Read More >>"> Perhaps It Never Will (Chapter 8) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Perhaps It Never Will
MENU
About Us  

Ronnie tidak marah.

Ia malah khawatir dan merasa bersalah ketika Hayley kembali masuk ke toko dengan mata sembab dan make-up yang acak-acakan. Hayley menyerahkan koran kematian itu dengan gerakan jijik, seakan benda itu adalah benda keramat yang bisa membunuh orang.

Ronnie mengamati foto Hayley yang terpampang jelas di koran. Foto ketika ia menghadiri red carpet fashion show Prada tahun lalu. Ketika semuanya masih baik-baik saja.

“Kau benar-benar seorang aktor dan model?” Mulut Ronnie menganga. “Selama ini aku memperkerjakan seorang aktor terkenal?” lanjut Ronnie menatap Hayley dengan tak percaya.

Hayley hanya diam. Namun, matanya menatap koran itu dan Ronnie secara bergantian.

“Sedang apa kau di The Cotswolds, Hayley Lexington?” tanya  Ronnie sangat pelan.

Hayley berjalan mendekati Ronnie dengan perlahan. Bagaikan predator yang siap menyerang mangsanya. Tatapannya sama sekali tak lepas dari tatapan tak percaya dan ketakutan milik Ronnie. Hayley meletakkan tangannya di meja kasir, mengunci Ronnie.

“Jika kau berani membocorkan kepada publik di internet tentang siapa dan di mana aku berada. Jangan harap istri dan anakmu yang baru berusia lima bulan itu akan hidup tenang,” ucap Hayley penuh tekanan.

Ronnie gemetar ketakutan. Bukan hanya karena tinggi badan Hayley yang melebihi dirinya, tapi juga karena tatapan menyeramkan penuh ancaman yang Hayley berikan padanya. Selama ia memperkerjakan Hayley, belum pernah gadis itu menatapnya seperti itu.

“Kau... kau mengancamku di toko bukuku sendiri?” tanya Ronnie gemetar.

Hayley menjauhkan tubuhnya sembari menggeleng. “Tidak mengancam, lebih ke menyarankan.”

Ronnie berjalan mundur hingga tanpa sengaja menabrak vas bunga miliknya. Membuat perhatian beberapa pelanggan terarah kepadanya.

“Waktunya makan siang!” ucap Hayley ceria ketika hampir semua pandangan tertuju padanya. “Aku akan ke cafe sebentar, Bos Ronnie. Sampai jumpa nanti.” Ia mengambil tas miliknya dan berjalan santai ke arah pintu—berlagak seolah dirinya tidak baru saja mengancam bosnya sendiri.

Hayley tidak punya pilihan lain. Ia tahu ini salah. Tapi ia belum bisa menghadapi persoalan jika Ronnie membocorkan siapa dirinya pada publik sekarang. Terlalu banyak beban yang ditampungnya, tidak ada kapasitas untuk beban baru lagi. Apalagi publik sudah tahu bahwa dirinya sempat berada di London. Meskipun sekarang dia berada di The Cotswolds, tapi tidak kecil kemungkinan seseorang mengetahui keberadaannya.

Sebelum mencari sosok Will di Joe & Go Coffee, Hayley terlebih dulu membetulkan make-up nya yang sempat acak-acakan. Ia masih belum merasa lebih baik, tetapi bayangan makan siang dengan Will sedikit menenangkannya. Setelah selesai, ia berjalan melewati bangku-bangku dan meja-meja untuk mencari sosok familiar itu. Dan di sanalah dia—duduk di sudut cafe dengan kedua mata yang terfokus pada sebuah buku di depannya.

Will tidak menyadari keberadaannya sampai ia berkata, “Will.”

Di detik itu juga, Will mendongak. Mata indahnya benar-benar menusuk, membuat lutut Hayley lemas seketika. Ia lemah jika ditatap sebegitu intens-nya oleh mata indah itu.

“Duduk,” titah Will sembari menutup bukunya. “Kau mau pesan apa?” lanjutnya.

Hayley duduk di bangku sebrang Will. “Cotswolds Cream Tea dan Chocolate Lardy Cakes,” jawabnya setelah melihat menu.

