Demi apa gue masih melek jam segini?! Apalagi gue habis pulang dari Menteng. Selama les di Goethe tadi, konsentrasi gue terbagi. Antara penjelasan materi dan penyesalan atas kejadian tadi sore.
Kenapa gue harus sok-sokan mau mengantar Kinan? Pakai acara debat sama cowok songong itu. Gue juga heran sih, kenapa gue nggak suka sama cowok Korea itu? Apa karena dia kepilih buat lomba Sirkuit Nasional Wushu Taolu? Kayaknya gue nggak peduli-peduli banget deh.
Gue takut Kinan jadi salah paham. Apalagi dia cewek yang narsis dan pede sejagat raya. Untung aja besok libur, ada tanggal merah. Jadinya gue bisa menghindari dia.
Prediksi gue salah besar! Sewaktu gue masih tidur pagi-pagi, Emak bangunin gue supaya membukakan pagar. Katanya ada yang datang.
"Raaayyy! Bukain pagar! Bunda lagi repot nih!"
Gila! Apa Emak ketularan suara seriosanya Cutbray ya? Gue sambil mengucek mata, keluar dari kamar. Bunda melongok dari pintu dapur yang masih bisa terlihat dari arah kamar gue. Soalnya cuma terpisah sama ruang tengah kita yang kecil.
"Kamu tuh. Lihat udah jam berapa? Habis salat subuh tidur lagi dan enggak bangun-bangun."
"Ya, kan libur, Bun."
Aku melengos dan membuka pintu. Sumpah, gue nggak lagi mengigau, kan? Gue melihat Kinan berdiri di depan pagar. Padahal penampilannya biasa aja. Dia memakai baju terusan berwarna putih. Rambut selengannya dicepol ke belakang. Benar-benar biasa aja. Namun hati gue nggak biasa.
"Lo pasti masih molor ya?" semburnya.
Ah, gue agak tersadarkan. Kayaknya gue kecapekan, saraf otak gue keganggu. Kayak gue paham saja cara bekerja saraf otak.
"Ngapain lo ke sini? Kangen sama gue?" balas gue.
Kinan buru-buru bergaya memuntahkan sesuatu dari mulutnya. Segitu hinanya diri gue.
"Gue mau ambil pesanan kue. Buruan, buka!"
Gue bergerak membuka pagar dan menguncinya lagi saat Kinan sudah masuk. Ketika kita berjalan masuk ke dalam rumah, gue melihat si kutu kupret sok-sokan menutup hidungnya.
"Lo pasti belom mandi ya? Rambut acak kadut. Belek ke mana-mana. Jorok banget sih?!" hinanya.
"Nggak seharusnya lo ngejelekin orang yang nge-handle pesenan makanan lo. Bisa aja kue yang lo pesen, gue ludahin di adonannya," balas gue.
"Heh, awas aja lo! Itu bukan pesenan gue, tapi—"
"Lho, kirain yang dateng, yang mau ambil pesanan," kata Emak yang baru saja keluar dari dapur. Mungkin dia mendengar keributan kita berdua.
"Aku emang yang mau ambil pesanan, Tante. Mama aku yang waktu itu pesan. Atas nama Bu Esti," jawab Kinan sambil menyalami Emak.
"Oh, iya, iya. Waktu itu si Rojali, satpam SMA tempat Bu Esti ngajar yang kasih tahu biar pesen di sini. Soalnya di SMA situ biasa pesan di sini. Kalian saling kenal?"
"Kita satu sekolah, Tante. Aku juga les sama Om Brian," sahut Kinan.
"Oh, jadi ini ceweknya! Siapa nama kamu, Sayang?" Dih, Emak semringah banget. Cih!
"Kinan, Tante." Ceria banget jawabnya si kutu kupret.
"Sok banget sayang-sayang. Sama anak sendiri nggak pernah," cibir gue.
"Bener, mau Bunda panggil sayang?"
Gue langsung menggeleng kuat-kuat. Emak tergelak. Terus yang bikin gue eneg, Kinan kembali menjual nasib lagi ke depan Emak. Pokoknya Kinan dilimpahi pujian serta doa beribu-ribu dari Emak atas ceritanya yang berhasil menjadi guru privat gue yang profesional. Guru privat apaan? Tukang nyiksa, iya.
“Pantesan nilai di weekly report yang dikirim ke email lumayan ada peningkatan. Biasanya banyak tugas yang nggak terselesaikan, sampe Tante bingung, kok bisa hadir di sekolah tapi tugas nggak dikerjain. Tante harus berterimakasih sama kamu, Sayang. Gimana kalau habis ini Tante masakin masakan kesukaan kamu? Kita makan siang bareng.”
“Maaf, Tante. Aku ada acara habis ini. Kue ini dipesan sama teman Mama untuk acara tunangan anak pertamanya.”
“Yah, sayang banget. Pokoknya lain kali harus ke sini ya. Tante bakal sedih kalau Kinan nolak.”
“Harus sedih banget gitu?” Dari tadi mulut gue gatal banget kepingin komentar. Eh, gue malah dicubit.
