Ronnie tidak marah.
Ia malah khawatir dan merasa bersalah
ketika Hayley kembali masuk ke toko dengan mata sembab dan make-up yang acak-acakan. Hayley menyerahkan koran kematian itu dengan
gerakan jijik, seakan benda itu adalah benda keramat yang bisa membunuh orang.
Ronnie mengamati foto Hayley yang
terpampang jelas di koran. Foto ketika ia menghadiri red carpet fashion show
Prada tahun lalu. Ketika semuanya masih baik-baik saja.
“Kau benar-benar seorang aktor dan
model?” Mulut Ronnie menganga. “Selama ini aku memperkerjakan seorang aktor
terkenal?” lanjut Ronnie menatap Hayley dengan tak percaya.
Hayley hanya diam. Namun, matanya
menatap koran itu dan Ronnie secara bergantian.
“Sedang apa kau di The Cotswolds, Hayley
Lexington?” tanya Ronnie sangat pelan.
Hayley berjalan mendekati Ronnie dengan
perlahan. Bagaikan predator yang siap menyerang mangsanya. Tatapannya sama
sekali tak lepas dari tatapan tak percaya dan ketakutan milik Ronnie. Hayley meletakkan
tangannya di meja kasir, mengunci Ronnie.
“Jika kau berani membocorkan kepada
publik di internet tentang siapa dan di mana aku berada. Jangan harap istri dan
anakmu yang baru berusia lima bulan itu akan hidup tenang,” ucap Hayley penuh
tekanan.
Ronnie gemetar ketakutan. Bukan hanya
karena tinggi badan Hayley yang melebihi dirinya, tapi juga karena tatapan
menyeramkan penuh ancaman yang Hayley berikan padanya. Selama ia memperkerjakan
Hayley, belum pernah gadis itu menatapnya seperti itu.
“Kau... kau mengancamku di toko bukuku
sendiri?” tanya Ronnie gemetar.
Hayley menjauhkan tubuhnya sembari
menggeleng. “Tidak mengancam, lebih ke menyarankan.”
Ronnie berjalan mundur hingga tanpa
sengaja menabrak vas bunga miliknya. Membuat perhatian beberapa pelanggan
terarah kepadanya.
“Waktunya makan siang!” ucap Hayley
ceria ketika hampir semua pandangan tertuju padanya. “Aku akan ke cafe
sebentar, Bos Ronnie. Sampai jumpa nanti.” Ia mengambil tas miliknya dan
berjalan santai ke arah pintu—berlagak seolah dirinya tidak baru saja mengancam
bosnya sendiri.
Hayley tidak punya pilihan lain. Ia tahu
ini salah. Tapi ia belum bisa menghadapi persoalan jika Ronnie membocorkan
siapa dirinya pada publik sekarang. Terlalu banyak beban yang ditampungnya,
tidak ada kapasitas untuk beban baru lagi. Apalagi publik sudah tahu bahwa
dirinya sempat berada di London. Meskipun sekarang dia berada di The Cotswolds,
tapi tidak kecil kemungkinan seseorang mengetahui keberadaannya.
Sebelum mencari sosok Will di Joe &
Go Coffee, Hayley terlebih dulu membetulkan make-up
nya yang sempat acak-acakan. Ia masih belum merasa lebih baik, tetapi bayangan
makan siang dengan Will sedikit menenangkannya. Setelah selesai, ia berjalan
melewati bangku-bangku dan meja-meja untuk mencari sosok familiar itu. Dan di
sanalah dia—duduk di sudut cafe dengan kedua mata yang terfokus pada sebuah
buku di depannya.
Will tidak menyadari keberadaannya
sampai ia berkata, “Will.”
Di detik itu juga, Will mendongak. Mata
indahnya benar-benar menusuk, membuat lutut Hayley lemas seketika. Ia lemah
jika ditatap sebegitu intens-nya oleh mata indah itu.
“Duduk,” titah Will sembari menutup
bukunya. “Kau mau pesan apa?” lanjutnya.
Hayley duduk di bangku sebrang Will.