Will mengangguk, lalu berjalan menuju meja kasir untuk memesan. Beberapa menit kemudian ia kembali hanya dengan membawa pesanan Hayley—membuat kening Hayley mengerut bingung.

“Terima kasih. Kau tidak memesan?” tanya Hayley.

Will tersenyum seraya menggeleng. “Aku tidak suka makan di sini. Lebih enak jika dibawa ke rumah.”

Hayley dibuat lebih bingung. “Lalu untuk apa kau mengajakku—ehm maksudku—untuk apa kau di sini?”

Will tidak menjawab selama beberapa menit. Ia kembali membuka bukunya hingga membuat Hayley yakin jika lelaki itu tidak akan menjawab pertanyaannya. Namun, Will akhirnya berkata, “Menurutku, lebih mudah untuk bercerita kepada orang asing dibanding dengan orang terdekat. Mereka tidak bisa menghakimimu, karena mereka tidak tahu apapun tentangmu.”

Tapi kau bukan orang asing bagiku, Will.

“Jadi, tujuan kau kesini hanya untuk menjadi teman ceritaku?” tanya Hayley setelah menyeruput tehnya.

Will mengangkat bahu. “Jika itu yang kau mau. Tapi aku juga sama sekali tidak keberatan jika menjadi teman heningmu. Kau tidak perlu bercerita, cukup diam dan nikmati saja makan siangmu. Aku akan diam membaca buku.”

Sungguh aneh. Tapi keanehan ini mampu membuat Hayley merasakan sebuah perasaan yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan. Ia tidak tahu perasaan apa itu dan ia berniat untuk mencari tahu.

“Namaku Hayley, Will. Bukan Hadley,” ucap Hayley tiba-tiba.

“Aku tahu.”

“Lalu mengapa kau memanggilku Hadley kemarin?” tanya Hayley tak percaya.

“Namaku William, Hayley. Bukan Will,” jawab Will yang sama sekali tidak menjawab pertanyaan Hayley. “Tapi aku tidak marah orang-orang memanggilku Will.” Tatapan Will masih terus terfokus pada bukunya.

“Itu beda,” protes Hayley. Ia hendak meneruskan kembali perkataannya ketika Will tiba-tiba menatap matanya dalam-dalam.

“Kau punya dua pilihan; menceritakan apa yang kau tangisi tadi atau diam,” tegas Will. “Jika kau tidak memilih, kurasa aku akan pulang sekarang,” lanjutnya lalu kembali masuk ke dunia buku.

Bibir Hayley otomatis langsung tertutup rapat. Kecuali ketika memasukkan makanannya ke dalam mulut. Ia tidak mungkin menceritakan apa yang tadi ia tangisi, jadi pilihan yang tepat adalah menjadikan lelaki di hadapannya sebagai teman hening—begitu Will menyebutnya.

Bagi Hayley duduk bersama orang tanpa mengobrol adalah hal yang asing. Tapi sekarang, rasanya sama sekali berbeda. Ia tidak merasa aneh ataupun canggung dengan tidak adanya obrolan diantara mereka. Ia malah merasa... damai. Mungkin karena ini Will. Lelaki itu tidak memberikan apapun kecuali rasa nyaman padanya.

Makanan Hayley akhirnya habis, tetapi Will masih tenggelam dalam cerita apapun itu di bukunya. Ia tidak tahu harus berkata apa untuk membuat perhatian Will beralih padanya.

“Sudah?” tanya Will akhirnya.

Hayley mengangguk.

“Baiklah, aku harus pergi. Sampaikan salamku untuk Ronnie,” lanjutnya lalu beranjak dari kursi.

“Tunggu!” pekik Hayley. Membuat gerakan Will terhenti. “Kita bahkan belum benar-benar mengobrol. Kau selalu buru-buru pergi setiap bertemu denganku. Apakah aku membosankan?” lanjut Hayley dengan nada cemas.

Will menggeleng. “Ada sesuatu yang harus kukerjakan. Sampai jumpa.” Will berjalan menjauh beberapa langkah, meninggalkan Hayley yang menunduk kecewa. Tapi tiba-tiba langkahnya terhenti dan Will membalikkan badan. “Dan Hayley, kau jauh dari kata membosankan.”

Setelah mengatakan itu, Will benar-benar pergi dan meninggalkan Hayley sendiri di cafe. Hayley tidak paham dengan apa yang ada di pikiran Will. Yang ia paham adalah bahwa sekarang dirinya sudah merasa lebih baik. Bahkan hanya dengan berada di dekat Will.

Aneh bukan?


***


Malam itu, Jane tidak terlihat batang hidungnya di rumah. Membuat Hayley cemas setengah mati, sampai akhirnya ia berjalan ke rumah Matthew dan menemukan Jane yang sedang mengusap bahu Matthew di ruang tamu. Sesuatu telah terjadi pada pria tua itu sampai-sampai ia terlihat sedih dan frustasi—tidak seperti biasanya.

Dengan perlahan, Hayley mengetuk pintu rumah Matthew. Membuat Matthew maupun Jane berjengit kaget di sofa.

“Jane, ini aku. Aku khawatir lalu mencarimu kesini,” ucap Hayley sedikit berteriak dari luar rumah.

Jane berjalan untuk membuka pintu. “Hayley,” sapanya. Mata Jane juga terlihat sedikit sembab. Jane menyadari perubahan di raut wajah Hayley sehingga ia buru-buru berkata, “Aku sedang bermain kartu lalu kalah dan Matthew mengejekku sampai aku menangis.”

Satu hal yang Hayley ketahui tentang Jane sejak mereka tinggal bersama adalah bahwa Jane payah dalam berbohong.

“Seseorang menyakitimu dan Matthew?” tanya Hayley to the point. Tidak termakan kebohongan Jane.

“Masuklah, Hayley.” Suara Matthew terdengar dari arah ruang tamu. Suaranya terdengar serak, layaknya orang setelah menangis.

Hayley hendak berjalan masuk ketika Jane secara cepat langsung menghalanginya. “Tidak. Ini sudah larut, Hayley harus beristirahat, Matt.”

Hayley sudah akan membantah ketika Jane menggandeng—atau lebih tepatnya menyeret—lengannya untuk berjalan pergi meninggalkan kediaman Matthew. Membuat Hayley semakin yakin jika sesuatu yang buruk tengah atau sudah terjadi.

Jane diam seribu bahasa selama perjalanan mereka kembali. Bibir Hayley gatal untuk bertanya, tapi ia juga paham bahwa Jane tidak akan menjawab dengan jujur di pinggir jalan seperti ini. Jadi, ia menimbun pertanyaan-pertanyaan itu untuk nanti.

Sesampainya di rumah pun Jane tetap diam.

“Jane, jika sesuatu—“

“Selamat malam, Hayley,” potong Jane lalu menutup pintu kamarnya. Meninggalkan Hayley dengan sejuta pertanyaan yang meraung-meraung di otaknya.

Ini pertama kalinya Hayley melihat Jane berperilaku seperti itu. Ia tahu betul wanita tua itu sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi kemudian ia sadar, jikalau perannya di sini hanyalah seorang tamu yang sedang mengungsi dari dunia nyatanya di New York. Ia sama sekali tidak memiliki hak untuk mencampuri permasalahan apapun itu yang sedang dihadapi Jane dan Matt.

Jadi, langkah terbaik yang dapat ia lakukan adalah diam. Tidak selamanya diam itu tidak peduli dan tidak menyelesaikan masalah. Karena terkadang diam itu karena peduli dan juga berupa solusi.

Hayley menjatuhkan dirinya ke atas kasur. Banyak hal yang terjadi hari ini. Mulai dari berita sampah di koran itu, cara aneh Will untuk membuatnya lebih baik, dan sesuatu misterius yang disembunyikan Matthew dan Jane. Tapi dari semua itu kejadiannya dengan Will-lah yang menjadi sorotan untuknya.

Semakin Hayley ingin mengetahui tentang pria itu, semakin misterius pula lah dia. Entah apa yang membuat Will selalu buru-buru ketika mereka bertemu, ia ingin tahu tentang itu. Apa pekerjaan Will, di mana dia tinggal, apa buku favoritnya, warna apa yang ia benci, apakah ia suka menyanyi dan menari ketika sendiri, apakah ia memiliki kekasih.

