Aku harus ke mana?
Aku ada, tetapi bukan lagi prioritas.
Aku ada, tetapi tidak nyata di hadapan mereka.
Aku ada, tetapi tidak ada.
πππ
Ketika seseorang sudah ketahuan salahnya, tentu mereka akan was-was. Begitu juga dengan Dama. Hari itu, ia ketahuan oleh sang kakak sudah membolos berkat laporan dari seseorang.
Awalnya, si bungsu ini takut untuk pulang ke rumah. Sehingga ia sudah menyiapkan berbagai alibi untuk mengelak dan menjawab segala pertanyaan entah dari Ibu atau Satya. Nyatanya? Begitu Dama sampai di rumah, semua tampak tenang dan damai.
Namun, satu hal yang ia tangkap selama beberapa hari ini. Keluarganya terkesan mendiamkannya. Apakah karena kesibukan masing-masing atau memang keluarganya sudah tidak menjadikannya prioritas lagi?
"Kak, besok Abang mau jemput Ibu buat bermalam di rumahnya, Yaya sakit, Kak. Kamu sama Adik di sini saja, ya?" ujar Ibu Laras saat makan malam berlangsung.
"Kakak besok ada acara di kampus, Bu."
"Loh? Bukannya sudah bebas tugas?" tanya Ibu Laras.
"Undangannya khusus buat para mantan pengurus, Bu."
Ibu Laras menghela napas kemudian menoleh pada Dama yang sedang menikmati makan malamnya. "Ibu sudah bilang sama yang di toko untuk libur dua hari, terus adikmu gimana?"
Dama yang merasa menjadi pusat perhatian meletakkan sendok dan mengangkat kepalanya menatap ibu dan kakakny secara bergantian.
"Dama bisa di rumah sendiri," ujarnya."
"Kamu nggak biasa, Dek. Kalau ikut acara Kakak, gimana?"
"Iya, kayaknya seru, tuh! Ikut kakak saja, ya?"
"Dama bisa di rumah. Bukannya Bapak besok malam sudah pulang?"
"Yakin?" Ibu Laras bertanya untuk meyakinkan pilihan si bungsu.
Si bungsu dengan hidung mancung itu mengangguk. Selang beberapa saat, Dama mengangkat piring kotornya dan memindahkannya ke dapur. Ia kemudian berpamitan untuk kembali ke kamarnya.
Dalam langkah gontai, pikirannya turut berkecamuk. Ia sibuk memikirkan, kenapa ibunya tidak menawarkan supaya ikut menginap di rumah Bang Asa. Padahal, keesokan harinya adalah libur akhir pekan.
Sang ibu justru memintanya ikut kegiatan kakaknya yang sudah pasti tidak cocok untuk dirinya yang tidak suka keramaian. Untuk sekali saja, Dama ingin pikirannya berbaik sangka. Mungkin ibu dan abangnya tidak ingin Yaya terganggu dengan keberadaannya.
Ataukah, ada yang akan dibicarakan sang ibu di rumah abangnya itu. Sehingga, jika ia ikut akan tidak kondusif untuk membahas hal-hal penting tersebut. Nyatanya, sampai lewat tengah malam Dama pun sulit terpejam. Kenapa memilih kesulitan jika kemudahan harusnya bisa dipertimbangkan?
πππ
Baru saja selesai sarapan, Bang Asa sudah datang untuk menjemput Ibu Laras. Beberapa tas berisi makanan dan juga pakaian sudah diangkut ke mobil dengan bantuan Dama dan Satya. Setelah beres, barulah Ibu Laras menyusul dengan membawa tas tangam.
Wanita yang berusia lebih dari setengah abad itu tampak anggun dengan gamis bercorak daun dan kerudung berwarna hijau lumut. Si bungsu dan si tengah menunggu sang ibu di teras.
Ini bukan kali pertama ibu negara bermalam di rumah Bang Asa, tetapi ini kali pertama Dama menjadi penghuni terakhir di sini. Sebab sebelumnya, paling tidak ada Satya atau bapak yang menemani Dama di rumah.
"Kakak sebentar lagi berangkat. Kalau mau keluar jangan lupa dikunci dan taruh di tempat biasanya."
"Kapan balik?"
"Paling besok siang. Bapak nanti malam sampai di sini, jadi jangan jauh-jauh dan jangan lama-lama kalau main."
Dama mengangguk dan membawa tubuhnya untuk tiduran di sofa ruang keluarga. Sudah hampir lima belas menit ia hanya memencet tombol remot dan menjelajahi berbagai saluran TV.
Seperti tidak puas dengan yang dilihatnya di layar kaca, Dama terus saja mengganti saluran TV. Acara musik, berita, infotainment yang berisikan gosip para artis, dan berakhir di saluran yang menampilkan tontonan anak-anak.
Suara gaduh dari lantai atas membuat Dama menegakkan tubuhnya dan melihat ke arah tangga. Dari situ muncullah si tengah yang mengenakan celana berbahan jeans, kemeja kotak-kotak dengan kaos hitam di dalamnya.
Satya tampak terburu-buru. Ia setengah berlari menuruni tangga. Dama mengamati tingkah kakaknya yang memutari ruangan seperti mencari sesuatu.
"Cari apa?" tanya Dama.
"Kunci motor, helm, sepatu."
"Kunci motor di gantungan dekat pintu masuk. Helm di rak helm dekat dapur, sepatu sudah pasti di kamar Kakak."
"Ah, iya! Pinter banget, sih? Makasih, bontot," ucap Satya sambil berlari lagi menuju kamarnya.
Setelah lengkap, barulah Satya berpamitan lagi pada Dama dan meninggalkan beberapa pesan seperti yang disebut tadi. Bahkan Satya juga berjanji akan sering menelepon jika waktu luang.
Dama hanya bisa pasrah dan mengangguk saat petuah kakaknya dimulai lagi. Ia terdiam beberapa saat sampai akhirnya baru sadar bahwa sang kakak sudah hilang dari pandangannya.
Matahari sudah mulai condong ke barat. Dama mulai merasa tidak nyaman. Apalagi ketika adzan magrib mulai berkumandang. Ia merasa keringat dingin mulai menetes dari dahinya.
Nggak apa-apa, sebentar lagi Bapak sudah pulang. Tunggu sebentar lagi, batinnya.
Semakin malam bukannya tenang, Dama justru semakin tidak nyaman. Ia mulai merasakan degup jantungnya meningkat. Apalagi saat mengetahui dari sang ibu bahwa kendaraan yang membawa ayahnya sedang mengalami pecah ban.
Beberapa saat lalu Ibu Laras mengabarkan bahwa Pak Renan akan datang terlambat. Setidaknya tengah malam baru sampai di rumah. Mungkin jika seseorang ada di sana, mereka akan melihat seberapa pucat wajah Dama saat ini.
Setelah menerima telepon, ponsel Dama tiba-tiba mati karena kehabisan baterai. Ia mengantonginya di saku jaket. Ia berlari menuju kamar, mengambil tas selempang kecil dan memindahkan dompetnya ke situ.
Sudah tidak bisa ditahan lagi, rumahnya terlalu sepi, tempat itu sudah tidak membuatnya nyaman, ia ingin segera pergi mencari tempat yang lebih nyaman untuknya. Yang tidak telalu ramai, tetapi tidak terlalu sepi.
Diliriknya jam tangan di lengannya, ia lantas berlari menuju jalan besar. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya datang sebuah bus terakhir jurusan kota. Dama menaikinya dan memilih duduk di dekat pintu tengah.
"Mau ke mana malam-malam, Dek?"
"Nggak tahu, Pak."
"Loh, kabur dari rumah?"
"Di rumah nggak ada orang."
"Terus tujuannya ke mana?"
"Terminal."
Sang kondektur bus akhirnya mengakhiri percakapan karena dirasa tidak akan menemukan titik terang meski ia memaksa Dama untuk berbicara. Begitu sampai di terminal kota, Dama langsung turun dan berjalan mengikuti terangnya lampu jalanan.
Ia mengarah ke jalan menuju sekolahnya. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Dama terus saja berjalan sampai lelah, langkahnya ternyata membawa ke tempat berlindungnya saat bolos tempo hari.
Warung Mang Rizal masih saja ramai dikunjungi beberapa orang. Warga yang mendapat giliran jaga malam, juga satpam SMA Patriot Pancasila yang bertugas malam hari juga ada di sana.
"Mang-Mang Rizal," panggil Dama pelan di pintu masuk warung dengan napas yang terengah-engah.
"Kok malam-malam ke sini, Nak?" tanya satpam dari sekolahnya.
"Allahuakbar, Dama! Ngapain malam-malam begini di sini?"
Mang Rizal langsung merangkung Dama dan mengajaknya masuk.
"Numpang tidur," ujarnya pelan.
"Halah, bocah! Sudah pamit sama orang tua? Kamu ini ..., yah, main nyelonong bae nih anak."
Dama tidak menjawab dan langsung menuju ruangan semedinya di dekat dapur. Ia membuka jaket dan menjadikannya bantal untuk tidur. Tidak membutuhkan waktu lama, si bungsu keluarga Renandito itu sudah menutup rapat matanya dan berkelana di dunia mimpi.
Sementara itu, Pak Renan rupanya sampai di rumah dua jam sebelum tengah malam. Upaya mengganti ban yang bocor tidak memakan waktu lama karena mendapat bantuan pinjaman alat dari pengendara lain yang melintas.
Lelaki itu melihat kondisi rumahnya gelap. Hanya lampu teras yang menyala. Ia mengambil kunci di tempat yang sudah disepakati bersama. Begitu membuka pintu, satu nama yang ia panggil.
"Dama, Bapak sudah sampai, Nak!" Pak Renan memanggil si bungsu dengan cukup keras.
Beberapa kali panggilan rupanya tidak memdapatkan jawaban. Akhirnya si kepala keluarga itu mengambil ponsel dan menghubungi Bang Asa.
"Asalamualaikum, Bang. Apa adikmu ke situ? Di rumah nggak ada orang."
"Wa alaikumsalam, Pak. Satya ke kampus, kalau Dama di rumah."
"Bilang sama Ibu, Dama nggak ada di rumah."
"Di rumah, Pak. Tadi Ibu sudah bilang kalau Bapak terlambat sampainya."
"Ngeyel! Bapak sudah di rumah dan adikmu nggak di sini, Bang." Nada suara Pak Renan sudah naik beberapa tingkat.
πππ