Setelah puas tertawa sampai berlinang air mata, Hayley akhirnya bisa diam duduk di sebelah Will sambil menatap pria itu dengan seksama. Will tidak berkata apapun, ia membiarkan Hayley lama-lama menatapnya. Meskipun jantungnya sudah berdetak tidak karuan. Will baru berbicara ketika Hayley menaruh kepala di pundaknya.
“Siap untuk petualangan lagi?” tanya Will pelan. Tangannya menggenggam tangan Hayley yang dingin.
“Petualangan apa malam ini?” tanya balik Hayley, ada seringaian usil di bibirnya.
“Well.” Will berdiri dari duduknya. “Kendaraan sudah siap.” Ia menunjuk pada sepeda abu-abu yang sekitar sebulan lalu ia curi lalu dikembalikan lagi. Sepeda milik perawat. Sepeda itu sedikit tersembunyi di balik semak-semak.
“Ya Tuhan, Willy.” Hayley ikut berdiri dan menggeleng tak percaya. “Kalau kedua kalinya berarti namanya benar-benar mencuri,” lanjut Hayley sambil terkekeh.
Will mengambil sepeda itu dan kembali ke dekat Hayley. “Tidak, Love. Ini masih masuk ke dalam kategori meminjam karena aku tidak membawanya ke rumah selama berhari-hari atau menggunakannya untuk bekerja.”
Hayley naik ke bagian belakang sepeda lalu memeluk Will dari belakang ketika lelaki itu mulai mengayuh sepeda menjauhi taman.
“Aku penasaran, apa yang sedang perawat itu lakukan ketika kita ‘meminjam’ sepedanya,” ujar Hayley.
Will tergelak. “Mungkin sedang melihat ke arah jendela dan bertanya-tanya kemana perginya sepeda ini. Dan kembali lagi melihat ke jendela dua jam kemudian, menganggap dirinya tadi hanya mengada-ngada.”
“Kau benar-benar licik, Willy.” Hayley mengeratkan pelukannya pada tubuh Will yang hangat.
“Aku suka setiap kali kau memanggilku seperti itu.” Will mengaku.
“Willy?”
Will mengangguk, rambutnya ikut bergoyang. “Kau orang kedua yang memanggilku seperti itu.”
Hayley jelas terkejut dengan pengakuan itu. Ia dengan refleks melepaskan pelukannya pada tubuh Will. “Siapa orang yang pertama? Mantan pacarmu?”
Anehnya, Will malah tertawa sambil menggeleng. Ia senang dengan reaksi Hayley seperti kekasih yang cemburu. “Bukan, Love. Ibuku.”
Hayley kembali memeluk tubuh Will. Kali ini lebih erat dengan kepala yang bersandar pada punggung lelaki itu. Ia dan Will tidak mengatakan apapun, tapi keduanya paham apa maksud dari pelukan itu. Sisa perjalanan hanya diisi oleh keheningan malam yang menusuk. Hayley tidak bertanya kemana Will akan membawanya pergi, Will juga tidak memberitahu. Kemanapun itu, Hayley tidak peduli. Kemanapun itu, asalkan bersama Will, Hayley akan mengikuti.
Mereka sampai ke sebuah bangunan tua yang terbengkalai. Bangunan kuno yang tertutup oleh rumput, pohon-pohon besar, dan tanaman yang merambat di dinding-dinding serta pagar itu terlihat sangat mewah jika dilihat ratusan tahun yang lalu. Bangunan itu bertingkat, lantai atasnya tidak berjendela dan tidak berpintu.
“Welcome to The Petterson Kingdom,” sambut Will yang entah sejak kapan sudah membuka pagar yang sudah karatan itu. Ia merentangkan tangannya seperti penyanyi di atas panggung yang menyambut para penonton.
Hayley tidak berusaha menyembunyikan ekspresi takutnya. Jelas sekali bahwa tempat ini membuat bulu kuduknya merinding.
“Tempat apa ini?” tanya Hayley tanpa melepaskan pandangannya dari rumput-rumput yang tinggi itu.
“It’s okay, Love. Dari luar memang terlihat mengerikan, tapi kau pasti tidak akan menyesal jika masuk ke dalam,” ujar Will menenangkan Hayley.
Masuk ke dalam? Batin Hayley berteriak.
