Begitu bel pulang astagiri dan Cintya berjalan beriringan bersama siswa lainnya. Hari ini Cintya akan dijemput oleh supir keluarganya, jadi dia bisa leluasa menemani Astagiri. Namun karena sifat pelupa wanita itu, ada saja barangnya yang ketinggalan di dalam kelas yang akhirnya membuatnya harus kembali untuk mengambilnya.
"Aku tunggu di parkiran ya," kata Astagiri.
"Iya, tunggu dah di sana."
Astagiri meneruskan langkahnya menuju area parkir, dia baru ingat bahwa helmnya ada di motor Dhafin. Berarti dia harus menunggu pria itu untuk mendapatkan helmnya kembali. Menyadarinya membuat tubuhnya lemas seketika.
Astagiri sudah berada di area parkir, dia berdiri di samping motor Dhafin, matanya hanya menatap minat pada helm hitamnya yang terikat di jok motor pria itu. Bibirnya manyun dengan mata yang terus menatap helmnya.
"Bodohnya kamu Asta, kenapa kamu biarkan helm itu tersangkut di sana," bisiknya pada diri sendiri.
"Nggak akan berubah itu helm kamu pelototin kayak gitu."
Astagiri menoleh karena ternyata suara Dhafin sudah menjadi familiar di telinganya, padahal mereka baru dekat kemarin. Itupun tidak bisa dikatakan dekat. Astagiri tersenyum melihat senyuman Dhafin. Senyum termanis yang pernah dia lihat.
"Ayo," kata Dhafin.
"Dhaf sorry. Aku mau bareng Cintya aja. Nanti aku ambil motornya di bengkel bareng dia. Kita juga mau kerja kelompok," dusta Astagiri. Dia tidak tega menolak bantuan pria itu yang terlihat tulus membantunya sejak kemarin.
"Oh gitu. Ya udah." Dhafin segera membuka jok motornya kemudian menyerahkan helm Astagiri.
"Asta udah selesai? Ayo, itu supirku udah nunggu!" Cintya menghampiri Astagiri begitu tiba di parkiran, dia melihat jemputannya sudah menunggu di depan gerbang sekolah.
"Dhafin makasih ya atas bantuannya," kata Astagiri tulus.
"Oh, iya Asta, santai aja." Dhafin sadar bahwa sejak tadi dia hanya memperhatikan Astagiri yang berdiri di depannya.
Entah kenapa, ada perasaan yang hilang begitu melihat wanita itu berlalu dari hadapannya. Merasa dejavu, Dhafin melihat punggung Astagiri dari belakang tanpa mendapatkan tatapan mata dari wanita itu. Baru kemarin rasanya mereka bisa saling bertatapan bahkan berada sangat dekat, seolah tidak ada jarak. Tapi sore ini dia merasa kehilangan, padahal Astagiri bukan siapa-siapanya.
Jika boleh jujur, sebenarnya Dhafin memang memiliki perasaan pada Astagiri, tetapi begitu dia tahu bahwa Riko juga menyukai wanita itu, Dhafin mundur pelan-pelan. Dia tidak ingin memperebutkan wanita bahkan bertengkar hanya karena satu wanita saja. Karena itu Dhafin mulai melupakan Astagiri dan mendekati Nanda. Lagipula dia juga tidak pernah satu kelas dengan Astagiri. Berbeda dengan Riko yang sudah dua tahun satu kelas dengan wanita itu.
Dhafin tahu temannya itu belum berani menyatakan perasaannya pada Astagiri, mengingat sampai detik ini wanita itu tetap single. Tapi Dhafin yakin bahwa suatu hari nanti Riko akan terang-terangan mendekati Astagiri.
Dhafin dan Riko memang tidak begitu dekat. Dhafin mengenal Riko karena dulu pria itu juga termasuk anggota tim basket sekolah mereka. Namun, Riko keluar dari tim basket saat ia duduk di kelas dua belas karena ingin fokus belajar.
Dhafin mulai mengenakan helmnya begitu melihat Astagiri menaiki mobil Cintya dan pergi, ia berencan menjenguk Nanda yang masih sakit. Dia perlu bertemu wanita itu untuk menghibur diri. Dhafin juga tidak ingin membuat Nanda kecewa, karena dia bisa melihat bagaimana cintanya Nanda padanya.
***
Dhafin duduk di ruang tamu bersama Nanda yang bersandar pada bahunya, wanita itu terlihat pucat dan sangat lemah. Dhafin tidak pernah melihat Nanda seperti itu sebelumnya, membuatnya sedikit khawatir.
Nanda begitu senang tadi saat mendengar kabar dari asisten rumah tangganya jika Dhafin mengunjunginya dan sedang duduk di ruang tamu rumahnya. Ayahnya sedang bekerja keluar kota sementara ibunya sedang belanja keperluan dapur. Nanda hanya di rumah bersama asisten rumah tangganya.
Mendengar kedatangan Dhafin membuatnya bersemangat dan akhirnya turun untuk menemui kekasihnya.
"Kata dokter sakit apa?" tanya Dhafin.
"Kecapekan aja."
"Beneran? Kok sampek lemes gini? Ini udah tiga hari lho kamu nggak masuk sekolah," desak Dhafin yang khawatir.
"Iya, Sayang. Aku kecapekan aja kok. Kamu khawatir aku kenapa-napa ya," kata Nanda, dia senang karena Dhafin mengkhawatirkannya.
