Loading...
Logo TinLit
Read Story - Susahnya Jadi Badboy Tanggung
MENU
About Us  

Apa yang aku lakukan berhasil!
Mereka hanya terfokus padaku.
Haruskah selalu dengan cara seperti ini?
Ah, nasi sudah menjadi bubur.

πŸ‚πŸ‚πŸ‚

 

Raut wajah Satya tampak merah padam. Ia melihat sang adik berjalan ke arahnya dengan tampang tanpa dosa. Terlalu santai seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal seharusnya ia tahu, panggilan telepon dan isi chat dari kakaknya cukup menggambarkan bagaimana isi hati sang kakak.

Marah, kesal, ingin membanting sesuatu, terlebih melihat si bungsu justru melenggang begitu saja. Mengambil helm yang digantung di sisi depan motor, mengenakannya, lalu menoleh untuk mengajaknya pulang.

"Nuggu apa lagi? Mau pulang, kan?"

"Kamu nggak tanya berapa lama kakak nyariin dan nunggu kamu?"

"Makin lama jelasin, makin lama sampai rumah."

"Gimana Bapak mau kasih izin bawa motor kalau kamu sering ngilang gitu saja? Rekapan bolos jam pelajaran sudah melebihi batas kewajaran. Sekolah titip surat panggilan orang tua."

"Kasih ke Bapak saja, biar tahu kalau anak bungsunya bikin masalah."

"Ya, emang. Selama ada orang tua, tidak diperkenankan diwakilkan kepada saudara atau yang lainnya."

"Baguslah. Aku sudah kangen dapat perhatiannya Bapak. Bapak terlalu fokus sama pekerjaan dan cari uang. Padahal aku nggak sepenuhnya butuh uang terus."

Satya yang menyiapkan kata-kata serangan untuk adiknya, akhirnya urung melanjutkan pertengkaran. Ada sorot mata yang terlihat sedih ketika mengucapkan hal itu. Ada bening yang ditahan oleh si bungsu.

"Naik!" perintah Satya pada adiknya yang sedari tadi hanya berdiri di samping motor.

Dama dan Satya sama-sama diam. Biasanya ada celetukan tanya atau canda, kali ini hening saja yang ada. Mereka terbawa suasana, senja tidak secerah biasanya. Lebih dominan mendung. Begitu juga dengan hati mereka yang mendung dan tidak baik-baik saja.

Udara sore ternyata bisa sedingin ini. Apalagi Dama lupa membawa jaket dan meninggalkannya di laci meja kelasnya. Awalnya, ia berniat untuk kembali ke sekolah, atau setidaknya meminta bantuan salah satu teman untuk membawakan dan memberikan padanya di luar halaman sekolah.

Ternyata, rencananya tidak sesuai perkiraan. Ia tidak bisa kembali ke sekolah, dan kembali justru tertangkap basah oleh kakaknya.

Selamat menikmati dinginnya, Dam. Makanya jangan badung setengah-setengah. Sudah tau badan sendiri ringkih. Nikmati saja, angin akan selalu bersahabat denganmu si penyuka dingin, batin Dama

Begitu sampai di rumah, si bungsu bergegas ke kamar. Bukannya membersihkan diri, ia justru masuk di bawah selimut. Badannya menggigil kedinginan. Untu kali ini, angin tidak lagi bersahabat dengannya.

Setelah dirasa agak hangat, barulah Dama berani beranjak dan membersihkan badan juga meletakkan seragamnya di keranjang baju kotor di sudut meja. Ia kemudian lanjut mandi dan setelahnya baru turun menuju dapur untuk mengambil air hangat.

Suara terbatuk beberapa kali terdengar dari arah dapur. Salsabila yang masih ada di rumah itu berjalan menuju dapur dan mendekati adik iparnya.

"Mau ngapain, Dam?"

"Ambil air hangat, Mbak. Yaya ke mana?"

"Ada di kamar, bentar lagi juga keluar kalau tahu kamu sudah pulang ..." Ucapan istri Bang Asa itu diinterupsi oleh batuk yang tampak begitu menyiksa tenggorokan dan dada Dama. "Air hangatnya diirisin jahe, Dam, biar hangat."

"Jahe itu yang mana? Dama taunya sama kunyit saja, Mbak. Karena warnanya beda sendiri."

