Loading...
Logo TinLit
Read Story - Perhaps It Never Will
MENU
About Us  

Jam yang melingkar di pergelangan tangan Hayley sudah menunjukan pukul dua belas malam. Namun, keinginannya untuk pulang sama sekali tidak ada. Ia ingin terus di sini tertawa bebas bersama Will, membicarakan hal-hal yang tak penting, yang tak ada hubungannya dengan kehidupan aslinya dan masalahnya di New York.

            “Bukankah ini jam dimana seluruh wanita baik-baik sudah harus berada di kamarnya?” tanya Will.

            Hayley menguap. Ia memang mengantuk, tetapi belum mau beranjak dari sisi Will. “Siapa bilang aku wanita baik-baik?”

            “Begitu?” goda Will.

            “Tidak ada wanita baik-baik yang mau berteman dengan pencuri sepeda,” balas Hayley menggigit bibir menahan senyuman.

            Will terkekeh. Ia lalu turun dari sisi jembatan dan mengulurkan tangannya untuk membantu Hayley turun. Namun, Hayley menggeleng.

            “Aku belum mau pulang,” tolak Hayley sedikit merengek.

            Will merapatkan jaket Hayley. “Sudah larut. Hawa akan semakin dingin, kau bisa masuk angin.”

            Hayley tetap menggeleng dan tidak mau menerima uluran tangan Will. “Aku tidak bekerja besok, aku bisa tidur larut.”

            Sebenarnya Hayley tidak khawatir akan masuk angin atau tidur larut. Ia hanya tidak mau sendiri—untuk pertama kalinya ia tidak menemukan kenyamanan dalam kesendirian. Ini benar-benar gawat, ia tahu itu. Ia juga tidak mau ketergantungan pada kehadiran Jane, Matthew, dan Will. Tapi tanpa mereka, hidup Hayley terasa hampa dan sunyi.

            Will menatapnya dengan lembut di bawah kegelapan langit malam. Tidak ada bintang di langit, keindahan malam ini digantikan oleh pancaran sinar bola mata indah milik Will ketika menatapnya.

            “Ikutlah denganku,” ajak Will.

            “Kemana?” tanya Hayley.

            “Suatu tempat.” Will tidak menjelaskan tempat apa yang ia maksud. Namun, Hayley tetap ingin ikut. Kemanapun itu, asalkan Will tetap berada di sisinya.

            Setelah sebelumnya mengembalikan sepeda itu secara diam-diam, mereka berjalan membelah gelapnya malam. Rasa kantuk Hayley hilang begitu saja di detik Will menuntunnya ke sebuah tempat.

            Rumah.

            Tempat yang Will maksud adalah sebuah rumah.

            Dan rumah itu—

            “Ini tempat tinggalku, Hayley. Bukan rumah, aku sudah lama tak berumah,” jelas Will ketika mereka berdiri di depan pintu coklat tua.

            “Ini jelas-jelas sebuah rumah, Willy. Apa maksudmu?” Mata Hayley menyusuri detail rumah itu, model rumahnya hampir sama seperti milik Jane. Hanya saja, milik Will lebih kecil.

            “Definisi rumah menurutku adalah seseorang, bukan tempat dimana aku tidur atau melakukan aktivitas.”

            Hayley tertegun dibuatnya. Lelaki dihadapannya ini tak henti-hentinya memberi kejutan. Will memang berbeda dengan laki-laki yang sebelumnya pernah hadir di hidup Hayley. Lelaki tampan itu selalu punya caranya sendiri untuk membuat Hayley merasa lebih hidup.

Ia memerhatikan tangan Will ketika pria itu memasukkan kunci ke dalam lubang pintu lalu memutarnya. Dengan masih tidak percaya jika Will mengajaknya ke tempat ia tinggal, Hayley berjalan masuk. Rumah Will sangat sederhana, di lantai pertama hanya diisi dengan beberapa furnitur; lemari tua kecil, dua sofa berwarna merah ati, meja kayu, dan perapian.

