“Kau
tidak perlu datang jika sedang sakit. Aku tidak mau dianggap sebagai pelaku
kerja paksa.” Ronnie mengamati wajah Hayley yang pucat dan sedikit kusut.
Memang benar, bawah mata Hayley berwarna hitam, matanya sembab, dan bibirnya
pucat.
Hayley menggeleng. “Aku hanya kurang
tidur.”
Will menepati janjinya untuk
mengantar Hayley pagi tadi. Dan hal pertama yang Will ucapkan adalah, “Apakah
ini karena ulahku?” Tatkala melihat kondisi Hayley.
Will merasa bersalah dan berjanji untuk
tidak mengajak Hayley keluar tengah
malam lagi. Tetapi Hayley dengan cepat menolak, “Tidak perlu. Aku suka keluar
malam seperti itu. Rasanya menenangkan.”
Apalagi
jika bersamamu.
Ronnie menatap Will dan Hayley dengan
tatapan—entahlah sedikit sinis—ketika mereka sampai di toko buku.
“Kurang tidur karena Will?” tanya Ronnie
memicingkan mata. Will sudah pergi entah kemana, Hayley tidak berani bertanya.
“Ya, tapi bukan seperti yang kau
bayangkan,” balas Hayley cepat-cepat. Ia sedang menata buku-buku baru yang baru
dikirim penerbit.
“Dan hal seperti apa yang kubayangkan
tepatnya?” tanya Ronnie lagi, sengaja. Membuat Hayley ingin menarik kacamata
tebal itu dan melemparnya jauh-jauh.
“Bersetubuh,” jawab Hayley datar. Ia
lalu pergi ke belakang untuk merapikan diri sebelum menyambut pelanggan.
Goldie’s Bookshop akan buka sekitar sepuluh menit lagi.
“Will tidak seperti yang kau
bayangkan,” ucap Ronnie tiba-tiba membuat langkah Hayley terhenti.
Hayley berbalik. “Maksudmu?”
“Kau tidak akan percaya jika hal itu
keluar dari mulutku. Kau harus mengetahuinya sendiri.” Kini giliran Ronnie yang
berjalan menjauh tanpa menjelaskan maksud dan arti dari perkataannya.
Dahi Hayley mengerut. Ia berpikir
keras, ucapan Ronnie layaknya teka-teki yang harus dipecahkan. Mengapa Ronnie berkata
begitu? Bukankah Will dan Ronnie teman dekat?
Tapi tunggu, selama Hayley bekerja
di sini, ia sama sekali belum pernah melihat Ronnie dan Will mengobrol. Apa
yang sebenarnya terjadi?
Hujan deras mengguyur The Cotswolds
siang itu. Langit yang biasanya cerah kebiruan kini berubah menjadi abu kelam.
Pelanggan pun menjadi sedikit berkurang, tapi hal tersebut sama sekali tak
mempengaruhi semangat Hayley untuk terus bekerja. Ia dan Ronnie tidak mengobrol
sepanjang siang. Mereka sibuk, berpura-pura menjadi profesional.
Bel pintu berdenting; ada seorang
pelanggan yang masuk. Hayley mendongak untuk menyambut pelanggan itu dan ia
langsung tersenyum lebar ketika pelanggan itu adalah Jane. Ia tidak melihat
Jane di rumah pagi tadi. Mungkin Jane sudah ke kebun dari pagi buta.
“Jane, mencari genre tertentu?” sapa
Hayley.
Jane mendekat ke meja kasir sambil
menggeleng. “Kau cantik sekali berdiri di meja kasir. Pantas saja orang-orang
di kebun tadi membicarakanmu.” Ia membalas senyuman Hayley dengan senyum yang
tak kalah lebar. “Aku tidak sedang mencari buku. Sebenarnya aku kesini ingin
memberitahumu bahwa aku akan ke London selama tiga hari,” lanjut Jane.
“London?” tanya Hayley. “Ya Tuhan,
kau akan mengunjungi Madison?” Hayley sedikit memekik.
Jane tampak berpikir selama beberapa
saat. “Ya, tapi kau tak perlu khawatir. Ini hanya kunjungan rutin. Tidak ada
sesuatu yang terjadi.”
“Kenapa kau tidak memberitahuku
nanti saja di rumah?” tanya Hayley yang sudah curiga.
“Aku benar-benar harus berangkat
sekarang. Oh iya hampir lupa, Matthew akan ikut denganku,” jawab Jane lalu
menyentuh tangan Hayley yang berada di atas meja.
Hayley tahu sesuatu telah terjadi.