Salsabila membuka laci penyimpanan bumbu dan mencari jahe yang dibutuhkan Dama. "Nah, ini. Dicuci dulu, terus diiris tipis. Mau yang ekstrem? Geprek pake ulekan. Sama juga hasilnya."

Dama mengangguk paham pada insteruksi yang diberikan sang kakak ipar. "Kasih gula boleh, nggak?"

"Boleh, jangan banyak-banyak, ya?"

Setelah menyerahkan jahe, Salsabila kembali lagi ke kamar. Mungkin memberi tahu si kecil jika om kesayangannya sudah pulang dari sekolah.

Si bungsu menuangkan sesendok gula ke gelas bergagang dan ditambah dengan jahe yang sudah diiris tipis. Begitu selesai, ia mendekati dispenser dan menekan tuas dengan lingkaran berwarna merah. Seketika itu air panas meluncur dan mengisi gelasnya.

Dirasa terlalu panas, Dama beralih pada tuas berwarna biru dan menambahkan air dengan suhu ruang. Tidak lupa diaduknya wedang jahe dadakan untuk meredakan gatal di tenggorokannya.

Dama dan segelas wedang jahet, begitu yang terlihat saat ini. Karena terlalu penuh, akhirnya si bungsu berjalan perlahan sambil sesekali meniup uap panas yang mengepul.

Langkahnya dibuat pelan dan kecil-kecil, sebab jika terlalu cepat goncangan akan membuat isi gelas bergejolak dan tumpah. Begitu pelannya Dama berjalan. Hingga suara keras sang keponakan membuatnya terkejut dan membuatnya berhenti tiba-tiba.

"Om Dama!" teriak Yaya sambil berlari menuju orang yang disayangnya.

"Ja-jangan lari! Om bawa air panas, Ya. Yaya jangan ke sini dulu."

Terlambat, Yaya sudah berlari secepat kilat dan menabrak tubuh Om kesayangannya itu. Bersamaan dengan itu, tumpahlah wedang jahe yang masih panas itu. Dengan cekatan Dama berusaha melindungi keponakannya dengan menadahkan tangan tepat di atas kepala Yaya.

Namun, tetesan air panas itu tetap lolos dan mengenai lengan Yaya. Gadis kecil itu langsung menangis keras dan membuat seisi rumah keluar menuju arah suara. Salsabila yang lebih cepat sampai langsung menggendong si kecil.

"Nggak apa-apa, Om. Yaya kena sedikit, kok."

Ucapan Salsabila itu menenangkan Dama yang tampak panik karena tidak ingin melihat keponakannya terluka. Meski dengan mengorbankan tangannya, Dama sedikit lega karena tetesan air panas itu memang sedikit saja yang jatuh di atas tubuh Yaya, karena yang terbanyak mengenai tangannya sendiri.

"Yaya kenapa?" tanya Pak Renan yang baru saja masuk ke rumah dan mendapati cucunya menangis keras.

"Ketumpahan wedang jahe yang dibawa Dama, Pak. Cuma kena sedikti, mungkin kaget saja makanya nangisnya awet, Pak."

"Kenapa nggak hati-hati bawanya? Sudah tahu keponakannya ada di sini. Sudah seharusnya lebih waspada, Dam." Pak Renan berkata sambil melirik ke arah Dama.

"Bukan salah Dama, Pak. Yaya yang lari nyamperin Dama." Salsabila berusaha membela adik iparnya.

"Tetap saja yang lebih besar seharusnya lebih waspada." Suara Pak Renan terdengar ketus.

Dama menunduk, gelas di tangannya sudah tersisa separuh lebih sedikiti saja. Dengan perasasaan bersalah, Dama berjalan ke dapur. Ia melirik ke telapak tangan yang sedikit memerah. Ada sensasi perih di sana.

Salsabila menyusulnya ke dapur. Dengan Yaya yang digendong dengan sebelah tangan, sang kakak ipar itu menarik tangan Dama ke arah tempat mencuci piring dan menyalan kran airnya.

"Biar nggak melepuh dan perihnya berkurang harus diguyur air begini. Ucapan Bapak jangan diambil hati, Yaya lari dari kamar memang udah kenceng bener."

"Makasih, Mbak."

"Yaya sudah tahu kenapa Bunda larang lari-lari di dalam rumah? Minta maaf dulu sama Om Dama, kali ini Yaya yang salah."

Yaya mengangguk sambil menghapus sisa air matanya di pipi. "Maaf, Om. Yaya nggak lari-lari lagi di dalam rumah."