Tidak ada televisi ataupun radio.

“Wow,” ucap Hayley tanpa sadar. Sedangkan Will sibuk membuatkan mereka teh hangat. “Di mana kau biasa menulis?” lanjut Hayley setelah berdeham.

Will membawa dua gelas teh hangat itu pada masing-masing tangannya. “Lantai atas. Ayo.”

Mereka menaiki tangga kayu dengan hati-hati menuju lantai atas. Jika tadi Hayley sudah cukup terkesan pada lantai bawah, kini ia benar-benar terpukau dengan apa yang Will tempatkan di lantai atas. Karena ketika ia menginjakkan kaki di lantai tersebut, ia disambut dengan jejeran rak-rak yang dipenuhi oleh buku-buku yang tertata rapi. Tidak hanya itu, pada bagian dinding pun dipenuhi oleh buku-buku dengan rak yang seakan terbang.

Di bagian pojok dekat jendela besar, terdapat meja tua yang diatasnya tergeletak sebuah laptop dan tumpukan buku-buku catatan serta adapula kursi kayu yang diatasnya dilengkapi oleh bantalan yang empuk.

“Itu tempatku menulis,” jelas Will menujuk pada meja dekat jendela besar itu. Hayley mengangguk sembari mengamati meja itu dengan saksama.

“Di mana kau tidur?” tanya Hayley setelah beberapa saat.

Will menunjuk pada ruangan yang pintunya tertutup rapat, yang hampir tidak terlihat karena terhalang oleh rak buku. “Disitu, tapi aku jarang menempatinya. Kamar itu hampir tak pernah terpakai. Karena aku lebih sering ketiduran di meja tempatku menulis atau di sofa lantai bawah ketika sedang mencari ide.”

Hayley berjalan menyusuri rak-rak itu sembari menyentuh buku-buku Will satu-persatu secara singkat. Ia mengamati, berusaha mencari-cari siapa Will Morrison sebenarnya, selain penulis novel yang nama pena-nya sudah terkenal di mana-mana.

“Teh-mu disini, silakan melihat-lihat. Aku harus menulis sebentar, tidak akan lama.” Will menaruh teh Hayley di rak buku lalu duduk di kursi empuk itu dan membuka laptopnya. Meninggalkan Hayley yang masih asyik melihat koleksi buku milik Will.

Beberapa jam kemudian, suara Hayley sudah tak terdengar. Wanita itu tidak lagi berada di lantai atas, membuat Will khawatir. Setelah menutup laptopnya, ia menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Perasaan lega menghampirinya tatkala melihat wajah damai Hayley yang tertidur di sofa tempat ia biasa tidur.

Hayley tertidur dengan novel The Secret History yang terbuka di dekapannya. Rupanya ia tertidur ketika sedang membaca.

            Will menengadah, melihat jam di dinding yang menunjukkan pukul dua pagi. Inilah kelemahannya ketika menulis, ia menjadi lupa waktu dan lupa sekitarnya. Hayley pasti bosan menunggunya. Will menunduk, menatap Hayley dengan perasaan bersalah.

            “Maafkan aku, Hayley. Maaf,” lirih Will.

            Dengan hati-hati, Will membopong tubuh Hayley ke lantai atas. Ia meletakkan tubuh itu di atas ranjang miliknya lalu menarik selimut untuk menutupi setengah tubuh Hayley. Will selama ini sadar akan keindahan wajah Hayley. Bulu matanya yang lentik, bibirnya yang ranum, dan hidungnya yang mungil.

            Tetapi, yang paling membuat Will terpesona adalah bola mata hijau Hayley. Bahkan ketika Will terpejam pun, bayangan mata itu muncul di kegelapan.

            “Good night, Love,” bisik Will. Ia mengurungkan niatnya untuk mengecup kening Hayley karena mengingat bila saat ini bukan saat yang tepat untuk melakukan hal bodoh.

