Setidaknya Astagiri sudah berusaha menghindari hal-hal yang mungkin akan menimbulkan masalah baginya. Sebelum dirinya dan Dhafin mendekati area sekolah, Astagiri berinisiatif untuk turun di jalan kemudian berjalan kaki ke sekolah. Dia hanya tinggal berjalan beberapa meter, tidak masalah baginya, namun masalah bagi Dhafin.
"Nggak pa-pa Dhaf, aku turun di sini aja," bujuk Astagiri.
"Kenapa harus di sini? Ini masih jauh Asta," heran Dhafin, namun tetap melajukan motornya pelan-pelan.
"Nggak pa-pa Dhaf, ini udah deket kok. Itu tuh di ujung jalan situ," tunjuk Astagiri.
"Nggak! Kalau kamu berangkat bareng aku harus sampek gerbang sekolah. Bentar lagi bel masuk Asta." Dhafin tetap kekeh dengan pendiriannya, yang baru Astagiri sadari bahwa pria itu cukup keras kepala juga. Dhafin tetap melajukan motornya menuju gang sekolah mereka, bergabung dengan siswa lainnya yang juga baru datang.
Jika sudah seperti ini bagaimana caranya bersembunyi? Dengan seragam panjangnya saja pasti akan ada yang langsung mengenali dirinya. Astagiri menutup kaca helmnya, melepas pegangan tangannya pada jaket Dhafin yang sudah pria itu ganti. Jika kemarin Dhafin menggunakan jaket jins berwarna nyaris biru, kali ini dia mengenakan jaket jins berwarna hitam.
"Kamu takut Nanda cemburu ya?" Lagi-lagi Dhafin bisa membaca pikirannya.
"Hah?"
"Jangan khawatir, aku bisa menanganinya. Lagipula hari ini Nanda nggak masuk sekolah, dia masih sakit," jelas Dhafin.
Astagiri bingung, sebenarnya memang Dhafin yang memiliki indra keenam atau ekspresinya yang mudah dibaca oleh semua orang termasuk pria itu. Seingatnya hanya pria itu yang bisa menebak isi kepalanya.
Begitu mereka sampai di parkiran Astagiri buru-buru turun dengan tetap mengenakan helmnya, pasalnya sudah banyak siswa di area parkir tersebut. Astagiri memang tidak mengenal Nanda dan kawan-kawannya, tapi bagaimana jika diantara mereka ada di sana dan mengenal dirinya.
"Asta helmnya," teriak Dhafin yang membuat Astagiri mulai kesal. Kenapa pria itu harus meneriaki namanya? "Bawa sini aja! Mau kamu taruh dimana itu helmnya?" perintah Dhafin.
Pasrah, Astagiri kembali menghampiri Dhafin, melepas helmnya sendiri kemudian memberikan helm tersebut pada pria itu. Tingkah laku mereka kali ini terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang merajuk karena ekspresi cemberut Astagiri. Dhafin tidak bisa menahan tawanya, dia tidak pernah melihat ekspresi menggemaskan yang sedang Astagiri tunjukkan pagi ini.
Melihat Dhafin hanya tertawa tanpa segera mengambil helmnya membuatnya mengerutkan dahi. Astaga, dia sudah ingin pergi dari sana, tetapi Dhafin membuatnya bertahan terlalu lama. Astagiri menghentakkan ringan helmnya supaya Dhafin segera mengambilnya.
"Okay, nanti kalau kamu pulang duluan tunggu aku. Kita ke bengkel sama-sama." Dhafin mengambil helm Astagiri kemudian mengaitkannya di jok.
Astagiri tidak menjawab, ia langsung melipir pergi meninggalkan Dhafin di parkiran. Dia tidak akan menunggu pria itu, ia akan meminta bantuan Cintya untuk mengantarnya menuju bengkel kemarin. Astagiri akan mengambil motornya tanpa Dhafin, lagipula itu motornya sendiri bukan motor Dhafin.
Dan dia lupa bahwa nantinya ia tetap harus menunggu Dhafin karena helm wanita itu terikat pada jok motor Dhafin. Tidak mungkin dia memaksa menarik motor tersebut karena hal itu akan merusak motor pria itu. Dan dia juga tidak memiliki cukup tenaga untuk hal itu. Astagiri tidak memiliki bakat maling kan. Astafirullahalazim.