“Cotswolds Cream Tea dan Chocolate Lardy Cakes,” jawabnya setelah melihat menu.
Will mengangguk, lalu berjalan menuju
meja kasir untuk memesan. Beberapa menit kemudian ia kembali hanya dengan
membawa pesanan Hayley—membuat kening Hayley mengerut bingung.
“Terima kasih. Kau tidak memesan?” tanya
Hayley.
Will tersenyum seraya menggeleng. “Aku
tidak suka makan di sini. Lebih enak jika dibawa ke rumah.”
Hayley dibuat lebih bingung. “Lalu untuk
apa kau mengajakku—ehm maksudku—untuk apa kau di sini?”
Will tidak menjawab selama beberapa
menit. Ia kembali membuka bukunya hingga membuat Hayley yakin jika lelaki itu
tidak akan menjawab pertanyaannya. Namun, Will akhirnya berkata, “Menurutku,
lebih mudah untuk bercerita kepada orang asing dibanding dengan orang terdekat.
Mereka tidak bisa menghakimimu, karena mereka tidak tahu apapun tentangmu.”
Tapi
kau bukan orang asing bagiku, Will.
“Jadi, tujuan kau kesini hanya untuk
menjadi teman ceritaku?” tanya Hayley setelah menyeruput tehnya.
Will mengangkat bahu. “Jika itu yang kau
mau. Tapi aku juga sama sekali tidak keberatan jika menjadi teman heningmu. Kau
tidak perlu bercerita, cukup diam dan nikmati saja makan siangmu. Aku akan diam
membaca buku.”
Sungguh aneh. Tapi keanehan ini mampu
membuat Hayley merasakan sebuah perasaan yang sebelumnya tidak pernah ia
rasakan. Ia tidak tahu perasaan apa itu dan ia berniat untuk mencari tahu.
“Namaku Hayley, Will. Bukan Hadley,”
ucap Hayley tiba-tiba.
“Aku tahu.”
“Lalu mengapa kau memanggilku Hadley
kemarin?” tanya Hayley tak percaya.
“Namaku William, Hayley. Bukan Will,”
jawab Will yang sama sekali tidak menjawab pertanyaan Hayley. “Tapi aku tidak
marah orang-orang memanggilku Will.” Tatapan Will masih terus terfokus pada
bukunya.
“Itu beda,” protes Hayley. Ia hendak
meneruskan kembali perkataannya ketika Will tiba-tiba menatap matanya dalam-dalam.
“Kau punya dua pilihan; menceritakan apa
yang kau tangisi tadi atau diam,” tegas Will. “Jika kau tidak memilih, kurasa
aku akan pulang sekarang,” lanjutnya lalu kembali masuk ke dunia buku.
Bibir Hayley otomatis langsung tertutup
rapat. Kecuali ketika memasukkan makanannya ke dalam mulut. Ia tidak mungkin
menceritakan apa yang tadi ia tangisi, jadi pilihan yang tepat adalah
menjadikan lelaki di hadapannya sebagai teman hening—begitu Will menyebutnya.
Bagi Hayley duduk bersama orang tanpa
mengobrol adalah hal yang asing. Tapi sekarang, rasanya sama sekali berbeda. Ia
tidak merasa aneh ataupun canggung dengan tidak adanya obrolan diantara mereka.
Ia malah merasa... damai. Mungkin karena ini Will. Lelaki itu tidak memberikan
apapun kecuali rasa nyaman padanya.
Makanan Hayley akhirnya habis, tetapi
Will masih tenggelam dalam cerita apapun itu di bukunya. Ia tidak tahu harus
berkata apa untuk membuat perhatian Will beralih padanya.
“Sudah?” tanya Will akhirnya.
Hayley mengangguk.
“Baiklah, aku harus pergi. Sampaikan
salamku untuk Ronnie,” lanjutnya lalu beranjak dari kursi.
“Tunggu!” pekik Hayley. Membuat gerakan
Will terhenti. “Kita bahkan belum benar-benar mengobrol. Kau selalu buru-buru
pergi setiap bertemu denganku. Apakah aku membosankan?” lanjut Hayley dengan
nada cemas.