            Ketika Will hendak berjalan keluar kamar, Hayley tiba-tiba berucap lirih dengan kedua mata yang masih terpejam, “Will? Will, kaukah itu?”

            “Ya, ini aku,” jawab Will lembut.

            “Jangan pergi,” lanjut Hayley. Keningnya berkeringat dan mengerut. Matanya masih menutup.

            “Aku disini, selama yang kau mau.”

            Setelah itu, hening. Hayley kembali ke alam mimpinya dengan kening yang sudah tidak mengerut. Will mengusap kening itu perlahan sebelum akhirnya keluar kamar tanpa menimbulkan suara. Bagaimanapun, ia belum bisa menuruti permintaan Hayley yang itu.

***

            “Pagi.” Senyum manis Will menjadi hal pertama yang Hayley lihat ketika ia keluar dari kamar Will dengan perasaan bersalah pagi itu.

            Hayley terlihat kacau. Rambutnya acak-acakan dan wajahnya kusam karena kemarin malam sebelum tidur tidak sempat melakukan ritual cuci mukanya. Hayley menuruni tangga dengan perasaan tak enak. “Pertama-tama, aku minta maaf karena aku ketiduran. Kedua, aku minta maaf karena ulahku, kau jadi tidur di sofa. Ketiga, aku benar-benar minta—“

            “Hayley, Love, it’s okay,” potong Will. Ia beranjak dari sofa untuk menghampiri Hayley yang berdiri di ujung tangga. “Aku kan sudah bilang, tempat tidurku itu di sofa atau di meja,” lanjutnya sambil terkekeh.

            “Tapi tetap saja, aku minta maaf. Seharusnya kau bangunkan saja aku tadi malam. Tidak masalah.” Hayley menggaruk kepalanya yang tak gatal.

            Will menggeleng. Ia membuka lemari dan mengambil sisir lalu mulai menyisir rambut Hayley dengan perlahan. “Tidak mungkin. Bahkan jika kau benar-benar ingin pulang, aku akan menggendongmu dalam keadaan tidur sampai rumah.”

Hayley tak bisa menahan senyumnya mendengar itu. Apalagi perlakuan Will yang menyisir rambutnya tanpa disuruh. Lelaki dihadapannya benar-benar sangat act of service. “Aku harus kembali, ada pekerjaan rumah yang harus kukerjakan,” ucap Hayley sembari mengikat rambut pirangnya yang sudah rapi menjadi kucir kuda.

            Will mengangguk meskipun tak rela. “Biarkan aku mengantarmu.”

            “Tidak perlu,” tolak Hayley. “Aku sudah cukup merepotkanmu.”

            Karena tidak mau memaksa dan berdebat, Will mengalah. Akhirnya ia hanya mengantar Hayley sampai depan. Ia bersandar pada kusen pintu dengan senyum tipisnya. Otot-otot tangan Will terlihat menonjol dari balik kaus yang dikenakannya. Tak ada pemandangan yang lebih indah daripada itu bagi Hayley.

            “Terima kasih, Willy. Sampai jumpa nanti,” pamit Hayley lalu berjinjit untuk mencium pipi Will secara singkat tapi mampu membuat statistik jantung Will meningkat.

            Hayley sudah melewati pagar ketika Will berkata, “Hayley. Maukah kau ikut denganku nanti siang? Aku akan mewawancarai seseorang untuk novel yang sedang kutulis.”

            Hayley menoleh ke belakang lalu mengangguk antusias. “Tentu. Tunggu aku di jembatan ya!"

                   Will tersenyum sembari mengangguk. “See you, love.”

               Sepeninggal Hayley dari rumahnya, Will menyibukkan diri dengan meneruskan menulis draft Chapter 10 untuk novel yang sedang ditulisnya. Ia sudah menulis cukup banyak kata sejak tadi malam. Entah kenapa, akhir-akhir ini writer’s block yang dialaminya tidak begitu parah dan mudah hilang.