Kemudian terjadilah adegan dramatis berkali-kali, yaitu Kinan ingin membantu, tapi ditolak sama Emak. Lelah gue. Tapi kenapa giliran gue yang pengin banget undur diri buat melanjutkan tidur, malah dilirik tajam sama kedua perempuan ini? Apa salah gue?
Gue mau kasih tahu rahasia. Serius, gue malu banget buat mengakuinya. Cailah. Sebenarnya gue senang banget sama pemandangan ini. Emak dan Kinan saling tertawa. Mereka kayak klop banget. Bahkan Kinan menertawakan foto gue waktu SD yang dipamerkan di ruang teve. Gue baru tahu kalau ternyata kita berdua satu sekolah sewaktu SD dulu. Soalnya foto yang digantung Emak di pigura itu foto gue bersama teman sekelas waktu SD dan ada Kinan juga di situ. Ya, nggak heran sih. Rumah kita juga masih satu kelurahan. Kemungkinan satu sekolah itu besar banget.
Namun kebahagiaan ini sirna begitu aja saat si kutu kupret mendapatkan telepon. Beberapa menit kemudian, datanglah mobil mewah dan turun si … cowok Korea! Kok mereka mesra banget ya? Apa jangan-jangan mereka pacaran?
***
Gue akhirnya menemukan tempat ideal buat tidur di sekolah. Di perpustakaan lantai lima, tepatnya di pojokan. Tempat yang jarang dijamah. Kenapa dari dulu nggak kepikiran ya? Padahal enak selonjoran di atas karpet ditemani angin semriwing dari AC.
Gara-gara teman sebangkunya si Cutbray berisiknya minta ampun. Gue nggak bisa tidur dengan tenang di kelas. Mirip tawon. Arrgghh, benci banget gue! Terus di lorong Music Room, nggak enak selonjoran di atas lantai. Punggung gue retak.
Selama gue nggak berisik, gue nggak bakal didamprat sama penghuni perpustakaan. Lumayan, istirahat habis salat zuhur kan cukup lama. Eh, tapi kenapa ada yang nendang-nendang kaki gue ya?
Sewaktu gue membuka mata, gue melihat si kutu kupret. Anjelo! Tahu dari mana dia? Oh iya, kan gue udah pernah usul kalau privatnya diganti di perpustakaan. Padahal gue berniat untuk kabur hari ini, gara-gara kemarin gue melihat Kinan dengan si cowok Korea. Rasanya gue kok kayak kepingin marah-marah. Makanya gue ingin meredakannya dengan tidur. Ah, tidur itu obat untuk segalanya.
"Ini lo ya?" Kinan berjongkok di hadapan gue.
"Apaan sih? Tulisan apaan itu?"
"Ini tulisan lo, Kampreto!" serunya.
Sial, dia ngikutin gue. Nggak kreatif banget. Gara-gara suara menggelegarnya kutu kupret, kita jadi diusir dari perpustakaan. Lagian nggak dikontrol, sih.
"Lo apa-apaan sih?! Bangunin gue buat hal yang nggak penting!" sergah gue.
"Coba baca!" teriaknya.
Gue melihat sebuah diary mini berwarna biru yang kertasnya sudah pudar. Terdapat tulisan yang mirip cacing kepanasan mengukir nama gue. Kayak familiar.
Terus gue lihat di bagian akhir biodata tersebut. Ada pantun.
Kipas-kipas, cari angin.
Pacar lepas, cari yang lain.
"Oh iya, kayaknya ini gue." Gue hanya menyengir. Pantun itu gue kutip dari Om Brian yang waktu itu baru diputusin pacarnya pas SMP atau SMA gitu. Gue lupa.
"Baca yang opini about you," seru Kinan.
Gue agak inget kayaknya. Dulu pas SD anak-anak cewek demen banget keliling kelas bawa diary. Terus anak sekelas diminta satu persatu untuk menulis biodata dan opini mereka tentang orang yang punya diary. Sampai sekarang gue nggak paham apa tujuannya.
"Terus kenapa?" Gue menggaruk kepala gue yang nggak gatal.
"Lo tulis gue agak jelek. Eh, bukan cuma itu. Tulisan 'agak'nya nyempil. Itu artinya, lo tadinya mau bilang kalau gue jelek seratus persen," tuduh Kinan.
"Tapi kan gue tulis di atasnya kalau lo pinter sama baek. Lagian itu udah beberapa tahun yang lalu. Kenapa sih dibahas?"
"Gara-gara tulisan ini, dari dulu gue nggak pede. Gue sampe ngerasa, emangnya gue sejelek itu?" Kinan menunduk dan memainkan lembaran diary mininya.
"Eh, gue itu cuma bercanda dulu. Sori kalau bikin lo sedih. Sumpah! Gue aja kaget kalau yang di foto pas SD itu lo. Soalnya beda banget sama lo yang sekarang."
"Emangnya gue sekarang, kenapa? Tambah jelek? Ya, kan?" cecar Kinan.
Gue nggak menjawab pertanyaannya. Tepatnya, gue nggak berani terus terang kalau dia sekarang sudah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu.