Aku masih belum terbiasa.
Maka, berikan sedikit waktu untukku supaya terbiasa dan bisa.
Tidak lama, hanya sampai aku terbiasa untuk bisa.
πππ
Bisa karena terbiasa. Yashinta yang biasanya hanya melihat berita tentang skandal artis dari televisi, kini ia justru berada semobil dengan artis yang terkena skandal. Bukan skandal besar, hanya orang usil yang mendapat bahan dan diolah sehingga menjadi berita panas.
Berbeda dengan Bang Didi yang tampak sibuk dengan ponselnya, Danendra justru tengah bersantai menikmati permainan daring. Yashinta terlalu gemas melihat lelaki di sebelahnya. Ia memukul lengan Danendra sampai ponselnya nyaris terjatuh.
"Game teros! Itu nggak niat bantuin Abang balasin chat atau gimana gitu?"
"Nggak apa-apa. Abang sudah terbiasa ngadepin yang beginian."
"Ya, Mas Dan ngapain gitu. Masa nggak ada usaha untuk benerin nama baiknya. Sudah tercemar, nih."
Danendra langsung mematikan permainan dan langsung mencari nomer seseorang yang ada di ponselnya. Ia lalu memulai panggilannya.
"Selamat sore, Pak Bos. Sudah baca tajuk berita di Kompak News? Bapak tahu sendiri saya seperti apa. Itu berita bohong. Bisa minta tolong ditindak?" Danendra berhenti berbicara karena dari seberang sedang memberikan penjelasan. "Baiklah kalau begitu. Terima kasih atas bantuannya."
Yashinta menganga melihat tingkah lelaki dihadapannya. Ia jadi ragu, benarkah Danendra sudah bertindak dengan benar atau tidak. Sebab hanya dengan beberapa kalimat saja percakapan itu sudah diakhiri.
"Gimana, Ndra? Beres?"
"Sudah, Bang. Tinggal tunggu seberapa cepat mereka nurunin itu berita dan minta maaf. Abang dari tadi ngapain? Sibuk banget kelihatannya?"
"Nggak sibuk amat. Cuma balas chat-nya ayang. Sama sibuk nolak panggilan telepon dari entah siapa mereka ini," jawab Bang Didi dengan santai.
Bahu Yashinta merosot. Awalnya, ia mengira Bang Didi sibuk karena berita itu. Bahkan Yashinta menaruh simpati karena kinerja Bang Didi yang tampak gerak cepat untuk mengatasi berita tersebut. Ternyata, dua lelaki itu sama saja, sangat santai menghadapinya.
"Mbak Yas kenapa wajahnya begitu? Nggak usah kaget sama berita beginian, Mbak. Kalau nggak salah nggak perlu koar-koar."
Yashinta menggaruk kepalanya. Ternyata memang benar kata pepatah. Jangan pernah menilai dari apa yang dilihat, sebab bisa saja itu salah. "Yas pikir ini masalah yang berat, Bang."
"Nggak berat, Mbak. Kita nggak perlu nanggepin hal yang nyatanya hanya ulah usil. Tadi itu saya hubungi pengacara, mungkin dengan sedikit gertakan mereka sudah ciut. Sebab yang mereka buat adalah hoax."
Yashinta mengangguk paham. Peliknya dunia hiburan sampai kapanpun tidak akan pernah ada surutnya. Apalagi jika sudah saling menanggapi. Episode sinetron sampai season tujuh juga bakal kalah panjang jika tidak ada yang menengahi dan mengalah.
"Habis ini Mbak Yas diantar ke indekos untuk nambah barang yang akan dibawa. Sebagian baju masih ada sisa, tinggal nambahi," ucap Denandra.
"Untuk berapa hari?"
"Sekitar semingguan. Nanti Mbak Yas bermalam di rumah keluarga saya karena jaraknya ke bandara lebih dekat."
"Mas Dan juga?"
"Maunya? Ya iya, Mbak. Bang Didi juga kok. Nggak usah khawatir. Ada Mama sama Mbak Dena juga."
Kerongkongan Yashinta seperti tercekat mendengar Danendra menyebut mama dan kakaknya. Bukannya apa-apa, ini adalah kali pertama mereka akan bertemu, sebagai asisten manajer yang merangkap kekasih sang idola. Atau mungkin sebaliknya? Kekasih yang merangkap asisten manajer.
Danendra yang tidak mendengar tanggapan dari Yashinta langsung menoleh dan mendapati wajah gadisnya itu memerah. Idola baru para remaja itu langsung menangkup wajah Yashinta dengan kuat. Bahkan telapak tangannya itu menggencet pipi milik Yashinta.
"Nggak usah gugup. Mereka sudah kebal dengan cerita soal Mbak Yas."
Bukannya mereda, rasa gugup Yashinta semakin menjadi. Ia memegang tangan Danendra yang masih setia di pipinya dan menepuk pelan supaya tangan itu segera berpindah.
"Kenapa malah cerita? Semakin banyak yang tahu semakin cepat nyebarnya, Mas."
"Kenapa? Kan saya cerit sama keluarga sendiri. Masa nggak boleh?"