            Will tidak berbohong ketika ia menemui Hayley di rumah Jane secara diam-diam malam itu karena tidak bisa menulis. Ide yang biasanya mengalir dengan lancar tiba-tiba buntu, dan hal pertama yang ada di pikirannya adalah Hayley. Tanpa berpikir panjang, ia langsung menemui Hayley dan mengajaknya mengobrol, meskipun dengan cara agak sedikit memaksa.

            Setelahnya, secara ajaib ia bisa menulis lagi.

            Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Ia selalu kesulitan ketika cobaan menulis itu datang. Misalnya, beberapa bulan yang lalu, ia bahkan sudah masuk ke beberapa bar yang ramai untuk mencari suasana baru dan orang-orang baru tetapi hasilnya tetap nihil. Ia tetap pulang ke rumah dengan ide kosong dan lebih parahnya lagi dalam keadaan mabuk berat.

            Tapi dengan Hayley, semuanya terasa mudah. Dengan hanya melihat senyum manisnya saja, Will sudah ingin buru-buru menulis beribu-ribu kata.

            Ia sedang asyik menulis tatkala suara ketukan pintu dari luar menghentikannya. Will buru-buru turun untuk membuka pintu, karena pasti itu Hayley.

            “Hayley, kukira kita akan bertemu di jem—Paman Mark?” Ekspresinya berubah dalam sepersekian detik ketika menyadari bahwa yang dihadapannya bukan orang yang ia nanti.

            “Kau sedang sibuk?” tanya seseorang yang disebut Paman Mark itu. Wajahnya terlihat gusar, seperti ada sesuatu yang cepat-cepat ingin dibicarakan.

            “Tidak terlalu,” jawab Will lalu mempersilakan Paman Mark untuk masuk.

            Hanya ada keheningan selama beberapa saat ketika keduanya sudah sama-sama duduk di sofa. Will tidak tahu harus mengatakan apa karena ia sendiri juga tak tahu tujuan dari kedatangan Paman Mark.

            “William,” ucap Paman Mark menatap Will dalam-dalam. “Lily terpuruk akhir-akhir ini, aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Dia juga kecewa karena kau ada di sini tetapi jarang menemuinya.”

            Will menunduk, menatap lantai kayu di bawahnya. Tidak ada kontak mata yang intens, tetapi rasanya seperti terbakar. Seluruh tubuh Will panas, ia ingin cepat-cepat masuk ke dalam genangan air dingin untuk menetralkan diri.

            “Kau tahu sendiri, Paman. Dari awal ini semua sebuah kesalahan. Aku memang bersedia untuk bertanggung jawab, itu tujuan utamaku datang kesini—ketempat yang sudah kusumpah serapahi tidak akan kuinjak lagi. Tapi, bukan berarti aku akan melakukan itu dengan cara yang kalian inginkan. Aku punya caraku sendiri.” Will memutar-mutar cincin perak di jemari kirinya. Ia tanpa sadar sering melakukan itu ketika sedang cemas atau takut.

            “Hanya satu yang dia butukan, William. Kehadiranmu disisinya dalam masa sulit seperti ini.” Paman Mark menggeser tubuhnya agar lebih dekat dengan Will. “Kumohon, temuilah Lily dan katakanlah bahwa semua akan baik-baik saja. Dia pasti akan mendengarkanmu.”

            Will menghela nafas kasar. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Aku akan menemuinya. Secepatnya.”

            “Maksudku, temui dia sekarang. Sebagai seorang Ayah, aku tidak tega melihatnya seperti itu. Kumohon bantu aku. Bantu aku memperbaiki putriku Lily.” Paman Mark sudah siap akan berlutut dihadapan Will, namun Will cepat-cepat menahan bahu pria tua itu.

            Mark Hughes adalah pemilik restoran terkenal bernama The Platinum di The Cotswolds. Ia dikenal dengan keangkuhannya, tapi sekarang keangkuhan itu hilang entah kemana di hadapan Will.

