Terkadang apa yang kita inginkan, tidak selalu menjadi kenyataan.
Hayley tidak pernah percaya kalimat itu sebelumnya. Tapi sekarang, seperti dihantam batu besar, ia tersadar bahwa kalimat itu memang benar adanya. Karena pagi buta ini, dengan dikawal dua orang bodyguard dan Yasmine di sampingnya, ia berjalan setengah hati menuju private jet yang sudah disewa Yasmine untuk terbang ke London secara sembunyi-sembunyi. Meninggalkan New York sampai waktu yang tidak bisa ditentukan.
Logan Anderson, mantan kekasihnya, seseorang yang menghancurkan hatinya, tega membuat berita palsu untuk mengalihkan skandal yang dilakukannya sendiri. Logan melakukan itu bukan hanya untuk membersihkan nama, tapi juga demi film yang dibintanginya yang akan tayang beberapa minggu lagi.
Hayley masih belum mengeluarkan air mata sedikitpun. Ketika mengetahui kabar itu ia hanya menatap kosong ke arah langit-langit apartemen sambil mengatur nafas. Lalu kembali duduk di atas sofa setelah sebelumnya menuangkan wine lagi ke dalam gelas. Membuat Yasmine khawatir setengah mati.
“Hay, apapun yang terjadi disini, di New York itu sudah bukan urusanmu. Biarkan aku menyelesaikannya. Kau percaya padaku ‘kan?” Yasmine menggenggam tangan Hayley erat. Ia masih berusaha mencari-cari tetesan air mata dari bola mata hijau terang itu.
Hayley tidak tahu harus berkata apa. Lidahnya kelu, pikirannya berkecamuk, dan hatinya tak tenang. Akhirnya ia hanya mengangguk kaku lalu memeluk manajer yang sudah seperti kakak sendiri itu dengan erat. Mereka berpelukan lumayan lama sampai akhirnya pilot private jet menyambut mereka dan mempersilakan Hayley untuk masuk.
“Jaga diri baik-baik. Berbahagialah, Hay. Kau layak mendapatkannya. Aku akan menghubungimu jika suasana sudah memungkinkan. Aku janji.” Yasmine menepuk pundak Hayley untuk yang terakhir kali sebelum Hayley masuk ke dalam pesawat.
“Terima kasih, Yas. Kau juga, berhati-hatilah.”
Hayley tidak mengatakan apapun lagi selagi masuk ke dalam pesawat. Rasanya sangat berat meninggalkan semuanya walaupun hanya sementara. Seharusnya saat ini ia sedang bersantai di ruang tamu sambil menikmati coklat panas sebelum nantinya mengemas barang-barang yang akan dibawanya ke Atlanta, Georgia untuk syuting film romansa ketiganya tahun ini. Bukan malah terbang sembunyi-sembunyi ke rumah sang Papa dan Mami tirinya yang sudah memiliki lima anak di London untuk bersembunyi.
Private jet yang ditumpanginya akhirnya take off. Hayley terus menatap ke arah jendela pesawat selama penerbangan, mengamati gumpalan awan-awan sembari menunggu air matanya turun. Karena menurutnya ia akan merasa lebih tenang jika air matanya sudah keluar. Tapi tetap saja, tidak ada satu tetes pun yang keluar. Menggenang di pelupuk mata pun tidak. Padahal dadanya sudah sangat sesak.
Tanpa bisa dihindari, pikirannya kembali terlempar kepada kejadian kemarin malam. Di mana ia menemukan Jessica Robinson, aktor seksi yang namanya sedang naik daun, terlelap di ranjang Logan, yang kemarin masih berstatus sebagai kekasihnya, tanpa mengenakan busana apapun. Jessie dan Logan memang sedang memiliki project film bersama. Mereka menghabiskan satu bulan belakangan ini bersama-sama, baik di dalam ataupun di luar set film. Dan Hayley sama sekali tidak keberatan karena menurutnya profesionalitas adalah nomor satu. Hayley paham jika Logan dan Jessie membutuhkan banyak waktu bersama untuk membangun chemistry.
Tapi, ternyata Logan tidak memiliki profesionalitas yang sama seperti dirinya.
Tadi malam, ia keluar dari apartemen Logan dengan langkah cepat berusaha menghindari paparazzi yang ternyata sudah siap sedia di pintu masuk untuk mengetahui apa yang terjadi karena malam sebelumnya mereka melihat Jessie bolak-balik masuk ke apartemen Logan. Mereka memang sudah mengira hal ini akan terjadi. Karena di sosial media pun, Logan lebih sering membagikan momen kebersamaan dengan Jessie dibanding bersama Hayley, kekasihnya sendiri. Bahkan tak jarang mereka berpose mesra seakan dunia milik berdua. Dan terang-terangan bermesraan ketika interview.
