Meskipun Dhafin sering kali melewati rumah Astagiri, tapi dia tidak pernah tahu bahwa bangunan berwarna pink dengan dinding setengah keramik dan halaman kecil penuh bunga itu adalah rumah Astagiri. Dia pikir rumah perempuan itu masih melewati gang-gang sempit seperti dirinya, ternyata rumah wanita itu berada tepat di pinggir jalan utama yang sering dia lewati setiap pulang-pergi sekolah.
"Makasih Dhaf, maaf udah ngrepotin. Eh, mau mampir dulu?" tawar Astagiri bosa-basi.
"Lain kali deh, takut keburu maghrib," jawab Dhafin. "Aku balik dulu ya," tambahnya.
"Iya. Hati-hati Dhaf." Astagiri masih berdiri di pinggir jalan sampai motor Dhafin menghilang di tikungan.
Astagiri melihat Gilang, ayahnya itu langsung membuka pintu begitu putri bungsunya pulang sekolah. "Kok tumben sampek mau magrib gini pulangnya, Nduk?"
"Iya Pak, tadi motorku mogok, nggak bisa distater. Untung ada temen yang bantuin. Sekarang ini motornya masih di bengkel," jelas Astagiri pada Gilang.
"Owalah, terus gimana besok berangkat sekolahnya?"
"Dijemput temen Pak. Ya, gimana besok lah," jawab Astagiri. "Emak dimana, Pak?"
"Emakmu di dapur itu. Mandi dulu, sholat baru makan!" perintah Gilang.
"Iya Pak." Astagiri tidak langsung mandi, ia menemui Arum yang sedang merebus air di dapur.
"Assalamuakaikum Mak," sapa Astagiri kemudian mencium tangan Arum.
"Waalaikumsalam. Kok tumben sampai maghrib gini nduk?"
"Iya Mak, motornya mogok." Astagiri menjelaskan kembali apa yang sudah dia jelaskan pada ayahnya. "Maaf ya Mak nggak bisa bantuin cari kayu bakar."
"Nggak pa-pa. Udah sana mandi dulu!"
"Iya Mak." Astagiri menuju kamarnya setelah melihat ibunya. Entahlah, memang seperti ada yang kurang jika pulang tanpa melihat wajah kedua orang tuanya. Dia pasti akan mencari mereka dulu sebelum istirahat.
Malam harinya setelah sholat isya' mereka makan malam bersama, meskipun dengan lauk ala kadarnya. Astagiri senang karena ia masih bisa berkumpul bersama keluarganya. Andai saja Kayla pulang, pasti suasana rumah akan semakin ramai.
Astagiri kembali memikirkan kakaknya, sedang apa Kayla di negeri orang itu? Apakah dia sudah makan? Apakah dia lelah setelah seharian bekerja? Sayangnya, Astagiri tidak bisa melihat kegiatan Kayla di sana. Dia juga tidak memiliki ponsel yang bisa menghubungkannya dengan sang kakak. Biasanya Astagiri dan Arum pergi ke telepon umum yang disediakan pihak desa untuk menghubungi Kayla. Itupun tidak bisa sering-sering karena biaya menelpon ke luar negeri sangat mahal.
Biasanya juga Kayla mengirim surat untuk mengabarkan kondisinya. Surat itu tidak langsung sampai rumahnya, dia akan berada di kantor desa dalam beberapa hari jika dia tidak mengambilnya sendiri ke kantor desa. Setidaknya sebulan sekali Astagiri akan mampir ke kantor desa saat pulang sekolah. Tidak untuk datang ke kantornya karena saat dia pulang kantor desa sudah tutup. Dia hanya akan mengintip beberapa surat yang dipajang di jendela kaca, melihat apakah ada surat dari sang kakak.
Terkadang Astagiri pulang dengan perasaan bahagia karena besok pagi dia akan mengambil surat di kantor desa tersebut. Atau dia harus pulang dengan perasaan kecewa karena Kayla tidak mengirim surat.
Sementara di sisi lain, Dhafin sedang berada di dalam kamarnya dengan telepon genggam. Dia sedang berbicara dengan kekasihnya. Hari ini Nanda tidak masuk sekolah karena demam. Sebenarnya Dhafin tidak ingin mengganggu waktu istirahat Nanda, tetapi wanita itu menghubunginya lebih dulu. Kangen katanya, padahal wanita itu sedang sakit dan perlu istirahat.
"Kamu nggak nakal kan di sekolah?" tanya Nanda dengan manja.
"Nggak, Sayang," jawab Dhafin.
"Pasti banyak cewek yang deketin kamu karena aku nggak sekolah kan."
"Mulai lagi deh." Dhafin bingung harus mengatakannya pada Nanda atau tidak jika hari ini dia mengantar Astagiri pulang.
