Pagi-pagi, satu jam sebelum upacara bendera berlangsung, W yang sekarang sudah kelas dua SMA datang dan mengendap-endap di ruang guru. Perlahan-lahan, diraihnya jam dinding yang tergantung di dinding dengan mudahnya karena tubuhnya yang sejangkung Al*ino di dalam film IPA dan IP*. Diputarnya belakang jam itu sehingga jarum panjangnya mundur sepuluh menit dan diletakkannya jam itu di tempatnya semula. Ia keluar dari ruang guru seakan-akan tidak ada apa pun yang terjadi.
Pukul tujuh tiba, tetapi gerbang sekolah belum ditutup seperti biasanya, karena jam dinding di kantor guru masih kurang sepuluh menit. Bel pun belum dibunyikan. Alhasil, murid-murid yang biasa datang terlambat masih bisa masuk ke dalam area sekolah hari ini. Tidak ada satu pun yang harus dihukum berdiri di tempat tersendiri di sudut khusus bagi murid-murid yang terlambat.
***
Saat upacara bendera tiba. Seorang siswi mengeluh sakit. Seorang siswi lagi pingsan. Biasanya karena belum sarapan dan kelelahan. Seorang guru dan seorang siswa menggotongnya ke UKS (Unit Kesehatan Sekolah). Lia menemani mereka ke UKS berupa ruangan yang terdiri dari dua ranjang berseprai putih. Terdapat satu bantal bersarung putih di masing-masing ranjang. Kotak P3K tergantung di sudut ruangan. Lia membukanya dan terdapat obat-obatan, plester, dan pembalut wanita.
Di sisi lain, terdapat sebuah meja dengan buku besar di atasnya. Lia membuka buku itu yang ternyata adalah buku yang harus diisi jika seorang murid menggunakan UKS. Seorang guru mengecek UKS dan buku itu secara berkala. Lia membaca nama Dita di dalam buku itu. Ia adalah pelanggan UKS, terutama saat jam pelajaran olahraga. Tertulis dalam kolom alasan di samping namanya: Mens.
***
Siangnya, terjadi tawuran antara cowok-cowok kelas satu dan kelas dua. Guru-guru kerepotan memisahkan mereka. Murid-murid perempuan menonton di depan kelas walaupun beberapa ada yang duduk-duduk di dalam kelas juga.
Seketika suasana menjadi tenang kembali, tetapi besoknya, tawuran dilanjutkan. Guru-guru kembali memisahkan mereka. Kali ini, mereka diharuskan berkumpul di suatu ruangan kelas yang tidak terpakai. Murid-murid perempuan diharuskan untuk hadir juga.
Seorang guru dengan bibir yang dipoles lipstik pink bertanya, “Apa alasan kalian berantem?”
“Liat-liatan, Bu,” sahut seorang cowok.
“Cuma gara-gara itu?” Tak lama kemudian, Bu Guru sudah menangis sesenggukan. Dalam isaknya, ia berkata lirih, “Padahal aku sayang sama kalian, lho.”
“Baiklah, Bu, kami tidak akan mengulanginya lagi,” hibur Lucky.
Maka, mereka kembali ke kelas masing-masing untuk mengambil tas dan pulang. Seorang cewek berkata, “Enak ya jadi cewek. Aku kemarin mengumpati cowok kelas satu itu tapi tidak ada yang berani memukulku.”
“Kamu ngomong apa?”
“B*jingan, dari atas sepeda motorku, ketika ia sedang di atas sepeda motornya di sebelahku pada waktu di jalan raya.”
Ketika pelajaran berikutnya, lagi-lagi para murid dinasehati bahwa mereka harus jadi anak yang baik. Tidak boleh berantem dan menyimpan kebencian, tetapi harus selalu mengampuni dan mengasihi.
Lucky mengacungkan jarinya. Kata Bu Guru yang berkacamata, berambut keriting sebahu, dan berkulit gelap, “Ada apa, Lucky?”
“Jika Tuhan dihina oleh seseorang, bolehkah saya memukuli orang itu?”
“Tidak usah. Tuhan tidak perlu dibela, tetapi kitalah yang perlu dibela oleh Tuhan…. Sekarang, kumpulkan rangkuman yang kemarin Ibu suruh buat dan Ibu suruh hiasi dengan bagus. Akan Ibu periksa dan Ibu nilai.”
“Baik, Bu,” jawab murid-murid hampir serempak. Mereka segera mengumpulkan tugas masing-masing secara estafet dan ditumpuk di meja guru oleh murid yang duduk di depan sendiri.
Di kelas ini, dua bangku diisi oleh tiga orang siswa atau siswi karena murid-murid kelas ini digabungkan dengan murid-murid kelas sebelah saat pelajaran ini. Lia duduk berdempet-dempetan dengan kedua teman ceweknya sambil memerhatikan rambut seorang gadis yang ujungnya dipotong kriwis-kriwis. Hanya dia seorang yang potongan rambutnya seperti itu. Kata iklan di TV, itu adalah potongan rambut dengan gaya shaggy yang lagi ngetrend saat ini.
“Anak-anak, saya minta, tuliskan di atas selembar kertas, pertanyaan kalian. Kalian boleh bertanya apa saja yang masih ada hubungannya dengan pelajaran,” suruh Bu Guru.
Lagi-lagi, Lia duduk persis di belakang Nobby yang mencetuskan pertanyaannya dengan berbisik pada diri sendiri sebelum ditulis. “Apakah Tuhan pernah jatuh cinta juga?”
Jam pelajaran berakhir. Seorang siswi anggota tonti bertubuh tegap mengajak teman-teman ceweknya untuk main ke rumahnya. Mereka pergi dengan berboncengan sepeda motor. Kali ini, mereka tidak berani cenglu atau bonceng telu atau membonceng bertiga, karena jarak yang harus mereka tempuh lumayan jauh. Cenglu adalah istilah yang biasa mereka pergunakan.
Di rumah gadis itu, diputar lagu “Biarlah cintaku melayang jauh, tiada rag* ….”
Mereka memperdebatkan puncak kehidupan. Ada yang berkata bahwa puncak kehidupan adalah pernikahan, tetapi ada pula yang setuju bahwa puncak kehidupan adalah kematian.
Mereka disuguhi lotis lengkap dengan bumbunya oleh si pemilik rumah. Segera saja, lalat berdatangan dari halaman belakang dan ikut hinggap di lotis yang ditaruh di teras di mana gadis-gadis itu berkumpul. Namun, mereka tidak peduli. Mereka makan dengan asyik dan anehnya, tidak ada satu pun yang sakit perut karenanya.
Nice story
Comment on chapter Chapter 1