            “Beri aku waktu.” Hanya itu yang diucapkan Will. Ia lalu berjalan untuk membuka pintu; memberi kode pada Paman Mark untuk keluar.

            Paman Mark berjalan lunglai keluar dari rumah Will. Ia berharap Will akan memenuhi permintaannya. Ia rela melakukan apa saja untuk kebahagiaan putri satu-satunya itu.

            Putrinya yang sekarang sedang mengandung.

 

***

 

            “Kau yakin Madison baik-baik saja?” tanya Hayley pada Jane di sebrang telepon. Ia sedang menelepon Jane di London menggunakan telepon rumah.

            “Baik, Sayang. Nanti akan kuceritakan semuanya di rumah.” Jane terdengar kelelahan. Entah apa yang dikerjakannya disana, Hayley tidak tahu. Semua orang akhir-akhir ini serasa menyembunyikan sesuatu. Dan hanya dirinya seorang yang tidak tahu apa-apa.

            “Hati-hati, Jane. Aku harus pergi sekarang, sampaikan salamku pada semuanya!” pamit Hayley lalu menutup telepon dengan helaan nafas lelah.

            Hayley sebenarnya ingin memaksa Jane untuk menjelaskan semuanya, tapi di sisi lain, ia belum siap dengan masalah baru yang akan datang di hidupnya. Satu-persatu, ya satu-persatu, ia akan menyelesaikannya.

            Yang terpenting sekarang ia tak sabar untuk bertemu Will di jembatan sungai Eye. Berada di dekat Will selalu membuatnya lupa akan semua masalah-masalah di hidupnya. Yang ada hanya tawa, senyuman, dan momen menyenangkan selama bersama pria itu.

            Hayley mengunci pintu rumah setelah sebelumnya memasang topi di kepalanya. Siang ini matahari cukup terik. Sinarnya terasa menusuk kulit, tidak menghangatkan seperti biasanya. Ia bersenandung ria selama perjalanan. Perasaan bahagia begitu menyelimutinya, padahal ia hanya akan menemani Will mewawancarai seseorang, bukan yang lain.

            Sesampainya di jembatan sungai Eye, ada beberapa remaja yang sedang bermain air di tepi sungai. Adapula yang asyik berenang sambil tertawa lepas—menciprati temannya dengan air. Melihat itu, Hayley tersenyum simpul. Senang rasanya ketika melihat orang lain tertawa lepas. Mereka semua seperti tidak memiliki beban.

            Hayley duduk di sisi jembatan seperti tadi malam. Bedanya, kali ini Will belum terlihat batang hidungnya. Hayley menatap ke sekelilingnya mencari-cari sosok Will.

            Tidak ada.

            Mungkin pria itu masih menulis.

            Hayley meyakinkan diri lalu membuka novel The Secret History yang dipinjamnya dari rumah Will tadi pagi. Ia akan membaca selama beberapa menit sembari menunggu kedatangan Will.

            Sayangnya, menit berganti menjadi jam, namun Will tak kunjung datang. Hayley mulai resah, kalimat-kalimat dalam novel yang dibacanya sudah tidak dapat dipahami. Fokusnya sudah buyar, ia hanya ingin Will datang.

            Ia melirik jam di pergelangan tangannya—pukul dua siang. Dua jam sudah dirinya menunggu disini dan sama sekali tak ada tanda-tanda bahwa Will akan datang. Dirinya dan Will sama-sama sedang tidak menggunakan ponsel. Jadi, solusinya adalah mendatangi kediaman Will secara langsung.

            Mungkin pria itu lupa waktu karena terlalu tenggelam pada aktivitas menulisnya sehingga lupa jika mempunyai janji dengan Hayley.

            Hayley turun dari sisi jembatan dan berjalan menuju kediaman Will sambil mengucapkan mantra tersebut berkali-kali ‘Mungkin Will lupa’, ‘Mungkin Will ketiduran’, ‘Mungkin Will merasa tanggung sehingga harus menulis lagi selama beberapa saat’, dan masih banyak Mungkin Will-Mungkin Will yang lain.