Will menggeleng. “Ada sesuatu yang harus
kukerjakan. Sampai jumpa.” Will berjalan menjauh beberapa langkah, meninggalkan
Hayley yang menunduk kecewa. Tapi tiba-tiba langkahnya terhenti dan Will
membalikkan badan. “Dan Hayley, kau jauh dari kata membosankan.”
Setelah mengatakan itu, Will benar-benar
pergi dan meninggalkan Hayley sendiri di cafe. Hayley tidak paham dengan apa
yang ada di pikiran Will. Yang ia paham adalah bahwa sekarang dirinya sudah
merasa lebih baik. Bahkan hanya dengan berada di dekat Will.
Aneh bukan?
***
Malam itu, Jane tidak terlihat batang
hidungnya di rumah. Membuat Hayley cemas setengah mati, sampai akhirnya ia
berjalan ke rumah Matthew dan menemukan Jane yang sedang mengusap bahu Matthew
di ruang tamu. Sesuatu telah terjadi pada pria tua itu sampai-sampai ia
terlihat sedih dan frustasi—tidak seperti biasanya.
Dengan perlahan, Hayley mengetuk pintu
rumah Matthew. Membuat Matthew maupun Jane berjengit kaget di sofa.
“Jane, ini aku. Aku khawatir lalu mencarimu
kesini,” ucap Hayley sedikit berteriak dari luar rumah.
Jane berjalan untuk membuka pintu.
“Hayley,” sapanya. Mata Jane juga terlihat sedikit sembab. Jane menyadari
perubahan di raut wajah Hayley sehingga ia buru-buru berkata, “Aku sedang
bermain kartu lalu kalah dan Matthew mengejekku sampai aku menangis.”
Satu hal yang Hayley ketahui tentang
Jane sejak mereka tinggal bersama adalah bahwa Jane payah dalam berbohong.
“Seseorang menyakitimu dan Matthew?” tanya
Hayley to the point. Tidak termakan
kebohongan Jane.
“Masuklah, Hayley.” Suara Matthew
terdengar dari arah ruang tamu. Suaranya terdengar serak, layaknya orang
setelah menangis.
Hayley hendak berjalan masuk ketika Jane
secara cepat langsung menghalanginya. “Tidak. Ini sudah larut, Hayley harus
beristirahat, Matt.”
Hayley sudah akan membantah ketika Jane
menggandeng—atau lebih tepatnya menyeret—lengannya untuk berjalan pergi
meninggalkan kediaman Matthew. Membuat Hayley semakin yakin jika sesuatu yang
buruk tengah atau sudah terjadi.
Jane diam seribu bahasa selama
perjalanan mereka kembali. Bibir Hayley gatal untuk bertanya, tapi ia juga
paham bahwa Jane tidak akan menjawab dengan jujur di pinggir jalan seperti ini.
Jadi, ia menimbun pertanyaan-pertanyaan itu untuk nanti.
Sesampainya di rumah pun Jane tetap
diam.
“Jane, jika sesuatu—“
“Selamat malam, Hayley,” potong Jane
lalu menutup pintu kamarnya. Meninggalkan Hayley dengan sejuta pertanyaan yang
meraung-meraung di otaknya.
Ini pertama kalinya Hayley melihat Jane
berperilaku seperti itu. Ia tahu betul wanita tua itu sedang menyembunyikan
sesuatu. Tapi kemudian ia sadar, jikalau perannya di sini hanyalah seorang tamu
yang sedang mengungsi dari dunia nyatanya di New York. Ia sama sekali tidak
memiliki hak untuk mencampuri permasalahan apapun itu yang sedang dihadapi Jane
dan Matt.
Jadi, langkah terbaik yang dapat ia
lakukan adalah diam. Tidak selamanya diam itu tidak peduli dan tidak
menyelesaikan masalah. Karena terkadang diam itu karena peduli dan juga berupa
solusi.
Hayley menjatuhkan dirinya ke atas kasur.