"Ya nggak apa-apa, tapi takutnya itu ...."
"Mbak Yas jangan kebiasaan khawatir berlebih. Nggak baik."
"Saya takut keluarga Mas Dan keberatan. Apalagi usia kita selisihnya lumayan."
Danendra mengusap pelan rambut Yashinta. Ia kemudian menatap manik mata sang kekasih dengan tatapan yang meneduhkan. Seketika itu tubuh Yashinta terpaku dan menjadi lebih tenang.
"Nggak usah takut. Perbedaan usia Papa sama Mama juga nggak sedikit, lebih tua Mama. Apa itu jadi masalah di keluarga saat menikah? Nggak, Mbak. Semua berjalan dengan baik. Jangan pernah membahas perbedaan kalau nantinya malah menakutkan."
"Bucinnya udah dulu, yak? Maaf interupsi sebentar, sudah sampai di kosan, nih."
Kedua sejoli itu mendadak gelagapan. Mereka seperti lupa bahwa di mobil itu masih ada dua orang lain. Danendra langsung membuka pintu mobil dan mengantar Yashinta sampai ke halaman.
Bang Didi juga mengekor di belakang sepasang kekasih itu. Halaman indekos yang sederhana itu dilengkapi dengan gazebo tempat tamu berkunjung. Di sana tertulis jelas jika batas pengunjung laki-laki hanya sebatas duduk di gazebo.
Selama menunggu Yashinta berkemas, Mbak Yayah keluar dan menemui sepupuny. Ia juga menjamu Danendra dan Bang Didi dengan teh hangat, lengkap dengan gorengan yang baru dibeli sepulang mengajar.
Ia tidak menyangka bahwa gorengannya akan berguna untuk menjamu tamu spesial. Mungkin memang seperti itu kehidupan di dunia hiburan. Mereka bertitel artis hanya ketika berhadapan dengan kamera. Maka, ketika jauh dan tidak ada kamera yang menyorot, statusnya sama saja seperti yang lainnya.
"Mbak Yayah makasih sudah mau ngenalin Mbak Yas. Berkat Mbak Yayah juga saya menemukan apa yang saya cari."
"Semua itu sudah tertulis, tapi mungkin saya yang menjadi perantaranya."
"Yah, si Yas lama bangt. Keburu malam nih, pengin istirahat dulu soalnya penerbangan ke Medan kita ambil dini hari."
"Oh, bentar. Mungkin ada yang belum dia beresin. Tunggu bentar, sekalian aku bantuin saja."
Kedua lelaki itu mengangguk. Bang Didi menikmati sekali suasana sore di gazebo. Ia bahkan merebahkan tubuhnya dan telentang. Beberapa bagian tubuhnya berbunyi karena digerakkan, seperti mesin berkarat yang kurang minyak.
"Masyaallah nikmatnya. Punggung serasa lega. Kapan, yaa si bos peka buat servis badan anak buahnya."
"Abang nggak usah sindir-sindiran. Kalau memang mau, langsung laksanain pas ada waktu luang. Terus, untuk cuti nikah juga mau dimulai kapan?"
Bang Didi langsung menegakkan tubuhnya. Ia tidak percaya Danendra yang dari awal selalu menghindar ketika ia ingin cuti, kini justru menawarkan cuti padanya.
"Serius?"
Danendra hanya mengangguk sambil mengambil gelas teh dan menyeruput isinya. "Kan sekarang sudah ada Mbak Yas."
Bibir Bang Didi langsung maju ketika Yashinta dibawa dalam urusannya kali ini. "Berarti karena ada pengganti, ya?"
"Kan emang gitu perjanjiannya. Kalau dapat pengganti yang tepat, baru boleh cuti."
"Apakah selamanya posisiku tergantikan?"
"Ya, nggak. Begitu Abang kelar cuti nikah, ganti aku yang cuti jadi artis. Aku juga pengin nikah."
"Semprul! Kontrak sama SRTV gimana?" ucap Bang Didi sambil menggeplak kepala Danendra.
Sementara itu yang dipukul hanya tertawa keras. Ia paham perihal kontrak yaang sedikit mengikat untuk yang belum menikah. Oleh karena itu Danendra berseloroh dengan tujuan sekadar menggoda abangnya itu.
Setelah beberapa waktu, Yashinta akhirnya datang ditemani oleh Mbak Yayah. Bawang bawaannya tidak terlalu banyak. Hanya satu tas ransel tambahan saja dan satu tas jinjing. Keduanya berjalan beriringan.
"Yuk, ke rumah."
"Mas Dan, Yas nginep di tempat lain boleh? Di rumah calonnya Bang Didi, kali?"
"Nggak ada. Nginepnya di rumah saya saja. Lagian Mama sudah masak banyak untuk kita."
Yashinta sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Ia menoleh ke arah Mbak Yayah dengan tatapan yang sarat akan permohonan minta tolong supaya rencana itu tidak jadi. Namun, semua sudah telanjur. Apalagi Danendra sudah menyampaikan keluarganya sengaja meluangkan waktu untuk bertemu dengan Yashinta.
πππ