Loading...
Logo TinLit
Read Story - Susahnya Jadi Badboy Tanggung
MENU
About Us  

Pikiranku terlalu dominan.
Seketika membaik, seketika memburuk.
Segala yang aku pikir baik, ternyata tidak.
Segala yang aku kira tidak baik, ternyata sebaliknya.
Hebatnya lagi, pikiran dan hatiku rupanya tidak sejalan.
Sungguh kurang ajar!

🍁🍁🍁

 

Dama terduduk di atas karpet lusuh. Ia memandang sekitar dengan tatapan yang penuh tanya. Suasananya masih sama seperti tadi saat ia masuk ke warung Mang Rizal. Di ruangan sempit di sebelah dapur yang hanya berbatas dinding bambu.

"Sudah bangun, Dam? Mimpi apa sampai ngigaunya keras banget," tanya Mang Rizal.

"Aku ngigau, Mang? Masa iya?"

"Ho'oh, sambil meringis-meringis kayak ketakutan gitu. Mamang sudah bangunin, tapi kamu ga bangun-bangun. Cuma ha-hem-ha-hem aja, terus abis gitu anteng lagi. Ya sudah Mamang biarin lanjut tidur."

"Serem, Mang. Maaf ngerepotin Mang Rizal terus."

"Bajunya sampai basah gitu. Buka aja, kalau butuh baju ganti pakai kaos Mamang saja."

"Makasih, Mang."

Lelaki muda itu terdiam setelah si pemilik warung meninggalkannya dan bergegas melayani pelanggan yang memesan kopi hitam dan gorengan. Dama mencoba mengingat kembali isi mimpinya.

Dalam mimpinya itu terlalu jelas semua yang diperlihatkan. Ia yang menjelajah hutan, berlari, terjatuh, lalu tenggelam setelah terbawa arus air terjun. Tidak berhenti sampai di situ, tiba-tiba saja ia bertemu dengan kawanan binatang buas.

Hal itu membuat Dama lari tunggang-langgang. Sunggh mimpinya kali ini membuatnya lelah tak berujung. Bahkan saat sudah terjaga, badannya masih terasa lemas. Sungguh, jika dibanding mimpi saat tidur malam, mimpinya kali ini lebih menyeramkan.

Gila! Mimpinya bikin capek nggak kelar-kelar. Nggak lagi-lagi tidur kepagian kayak gini. Bukannya enak, malah makin terasa capeknya, batin Dama. Lelaki itu mengusap kasar wajahnya dan beralih mengusap rambutnya yang ternyata lepek karena keringat.

"Mang ..., Mang Rizal! Ada anak-anak ke sini, nggak?"

Dama tersentak kaget mendengar suara seorang lelaki yang terdengar familiar itu. Sementara, Mang Rizal yang berada di dapur melirik ke arah Dama yang salah tingkah setelah mendengar panggilan tadi.

Mang Rizal langsung bergegas menuju ke arah suara setelah Dama memberi kode dan memintanya untuk merahasiakan keberadaannya di warung ini.

"Maaf, Pak Surya. Anak-anak sudah pergi dari jam setengah delapan tadi."

"Berapa anak? Siapa saja, Pak? Apa ada yang namanya Dama?"

"Duh, saya nggak hafal sama nama-nama anaknya. Semua saya panggil anak bujang kalau pada ke sini masih pakai seragam."

"Dama itu yang paling rapi pakaiannya, anaknya cakep. Putih, terus matanya juga agak coklat."

Mang Rizal menggeleng, "Tapi tadi memang banyak anak-anak ke sini. Setelah ngopi sama makan gorengan, mereka pergi semua."

"Mereka bawa motor?"

"Iya, Pak. Ada sekitar enam sampai delapan motor yang tadi parkir di sini. Pas buyar, langsung sepi, Pak."

"Makasih infonya, Mang." Pak Surya langsung berputar arah dan hendak kembali ke sekolah.

"Pak Surya, tunggu sebentar!" Mang Rizal berlari ke luar warung dan berbicara sedikit berbisik di depan warungnya.

"Ah yang benar saja? Masa begitu? Kalau memang begitu, saya kabari ke sekolah dulu. Sekali lagi terima kasih banyak, Mang." Pak Surya menepuk bahu Mang Rizal dan bergegas memperlebar langkahnya meninggalkan warung sederhana itu.

Setelah Mang Rizal masuk, Dama langsung menariknya ke arah kamar kecil dan menodong si pemilik warung untuk mengetahui apa yang diucapkan di luar warung.

"Sabar, Dam. Mamang nggak bilang kalau kamu di sini. Mamang hanya bilang soal rencana teman-temanmu yang ke sekolah tetangga. Takut mereka kenapa-kenapa kalau nggak ada yang ngatasi."