            Ketika sudah berhadap-hadapan dengan pintu tempat tinggal Will, Hayley seketika menjadi ragu. Ia takut jika mantra itu tidak berhasil dan Will mengecewakannya. Tetapi kemudian ia berpikir, seharusnya yang dirugikan disini adalah Will, bukan dirinya. Karena Will-lah yang seharusnya melakukan wawancara untuk kepentingan novelnya. Ia hanya menemani. Jadi, ia tidak harus kecewa.

            Namun sayangnya, rasa kecewa tidak bisa dihindari tatkala pintu itu tidak terbuka sama sekali meskipun sudah diketuk puluhan kali.

            “Will! Kau di dalam? Ini aku Hayley.” Hayley menggedor pintu, tidak lagi mengetuk. “Will? Kau baik-baik saja?” lanjut Hayley.

            “Dia pergi beberapa jam yang lalu. Jangan berisik, kau menganggu sekali,” ucap seorang wanita tua yang keluar dari rumah sebelah Will. Wanita itu terlihat marah, ekspresinya persis seperti Ibu tiri Cinderella.

            “Maaf.” Hayley memaksakan senyuman. “Tahukah kau kemana dia pergi?” tanya Hayley seramah mungkin.

            “Mana kutahu.” Wanita itu mendelik sembari mengangkat bahu. “Tidak peduli. Bukan urusanku.” Tanpa mengucapkan apapun lagi, ia masuk ke dalam rumah dengan membanting pintu.

            Hayley merutuk. “Nenek sihir.”

            Ia menatap rumah Will sambil berpikir kemana lelaki itu pergi. Jika Will pergi beberapa jam yang lalu, kemungkinan Will pergi untuk menemuinya di jembatan. Tapi, sejak tadi Will tidak muncul di jembatan.

            Will, kau di mana?

            Hayley menjadi khawatir. Takut sesuatu terjadi pada pria itu. Tapi yang membuatnya lebih takut adalah; Will melupakan janjinya dan pergi begitu saja tanpa rasa bersalah. Seolah janjinya dengan Hayley bukan apa-apa. Hayley memang belum lama mengenal Will, ia masih tidak tahu apa-apa tentang pria itu selain pekerjaannya sebagai penulis. Namun, bukan berarti ia tidak percaya.

            Apapun alasannya, Hayley harap semua itu setara dengan rasa kecewa yang dialaminya sekarang.

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Memories About Him
4191      1783     0     
Romance
"Dia sudah tidak bersamaku, tapi kenangannya masih tersimpan di dalam memoriku" -Nasyila Azzahra --- "Dia adalah wanita terfavoritku yang pernah singgah di dalam hatiku" -Aldy Rifaldan --- -Hubungannya sudah kandas, tapi kenangannya masih berbekas- --- Nasyila Azzahra atau sebut saja Syila, Wanita cantik pindahan dari Bandung yang memikat banyak hati lelaki yang melihatnya. Salah satunya ad...
Aku Biru dan Kamu Abu
795      471     2     
Romance
Pertemuanku dengan Abu seperti takdir. Kehadiran lelaki bersifat hangat itu benar-benar memberikan pengaruh yang besar dalam hidupku. Dia adalah teman curhat yang baik. Dia juga suka sekali membuat pipiku bersemu merah. Namun, kenapa aku tidak boleh mencintainya? Bukannya Abu juga mencintai Biru?
Samudra di Antara Kita
33854      5545     136     
Romance
Dayton mengajar di Foothill College, California, karena setelah dipecat dengan tidak hormat dari pekerjaannya, tidak ada lagi perusahaan di Wall Street yang mau menerimanya walaupun ia bergelar S3 bidang ekonomi dari universitas ternama. Anna kuliah di Foothill College karena tentu ia tidak bisa kuliah di universitas yang sama dengan Ivan, kekasihnya yang sudah bukan kekasihnya lagi karena pri...
Bus dan Bekal
3135      1450     6     
Romance
Posisi Satria sebagai seorang siswa sudah berkali-kali berada di ambang batas. Cowok itu sudah hampir dikeluarkan beberapa kali karena sering bolos kelas dan lain-lain. Mentari selalu mencegah hal itu terjadi. Berusaha untuk membuat Satria tetap berada di kelas, mendorongnya untuk tetap belajar, dan melakukan hal lain yang sudah sepatutnya seorang siswa lakukan. Namun, Mentari lebih sering ga...
SURGA DALAM SEBOTOL VODKA
9403      2077     6     
Romance
Dari jaman dulu hingga sekarang, posisi sebagai anak masih kerap kali terjepit. Di satu sisi, anak harus mengikuti kemauan orang tua jikalau tak mau dianggap durhaka. Di sisi lain, anak juga memiliki keinginannya sendiri sesuai dengan tingkat perkembangan usianya. Lalu bagaimanakah jika keinginan anak dan orang tua saling bertentangan? Terlahir di tengah keluarga yang kaya raya tak membuat Rev...
Si 'Pemain' Basket
4884      1306     1     
Romance
Sejak pertama bertemu, Marvin sudah menyukai Dira yang ternyata adalah adik kelasnya. Perempuan mungil itu kemudian terus didekati oleh Marvin yang dia kenal sebagai 'playboy' di sekolahnya. Karena alasan itu, Dira mencoba untuk menjauhi Marvin. Namun sayang, kedua adik kembarnya malah membuat perempuan itu semakin dekat dengan Marvin. Apakah Marvin dapat memiliki Dira walau perempuan itu tau ...
SORRY
20934      3216     11     
Romance
Masa SMA adalah masa yang harus dipergunakan Aluna agar waktunya tidak terbuang sia-sia. Dan mempunyai 3 (tiga) sahabat cowok yang super duper ganteng, baik, humoris nyatanya belum untuk terbilang cukup aman. Buktinya dia malah baper sama Kale, salah satu cowok di antara mereka. Hatinya tidak benar-benar aman. Sayangnya, Kale itu lagi bucin-bucinnya sama cewek yang bernama Venya, musuh bebuyutan...
LUKA TANPA ASA
8815      2186     11     
Romance
Hana Asuka mengalami kekerasan dan pembulian yang dilakukan oleh ayah serta teman-temannya di sekolah. Memiliki kehidupan baru di Indonesia membuatnya memiliki mimpi yang baru juga disana. Apalagi kini ia memiliki ayah baru dan kakak tiri yang membuatnya semakin bahagia. Namun kehadirannya tidak dianggap oleh Haru Einstein, saudara tirinya. Untuk mewujudkan mimpinya, Hana berusaha beradaptasi di ...
AKSARA
6293      2154     3     
Romance
"Aksa, hidupmu masih panjang. Jangan terpaku pada duka yang menyakitkan. Tetaplah melangkah meski itu sulit. Tetaplah menjadi Aksa yang begitu aku cintai. Meski tempat kita nanti berbeda, aku tetap mencintai dan berdoa untukmu. Jangan bersedih, Aksa, ingatlah cintaku di atas sana tak akan pernah habis untukmu. Sebab, kamu adalah seseorang yang pertama dan terakhir yang menduduki singgasana hatiku...
Dandelion
490      314     1     
Inspirational
Masa lalu yang begitu menyakitkan, membuatnya terpuruk. Sampai pada titik balik, di mana Yunda harus berjuang sendirian demi sebuah kesuksesan. Rasa malas dan trauma dari masa lalu ditepis demi sebuah ambisi yang begitu berat. Memang, tidak ada yang bisa mengelak dari masa lalu. Namun, bisa jadi masa lalu itu merupakan cambukan telak untuk diri sendiri. Tidak masalah pernah terpuruk dan tertin...