Beberapa jam setelah Hayley keluar dari apartemen Logan dengan hati yang hancur, berita perselingkuhan itu langsung menyebar dan menjadi trending di twitter, Instagram, TikTok, dan lain-lain. Beberapa dari mereka menyebut dirinya #TeamHayley tapi tak sedikit juga yang berada di #TeamJesLo karena suka atau tidak Jessie dan Logan memang terlihat sangat cocok. Karena bagaimanapun juga hampir semua orang menunggu-nunggu film yang dibintangi dua aktor besar itu.
Hayley tak tahu apa yang harus dilakukannya nanti ketika berada di kediaman Papa. Ia dan Papa memang sudah memiliki hubungan yang baik-baik saja, tapi bukan berarti ia bisa tinggal lama bersama seseorang yang meninggalkan dirinya dan Mama ketika sedang kesulitan lima belas tahun lalu. Apalagi ada lima saudara tirinya yang pasti tidak akan membiarkannya tenang di sana. Memikirkannya saja sudah membuat rasa cemasnya naik drastis. Tapi ia tidak memiliki pilihan lain. Lima saudara tirinya mungkin lebih baik dibanding puluhan paparazzi yang akan mengikutinya kemanapun ia pergi.
Setelah tujuh jam berada di udara, Hayley akhirnya bisa menginjakkan kaki di kota yang memiliki julukan The Smoke itu. Ia memakai masker, kaca mata hitam, dan topi untuk menutupi wajahnya dari serangan paparazzi yang diyakini Yasmine tidak akan terlihat keberadaannya. Tapi tetap saja, ia harus waspada.
Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar bandara untuk mencari sosok yang berjanji akan menjemputnya. Jantungnya berdegup kencang, khawatir seseorang akan mengenalinya lalu mengerubunginya sampai ia tak bisa bernafas. Sambil mencoba menarik nafas untuk menenangkan diri, ia mengecek ponsel. Tidak ada notifikasi apapun. Hal itu membuat Hayley semakin dirundung rasa cemas. Bagaimana jika seseorang yang seharusnya datang untuk menjemput lupa akan kedatangannya?
Tidak mungkin.
Ia menggeleng pelan dengan mata yang masih terfokus pada layar ponsel. Madison tidak mungkin lupa untuk menjemputnya.
Tapi bagaimana jika—
Bruk!
Ponselnya terjatuh ke lantai dan wajahnya menabrak keras dada seseorang. Hayley bahkan yakin jika saat ini ada darah yang keluar dari hidungnya. Tapi bukan hal itu yang dikhawatirkan olehnya sekarang. Melainkan khawatir jika seseorang yang menabrak itu mengenali dirinya.
“Ouch,” keluh seseorang itu. Suaranya berat, tetapi ada sesuatu dari suara itu yang membuat Hayley ingin cepat-cepat mendongakkan kepala untuk melihat si pemilik suara.
Dan ... wow.
Bola mata hijaunya langsung terkunci pada bola mata biru laut milik pria di hadapannya. Bola mata itu mengingatkannya pada deburan ombak pantai, langit biru dengan awan cerah, dan desiran angin pantai yang selalu berhasil membuat tenang—seakan jiwanya menyatu dengan riakan air.
Hanya dengan satu tatapan, hatinya yang sejak tadi cemas tak karuan, kini berubah menjadi sejuk.
Sama seperti dirinya, pria berbola mata biru laut itu juga mengenakan masker yang menutupi setengah wajah. Rambut hitam legamnya terlihat tak beraturan di dalam tudung hoodie hitam yang dikenakannya, tetapi hal itu lah yang membuat Hayley semakin penasaran dengan bentuk wajah di balik masker itu.
“Maafkan aku, Ma’am. Kau baik-baik saja?” tanya pria itu khawatir dengan sedikit menunduk karena tinggi Hayley yang hanya sebatas bahunya.
Hayley tersentak sadar dari lamunannya. “Ya! Tentu, aku baik-baik saja. Kau bagaimana? Aku menabrak dadamu lumayan keras.”
“Ah jangan pikirkan aku.” Ia mengibaskan tangan, menampakkan jari-jari kokoh tangannya yang dihiasi cincin perak. “Maaf mungkin aku terdengar seperti bajingan yang tak bertanggung jawab, tapi aku harus segera pergi. Seseorang sudah menungguku di sana,” lanjutnya sembari menunjuk ke arah belakang Hayley. Ia memang terlihat sangat terburu-buru. Seperti mengejar sesuatu atau dikejar sesuatu.