Oh yang terakhir itu tidak perlu ia cari tahu.

Atau mungkin perlu.

Entahlah.

Besok pagi ia akan menanyakan semua tentang Will pada Ronnie. Bosnya itu pasti akan menjawab semua pertanyaan karena terpaksa dan tak memiliki pilihan. Bisa dilihat dari ekspresi ketakutan Ronnie ketika melihat Hayley kembali dari makan siang tadi.

Hayley hendak menarik selimut untuk menutupi tubuhnya tatkala mendadak ia mendengar suara seseorang mengetuk pintu dari luar rumah. Siapa gerangan yang bertamu larut malam seperti ini?

Ia berjalan keluar kamar untuk membuka pintu karena ia yakin Jane sudah tertidur. Dengan hati-hati, tangannya menyentuh gagang pintu dan memutar kunci. Hembusan angin malam yang dingin langsung menyerbunya, tetapi bukan itu yang membuatnya terkejut, melainkan kehadiran sosok Will yang berdiri di hadapannya.

 

***

 

            “Will? Apa yang kau—“

            “Malam, Hayley. Aku akan menjelaskan semuanya padamu, tapi tidak di sini,” potong Will. Ia mengenakan mantel abu-abu dan jeans hitam. Rambutnya ditutupi oleh tudung dari mantel itu.

            “Di mana?” tanya Hayley yang masih sangat bingung.

            “Ambil jaketmu tanpa menimbulkan suara,” jawab Will dengan suara pelan. “Aku tunggu kau di jembatan Sungai Eye.” Dan begitulah, Will langsung melangkah pergi tanpa mengatakan apapun lagi.

            Pertama, ini sudah larut, Hayley masih harus bekerja besok. Kedua, memang benar itu Will, tetapi bukan berarti Hayley tidak takut diajak keluar tengah malam seperti ini oleh lelaki yang belum dekat dengannya. Dan terakhir, ia takut Jane mendengarnya mengendap-endap.

            Namun, rasa penasarannya lagi-lagi menang. Akhirnya ia menuruti permintaan Will. Ia berusaha setengah mati untuk tidak menimbulkan suara. Berhasil, ia berhasil mengenakan jaket dan kembali ke ruang tamu tanpa suara. Akan tetapi, ketika hendak menutup pintu, suara ‘krek’ terdengar cukup keras. Menyebabkan tubuh Hayley langsung berkeringat karena takut Jane terbangun.

            Untungnya, Jane tidak terbangun. Sehingga ia bisa bernafas lega. Setelah yakin pintu sudah terkunci, Hayley berjalan menuju Sungai Eye ditemani keheningan malam dan lampu-lampu jalan yang redup.

            Matanya langsung menangkap sosok Will di atas jembatan itu.

            “Lebih cepat dari yang kukira,” sambut Will tersenyum bangga ketika Hayley sudah berada di sampingnya. “Silakan,” lanjutnya yang membuat Hayley bingung.

            “Silakan?”

            “Silakan bertanya,” jawab Will.

            Hayley merapatkan jaketnya dan secara insting merapatkan tubuhnya pada tubuh Will untuk menghalau hawa dingin yang menusuk. “Darimana kau tahu rumahku?” Pertanyaan pertama terlontar.

            “Ronnie,” jawab Will singkat.

            Hayley mengangguk. “Apa yang akan kau lakukan bersamaku sekarang?”

            “Mengobrol.” Tetap dengan jawaban yang singkat.

            Tawa sarkas keluar dari mulut Hayley. “Kau selalu buru-buru, tidak memiliki kesempatan mengobrol. Dan tiba-tiba kau ingin mengobrol denganku tengah malam di jembatan? Kau pikir aku ini apa? Wanita penghibur?”

            Tapi di sinilah ia sekarang. Menuruti Will. Jadi mungkin ia memang wanita penghibur.