Hayley sudah hendak menggeleng, ketika tangan Will menggenggamnya tangannya dengan lembut. Will tersenyum sambil berkata, “Kalau kau tidak mau, tidak masalah, kita bisa pulang sekarang. Ayo kuantar.”
Kali ini Hayley berhasil menggeleng. Tetapi ia menggeleng karena tidak mau pulang bukan karena tidak mau masuk. Ia masih ingin bersama Will.
“Aku akan masuk,” balas Hayley mengangguk meyakinkan dirinya sendiri.
“Genggam tanganku, jangan dilepas,” pinta Will. Hayley menurut.
Mereka pun berjalan masuk melewati pagar. Hayley tidak lagi menahan nafas ketika menyadari bahwa ada sebuah jalan kecil, tanpa terhalang rumput, untuk masuk ke dalam bangunan itu. Paling tidak ia tidak akan menemukan ular diantara rerumputan. Bangunan tua itu adalah rumah bergaya Eropa kuno yang sudah lama tidak terpakai.
Hayley mengira dirinya akan melihat barang-barang aneh atau bahkan seperangkat alat yang biasa digunakan oleh pembunuh berantai ketika masuk ke dalam bangunan itu, tapi ternyata ia salah. Karena di dalam bangunan itu, di lantai utama, terdapat sofa tua yang di atasnya terdapat tumpukan bantal dan selimut, lemari kecil yang sudah bolong di bagian pintu, dan perapian yang sekarang sedang dinyalakan Will.
“Will, kau masih belum menjawab pertanyaanku. Tempat apa ini?” tanya Hayley yang sudah agak rileks.
Will menoleh lalu tersenyum. “Duduklah. Aku akan menceritakan tentang bangunan ini dan kau akan menceritakan tentang bagaimana harimu tadi.”
Hayley hanya mengangguk lalu dengan hati-hati duduk di atas sofa dan menggeser tumpukan bantal yang ternyata sangat wangi itu. Sepertinya ada seseorang yang tinggal di sini dan mencuci bantal tersebut secara rutin.
Perapian akhirnya menyala, membuat suhu di ruangan tanpa jendela dan pintu itu terasa lebih hangat. Will duduk di sebelah Hayley setelah sebelumnya mengambil sesuatu dari dalam lemari.
“Siapa duluan yang akan bercerita?” tanya Will.
“Kau dulu,” jawab Hayley tanpa berpikir lama.
Will terkekeh.
“Oke.” Ia menarik Hayley ke dalam dekapannya. Memindahkan kehangatan tubuhnya pada tubuh Hayley. “Dulu, aku selalu menghabiskan waktu di sini. Sendirian. Sepulang dari sekolah, aku selalu kesini, terkadang untuk menulis atau hanya sekedar membaca. Bangunan ini dulunya milik keluarga Petterson. Mereka pindah ke Monaco sekitar lima puluh tahun lalu dan sampai sekarang tidak ada satu pun anggota keluarga Petterson yang kembali kesini.”
“Mereka lupa jika mereka memiliki rumah semewah ini?” tanya Hayley penasaran.
“Entahlah,” jawab Will. “Mungkin di Monaco, rumah mereka lebih banyak dan lebih mewah sehingga rumah ini bukan apa-apa.”
Hayley mengusap dada bidang Will. “Petterson, nama penamu. Ada hubungannya dengan ini?”
Will menatap lurus ke arah perapian. “Ya. Aku sedang tiduran di sini, persis di sofa ini ketika pertama kali mendapatkan ide untuk cerita Perhaps It Never True.”
“Petterson itu nama pemilik rumah ini sedangkan James, James nama tengah kakekku,” lanjut Will dengan nada yang ragu.
Hayley tidak merasakan tatapan Will padanya, sehingga ia akhirnya mendongak. Dan ia benar-benar benci pada apa yang sedang dilihatnya. Will yang jauh, tertutup, dan kosong kembali lagi. Will yang sering menatap kosong ke arah sekitarnya, Will yang larut dalam pikirannya sendiri, Will yang selalu menjaga jarak. Hayley benci versi Will yang ini. Will seperti tersesat di suatu tempat yang tidak bisa Hayley temukan.
Hayley mengusap pipi Will untuk membuat lelaki itu mengalihkan pandangannya dari perapian. Will akhirnya menatapnya dan dalam hitungan detik, Will-nya sudah kembali. Hayley bisa melihat dari cahaya yang menguar dari dalam bola mata biru laut itu. Sorotan mata yang kembali memancarkan warna.