Dama terduduk dan bisa bernapas lega. Belum selesai rasa leganya, tiba-tiba gawai di sakunya bergetar. Ia melihat sejenak nama si penelepon dan tanpa disadari ia menekan gambar telepon dengan lingkaran hijau.

"Ha—lo ...."

"Kamu ikut tawuran lagi? Kenapa nggak sekolah? Ketahuan sama Bapak mateng ntar. Dimasukkan pondok mau?" tanya Satya, si pemilik suara dari seberang.

"Satu-satu kalau tanya, Kak. Pertama aku nggak tawuran, kedua aku nggak niat ke sekolah. Ketiga, Bapak, Abang, sama Kakak aja nggak ada yang ke pondok, kenapa aku harus ke sana?"

"Allahuakbar! Si bungsu dah berani nyahut."

"Aku mau minta motor. Capek telat terus sampai di sekolah."

"Eh? Serius? Nggak usah! Abis ini kamu berangkat dan pulang sekolah sama Kakak."

"Nggak mau! Dama mau motor sendiri."

"Bilang sendiri sama Bapak."

"Oke! Kakak bisa saja bisa dapat motor pas kelas X, masa aku kelas XI nggak bisa?"

Pelajar yang duduk di kelas XI itu menutup sambungan telepon secara sepihak. Ia lantas mematikan ponselnya dan meletakkannya ke dalam tas. Dama menarik napas dan mengembuskan dengan kuat.

Degup jantungnya meningkat seketika. Tangannya bergetar setelah meletakkan ponselnya ke dalam tas. Ia tidak menyangka bisa membalas ucapan kakaknya kali ini. Biasanya, si bungsu hanya diam atau membalas dengan kata ya dan tidak, tetapi kali ini ia sukses membalasnya.

Jauh dari lubuk hatinya, Dama merasa bangga karena sudah bisa berbicara banyak dengan Satya, si tengah. Namun, pikirannya membuat dia gugup. Bagaimana jika kakaknya melapor pada Bang Asa. Bagaimana jika Bapak diberitahu dan kemudian menolak permintaannya. Bagaimana jika ibunya tahu keinginannya, tetapi justru melarangnya?

Terlalu banyak kata bagaimana di otak Dama. Hal ini membuatnya ragu pada diri sendiri. Pemilik mata sipit itu mendadak berteriak dan membuat pengunjung warung dan Mang Rizal kompak beristigfar bersama.

"Kenapa, Dam?"

"Ha? Kenapa memangnya?"

"Kamu kenapa teriak-teriak? Ini kopi nyaris aja tumpah karena Mamang kaget barusan."

"Ada kecoa, Mang. Iya, ada kecoa lewat barusan."

Mang Rizal meninggalkan Dama sebentar kemudian kembali lagi ke kamar. Ia duduk bersila di hadapan si bungsu. Di tepuknya bahu Dama secara perlahan berulang kali. Tanpa sepatah kata yang keluar dari si pemilik warung.

"Ada yang bisa Mamang bantu? Ceritakan saja. Meski nggak ada penyelesaian karena Mamang belum pernah sekolah tinggi, setidaknya kepalamu lebih lega."

"Kepala Dama rasanya mau meledak!"

Mang Rizal lebih mendekatkan dirinya dan menepuk bahu Dama lebih lembut lagi. "Katakan saja yang mau dikatakan. Nggak apa-apa."

"Seharian Dama ketemu sama orang-orang baik. Semakin banyak ketemu sama orang, Aku makin overthinking, dari overthinking sekarang sudah nyaris oversinting. Capek!"

Mang Rizal tersenyum tipis. Lelaki yang berusia mendekati kepala tiga itu mengelus kepala Dama. "Kamu persis adik Mamang di kampung. Dia kadang suka gemes sendiri, pusing-pusing sendiri, tapi setelah itu dia bisa tertawa lagi."

Dama memiringkan kepalanya, "Kenapa bisa begitu?"

"Entahlah, dia bisa menemukan apa yang dia cari, makanya bisa tertawa lagi. Lakukan apa yang kamu mau, pikirkan baik-baik, lalu ikuti kata hatimu," ujar Mang Rizal.

Dama hanya terdiam. Ia semakin tidak mengerti dengan keadaannya kali ini. menurutnya, sulit sekali menjadi orang dewasa. Lelaki belasan tahun itu masih mencari jati dirinya. Berusaha menemukan apa yang ia cari, apa yang ia inginkan.

Dalam proses pendewasaan, keluarga, teman, dan lingkungan sangatlah dibutuhkan. Bahkan hal yang awalnya tidak mungkin, bisa menjadi mungkin. Semua tergantung bagaimana keadaan membentuknya.