Banyak hal yang terjadi hari ini. Mulai dari berita sampah di koran itu, cara
aneh Will untuk membuatnya lebih baik, dan sesuatu misterius yang disembunyikan
Matthew dan Jane. Tapi dari semua itu kejadiannya dengan Will-lah yang menjadi
sorotan untuknya.
Semakin Hayley ingin mengetahui tentang
pria itu, semakin misterius pula lah dia. Entah apa yang membuat Will selalu
buru-buru ketika mereka bertemu, ia ingin tahu tentang itu. Apa pekerjaan Will,
di mana dia tinggal, apa buku favoritnya, warna apa yang ia benci, apakah ia
suka menyanyi dan menari ketika sendiri, apakah ia memiliki kekasih.
Oh yang terakhir itu tidak perlu ia cari
tahu.
Atau mungkin perlu.
Entahlah.
Besok pagi ia akan menanyakan semua
tentang Will pada Ronnie. Bosnya itu pasti akan menjawab semua pertanyaan
karena terpaksa dan tak memiliki pilihan. Bisa dilihat dari ekspresi ketakutan
Ronnie ketika melihat Hayley kembali dari makan siang tadi.
Hayley hendak menarik selimut untuk
menutupi tubuhnya tatkala mendadak ia mendengar suara seseorang mengetuk pintu
dari luar rumah. Siapa gerangan yang bertamu larut malam seperti ini?
Ia berjalan keluar kamar untuk membuka
pintu karena ia yakin Jane sudah tertidur. Dengan hati-hati, tangannya
menyentuh gagang pintu dan memutar kunci. Hembusan angin malam yang dingin
langsung menyerbunya, tetapi bukan itu yang membuatnya terkejut, melainkan
kehadiran sosok Will yang berdiri di hadapannya.
***
“Will? Apa yang kau—“
“Malam, Hayley. Aku akan menjelaskan
semuanya padamu, tapi tidak di sini,” potong Will. Ia mengenakan mantel abu-abu
dan jeans hitam. Rambutnya ditutupi
oleh tudung dari mantel itu.
“Di mana?” tanya Hayley yang masih
sangat bingung.
“Ambil jaketmu tanpa menimbulkan
suara,” jawab Will dengan suara pelan. “Aku tunggu kau di jembatan Sungai Eye.”
Dan begitulah, Will langsung melangkah pergi tanpa mengatakan apapun lagi.
Pertama, ini sudah larut, Hayley
masih harus bekerja besok. Kedua, memang benar itu Will, tetapi bukan berarti
Hayley tidak takut diajak keluar tengah malam seperti ini oleh lelaki yang
belum dekat dengannya. Dan terakhir, ia takut Jane mendengarnya
mengendap-endap.
Namun, rasa penasarannya lagi-lagi
menang. Akhirnya ia menuruti permintaan Will. Ia berusaha setengah mati untuk
tidak menimbulkan suara. Berhasil, ia berhasil mengenakan jaket dan kembali ke
ruang tamu tanpa suara. Akan tetapi, ketika hendak menutup pintu, suara ‘krek’
terdengar cukup keras. Menyebabkan tubuh Hayley langsung berkeringat karena
takut Jane terbangun.
Untungnya, Jane tidak terbangun.
Sehingga ia bisa bernafas lega. Setelah yakin pintu sudah terkunci, Hayley
berjalan menuju Sungai Eye ditemani keheningan malam dan lampu-lampu jalan yang
redup.
Matanya langsung menangkap sosok
Will di atas jembatan itu.
“Lebih cepat dari yang kukira,”
sambut Will tersenyum bangga ketika Hayley sudah berada di sampingnya.
“Silakan,” lanjutnya yang membuat Hayley bingung.
“Silakan?”
“Silakan bertanya,” jawab Will.
Hayley merapatkan jaketnya dan
secara insting merapatkan tubuhnya pada tubuh Will untuk menghalau hawa dingin
yang menusuk. “Darimana kau tahu rumahku?” Pertanyaan pertama terlontar.
“Ronnie,” jawab Will singkat.