Hayley tidak pernah bosan mengamati wajah Will, lekukan tulang pipinya, sudut bulu matanya, bentuk mulutnya, dan tatapan matanya yang selalu melembut saat menatapnya.
“Don’t do that,” ujar Hayley sambil menggeleng. Ia menyentuh dahi Will dengan lembut. “Got lost somewhere in your head where I couldn’t find or join you.”
“You were invited though,” balas Will bercanda.
Hayley tetap menggeleng. “Will, percaya kah kau, jika aku mengatakan kemanapun kau pergi aku selalu ingin ikut bersamamu?”
Will mengusap bahu Hayley sambil tersenyum. “Percaya, karena aku pun seperti itu.”
Mereka hanyut dalam keheningan yang damai. Hanya ada suara api di dalam perapian yang membakar kayu sedikit demi sedikit. Hayley sadar jika waktunya dengan Will tidak akan selama yang ia inginkan. Besok atau secepatnya, ia harus memberitahu Will tentang kepulangannya ke New York.
“Love,” panggil Will pada Hayley yang melamun.
“Ya?” sahut Hayley lalu mendongak menatap wajah Will yang terpancar sinar dari perapian.
“Kau belum memberitahuku bagaimana harimu tadi.” Will mengingatkan.
Hayley mengubah posisinya menjadi duduk tegak. “Well, Ronnie harus mengantar Isabel ke rumah sakit. Aku meng-handle toko buku sendirian hari ini. Melelahkan tapi benar-benar seru!” riang Hayley.
“Isabel? Sakit apa dia?” tanya Will penasaran.
“Demam Berdarah,” jawab Hayley. “Dia harus dirawat. Maka dari itu, Ronnie masih belum bisa ke toko buku besok.”
“Kau mau aku menemanimu? Aku bisa menulis di malam hari—“
Hayley buru-buru menggeleng. Ia tahu Will akan dengan sukarela menemaninya di toko buku seharian, tapi ia tidak bisa membiarkan Will melakukan hal itu. Will harus menulis.
“Tidak perlu,” potong Hayley. “Hari ini aku bisa, besok juga pasti bisa,” lanjut Hayley meyakinkan Will.
Will tersenyum bangga mendengarnya. Ia mengacak rambut Hayley lalu mencium pipinya dengan lembut. “Supergirl,” bisiknya di telinga Hayley.
Rona merah dengan tidak sopan mulai menguasai pipi Hayley. Ia buru-buru berdeham lalu berkata, “Aku baru tahu jika ternyata Ronnie memiliki adik dan dia sedang mengandung.”
Will membeku seketika. Tangan yang tadinya mengusap lembut bahu Hayley kini terhenti. Hayley tampak tak menyadari karena ia tetap meneruskan, “Namanya pun bagus, Lily-Rose. Kau pasti pernah bertemu dengannya, dia cantik sekali. Tapi tadi pagi sewaktu dia berkunjung ke toko wajahnya pucat. Apa semua wanita hamil seperti itu?” Hayley menoleh ke arah Will yang memucat.
“Will, sekarang kau yang pucat. Ada apa? Ada yang terasa sakit di tubuhmu? Kau pusing? Sakit kepala?” cerca Hayley yang khawatir.
Suara Hayley di telinga Will hanya terdengar seperti dengungan yang tak berlirik. Keringat dingin mulai bercucuran di dahinya. Ia seperti terpental ke dimensi lain di mana hanya ada dirinya dan ketakutan-ketakutan terbesar dalam hidupnya.
“Will, sudah kubilang jangan lakukan itu lagi. Will! Aku di sini!” Hayley meracau panik. Ia menepuk-nepuk pipi Will.
Tatapan Will akhirnya terkunci pada Hayley. “Hayley, ada sesuatu yang harus kau ketahui,” ucap Will yang terdengar seperti bisikan.
“Apa itu? Will kau membuatku khawatir.” Hayley mengusap keringat dingin Will menggunakan tangannya.
“Lily, dia—“
“Hayley! Kau di dalam?” Ucapan Will terpotong oleh seruan seseorang dari luar bangunan.
Hayley tersentak. Ia menggeleng tidak percaya pada suara yang didengarnya. Will hendak mencari tahu siapa pemilik suara itu ketika sang empunya sudah lebih dulu memunculkan diri dekat di pintu.
“Jeremy?”