"Iya lah. Kamu nggak pernah kayak gini soalnya."
"Aku merasa dicintai. Makasih ya, Sayang." Nanda mengeratkan pelukannya. "Aku nggak akan biarin orang lain merebut kamu dari aku. Pokoknya kamu hanya milikku," aku Nanda tidak bisa dibantah.
"Iya. Aku akan selalu ada di samping kamu." Tanpa Dhafin sadari, dia telah membuat janji yang tidak akan bisa ia tepati.
Keindahan cinta sesaat membuat mereka terlena dan dengan mudah mengumbar janji tanpa tahu bagaimana konsekuensi dari ikrar yang mereka ucapkan. Tanpa berpikir bagaimana semesta akan menuntun mereka pada patah hati terberat disaat semua berantakan.
Janji yang mengikat mereka pada akhirnya akan membuat mereka berada dalam masa sulit tanpa menemukan benang merah dan titik temu sesungguhnya.
Semetara di sisi lain, Astagiri sedang berada di bengkel bersama Cintya untuk mengambil motornya yang sudah menginap semalaman di sana. Mereka terkejut melihat Riko yang sudah ada di sana bahkan sebelum mereka datang. Pria itu sedang mengutak-atik mesin mobil dengan pakaian sama seperti pegawai bengkel lainnya.
Astagiri dan Cintya saling pandang, saling berspekulasi tentang apa yang dilakukan pria itu di sana. Tidak mungkin jika Riko bekerja di sana untuk mencari uang karena keluarganya sudah sangat berkecukupan.
"Riko?" sapa Astagiri begitu dia berada di belakang pria itu.
Riko menoleh. "Asta, ngapain di sini?"
Sebuah pertanyaan yang seharusnya Astagiri tanyakan justru diambil pria itu, membuat Asta hanya garuk-garuk kepala.
"Kemarin motorku mogok, katanya harus ganti aki," jawab Astagiri.
"Yang mana motor kamu?"
"Itu," tunjuk Astagiri.
"Oh yang itu, udah aku perbaiki kemarin. Iya, akinya udah mati. Kemarin aku coba perbaiki tetep nggak bisa jadi harus ganti," jelas Riko seolah mengerti detail tentang otomotif.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Astagiri yang penasaran sejak kedatangannya tadi.
"Oh, ini bengkel keluargaku. Aku suka bantu-bantu di sini."
Jawaban Riko mampu membuat Astagiri dan Cintya ber-O ria, jadi itulah kenapa Riko bisa berada di sana karena dia pemilik bengkel tersebut. Hebat ya, sebagai seorang anak yang berkecukupan dia masih mau membantu pekerjaan orang tuanya. Riko juga termasuk siswa berprestasi di sekolah. Nomor tiga setelah Dhafin dan Astagiri.
Riko menjadi rajin belajar dan mengejar ketertinggalan ketika dia duduk di kelas dua belas, sesaat setelah dia memutuskan keluar dari tim basket. Sejujurkan keputusan itu sedikit mempengaruhi Astagiri yang selalu menonton pertandingan basket sekolahnya. Pasalnya, Astagiri tahu bahwa basket adalah hobby pria itu. Namun Astagiri tidak ambil pusing. Toh, mereka juga tidak dekat meskipun mereka teman satu kelas.
"Ya udah deh Ko. Aku duluan ya, mau bayar dulu," pamit Astagiri kemudian menggandeng lengan sahabatnya.
"Eh, nggak usah Asta. Kamu bawa aja motornya. Ayo, aku antar ambil kunci motormu."
"Eh, jangan gitu Ko, aku jadi nggak enak kalau kayak gitu. Aku langsung ke kasir aja deh." Astagiri langsung menarik Cintya menuju kasir. Dimana hal tersebut membuat mereka bertiga sama-sama berlari seolah sedang bermain kejar-kejaran.
"Mbak berapa biaya servis motor saya ya?" tanya Astagiri begitu tiba di meja kasir.
"Biarin aja, Mbak. Dia temen saya."
"Eh jangan! Mbak berapa ya?" desak Astagiri. Dia tidak ingin memiliki hutang apapun pada siapapun.
"Nggak usah Mbak!"
Pegawai administrasi itu hanya bolak-balik menatap Astagiri dan Riko yang berdebat. Yang satu ingin membayar, yang satu melarang, membuatnya bingung.
"Mbak, ayah saya pemilik bengkel ini lho. Jadi siapa yang mbak turutin," ancam Riko.
"Baik Mas." Pegawai administrasi tersebut langsung membuka loker dan memberikan kunci motor Astagiri tanpa membuat nota servis.
"Riko." Astagiri merasa tidak enak karena pria itu melarangnya membayar biaya servis.
"Udah Asta, bawa aja."
Tidak ingin berdebat lagi, Astagiri mengambil kunci motor yang diberikan oleh mbak-mbak kasir tersebut. "Makasih ya, gimana caranya aku bales nih," tanyanya.
"Dibales pakek yang lain aja," canda Riko.
Sebuah ucapan yang tidak diketahui maksud sesungguhnya dari pria itu oleh Astagiri. Namun, Astagiri yang memang memiliki sifat cuek hanya mengangguk saja tanpa berpikir kira-kira balasan apa yang diinginkan Riko darinya. Tanpa curiga bahwa kebaikan Riko memiliki maksud tersendiri, yang mungkin suatu hari nanti akan menyulitkannya sendiri.