            Will menghela nafas. “Itu dia masalahnya. Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu sejak tadi. Menganggu sekali. Aku jadi tidak bisa menulis. Jadi kupikir, mengobrol denganmu adalah solusinya.” Ia menggosokkan kedua tangannya lalu meraih tangan Hayley untuk digenggam.

            Rasa hangat menjalar dari tangan ke seluruh tubuh Hayley akibat dari genggaman tangan itu. Gestur itu benar-benar di luar dugaan. Hayley tidak protes, ia membiarkan Will menghangatkan tubuhnya dengan cara pria itu sendiri.

            “Menulis? Kau salah satu orang yang suka menulis diary setiap malam?” tanya Hayley dengan mata menyipit.

            Will tertawa. Seluruh wajahnya bersinar. “Bukan diary.” Tawa Will terdengar indah di telinganya. “Aku penulis novel, Hayley. Aku harus menulis setidaknya lima ribu kata setiap hari. Tetapi sejak pertemuan kita siang tadi, aku hanya bisa menulis sekitar dua ribu kata. Maaf, tidak ada maksud menyalahkan.”

            Pengakuan Will itu membuat Hayley terkejut. Ia tak pernah menyangka bahwa Will adalah seorang penulis novel. Ia mengira pekerjaan Will adalah akuntan, pemilik toko, atau semacamnya tapi penulis? Sama sekali tidak ada dibayangannya.

            “Jangan menatapku seperti itu,” pinta Will. Karena memang Hayley menatapnya dengan mulut ternganga.

            “Novel apa yang kau tulis?” tanya Hayley dengan alis terangkat.

            “Romansa. Klasik,” jawab Will mengangkat bahu.

            Hayley semakin menganga dibuatnya. Will Morrison, siapa kau sebenarnya?

            “Kau benar-benar di luar dugaan, Will. Jadi itulah alasanmu selalu buru-buru? Karena harus menulis?” tanya Hayley lagi.

            “Tidak juga,” jawab Will. “Ada hal lain.”

            “Apa itu?”

            “Tidak bisa kujelaskan.” Will menatap ke arah lain setelah mengatakan itu. Ekspresinya pun berubah, Will yang menyuruh Hayley untuk bertanya diawal tadi seakan hilang dibawa angin malam. Tergantikan oleh Will yang pintunya tertutup rapat.

            Menyadari hal itu, Hayley buru-buru melepaskan tangannya dari genggaman Will. “Well, aku masih harus bekerja besok. Dan jika boleh jujur, aku agak payah dalam mencari topik pembicaraan. Jadi sebenarnya aku tidak keberatan jika kita tidak mengobrol.”

            “Teman hening,” sahut Will tersenyum simpul. “Kau sudah menjadi teman heningku mulai tadi siang.”

            “Apa maksudnya dengan itu?” tanya Hayley penasaran.

            “Maksudnya, walaupun kita bertemu dan tidak mengobrol, itu tetap terhitung sebagai pembicaraan,” jawab Will sembari menatap aliran sungai Eye yang tenang.

            “Jadi sekarang kita teman?”

            “Itu tak bisa terhindarkan. Kau pegawai di Goldie’s Bookshop dan aku pelanggan setia. Hampir setiap hari kita akan bertemu,” jelas Will dengan percaya diri.

            Hayley tak membantah karena memang seperti itu faktanya. Dia akan bertemu Will setiap hari.

            “Di mana kau tinggal? Rasanya tak adil jika kau mengetahui rumahku sedangkan aku tidak.” Hayley menatap wajah tampan Will dengan sudut bibir yang naik membentuk senyuman.

            “Suatu saat nanti, Hayley. Suatu saat nanti kau akan tahu.” Lagi-lagi pandangan Will menerawang jauh, menuju kegelapan yang hanya dia sendiri ketahui letaknya.

            Hayley merenung di dalam hati. Bertanya-tanya apakah Will benar-benar tidak mengingat pertemuan pertama mereka di bandara. Ia ingin sekali menanyakan hal itu dan mengembalikan novel milik Will, tapi rasanya janggal jika Will tidak mengingat siapa dirinya terlebih dulu.

            Hayley juga penasaran, apakah Will mengetahui siapa ia sebenarnya?

            “Apa judulnya?” tanya Hayley memecah keheningan.

