”
“Kau tidak tahu sebelum kau mencoba,” bantah Jeremy yang masih bersemangat. Ia menarik tangan Jenna untuk beranjak dari kasur.
Jenna tetap tidak bergeming. “Jer, sadarkah kau? Hayley berada sangat jauh di Amerika sedangkan Will di sini dan dia memiliki bayi. Tidak mungkin dia bisa membantu kita. Keluarlah, aku butuh waktu sendiri. Terima kasih atas sarapan dan makan siangnya.” Jenna mengubah posisinya menjadi memunggungi Jeremy.
Namun, bukan Jeremy Lexington namanya jika mengalah begitu saja. Ia menarik selimut yang menutupi tubuh Hayley dan melemparnya ke lantai. Membuat kakaknya itu memekik kaget.
“Jeremy! Kembalikan selimut itu!” pekik Jenna.
“Menemui Will lebih baik dibanding hanya bersedih di dalam kamar sampai kepalamu pusing. Kau punya waktu lima menit untuk bersiap. Jika dalam waktu lima menit itu kau belum siap, aku akan menyeretmu sendiri. Kau tahu kan meskipun aku lebih muda darimu, tubuhku lebih kuat. Aku laki-laki sejati.” Jeremy tersenyum bangga lalu keluar dari kamar itu. Sama sekali tidak memedulikan ocehan protes yang keluar dari mulut Jenna.
Tidak ada siapa-siapa ketika Jeremy menginjakkan kaki di lantai bawah. Jane pergi berkebun dan Madison, January, Josephine, serta Jillian pergi ke rumah Matthew. Entahlah mereka lebih suka menghabiskan waktu di sana akhir-akhir ini. Madison berjanji akan pulang sebentar lagi.
Sudah lima menit, Jenna tak kunjung turun. Jeremy jengkel dan hendak kembali ke atas untuk menyeret kakaknya itu ketika yang ditunggu akhirnya memunculkan diri. Tanpa bisa ditahan, Jeremy tersenyum karena rencananya untuk membuat Jenna keluar kamar berhasil.
“Berhenti tersenyum seperti itu, freak.” Jenna cemberut.
Jeremy membuka pintu rumah. “Aku tidak akan melaporkan pada Mum kau mengatakan kata itu. Tenang saja.”
Jenna mengikuti langkah Jeremy keluar rumah. “Aku tidak peduli, freak.”
Jeremy tertawa puas dan baru berhenti ketika mereka sampai di persimpangan. Ia baru ingat jika Hayley tidak pernah memberitahunya di mana Will tinggal. Jenna mengomelinya dan meracau bahwa seharusnya dirinya tidak pernah menyetujui rencana Jeremy.
Tetapi Jeremy tidak kehilangan ide. Ia menarik Jenna yang masih mengomel untuk berjalan menuju Goldie’s Bookshop. Ia tahu harus menemui siapa. Ronnie. Karena ketika dirinya mengantarkan novel milik Will dari Hayley, Ronnie ada di situ.
“Will tinggal di toko buku? Tidak mungkin, kau ini aneh—“
“Suttt,” potong Jeremy. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar. Goldie’s Bookshop terlihat sepi. Awalnya, Jeremy mengira toko itu tutup dan hampir kehilangan harapan. Ketika akhirnya ia menyadari tulisan ‘Open’ di pintu dan langsung berlari masuk tanpa berpikir panjang.
“Ronnie! Ronnie!” seru Jeremy. Jenna mengikutinya dari belakang. Ia terlihat ingin menghilang sekarang juga.
Yang dipanggil akhirnya keluar dari suatu ruangan dengan wajah kesal. Sebelumnya tidak pernah ada anak berumur sepuluh tahun yang memanggilnya seperti orang kesetanan seperti itu.
“Apa maumu, anak kecil?” tanya Ronnie jengkel.
“Aku bukan anak kecil! Umurku sudah sepuluh tahun,” bantah Jeremy tak terima.
Ronnie memutar bola matanya. “Terserah. Buku apa yang sedang kau cari?”
Jeremy menggeleng. “Aku tidak sedang mencari buku. Aku sedang mencari rumah Will.”
Ronnie menatap Jeremy dan Jenna bergantian dengan tatapan tak terbaca. Ada sorot kebencian dari sudut matanya. Jeremy tak paham mengapa Ronnie terlihat semakin kesal ketika mendengar nama Will.
“Aku tidak tahu,” balas Ronnie lalu hendak berjalan kembali masuk ke ruangan.
“Kau sudah tua, seharusnya kau lebih pintar dalam berbohong,” celetuk Jenna. “Aku bisa melihat kau sedang berbohong.”
Ronnie secara spontan kembali berjalan mendekati dua bocah itu dengan emosi yang menggebu-gebu. “Dengar, aku tidak peduli. Aku tidak mau berurusan lagi dengan pria itu. Dan aku hanya akan melayani pelanggan yang membeli buku. Jadi, jika kalian di sini hanya untuk membuang-buang waktu, pergilah.”
Jeremy terlihat putus asa. Ekspresinya sedih, kehilangan harapan satu-satunya. Ia bisa saja keliling Castle Combe untuk mencari kediaman Will, tapi ia yakin Mum dan Grandma akan melarangnya. Melihat hal itu, Jenna pun beraksi. Ia berjalan menuju rak-rak buku dan mengambil dua novel remaja dan meletakkannya di meja kasir secara kasar.
“Dua novel untuk dua permintaan. Pelanggan adalah raja bukan? Pengusaha sepertimu pasti tahu tentang itu,” ujar Jenna menatap Ronnie tajam. Tatapan itu mengingatkan Ronnie pada Hayley ketika wanita itu mengancamnya jika dirinya membocorkan siapa Hayley sebenarnya ke publik.
Jeremy tersenyum bangga melihat aksi kakaknya. Ronnie mendengus lalu membungkus dua novel itu. Jenna membayar keduanya dan mengambil paper bag itu dari tangan Ronnie dengan kasar.
“Permintaan pertama, beritahu kami di mana Will tinggal.” Jenna melipat tangannya di depan dada.
Dengan setengah hati, Ronnie memberitahu alamat rumah Will dan Jeremy langsung mencatatnya di kertas bekas yang tergeletak di atas meja kasir. Ronnie ingin protes, tapi ia memilih diam. Rasanya tidak benar bahwa sekarang dirinya dikepung oleh dua orang di bawah umur.
“Permintaan kedua, tersenyumlah ketika menyambut pelanggan. Itu hal terakhir yang bisa kau lakukan karena Hayley sudah tidak di sini lagi untuk membantu toko bukumu menjadi ramai.” Setelah mengatakan hal itu, Jenna menggandeng lengan Jeremy untuk keluar dari toko buku. Meninggalkan Ronnie yang menahan emosi setengah mati. Ia tidak percaya jika dirinya diperlakukan seperti itu.
***