Hayley mengangguk. “Apa yang akan
kau lakukan bersamaku sekarang?”
“Mengobrol.” Tetap dengan jawaban
yang singkat.
Tawa sarkas keluar dari mulut
Hayley. “Kau selalu buru-buru, tidak memiliki kesempatan mengobrol. Dan
tiba-tiba kau ingin mengobrol denganku tengah malam di jembatan? Kau pikir aku
ini apa? Wanita penghibur?”
Tapi di sinilah ia sekarang.
Menuruti Will. Jadi mungkin ia memang wanita penghibur.
Will menghela nafas. “Itu dia
masalahnya. Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu sejak tadi. Menganggu sekali.
Aku jadi tidak bisa menulis. Jadi kupikir, mengobrol denganmu adalah solusinya.”
Ia menggosokkan kedua tangannya lalu meraih tangan Hayley untuk digenggam.
Rasa hangat menjalar dari tangan ke
seluruh tubuh Hayley akibat dari genggaman tangan itu. Gestur itu benar-benar
di luar dugaan. Hayley tidak protes, ia membiarkan Will menghangatkan tubuhnya
dengan cara pria itu sendiri.
“Menulis? Kau salah satu orang yang
suka menulis diary setiap malam?”
tanya Hayley dengan mata menyipit.
Will tertawa. Seluruh wajahnya
bersinar. “Bukan diary.” Tawa Will
terdengar indah di telinganya. “Aku penulis novel, Hayley. Aku harus menulis
setidaknya lima ribu kata setiap hari. Tetapi sejak pertemuan kita siang tadi,
aku hanya bisa menulis sekitar dua ribu kata. Maaf, tidak ada maksud
menyalahkan.”
Pengakuan Will itu membuat Hayley
terkejut. Ia tak pernah menyangka bahwa Will adalah seorang penulis novel. Ia
mengira pekerjaan Will adalah akuntan, pemilik toko, atau semacamnya tapi
penulis? Sama sekali tidak ada dibayangannya.
“Jangan menatapku seperti itu,”
pinta Will. Karena memang Hayley menatapnya dengan mulut ternganga.
“Novel apa yang kau tulis?” tanya
Hayley dengan alis terangkat.
“Romansa. Klasik,” jawab Will
mengangkat bahu.
Hayley semakin menganga dibuatnya.
Will Morrison, siapa kau sebenarnya?
“Kau benar-benar di luar dugaan,
Will. Jadi itulah alasanmu selalu buru-buru? Karena harus menulis?” tanya
Hayley lagi.
“Tidak juga,” jawab Will. “Ada hal
lain.”
“Apa itu?”
“Tidak bisa kujelaskan.” Will
menatap ke arah lain setelah mengatakan itu. Ekspresinya pun berubah, Will yang
menyuruh Hayley untuk bertanya diawal tadi seakan hilang dibawa angin malam. Tergantikan
oleh Will yang pintunya tertutup rapat.
Menyadari hal itu, Hayley buru-buru
melepaskan tangannya dari genggaman Will. “Well,
aku masih harus bekerja besok. Dan jika boleh jujur, aku agak payah dalam
mencari topik pembicaraan. Jadi sebenarnya aku tidak keberatan jika kita tidak
mengobrol.”
“Teman hening,” sahut Will tersenyum
simpul. “Kau sudah menjadi teman heningku mulai tadi siang.”
“Apa maksudnya dengan itu?” tanya
Hayley penasaran.
“Maksudnya, walaupun kita bertemu
dan tidak mengobrol, itu tetap terhitung sebagai pembicaraan,” jawab Will
sembari menatap aliran sungai Eye yang tenang.
“Jadi sekarang kita teman?”
“Itu tak bisa terhindarkan. Kau
pegawai di Goldie’s Bookshop dan aku pelanggan setia. Hampir setiap hari kita
akan bertemu,” jelas Will dengan percaya diri.
Hayley tak membantah karena memang
seperti itu faktanya. Dia akan bertemu Will setiap hari.