"Nggak ada yang deketin aku. Pacarku ini cemburuan banget ya." Dhafin memutuskan untuk tidak jujur pada Nanda mengingat bagaimana sifat perempuan itu. Lagipula Astagiri dan Nanda juga tidak saling kenal.
"Awas ya kalau aku dapet laporan yang macem-macem."
"Nggak akan. Kayaknya kamu perlu istirahat deh, Sayang. Biar cepet sembuh terus bisa sekolah lagi," saran Dhafin, meskipun sebenarnya dia juga tidak rela jika harus menutup telepon Nanda. Tapi, untuk kesembuhan kekasihnya, Dhafin rela.
" Ya udah deh, aku matiin ya."
"Iya, tidur yang nyeyak ya."
"Iya."
Setelah Nanda mematikan panggilannya, Dhafin segera menuju meja belajar untuk menyiapkan jadwal sekolahnya. Dia jadi teringat dengan Astagiri, besok pagi dia harus menjemput wanita itu dan dia tidak memiliki nomornya.
"Seharusnya tadi aku minta nomor HPnya," gumam Dhafin yang tidak mengetahui bahwa Astagiri tidak memiliki ponsel.
Keluarga Dhafin memang bukan keluarga berada, tapi jika dibandingkan dengan Astagiri, keluarganya masih tergolong berkecukupan, meskipun dia memiliki empat saudara. Dua perempuan dan dua laki-laki. Dhafin merupakan anak ketiga dari pasangan Nabila dan Danar. Kakak pertamanya sudah menikah, sementara kakak keduanya sedang merantau. Dia hanya hidup dengan orang tua dan adiknya yang masih Sekolah Dasar.
Setelah melakukan rutinitas malamnya yaitu menyiapkan buku pelajaran untuk esok hari dan juga urusannya di kamar mandi Dhafin segera menuju pulau mimpi, tentu dia tidak ingin terlambat bangung esok hari.
***
Sebelum azan shubuh berkumandang Astagiri sudah bangun lebih dulu, dia memang terbiasa bangun sebelum shubuh untuk mandi kemudian sholat. Sementara ibunya sudah sibuk berkutat di dalam dapur dan ayahnya bersiap pergi ke kebun belakang rumah untuk memanen apa saja yang bisa dia panen di sana.
Tepat pukul lima pagi Astagiri sudah siap dengan seragam sekolahnya, dia berencana untuk menungu angkutan umum yang mungkin akan lewat depan rumahnya. Ia tidak ingin merepotkan Dhafin kembali. Tidak mungkin juga mereka berangkat sekolah bersama. Astagiri ngeri membayangkan ekspresi cemburu Nanda.
Sayangnya, bahkan sampai jam enam lebih tidak ada satu pun angkutan umum yang lewat. Membuat Astagiri harap-harap cemas. Jika sudah seperti ini dia terpaksa harus berangkat bersama Dhafin. Atau dia izin saja untuk menghindarinya? Astagiri yakin Cintya akan mengizinkannya jika dia tidak sekolah, meskipun perempuan itu tidak mendapat kabar apapun darinya. Tepat pada saat Astagiri akan masuk ke dalam rumahnya_
Tiinnnn
Astagiri menoleh dan mendapati Dhafin tengah duduk di atas motornya dengan kaca helm yang terbuka. Terlihat sekali dari matanya bahwa pria itu sedang tersenyum padanya. Meskipun Dhafin tersenyum tulus, tapi dimata Astagiri pria itu sedang tersenyum mengejeknya. Pupus sudah harapan Astagiri untuk menghindarinya. Tidak mungkin dia beralasan sakit ketika pria itu sudah melihatnya siap bahkan seolah menunggu kedatangannya. Astagiri memaksakan senyumnya saat berjalan menghampiri pria itu.
"Lama ya nunggunya?" tanya Dhafin.
"Nggak. Baru kok," dusta Astagiri. Padahal dia sudah sangat lama menunggu angkutan umum, namun yang datang lebih dulu justru Muhammad Dhafin Prasetyo.
"Ayo naik!" Dhafin membungkuk, membuka pijakan kaki untuk Astagiri dan membuat perempuan itu terkesan dengan perilakunya.
"Terima kasih." Astagiri tersenyum sambil memasang helmnya sendiri.
"Baiklah, untuk kali ini saja. Pertama dan terakhir," batinnya.
Dhafin mengendarai motornya dengan kecepatan sedang karena mereka tidak dikejar waktu. Tadi saat dia melihat arlojinya, masih menunjukkan pukul 06.10 menit. Artinya mereka bisa tiba di sekolah sekitar pukul 06.45 menit. Setidaknya lima belas menit sebelum masuk kelas.