Bersama mereka yang baik, tentunya menjadi putih adalah yang diharapkan. Namun, bersama mereka yang kurang baik belum tentu juga akan menjadi hitam sepenuhnya. Meski hitam sekalipun, sebagai manusia tentu tidak akan tahu seberapa luasnya putih di bawah hitam tadi.

🍁🍁🍁

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Love in the Past
574      426     4     
Short Story
Ketika perasaan itu muncul kembali, ketika aku bertemu dengannya lagi, ketika aku harus kembali menyesali kisah itu kesekian kali.
Thieves Sister
16347      2935     7     
Action
Remaja kembar yang bisa mencuri benda-benda bersejarah milik dunia dan membalas dendamkan kematian kakaknya. Apa yang terjadi selanjutnya?
IMAGINATIVE GIRL
2758      1370     2     
Romance
Rose Sri Ningsih, perempuan keturunan Indonesia Jerman ini merupakan perempuan yang memiliki kebiasaan ber-imajinasi setiap saat. Ia selalu ber-imajinasi jika ia akan menikahi seorang pangeran tampan yang selalu ada di imajinasinya itu. Tapi apa mungkin ia akan menikah dengan pangeran imajinasinya itu? Atau dia akan menemukan pangeran di kehidupan nyatanya?
Gray November
3841      1319     16     
Romance
Dorothea dan Marjorie tidak pernah menyangka status 'teman sekadar kenal' saat mereka berada di SMA berubah seratus delapan puluh derajat di masa sekarang. Keduanya kini menjadi pelatih tari di suatu sanggar yang sama. Marjorie, perempuan yang menolak pengakuan sahabatnya di SMA, Joshua, sedangkan Dorothea adalah perempuan yang langsung menerima Joshua sebagai kekasih saat acara kelulusan berlang...
Cinta untuk Yasmine
2410      1024     17     
Romance
Yasmine sama sekali tidak menyangka kehidupannya akan jungkir balik dalam waktu setengah jam. Ia yang seharusnya menjadi saksi pernikahan sang kakak justru berakhir menjadi mempelai perempuan. Itu semua terjadi karena Elea memilih untuk kabur di hari bahagianya bersama Adam. Impian membangun rumah tangga penuh cinta pun harus kandas. Laki-laki yang seharusnya menjadi kakak ipar, kini telah sah...
Jangan Datang Untuk Menyimpan Kenangan
529      378     0     
Short Story
Kesedihan ini adalah cerita lama yang terus aku ceritakan. Adakalanya datang sekilat cahaya terang, menyuruhku berhenti bermimpi dan mencoba bertahan. Katakan pada dunia, hadapi hari dengan berani tanpa pernah melirik kembali masa kelam.
Laut dan Mereka
204      134     0     
Fan Fiction
"Bukankah tuhan tidak adil, bagaimana bisa tuhan merampas kebahagiaanku dan meninggal kan diriku sendiri di sini bersama dengan laut." Kata Karalyn yang sedang putus asa. Karalyn adalah salah satu korban dari kecelakaan pesawat dan bisa dibilang dia satu satunya orang yang selamat dari kecelakaan tersebut. Pesawat tersebut terjatuh di atas laut di malam yang gelap, dan hampir sehari lamanya Ka...
Aku Biru dan Kamu Abu
834      487     2     
Romance
Pertemuanku dengan Abu seperti takdir. Kehadiran lelaki bersifat hangat itu benar-benar memberikan pengaruh yang besar dalam hidupku. Dia adalah teman curhat yang baik. Dia juga suka sekali membuat pipiku bersemu merah. Namun, kenapa aku tidak boleh mencintainya? Bukannya Abu juga mencintai Biru?
Lullaby Untuk Lisa
5778      1667     0     
Romance
Pepatah mengatakan kalau ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya. Tetapi, tidak untuk Lisa. Dulu sekali ia mengidolakan ayahnya. Baginya, mimpi ayahnya adalah mimpinya juga. Namun, tiba-tiba saja ayahnya pergi meninggalkan rumah. Sejak saat itu, ia menganggap mimpinya itu hanyalah khayalan di siang bolong. Omong kosong. Baginya, kepergiannya bukan hanya menciptakan luka tapi sekalig...
graha makna
5902      1850     0     
Romance
apa yang kau cari tidak ada di sini,kau tidak akan menemukan apapun jika mencari ekspektasimu.ini imajinasiku,kau bisa menebak beberapa hal yang ternyata ada dalam diriku saat mulai berimajinasi katakan pada adelia,kalau kau tidak berniat menghancurkanku dan yakinkan anjana kalau kau bisa jadi perisaiku