***
Astagiri masuk ruang kelas seorang diri karena Cintya sudah duduk manis di bangku mereka. Tumben anak itu tidak terlambat. Astagiri tersenyum menghampiri sahabatnya. Mulai hari ini mereka akan belajar bersama sesuai janjinya. Cintya bilang dia akan sering main ke rumahnya atau mungkin dia yang bergantian ke rumah wanita itu.
Begitu Astagiri sudah duduk di samping wanita itu, Cintya langsung menoleh padanya dengan mata memicing_ membuatnya bingung. Apa lagi kesalahanya kali ini hingga membuat sahabatnya marah? Astagiri tidak mengatakan apapun, hanya memberi kode melalui gerakan kepalanya karena pelajaran lintas jurusan yaitu ekonomi peminatan sudah dimulai.
Cintya menggelengkan kepalanya, tetapi terlihat sekali ekspresi kesal pada wajahnya. Astagiri mulai bertanya-tanya, sebenarnya Cintya kesal padanya atau pada orang tuanya seperti kemarin.
[Ada apa?] tulis Astagiri pada lembaran kertas kemudian dia serahkan pada sahabatnya. Cintya menoleh pada Astagiri, sementara Astagiri hanya memberi kode supaya wanita itu menjawab pertanyaannya melalui lembaran kertas yang dia berikan.
[Nggak ada] tulis Cintya.
[Bohong. Kenapa sih?] desak Astagiri.
[Kamu ada yang mau kamu ceritain nggak?] tulis Cintya pada akhirnya.
[Tentang apa?] Ditanya seperti itu membuat Astagiri bingung sendiri, masalahnya tidak ada hal yang perlu dia ceritakan pada Cintya.
[Tentang kamu.] tulis Cintya dengan kesal
[Masalah apa?]
[Tentang kamu dan Dhafin pagi ini.]
Ditengah keseruan mereka membalas surat, tanpa mereka sadari, Pak Barjo selaku guru ekonomi peminatan yang terkenal garang di sekolah, sejak tadi telah membaca lembaran yang mereka tulis di atas meja mereka.
Seluruh siswa hanya bisa diam sambil berkomat-kamit menyumpah serapahkan mereka karena pasti mereka akan dipanggil ke ruang guru. Pak Barjo tidak pernah main-main, beliau adalah guru yang tegas dan disiplin. Apalagi mengenai nilai. Tamat sudah mereka.
"Kalian mau cerita juga sama bapak mengenai Asta dan Dhafin?" Pertanyaan Pak Barjo membuat Astagiri dan Cintya sama-sama mendongak.
"Mampus," batin mereka.
"Dari tadi bapak panggilin ternyata lagi asik nulis surat. Bapak kurang menarik ya?"
"Maaf Pak," ucap Astagiri dan Cintya yang hampir bersamaan.
"Asta, sekarang coba jelaskan perbedaan aktiva dan pasiva?"
Astagiri mendongak untuk melihat Pak Barjo, beliau menyuruhnya berdiri dan menjawab pertanyaannya.
"Aktiva adalah kekayaan yang dimiliki perusahaan yang di dalamnya sudah termasuk modal dan utang Pak, sedangkan pasiva adalah utang yang harus dibayar perusahaan pada pihak ketiga."
Huffff
Astagiri bisa bernapas lega karena ia bisa menjawab pertanyaan Pak Barjo, bersyukur dia selalu belajar di malam hari. Jadi dia bisa mengingat materi tersebut meskipun tadi sempat melewatkan penjelasan Pak Barjo.
"Cintya, apa saja yang termasuk aktiva tetap?"
Nah, inilah yang menjadi masalah kali ini. Cintya tidak pernah suka pelajaran ekonomi apalagi yang berbau akuntansi. Dia lemah dalam hal kuantitatif. Astagiri menunduk kemudian sedikit menoleh pada Cintya.
"Bangunan." Astagiri menggerakkan bibirnya tanpa bersuara, sementara Cintya mencoba memahami gerakan bibir sahabatnya.
"Bangunan Pak," jawab Cintya. "Tanah," tambahnya.