            “Judul apa?” Alis Will bertaut.

            “Novelmu yang sudah terbit. Aku ingin membacanya.”

            Kali ini Will tidak menggosokkan kedua tangannya untuk menghangatkan Hayley, tetapi memasukkan tangan kanan Hayley ke dalam saku mantelnya dengan mata yang masih terfokus pada aliran sungai di depan mereka.

            Lagi-lagi Hayley tidak protes.

            “Kau tidak akan menemukan namaku di rak-rak buku,” jawab Will.

            “Novelmu belum terbit?” tanya Hayley.

            “James Petterson. Perhaps It Never True.” Will memutar tubuhnya menjadi menghadap Hayley. Ia lalu meraih tangan kiri Hayley yang terasa beku dan memasukkan tangan itu ke saku lain mantelnya. Sehingga sekarang mereka berdiri berhadapan dengan kedua tangan Hayley berada di saku mantel Will.

            Hayley menggigit bibir bawahnya, bukan karena rasa dingin, melainkan karena perlakuan Will. Will bukan hanya memasukkan kedua tangan Hayley ke dalam saku mantel, tapi juga mengusap-usap punggung tangannya dengan lembut.

             Hayley berdeham lalu mendongak menatap Will yang lebih tinggi darinya. “James Petterson? Itu ada di rak best-seller bulan ini.” Ia masih belum mengerti maksud Will mengatakan itu. Tetapi beberapa detik kemudian ia terkesiap dengan kedua mata yang melebar. “James Petterson, itu kau?”

            Will mengedipkan sebelah mata dengan kedua sudut bibir yang terangkat. “Sekarang giliran, apa salah satu rahasiamu, Hayley?”

            Hayley tampak berpikir sebentar. Dahinya mengerut.

            “Aku benci cerita horror,” jawab Hayley akhirnya. “Jika bisa, aku ingin membakar satu persatu novel horror di toko buku.”

            “Termasuk di Goldie’s Bookshop?” Will menyeringai usil.

            “Kecuali itu. Tapi mungkin nanti, kalau aku sudah tidak bekerja di sana.”

            “Aku siap 24 jam untuk membantumu,” ujar Will. “Aku akan mengajak Ronnie minum kopi selagi kau menumpahkan minyak.”

            Mereka tertawa terbahak-bahak setelahnya. Malam itu, malam terbaik yang Hayley punya selama menjalani kehidupan barunya di sini. Wajahnya bersinar terang melebihi rembulan. Kehadiran Will disampingnya memang selalu berhasil membuatnya lebih baik, apapun keadannya. Entah sihir apa yang dimiliki lelaki itu, Hayley tidak peduli.

            “Aku akan mengantarmu pulang sekarang,” cetus Will. “Dan besok, bilang pada Matthew untuk tidak perlu mengantarmu bekerja. Aku akan melakukannya,” lanjut Will.

            Hayley memicingkan mata. “Darimana kau tahu Matthew selalu mengantarku?”

            Will tersenyum misterius.

            “Will,” tuntut Hayley.

            “Tidak banyak gadis muda yang diantar oleh tetangganya ke tempat kerja,” jawab Will dengan ekspresi menahan tawa.

            “Sialan!” Hayley mengeluarkan tangannya dari saku mantel Will dan memukul lengan pria itu lumayan keras. “Matthew itu baik sekali, dia sahabatku.”

            “Sebaiknya begitu,” tukas Will ambigu. “Ayo.” Will merangkul bahu Hayley untuk mengajaknya berjalan pulang.

            Mereka berjalan beriringan menuju rumah Jane. Selama di perjalanan, Hayley menanyakan alasan Will tidak memakai nama aslinya sebagai penulis. Will menjawab bila ia lebih suka dikenal sebagai orang asing ketimbang penulis best-seller. Menurutnya, hidup akan lebih bebas jika tak banyak orang tahu tentang keberadaannya.

            Mendengar hal itu, Hayley menjadi sadar jika selama di sini ia benar-benar menemukan ketenangan. Ia tidak tahu pasti apakah penduduk di sini mengetahui siapa dirinya atau tidak, yang ia tahu, tidak ada paparazzi yang menunggunya di luar rumah. Tidak ada orang-orang asing yang tiba-tiba mengajaknya berfoto. Tidak ada tuntutan untuk mengenakan baju-baju bermerek agar menjadi trend setter.