Dama tersenyum lalu mengangguk. Setelah dirasa tangannya membaik, Dama menjulurkan tangannya dan berganti menggendong Yaya. Ia mengajak keponakannya itu untuk bermain sejenak setelah seharian penuh tidak bertemu.

Dari saking bahagianya bermain dengan Dama, Yaya sampai ketiduran di pangkuan Dama. Bang Asa melihat sikap Dama yang mulai tidak nyaman. Kaki dan tangannya mulai terasa menegang karena terlalu lama berdiam dengan posisi yang sama.

"Sudah terasa pegal? Abang pindahin Yaya, ya?"

"Jangan, Bang. Baru saja tidur, nanti kalau kebangun malah rewel. Lima belas menit lagi baru dipindah," pinta Dama.

Posisi Dama bersila dengan punggung yang bersandar di kaki meja. Sementara Yaya tidur sambil memeluk Dama dengan kepala terkulai ke sisi kanan. Untuk itulah mengapa si bungsu tidak berani bergerak karena tangan sebelah kirinya digunakan untuk menahan supaya kepala Yaya tidak terlalu miring dan menyebabkan sakit di lehernya.

"Ayah, kenapa Yaya nggak dibawa ke kamar? Dama bakal pegal-pegal badannya kalau kelamaan."

"Nggak dikasih izin sama Dama, Bund. Tanya aja sendiri sama anaknya." Bang Asa menjawab sesuai perkataan Dama.

"Dam, Mbak ambil Yaya biar kamu bisa istirahat juga. Tenaga kamu pasti terkuras habis setelah main sama Yaya. Anak-anak mah baterainya Energizer, tangguh tanpa batas. Lah kamu?"

"Aku baterai Alkaline, Mbak. Sama juga, tak tertandingi."

Ruang tengah yang biasa menjadi tempat berkumpulnya keluarga menjadi ramai. Tidak berapa lama Satya datang bergabung disusul dengan Bapak dan Ibu negara. Pak Renan langsung mengambil posisi di tengah-tengah sofa dan mengambil alih remot televisi.

Satya langsung mendekat dengan membawa amplop di tangannya. Ia meletakkannya tepat di depan meja. Dama yang tidak menyadari itu, memilih untuk menggendong Yaya ke kamar.

"Biar Abang saja, Dam."

"Nggak apa-apa, biar langsung aku taruh di kamar, Bang."

Salsabila langsung mengekori Dama yang membawa kek kamar tidurnya dan sang suami. Setelah merapikan tempat tidur Yaya, Dama dan sepasang suami-istri itu langsung keluar dan bergabung dengan keluarga lainnya.

Baru saja Dama duduk di sebelah sang ibu, sebuah amplop melayang dan jatuh di hadapannya.

"Belum puas pas tawuran kamu permalukan Bapak? Sekarang kamu berulah lagi, Dam? Bapak nggak pernah mengajarkan hal buruk sama kamu, Nak!"

Dama mengambil amplop dan membuka surat yang ada di dalamnya. Saat Satya mengatakan ada surat pemanggilan orang tua karena ia yang sering menghilang, awalnya Dama kira itu hanya gurauan belaka.

Ternyata apa yang disampaikan Satya adalah benar. Surat itu ditujukan kepada wali dari siswa bernama Darma Satya Renanda.

"Selama Abang dan Kakak sekolah, nggak pernah sekalipun Bapak dipanggil ke kantor dan bertemu dengan guru BK karena sikap mereka yang nakal. Justru Bapak dipanggil karena kedua kakakmu mengharumkan nama sekolah."

"Dama memang beda, Pak. Dama nggak seperti Abang dan Kakak."

"Sejak kapan kamu berani menjawab?"

Dama memilih diam karena ibunya menggenggam tangannya. Ia melihat gelagat tak enak dari sang ibu.

"Apa gunanya kakakmu di sana kalau sikapmu begitu? Berapa kali bolos jam pelajaran? Jelaskan sama Bapak!"

"Dama hanya ingin jadi diri sendiri. Tanpa ada embel-embel nama Abang ataupun Kakak. Bapak nggak tahu gimana rasanya kalau setiap guru yang ada selalu membahas Abang dan Kakak."

Satya dan Bang Asa saling pandang kemudian menatap si bungsu yang semakin tertunduk. Ternyata seperti itu yang dirasakan oleh si bungsu.