"Kali ini kalian selamat, tapi jangan diulangi lagi. Sekali kalian tidak memperhatikan bapak, maka nilai raport kalian akan dibawah KKM. Paham!"
"Paham Pak," jawab Astagi dan Cintya. Hanya karena lembaran kertas mereka akan menjadi bahan bulan-bulanan Pak Barjo.
***
Cintya mengajak Astagiri menuju pinggir lapangan basket, tempat biasa mereka menghabiskan waktu istirahat. Siang ini sepertinya tim basket tidak latihan karena lapangan tersebut terlihat kosong. Cintya tidak bisa menahan rasa penasarannya sejak tadi pagi.
Cintya sangat terkejut ketika tiba di sekolah dan melihat sahabatnya bersama Dhafin berboncengan ke sekolah. Dia tahu Astagiri mengngagumi Dhafin sejak kelas sebelas, tapi hal itu tidak bisa membenarkan tindakan Astagiri mengingat pria itu sudah memiliki pacar. Cintya tidak ingin ada yang menganggap Astagiri sebagai cewek gatel, perebut pacar orang. Cintya ngeri membayangkannya.
"Sekarang ceritakan! Gimana bisa kamu boncengan sama Dhafin. Kamu tahu kan gimana sifatnya Nanda?" Cintya sudah menodong Astagiri dengan pertanyaannya. "Aku tahu perasaan tidak bisa disalahkan, tapi tindakanmu tetap salah Asta."
Shutttt
Astagiri menirukan suara ular untuk menghentikan dugaan Cintya yang melantur kemana-mana. Astaga, bahkan dia tidak memiliki pikiran untuk merebut Dhafin. Dia tidak memiliki banyak waktu luang untuk melakukannya. Terlebih, cinta dan rentetannya bukan menjadi prioritasnya saat ini.
"Sebelum kamu nuduh aku ini-itu. Biar aku jelasin dulu," ucap Astagiri, dia mulai menjelaskan pada Cintya mengenai motornya yang tiba-tiba mogok kemarin dan Dhafin lah yang membantunya. Astagiri menceritakan semuanya tanpa terkecuali sehingga Cintya tidak perlu berpikir macam-macam mengenai dirinya.
"Oo, jadi gitu. Kirain," sesal Cintya.
"Kirain apa? Aku jadi selingkuhan?" desak Astagiri. "Ya nggak mungkin lah. Aku nggak mau ya berantem cuma gara-gara cowok."
"Ya sorry, aku kan cuma takut kamu kenapa-napa. Kamu tahu kan mulut temen-temen kamu itu julid," ucap Cintya.
"Termasuk kamu kan."
"Hisss." Cintya menyenggol lengan Astagiri, dia tahu saat ini mood wanita itu buruk karena ulahnya. "Jangan marah dong!" bujuk Cintya.
Astagiri tetap diam tanpa menanggapi perkataan sahabatnya. Dia tidak marah, hanya pura-pura marah. Ia tahu bahwa Cintya melakukannya karena dia peduli padanya.
"Nanti aku temenin ngambil motor ke bengkel deh."
"Memang harus," kata Astagiri cepat.
"Iya memang harus." Cintya tersenyum karena berhasil membuat Astagiri membuka suaranya.
"Paling bisa kamu ya." Astagiri menyadari bahwa itu hanya taktik sahabatnya untuk membuatnya tidak marah.
"Lain kali kamu hubungin aku aja kalau ada apa-apa. Jangan minta tolong orang lain, apalagi Dhafin!" saran Cintya.
"Kamu lupa ya aku nggak punya HP?" Astagiri menghembuskan napas berat, dia sedih menyadari ketidakmampuannya. Sejujurnya dia juga ingin memiliki ponsel seperti teman-temannya, tapi bagaimana lagi. Keadaannya tidak memungkinkan.
Cintya merasa bersalah karena mengungkitnya kembali. "Udah-udah, jangan sedih. Nanti kalau kamu udah kerja, kamu bisa beli apa aja yang kamu mau. Hemmm."
Astagiri hanya manggut-manggut menanggapi ucapan Cintya, dia jadi bersemangat kembali. Ia sudah menunggu waktu itu segera datang. Waktu dimana dia bisa melakukan apapun seperti keinginannya tanpa harus menahan-nahan seperti sekarang.