“Oh tentu. Tidak usah khawatir,” balas Hayley. Ia berjongkok untuk mengambil ponselnya yang tadi terjatuh.
“Oke.“
Hayley mengangguk. “Oke.”
“Ah aku—“
“Hayley Lexington! Kau Hayley Lexington kan?” cerocos seorang gadis yang kelihatannya baru berusia 15 tahun. Ia mendekati Hayley dengan wajah shock dan teriakan yang keras, membuat orang-orang langsung mengalihkan fokus mereka padanya.
Hayley panik, ia buru-buru menggeleng. Dan dalam sepersekian detik, orang-orang seketika sudah mengelilinginya.
“Kau sedang apa di London, Hayley? Apa Logan mencampakkanmu kesini?” tanya salah seorang pria.
“Apa benar kau sudah lebih dulu selingkuh dengan ayah Logan yang direktur itu?” tanya wanita muda yang berwajah oval.
“Boleh aku minta foto?”
“Hayley apa kau sedang kabur dari media?”
“Hayley, aku turut prihatin tapi aku tak munafik, Logan dan Jessie memang cocok.”
“Kau layak untuk menemukan pria lain.”
“Hayley kau terlihat pucat.”
“Kau lebih cantik aslinya ketimbang di foto.”
Kepala Hayley rasanya berputar hebat, siap terbentur kapanpun lalu pecah. Dadanya bergemuruh. Ia menutup telinga dengan kedua tangan ketika kerumunan semakin bertambah. Matanya memejam kuat. Ini lebih menakutkan dari mimpi buruk. Keringat dingin mulai bercucuran membasahi keningnya. Ia kesulitan bernafas, rasanya seperti semesta menarik semua asupan udara dan membiarkannya menderita seorang diri.
Sampai tiba-tiba ada tangan besar yang menarik pinggangnya dengan hati-hati dan lembut. Tangan itu menariknya keluar dari kerumunan, Hayley tersentak dan dengan spontan langsung membuka mata.
Bola mata biru laut itu. Ia lagi-lagi menatap kedamaian.
“Aku akan membawamu ke tempat aman, kau harus tetap mengatur nafas dan lari secepat yang kau bisa. Kau mendengarku?” bisik pria itu. Satu tangannya masih dipinggang Hayley, mendorong Hayley untuk tetap maju dan menjauhi kerumunan, dan satunya lagi menarik koper Hayley.
Hayley hanya bisa mengedipkan kedua mata dengan lemah untuk menjawab pria itu.
Kerumunan itu bagaikan zombie yang siap menerkam. Mereka mengikuti Hayley dan pria itu tanpa henti. Meneriaki nama Hayley berulang-ulang secara agresif. Membuat Hayley ketakutan setengah mati.
Pria itu menyelamatkannya. Ia membawa Hayley pergi ke arah barat yang lebih sepi. Mereka terus berlari tanpa henti. Dan selama berlari pria itu terus berkata, “Sedikit lagi, sedikit lagi. Tetap atur nafasmu.” Selama mereka berlari. Tangannya kini berpindah menjadi di punggung Hayley.
Pandangan Hayley seketika menjadi buram. Semuanya menjadi tidak jelas sama sekali. Yang jelas hanya suara pria itu dan sentuhan hangatnya di punggung Hayley. Hayley bahkan tidak dapat mendengar suaranya yang terengah-engah ketika berlari.
Sampai akhirnya ia merasakan tarikan kuat yang membenturkan punggungnya pada sebuah dinding. Hayley hampir memekik, namun pria itu buru-buru membekap mulutnya. “Jangan bersuara,” bisiknya pada telinga Hayley.
Pria itu menutup pintu di belakangnya. Sehingga saat ini, hanya ada mereka berdua di ruangan sempit yang Hayley yakini adalah toilet yang terbengkalai. Nafas Hayley masih terengah-engah, matanya menatap bola mata biru laut itu dengan penuh harap. Berharap jika semuanya cepat berakhir karena ia tidak bisa berlama-lama di dalam ruangan yang sempit bersama pria sempurna seperti ini.
“Kau mendengar suara detak jantungku? Fokuskan dirimu pada suara itu.” Pria itu menarik Hayley yang masih shock ke dalam pelukan, sehingga kini wajah Hayley terbenam di dada bidangnya.