"Itu karena saudaramu memang benar-benar terbaik saat itu."

'Iya, dan Dama bukan apa-apa. Nggak pinter dari segi akademik, nggak punya prestasi juga di bidang non akademik. Memang aku nggak ada apa-apanya."

"Bapak harap ini terakhir kalinya Bapak dipanggil pihak sekolah."

Pak Renan beranjak meninggalkan ruang tengah dan menuju pintu depan. Ia membuka pintu dan memilih duduk di teras rumah seorang diri.

Sementara itu, si sulung dan si tengah masih mencoba merasakan bagaimana jika mereka berada di posisi Dama. Selalu dibandingkan dengan saudara, kemudian diperlakukan seolah ia harus sama seperti kedua saudaranya.

"Nggak apa-apa kalau misal Adek nggak mau seperti Abang dan Kakak. Adek bisa menjadi diri sendiri."

"Hei, buat Yaya, Dama itu adalah Dama, Om kesayangannya Yaya," Salsabila mencoba menenangkan si bungsu.

"Kakak nggak bisa berbuat apa-apa kalau kamu nggak bisa jujur dengan ini semua. Jangan diulangi, utarakan saja yang kamu mau. Jangan diam terus menghilang."

"Maafkan Abang yang ternyata kurang memperhatikan kamu. Nanti kalau Bapak sudah tenang, biar Abang yang bicara sama Bapak."

"Abang, Kakak, Ibu, Mbak Salsa, sudah paham betul bagaimana Bapak. Biarkan saja seperti itu sampai nanti Bapak sendiri yang tahu kebenarannya. Dama mau istirahat dulu."

Si bungsu beranjak meninggalkan keluarganya dan berlari menuju kamar tidurnya. Ruangan bercat hitam menyambutnya. Sinar lampu yang temaram tampak selaras dengan suasana hati si pemilik kamar. Belum lagi dengan lagu sendu yang mengalun dari laptop yang sedari tadi berputar tanpa ada yang mendengarkannya.

Tidur. Hanya itu yang Dama pikirkan untuk saat ini. Masa bodoh dengan ponsel yang sedari tadi berbunyi dan menampilkan notifikasi dari beberapa teman dan grup kelas. Sepertinya kali ini ia akan mangkir dari mengerjakan tugas sekolah.

Lama-kelamaan, kelopak matanya memberat. Ia seperti dibawa melayang lalu terlelap dalam tidurnya. Padahal jam belum menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi si pemilik kamar sudah terlelap jauh di dalam mimpinya.

Dama sedikit kaget, ia bergerak tidak nyaman saat tiba-tiba tenggorokannya yang gatal kembali berulah. Ia terbatuk beberapa kali sampai tubuhnya meringkuk. Ditariknya selimut sampai menutupi seluruh tubuh dan menyisakan kepalanya saja yang terlihat.

"Kasih minyak kayu putih saja dadanya. Sediakan air di samping tempat tidur. Biarkan dia istirahat, Bu."

"Bapak jangan begitu sama Dama. Dia nggak suka kalau dibanding-bandingkan terus."

"Kenyataannya memang begitu, Bu. Mau gimana lagi?"

"Untuk kali ini saja, Pak. Biarkan yang satu ini tidak perlu menjadi pelampiasan dari ego kita. Biar dia jadi seperti yang dia mau."

"Lalu? Kita akan hilang kendali atas anak kita sendiri?"

"Bukan begitu, Pak. Tetap kita pantau, hanya saja biarkan dia memilih apa yang dia suka tanpa kita memberikan pilihan. Abang dan Kakak memang bisa untuk memilih, tapi biarkan Dama yang menentukan keinginannya sendiri."

"Terserah Ibu saja. Kalau memang itu maunya Ibu."

"Jangan bilang terserah! Bapak bisa nggak kasih hal yang jelas?"

"Egh ...,"

Sebuah suara menghentikan perdebatan keduanya. Dama mengeluh dalam tidurnya, Ia bergerak gelisah lalu berbalik dan mencari posisi terenak. Setelahnya, Ibu Laras membuka selimut dan membalur minyak kayu putih yang sedari tadi berada digenggamannya ke dada Dama.

"Agak hangat, Pak."

"Besok juga sudah sembuh. Sudah, jangan ganggu lagi. Biar istirahatnya cukup."