“Di mana kau tinggal? Rasanya tak
adil jika kau mengetahui rumahku sedangkan aku tidak.” Hayley menatap wajah
tampan Will dengan sudut bibir yang naik membentuk senyuman.
“Suatu saat nanti, Hayley. Suatu
saat nanti kau akan tahu.” Lagi-lagi pandangan Will menerawang jauh, menuju
kegelapan yang hanya dia sendiri ketahui letaknya.
Hayley merenung di dalam hati.
Bertanya-tanya apakah Will benar-benar tidak mengingat pertemuan pertama mereka
di bandara. Ia ingin sekali menanyakan hal itu dan mengembalikan novel milik
Will, tapi rasanya janggal jika Will tidak mengingat siapa dirinya terlebih
dulu.
Hayley juga penasaran, apakah Will
mengetahui siapa ia sebenarnya?
“Apa judulnya?” tanya Hayley memecah
keheningan.
“Judul apa?” Alis Will bertaut.
“Novelmu yang sudah terbit. Aku
ingin membacanya.”
Kali ini Will tidak menggosokkan
kedua tangannya untuk menghangatkan Hayley, tetapi memasukkan tangan kanan
Hayley ke dalam saku mantelnya dengan mata yang masih terfokus pada aliran
sungai di depan mereka.
Lagi-lagi Hayley tidak protes.
“Kau tidak akan menemukan namaku di
rak-rak buku,” jawab Will.
“Novelmu belum terbit?” tanya
Hayley.
“James Petterson. Perhaps It Never
True.” Will memutar tubuhnya menjadi menghadap Hayley. Ia lalu meraih tangan
kiri Hayley yang terasa beku dan memasukkan tangan itu ke saku lain mantelnya.
Sehingga sekarang mereka berdiri berhadapan dengan kedua tangan Hayley berada
di saku mantel Will.
Hayley menggigit bibir bawahnya,
bukan karena rasa dingin, melainkan karena perlakuan Will. Will bukan hanya
memasukkan kedua tangan Hayley ke dalam saku mantel, tapi juga mengusap-usap
punggung tangannya dengan lembut.
Hayley berdeham lalu mendongak menatap Will
yang lebih tinggi darinya. “James Petterson? Itu ada di rak best-seller bulan ini.” Ia masih belum
mengerti maksud Will mengatakan itu. Tetapi beberapa detik kemudian ia
terkesiap dengan kedua mata yang melebar. “James Petterson, itu kau?”
Will mengedipkan sebelah mata dengan
kedua sudut bibir yang terangkat. “Sekarang giliran, apa salah satu rahasiamu,
Hayley?”
Hayley tampak berpikir sebentar.
Dahinya mengerut.
“Aku benci cerita horror,” jawab Hayley
akhirnya. “Jika bisa, aku ingin membakar satu persatu novel horror di toko
buku.”
“Termasuk di Goldie’s Bookshop?”
Will menyeringai usil.
“Kecuali itu. Tapi mungkin nanti,
kalau aku sudah tidak bekerja di sana.”
“Aku siap 24 jam untuk membantumu,”
ujar Will. “Aku akan mengajak Ronnie minum kopi selagi kau menumpahkan minyak.”
Mereka tertawa terbahak-bahak
setelahnya. Malam itu, malam terbaik yang Hayley punya selama menjalani
kehidupan barunya di sini. Wajahnya bersinar terang melebihi rembulan. Kehadiran
Will disampingnya memang selalu berhasil membuatnya lebih baik, apapun
keadannya. Entah sihir apa yang dimiliki lelaki itu, Hayley tidak peduli.
“Aku akan mengantarmu pulang
sekarang,” cetus Will. “Dan besok, bilang pada Matthew untuk tidak perlu mengantarmu
bekerja. Aku akan melakukannya,” lanjut Will.
Hayley memicingkan mata. “Darimana
kau tahu Matthew selalu mengantarku?”
Will tersenyum misterius.
“Will,” tuntut Hayley.
“Tidak banyak gadis muda yang
diantar oleh tetangganya ke tempat kerja,” jawab Will dengan ekspresi menahan
tawa.