“Bernafaslah, kau tidak sendiri.” Aroma tubuh pria itu sangat memabukkan, perpaduan jeruk segar musim panas dan linen yang menyeruak masuk menguasai hidung Hayley.
Hayley paham betul jika pria yang saat ini memeluknya adalah orang asing yang tidak jauh berbeda dari orang-orang yang mengejarnya di luar sana. Namun entah kenapa, yang Hayley rasakan saat ini hanyalah kenyamanan, rasanya hampir seperti pulang ke rumah. Tidak ada kekhawatiran jika dia akan melukainya, tidak ada ketakutan jika dia akan menculiknya, dan tidak ada rasa panik jika dia akan melecehkannya.
Seperti memang disinilah tempat seharusnya Hayley berada. Di dalam pelukan seseorang.
Yang terjadi selanjutnya terasa samar-samar karena Hayley menuruti perkataan pria itu untuk memfokuskan dirinya pada suara detak jantung. Hayley tidak pernah mendengar suara detak jantung yang indah seperti itu. Suaranya terdengar biasa dan monoton, tetapi ada sesuatu yang membuatnya merasa aman ketika mendengarnya. Ia baru mampu kembali menguasai diri ketika pria itu berkata, “Mereka sudah pergi. Kau aman.”
Kehangatan itu pudar begitu saja ketika pria itu melepaskan Hayley dari pelukannya. Hampa, jiwanya kembali kosong. Bayangan-bayangan kedamaian juga ikut menghilang.
“Kau sudah merasa lebih baik?” tanya pria itu khawatir. Alisnya mengerut. Jelas pria itu khawatir karena sejak tadi Hayley sama sekali tidak mengatakan apapun.
Tidak, aku tidak merasa lebih baik. Kau harus memelukku lagi.
“A-aku ingin keluar, aku i-ingin udara.” Hayley tidak bisa mengontrol getaran di bibirnya ketika mengatakan itu. Membuat pria itu langsung membuka pintu lebar-lebar dan membiarkan Hayley keluar lebih dulu.
Mereka berjalan menuju parkiran bandara dengan tangan kanan pria itu yang merangkul bahu Hayley. Hayley menunduk, tidak mampu menatap siapapun takut orang-orang mengenalinya. Ia baru bisa bernafas lega ketika sudah berada di tempat yang sangat sepi.
“Kau aman di sini. Seseorang akan menjemputmu atau kau akan naik kendaraan umum?” tanya pria itu sembari mengusap kening Hayley yang dibasahi keringat. Gestur sederhana yang membuat Hayley ingin menahan pria itu agar tetap berdiri di sampingnya selamanya.
“Sebelumnya, terima kasih,” ujar Hayley sangat pelan. “Aku sudah lebih baik dan seseorang sedang dalam perjalanan kesini untuk menjemputku,” lanjutnya.
“Baiklah, aku harus pergi. Seseorang sudah menungguku.” Pria itu menjauh beberapa langkah dari Hayley. Hayley mati-matian menahan diri untuk tidak menarik pria itu kembali ke dekatnya.
“Aku tidak tahu harus berkata apa, kau ... kau menyelamatkanku. Aku—“
“Tidak perlu mengatakan apapun. Yang paling penting kau baik-baik saja sekarang dan di sini aman,” potongnya menatap Hayley lembut.
“Will!” panggil seseorang dari arah belakang Hayley secara tiba-tiba dan spontan membuat Hayley kembali merapatkan tubuhnya pada pria penyelamat itu. “Sebelah sini!” lanjutnya berteriak.
Pria bola mata biru laut itu mengangguk ke arah seseorang yang memanggilnya. Tatapannya lalu kembali terfokus pada Hayley. “Aku duluan. Kau ... berhati-hatilah.” Ia mengusap pipi Hayley untuk yang terakhir kali lalu berlari menuju arah seseorang yang tadi memanggilnya dan mereka berdua pun menghilang ditelan kerumunan.
Hayley meratapi kepergian pria itu dengan perasaan aneh yang sulit dideskripsikan. Namun kemudian, ia menyadari jika ada sebuah buku yang tergeletak di tempat pria tadi berdiri.
Itu novel The Midnight Library karya Matt Haig. Salah satu novel favoritnya. Dan novel itu ... milik si pria bermata biru.
Ia mengambil novel itu dan mendekapnya. Matanya menelusuri penjuru bandara—berharap bahwa pemilik novel itu akan kembali. Tapi ternyata, lagi-lagi ia mengharapkan sesuatu yang mustahil. Karena pria itu tidak kembali.