            Ia bisa menjadi dirinya sendiri di sini.

            Bebas.

            Itu hal yang selama ini Hayley inginkan.

            Dan sekarang sudah menjadi kenyataan.

            Jane masih tertidur pulas ketika Hayley pulang, bisa dilihat dari pintu kamarnya yang tertutup rapat. Namun, Hayley baru bisa bernafas lega ketika dirinya sudah masuk ke dalam kamar. Ia duduk di dekat jendela, mengamati gelapnya malam yang diterangi sinar bulan. Otaknya masih terus memutar obrolan bersama Will tadi, bahkan wangi tubuh Will saja masih melekat di hidungnya.

            Tatapannya lalu beralih pada novel The Midnight Library milik Will yang masih tergeletak di atas nakas. Ia sama sekali belum memiliki niat untuk mengembalikan novel itu pada pemiliknya. Rasanya tak rela jika bagian dari Will lepas dari genggamannya. Apalagi masih banyak hal-hal yang ingin ia kupas dari sosok Will.

            Semua yang terjadi akhir-akhir ini hampir dapat melupakan rasa cemasnya pada apa yang sedang terjadi di New York—nasib karir masa depannya. Dengan sedikit ragu, ia menyalakan ponselnya yang sebelumnya ia matikan selama hampir dua bulan. Ini saatnya. Siap atau tidak Hayley harus menghadapinya.

            Hal pertama yang ia lihat di layar ponsel adalah pesan teks dari teman-teman sesama aktornya seperti Jules Harper, aktor TV Series Hit The Bird. Ya, meskipun mereka bukan seperti teman sungguhan karena keduanya sama-sama hanya mengharapkan benefit dari pertemanan itu. Menurut Hayley, tidak ada teman sungguhan di dunia Hollywood dan perfilman.

             Jules: Hay, aku turut sedih mendengar apa yang terjadi. Come back stronger <3 #TeamHayley

            Hanya itu pesan yang dikirim Jules sekitar satu bulan yang lalu. Setelahnya tidak ada pesan-pesan lagi. Menanyakan kabar saja tidak.

            Hayley sudah memblokir nomor Logan—Yasmine yang melakukannya—jadi ia sedikit lega karena tidak melihat nama itu muncul di kumpulan pesan-pesan yang ia terima.

            Semakin banyak notifikasi yang muncul semakin pedih mata Hayley dibuatnya. Jantungnya tiba-tiba berdebar sangat kencang dan sekitarnya terasa berputar. Tangannya yang memegang ponsel mengeluarkan keringat sehingga ponsel itu lepas dan jatuh ke lantai tanpa bisa ia hindari.

            Ternyata ia salah.

            Ia belum siap sama sekali untuk menghadapi kehidupan aslinya. 