Sepasang suami-istri itu pergi meninggalkan kamar yang bernuansa temaram. Mereka menutup pintu secara perlahan, meninggalkan si pemilik kamar tidur dengan tenang.

🍁🍁🍁

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Cinta Tiga Masa
128      93     0     
Romance
Aku mencurahkan segalanya untuk dirimu. Mengejarmu sampai aku tidak peduli tentang diriku. Akan tetapi, perjuangan sepuluh tahunku tetap kalah dengan yang baru. Sepuluh tahunku telah habis untukmu. Bahkan tidak ada sisa-sisa rasa kebankitan yang kupunya. Aku telah melewati tiga masa untuk menunggumu. Terima kasih atas waktunya.
Love and Pain
612      377     0     
Short Story
Ketika hanya sebuah perasaan percaya diri yang terlalu berlebih, Kirana hampir saja membuat dirinya tersakiti. Namun nasib baik masih berpihak padanya ketika dirinya masih dapat menahan dirinya untuk tidak berharap lebih.
If Only
363      238     9     
Short Story
Radit dan Kyra sudah menjalin hubungan selama lima tahun. Hingga suatu hari mereka bertengkar hebat dan berpisah, hanya karena sebuah salah paham yang disebabkan oleh pihak ketiga, yang ingin menghancurkan hubungan mereka. Masih adakah waktu bagi mereka untuk memperbaiki semuanya? Atau semua sudah terlambat dan hanya bisa bermimpi, "seandainya waktu dapat diputar kembali".
Selepas patah
204      167     1     
True Story
Tentang Gya si gadis introver yang dunianya tiba-tiba berubah menjadi seperti warna pelangi saat sosok cowok tiba-tiba mejadi lebih perhatian padanya. Cowok itu adalah teman sebangkunya yang selalu tidur pada jam pelajaran berlangsung. "Ketika orang lain menggapmu tidak mampu tetapi, kamu harus tetap yakin bahwa dirimu mampu. Jika tidak apa bedanya kamu dengan orang-orang yang mengatakan kamu...
Under a Falling Star
1049      613     7     
Romance
William dan Marianne. Dua sahabat baik yang selalu bersama setiap waktu. Anne mengenal William sejak ia menduduki bangku sekolah dasar. William satu tahun lebih tua dari Anne. Bagi Anne, William sudah ia anggap seperti kakak kandung nya sendiri, begitupun sebaliknya. Dimana ada Anne, pasti akan ada William yang selalu berdiri di sampingnya. William selalu ada untuk Anne. Baik senang maupun duka, ...
Anderpati Tresna
2649      1035     3     
Fantasy
Aku dan kamu apakah benar sudah ditakdirkan sedari dulu?
Palette
6169      2229     6     
Romance
Naga baru saja ditolak untuk kedua kalinya oleh Mbak Kasir minimarket dekat rumahnya, Dara. Di saat dia masih berusaha menata hati, sebelum mengejar Dara lagi, Naga justru mendapat kejutan. Pagi-pagi, saat baru bangun, dia malah bertemu Dara di rumahnya. Lebih mengejutkan lagi, gadis itu akan tinggal di sana bersamanya, mulai sekarang!
Jangan Datang Untuk Menyimpan Kenangan
525      375     0     
Short Story
Kesedihan ini adalah cerita lama yang terus aku ceritakan. Adakalanya datang sekilat cahaya terang, menyuruhku berhenti bermimpi dan mencoba bertahan. Katakan pada dunia, hadapi hari dengan berani tanpa pernah melirik kembali masa kelam.
Syahadat & Seoul
329      225     2     
Romance
Lee Jeno, mencintaimu adalah larangan bagiku, dan aku sudah melanggar larangan itu, patut semesta menghukumku ... Diantara banyak hati yang ia ciptakan kenapa ada namamu diantara butiran tasbihku, dirimu yang tak seiman denganku ...
Cinta Semi
2457      1011     2     
Romance
Ketika sahabat baik Deon menyarankannya berpacaran, Deon menolak mentah-mentah. Ada hal yang lebih penting daripada pacaran. Karena itulah dia belajar terus-menerus tanpa kenal lelah mengejar impiannya untuk menjadi seorang dokter. Sebuah ambisi yang tidak banyak orang tahu. Namun takdir berkata lain. Seorang gadis yang selalu tidur di perpustakaan menarik perhatiannya. Gadis misterius serta peny...