“Sialan!” Hayley mengeluarkan
tangannya dari saku mantel Will dan memukul lengan pria itu lumayan keras.
“Matthew itu baik sekali, dia sahabatku.”
“Sebaiknya begitu,” tukas Will
ambigu. “Ayo.” Will merangkul bahu Hayley untuk mengajaknya berjalan pulang.
Mereka berjalan beriringan menuju
rumah Jane. Selama di perjalanan, Hayley menanyakan alasan Will tidak memakai
nama aslinya sebagai penulis. Will menjawab bila ia lebih suka dikenal sebagai
orang asing ketimbang penulis best-seller.
Menurutnya, hidup akan lebih bebas jika tak banyak orang tahu tentang
keberadaannya.
Mendengar hal itu, Hayley menjadi
sadar jika selama di sini ia benar-benar menemukan ketenangan. Ia tidak tahu
pasti apakah penduduk di sini mengetahui siapa dirinya atau tidak, yang ia tahu,
tidak ada paparazzi yang menunggunya
di luar rumah. Tidak ada orang-orang asing yang tiba-tiba mengajaknya berfoto.
Tidak ada tuntutan untuk mengenakan baju-baju bermerek agar menjadi trend setter.
Ia bisa menjadi dirinya sendiri di
sini.
Bebas.
Itu hal yang selama ini Hayley
inginkan.
Dan sekarang sudah menjadi
kenyataan.
Jane masih tertidur pulas ketika
Hayley pulang, bisa dilihat dari pintu kamarnya yang tertutup rapat. Namun,
Hayley baru bisa bernafas lega ketika dirinya sudah masuk ke dalam kamar. Ia
duduk di dekat jendela, mengamati gelapnya malam yang diterangi sinar bulan.
Otaknya masih terus memutar obrolan bersama Will tadi, bahkan wangi tubuh Will
saja masih melekat di hidungnya.
Tatapannya lalu beralih pada novel
The Midnight Library milik Will yang masih tergeletak di atas nakas. Ia sama
sekali belum memiliki niat untuk mengembalikan novel itu pada pemiliknya.
Rasanya tak rela jika bagian dari Will lepas dari genggamannya. Apalagi masih
banyak hal-hal yang ingin ia kupas dari sosok Will.
Semua yang terjadi akhir-akhir ini
hampir dapat melupakan rasa cemasnya pada apa yang sedang terjadi di New
York—nasib karir masa depannya. Dengan sedikit ragu, ia menyalakan ponselnya
yang sebelumnya ia matikan selama hampir dua bulan. Ini saatnya. Siap atau
tidak Hayley harus menghadapinya.
Hal pertama yang ia lihat di layar
ponsel adalah pesan teks dari teman-teman sesama aktornya seperti Jules Harper,
aktor TV Series Hit The Bird. Ya, meskipun mereka bukan seperti teman sungguhan
karena keduanya sama-sama hanya mengharapkan benefit dari pertemanan itu.
Menurut Hayley, tidak ada teman sungguhan di dunia Hollywood dan perfilman.
Jules:
Hay, aku turut sedih mendengar apa yang terjadi. Come back stronger <3
#TeamHayley
Hanya itu pesan yang dikirim Jules
sekitar satu bulan yang lalu. Setelahnya tidak ada pesan-pesan lagi. Menanyakan
kabar saja tidak.
Hayley sudah memblokir nomor
Logan—Yasmine yang melakukannya—jadi ia sedikit lega karena tidak melihat nama
itu muncul di kumpulan pesan-pesan yang ia terima.
Semakin banyak notifikasi yang
muncul semakin pedih mata Hayley dibuatnya. Jantungnya tiba-tiba berdebar
sangat kencang dan sekitarnya terasa berputar. Tangannya yang memegang ponsel
mengeluarkan keringat sehingga ponsel itu lepas dan jatuh ke lantai tanpa bisa
ia hindari.
Ternyata ia salah.
Ia belum siap sama sekali untuk menghadapi kehidupan
aslinya.