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Luka Dan Perkara Cinta Diam-Diam
5304      2097     22     
Romance
Kenangan pahit yang menimpanya sewaktu kecil membuat Daniel haus akan kasih sayang. Ia tumbuh rapuh dan terus mendambakan cinta dari orang-orang sekitar. Maka, ketika Mara—sahabat perempuannya—menyatakan perasaan cinta, tanpa pikir panjang Daniel pun menerima. Sampai suatu saat, perasaan yang "salah" hadir di antara Daniel dan Mentari, adik dari sahabatnya sendiri. Keduanya pun menjalani h...
Reminisensi
0      0     0     
Fan Fiction
Tentang berteman dengan rasa kecewa, mengenang kisah-kisah dimasa lampau dan merayakan patah hati bersama. Mereka, dua insan manusia yang dipertemukan semesta, namun bukan untuk bersama melainkan untuk sekedar mengenalkan berbagai rasa dalam hidup.
SORRY
14450      2756     11     
Romance
Masa SMA adalah masa yang harus dipergunakan Aluna agar waktunya tidak terbuang sia-sia. Dan mempunyai 3 (tiga) sahabat cowok yang super duper ganteng, baik, humoris nyatanya belum untuk terbilang cukup aman. Buktinya dia malah baper sama Kale, salah satu cowok di antara mereka. Hatinya tidak benar-benar aman. Sayangnya, Kale itu lagi bucin-bucinnya sama cewek yang bernama Venya, musuh bebuyutan...
RUMIT
4124      1399     53     
Romance
Sebuah Novel yang menceritakan perjalanan seorang remaja bernama Azfar. Kisahnya dimulai saat bencana gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi yang menimpa kota Palu, Sigi, dan Donggala pada 28 September 2018. Dari bencana itu, Azfar berkenalan dengan seorang relawan berparas cantik bernama Aya Sofia, yang kemudian akan menjadi sahabat baiknya. Namun, persahabatan mereka justru menimbulkan rasa baru d...
SURGA DALAM SEBOTOL VODKA
6454      1559     6     
Romance
Dari jaman dulu hingga sekarang, posisi sebagai anak masih kerap kali terjepit. Di satu sisi, anak harus mengikuti kemauan orang tua jikalau tak mau dianggap durhaka. Di sisi lain, anak juga memiliki keinginannya sendiri sesuai dengan tingkat perkembangan usianya. Lalu bagaimanakah jika keinginan anak dan orang tua saling bertentangan? Terlahir di tengah keluarga yang kaya raya tak membuat Rev...
Bumi yang Dihujani Rindu
4959      1922     3     
Romance
Sinopsis . Kiara, gadis bermata biru pemilik darah Rusia Aceh tengah dilanda bahagia. Sofyan, teman sekampusnya di University of Saskatchewan, kini menjawab rasa rindu yang selama ini diimpikannya untuk menjalin sebuah ikatan cinta. Tak ada lagi yang menghalangi keduanya. Om Thimoty, ayah Kiara, yang semula tak bisa menerima kenyataan pahit bahwa putri semata wayangnya menjelma menjadi seorang ...
When Magenta Write Their Destiny
3803      1196     0     
Romance
Magenta=Marina, Aini, Gabriella, Erika, dan Benita. 5 gadis cantik dengan kisah cintanya masing-masing. Mereka adalah lima sahabat yang memiliki kisah cinta tak biasa. Marina mencintai ayah angkatnya sendiri. Gabriella, anak sultan yang angkuh itu, nyatanya jatuh ke pelukan sopir bus yang juga kehilangan ketampanannya. Aini dengan sifat dingin dan tomboynya malah jatuh hati pada pria penyintas d...
Seutas Benang Merah Pada Rajut Putih
1025      539     1     
Mystery
Kakak beradik Anna dan Andi akhirnya hidup bebas setelah lepas dari harapan semu pada Ayah mereka Namun kehidupan yang damai itu tidak berlangsung lama Seseorang dari masa lalu datang menculik Anna dan berniat memisahkan mereka Siapa dalang dibalik penculikan Anna Dapatkah Anna membebaskan diri dan kembali menjalani kehidupannya yang semula dengan adiknya Dalam usahanya Anna akan menghadap...
Call Kinna
3903      1564     1     
Romance
Bagi Sakalla Hanggra Tanubradja (Kalla), sahabatnya yang bernama Kinnanthi Anggun Prameswari (Kinna) tidak lebih dari cewek jadi-jadian, si tomboy yang galak nan sangar. Punya badan macem triplek yang nggak ada seksinya sama sekali walau umur sudah 26. Hobi ngiler. Bakat memasak nol besar. Jauh sekali dari kriteria istri idaman. Ibarat langit dan bumi: Kalla si cowok handsome, rich, most wante...
Aku Istri Rahasia Suamiku
8219      1886     1     
Romance
Syifa seorang gadis yang ceria dan baik hati, kini harus kehilangan masa mudanya karena kesalahan yang dia lakukan bersama Rudi. Hanya karena perasaan cinta dia rela melakukan hubungan terlarang dengan Rudi, yang membuat dirinya hamil di luar nikah. Hanya karena ingin menutupi kehamilannya, Syifa mulai menutup diri dari keluarga dan lingkungannya. Setiap wanita yang telah menikah pasti akan ...