Dari kejadian tadi malam ketika Jane dan Matthew menangis di rumah Matthew, ia
tahu betul kedua orang itu sedang menyembunyikan sesuatu. Namun, untuk
sekarang, ia ingin bermain aman; menjadi orang polos yang tak tahu apa-apa
untuk mengetahui semua itu dengan caranya nanti.
“Hayley, katakan sesuatu.” Jane
cemas melihat Hayley yang hanya diam.
Hayley berjalan memutari meja kasir
dan memeluk tubuh Jane dengan erat. “Kumohon, jika sesuatu terjadi pada
Madison, aku ingin mengetahuinya. Berhati-hatilah, aku tenang jika kau tidak pergi
sendirian.”
Jane balas memeluk Hayley. “Kau tak
apa aku tinggal sendiri?”
Kekehan halus keluar dari mulut
Hayley. “Aku ini sudah bukan remaja, Jane. Kau tak perlu mengkhawatirkanku.”
Mereka berpelukan lumayan lama
sampai Ronnie berdeham karena pelanggan sudah mengantri di belakang mereka dan
masing-masing berwajah kesal.
“Baiklah, hati-hati di jalan.”
Hayley melambaikan tangan sampai Jane menghilang di balik pintu dan cepat-cepat
kembali ke belakang meja kasir untuk melayani pelanggan sebelum bos besarnya
mengamuk.
Ronnie tetap tidak mengajaknya
mengobrol sampai Goldie’s Bookshop tutup. Kecuali untuk hal-hal tertentu yang
berkaitan dengan pekerjaan seperti ‘Hayley, cek rak fiksi’, ‘Hayley, taruh
laporan keuangan kemarin di mejaku’, ‘Hayley, ubah urutan best-seller di jendela’. Berkurangnya keramahan Ronnie membuat
Hayley kurang nyaman. Ia tidak tahu pasti mengapa Ronnie menjadi seperti itu,
yang ia tahu semua itu berawal sejak Hayley bertanya tentang Will.
“Tutup mesin kasir dengan taplak
putih di laci,” perintah Ronnie. Hayley menurutinya. Ia menutup meja kasir dan
setelah selesai langsung bersiap untuk berpamitan.
“Ronnie—“
“Selamat malam,” potong Ronnie tanpa
menoleh ke arah Hayley. Kali ini ia sibuk menghitung hasil penjualan hari ini
di depan laptop.
Karena terlalu lelah untuk mengemis
penjelasan, Hayley hanya memutar bola matanya malas dan berjalan pergi keluar
toko. Di luar, jalanan masih dibasahi air hujan. Air hujan pun masih turun dari
ujung-ujung atap toko, membasahi rambut pirang Hayley yang tidak tertutup
tudung jaket.
Hayley baru saja akan menarik tudung
jaketnya untuk menutupi kepala tatkala tangan seseorang sudah mendahuluinya
melakukan itu. Ia menoleh, dan pandangannya langsung bertemu dengan pandangan
Will Morrison. Hatinya langsung dikerubungi rasa suka cita yang tak
terdeskripsikan ketika menyadari kehadiran Will disampingnya.
“Rambut basah karena air hujan bisa
membuat kepalamu pusing.” Will sendiri mengenakan topi coklat muda untuk
menutupi kepalanya.
“Toko buku sudah tutup, kau telat 15
menit.” Hayley memasukkan helaian rambutnya ke dalam tudung.
“Aku tidak berniat ke toko buku,”
balas Will.
Hayley menoleh, menatap Will dengan
bingung. “Lalu?”
“Aku ingin ke toko roti Miss Tiana.
Disana rotinya enak-enak, cocok untuk makan malam,” jawab Will. Hayley baru
sadar jika sejak tadi Will menenteng buku catatan kecil di tangannya.
“Oh begitu. Baiklah, aku duluan ya.”
Hayley sudah hendak berjalan pergi ketika lengannya ditahan oleh tangan Will.
“Ada apa?” tanya Hayley dengan alis mengerut.
“Itu ajakan.”
“Hah?” Sekarang Hayley yakin jika
ekspresi wajahnya terlihat seperti orang bodoh.
“Aku mengajakmu ke toko roti Miss
Tiana. Itupun kalau kau mau, aku tidak memaksa seperti tadi malam,” jelas Will
akhirnya meskipun sedikit terbata-bata. Sekilas, Hayley melihat semburat merah
di pipi pria itu.
Jujur saja, Hayley ingin tertawa
melihat ekspresi malu-malu Will. Pria di depannya seperti seorang remaja yang
mengajak perempuan yang ia taksir untuk makan bersama. Tapi sebisa mungkin Hayley
menahan tawa itu untuk keluar dan berdeham lumayan keras untuk menetralkan
wajahnya.
“Kalau rotinya enak-enak, aku tidak
bisa menolak.” Hayley tersenyum simpul.
Will menghela nafas lega mendengarnya.
Dengan pelan, ia menawarkan lengannya untuk digandeng Hayley layaknya pria-pria
bangsawan di film drama periode kesukaan Jane. Hayley dengan senang hati
mengaitkan tangannya di lengan kokoh Will dan mereka pun berjalan menuju toko
roti tanpa menyadari tatapan kecewa Ronnie dari balik jendela toko buku.
Hayley lelah berdiri seharian di balik
meja kasir. Dan hal terakhir yang diinginkannya adalah berjalan jauh menuju
suatu tempat. Meskipun Hayley tidak mengatakannya keras-keras, tapi Will
langsung peka.
“Tunggu di sini,” ucap Will tiba-tiba.
Ia lalu berjalan menuju rumah-rumah yang berderet di dekat tempat mereka
berdiri.
“Kau mau apa?” tanya Hayley.
Will tidak menjawab, tubuhnya menghilang
di belokan. Membuat Hayley was-was jika Will meninggalkannya di tengah gelapnya
malam seperti ini. Namun, rasa was-wasnya hilang ketika Will kembali dengan
sepeda kuno berwarna abu-abu yang memiliki dua tempat: satu untuk pengayuh dan
satu untuk orang di bagian belakang.
Will tersenyum bangga. “Silakan naik,
Nona.”
“Will? Milik siapa ini? Darimana kau mendapatkannya?”
cerocos Hayley meskipun senang karena ia tidak harus berjalan.
Will baru menjawab ketika Hayley sudah
naik ke bagian belakang sepeda dan meneruskan perjalanan. “Sepeda ini milik
seseorang yang mengurus Mrs. Patrick yang tua. Dia shift malam hari ini, jadi sepedanya tidak akan digunakan sampai
pukul empat pagi.”
“Kau mencurinya.” Itu pernyataan bukan
pertanyaan.
“Tidak juga,” bantah Will sambil terus
mengayuh sepeda. “Ini meminjam. Bedanya, aku tidak bilang.”
Hayley mengeratkan pegangannya pada
pinggang Will. Kali ini, ia gagal untuk menahan tawa. Jadi, tanpa bisa ditahan
lagi, ia tertawa sangat keras. Membuat Will tersentak kaget.
“Maaf,” ucap Hayley sambil terus
tertawa. Perutnya sedikit sakit tapi ia tidak peduli.
Tak lama kemudian, Will ikut tertawa.
Membuat tawa Hayley bertambah semakin keras sampai matanya berair.
Mereka tertawa sepanjang jalan tanpa
memedulikan tatapan beberapa orang yang menganggap mereka aneh. Bahkan Hayley
tidak marah ketika Will tak sengaja membuat mereka terciprat air hujan di aspal
yang menggenang. Yang ada, ia malah semakin tertawa.
Hayley tertawa karena Will mencuri
sepeda tua milik pengasuh.
Tetapi, Will tidak tertawa karena sebab yang sama. Ia tertawa karena mendengar tawa indah Hayley di telinganya. Sedikit yang Hayley tahu, ini pertama kalinya Will tertawa lepas sejak kejadian itu.
***
Will
benar, roti-roti buatan Miss Tiana benar-benar luar biasa.
Meskipun mereka tidak makan langsung
di tempat, karena terlalu penuh walaupun hari sudah mulai larut, Hayley tetap
senang ketika Will mengajaknya makan di tempat kemarin malam mereka mengobrol,
jembatan sungai Eye.
“Kau mau lagi?” tawar Will.
Menyodorkan roti isi coklat miliknya pada Hayley.
“Tidak terima kasih, aku sudah
kenyang,” tolak Hayley. Ia duduk di sisi jembatan yang seperti tembok, dengan
lengan Will yang melingkar di pinggangnya. Menahannya agar tidak terjatuh.
Setengah mati Hayley membuat dirinya setenang mungkin dengan perlakuan Will
tersebut. Ia tidak takut terjatuh ke sungai karena ulahnya sendiri, melainkan
takut terjatuh karena perlakuan Will padanya.
“Buku apa itu?” tanya Hayley setelah
hanya ada keheningan selama beberapa saat.
Will menatapnya bingung. “Buku apa?”
“Buku catatan itu, yang sekarang mungkin
ada di saku jaketmu,” jawab Hayley ragu-ragu.
Will langsung paham. Ia menegakkan
tubuh dengan satu tangan yang masih berada di pinggang Hayley. Will tidak duduk
seperti Hayley, ia tetap berdiri di sisi jembatan.
Will mengeluarkan buku itu dari saku
jaketnya—dugaan Hayley benar. “Aku
menyebutnya Buku Ide. Aku menulis semua ide-ideku untuk menulis di dalam sini.”
Ketika Hayley hendak menyentuhnya,
Will buru-buru menjauhan buku itu dari jangkauan. “Maaf, aku masih belum bisa
merelakan buku ini disentuh orang lain.”
Meskipun agak kecewa, Hayley paham
bagaimana rasanya. Jadi, ia mengangguk penuh arti dan tersenyum simpul.
“Kau tidak kesulitan menulis lagi
hari ini?” tanya Hayley mengalihkan topik pembicaraan.
Will menggeleng sambil tersenyum
menatap Hayley. “Tidak, tidak sama sekali.”
“Lalu, mengapa kau mengajakku makan
roti?” tanya Hayley lagi.
“Menurutku itu lebih baik daripada
langsung pulang ke rumah dari tempat kerja dan tak melakukan apapun lagi,”
sarkas Will yang membuat Hayley secara spontan memukul lengan pria itu.
“Aku ini wanita sibuk, Willy. Kau
tidak tahu apa-apa.” Hayley membela diri. Membuat Will terkekeh geli.
“Apa yang terjadi?” tanya Will
setelahnya.
“Maksudmu?”
“Kau terlihat kesal dan... sedih.
Ketika keluar dari toko buku tadi. Ronnie memberikanmu kesulitan?” tebak Will
yang sayangnya benar tapi Hayley terlalu enggan untuk berkata jujur.
“Tidak juga. Aku hanya sedih karena
Jane dan Matthew ke London hari ini sampai tiga hari kedepan. Rasanya akan sepi
jika mereka tidak ada. Aku sudah terbiasa dengan kehadiran mereka dan keramaian
yang mereka ciptakan. Jadi rasanya... aneh,” jelas Hayley yang tidak sepenuhnya
berbohong.
Ia tidak mungkin mengatakan ‘Ronnie
menjadi agak menjauhiku sejak kita dekat’ kan?
Will hanya mengangguk meskipun
Hayley tahu jika pria itu tidak puas dengan jawaban yang diberikannya. Beberapa
saat kemudian, Will ikut duduk di samping Hayley, masih dengan satu lengannya
yang melingkar di pinggang wanita itu. Kali ini lebih erat.
“Apa kau pernah merasa menyesal,
Hayley, dengan keputusan yang kau buat sendiri?” tanya Will tiba-tiba. Aroma
tubuh pria itu kini semakin tercium oleh hidung Hayley karena jarak mereka yang
lebih dekat dari sebelumnya.
“Pernah, lebih sering dari yang
orang-orang kira,” jawab Hayley. Ia lalu menoleh, mengamati rahang kokoh Will
yang ia kagumi. Will terlihat sangat sempurna walaupun dari arah samping,
Hayley tak tahu cara mendeksripsikan kesempurnaan wajah Will dari arah depan.
“Kenapa kau bertanya seperti itu?” lanjut Hayley.
Will ikut menoleh sehingga kini
mereka saling bertatapan dengan jarak yang sangat dekat. Meskipun ini bukan
kali pertama mereka berdekatan seperti ini, tetapi jantung Hayley tidak
terbiasa, tetap berdebar tak karuan.
“Tidak apa-apa. Aku hanya memastikan
jika aku punya teman dalam penyesalan ini,” jawab Will tersenyum usil.
“Sialan,” balas Hayley mencubit
pinggang Will. “Kau ini benar-benar di luar dugaan, Willy. Aku tidak tahu apa
isi otakmu.”
“Itu bagus. Mengerikan jika kau tahu
isi otakku, karena pasti kau akan langsung lari sekarang.” Ekspresi Will kini
berubah serius, namun kedutan di ujung bibirnya menandakan bahwa ia menahan
tawa. Apalagi melihat ekspresi Hayley yang menjadi sedikit ketakutan.
“Siapa kau? Pembunuh bayaran?” tebak
Hayley sembari berusaha melepaskan tangan Will di pinggangnya.
“Bukan.” Will menggeleng. “Aku
pencuri sepeda.”
Hayley tertawa terbahak-bahak
mendengarnya. Sampai-sampai tak sadar jika ia hampir terjatuh dan Will dengan
sigap menahan tubuhnya serta menariknya ke dalam pelukan agar tubuh Hayley
tetap seimbang selama tertawa.