Aku merasa seperti mati suri. Seharian tidur dan nggak bangun-bangun. Apalagi sedang datang bulan. Kemarin sepulang les dari Om Brian, aku sudah merasa agak meriang. Malam-malam badanku panas. Baru ketahuan paginya dan diantar Papa ke klinik. Setelah itu aku tertidur, sampai makan siang yang berada di atas nakas samping tempat tidur masih utuh.
Saat siang tadi aku sempat membuka mata sebentar dan melihat Mama menaruh makanan di kamar. Kayaknya Mama pulang sebentar dan pergi ke sekolah lagi untuk mengajar.
Saat aku melihat jam pada ponsel, ternyata sudah jam tiga sore. Aku keluar kamar sambil berpegangan dengan dinding. Sudah lumayan nggak terlalu pusing. Waktu panasnya tinggi, kayaknya buat berdiri saja nggak kuat.
Setelah buang air di toilet samping kamar, aku kembali ke atas ranjang dan makan nasi beserta lauk yang sudah dingin. Lalu meminum obat. Kemudian aku membuka ponsel dan memeriksa pesan yang masuk. Ada pesan dari Ray. Entah kenapa aku tertawa geli. Soalnya kami memang jarang bertukar pesan. Paling-paling cuma tulisan, "Di mana lo?" "Oiii, buruan! Gue tinggal kalau lelet."
Ray: Oiii, ke mana lo? Masih hidup?
Aku hanya mengirim stiker yang bertuliskan I'm okay. Tanpa kusadari, kedua mataku terpejam sambil memegang ponsel.
***
Lagi-lagi aku tertidur. Sudah jam lima sore. Aku harus bangun, kalau nggak nanti malam kedua mataku terang benderang. Sepertinya aku sudah lumayan membaik.
Saat aku ingin minum, ternyata teko air di dalam kamar sudah kosong. Aku memutuskan untuk beranjak ke dapur.
Sudah jam lima, artinya Mama dan Papa sudah pulang sedari tadi. Akan tetapi saat aku melihat ke ruang tengah dari arah dapur, nggak ada siapa-siapa. Biasanya Mama dan Papa menonton di sana sambil tiduran di atas karpet atau sofa. Keduanya sering berebut, antara menonton berita sesuai keinginan Papa, atau sinetron India favorit Mama.
Namun sepertinya aku mendengar suara nyaringnya Dayana dari depan. Kemudian terdengar suara orang mengobrol dari ruang tamu. Sambil membawa segelas air, aku pergi ke ruang tamu untuk melihat siapa di sana.
Refleks aku menyemburkan air yang baru saja kuminum. For God's sake! Kenapa Ray ada di sini?!
"Lho, ini anaknya udah bangun. Teman kamu katanya mau jenguk. Siapa tadi namanya?" tanya Mama.
"Ray, Tante." Ray hanya tersenyum, lalu kembali menunduk malu.
Cih, sejak kapan dia malu-malu kucing? Oh, pasti dia habis ketemu Papa. Aku mengintip dari pintu, Papa sedang menyiram tanaman di halaman. Aduh, aku bakal diinterogasi sama Papa nggak ya? Kenapa sih Ray pakai acara datang ke rumah?
"Adek udah enakan? Sini, duduk temenin Ray. Ray bawain semangka buat Adek tuh." Mama menepuk bantalan sofa di sampingnya.
"Udah enakan, Ma." Aku duduk sambil merapikan beberapa helaian rambutku.
Pasti rambutku sudah menyerupai singa. Sudah gitu, aku belum mandi pula. Lalu Mama pergi meninggalkan kami berdua membawa semangka yang dilapisi plastik hitam. Lalu Mama kembali menawarkan es sirup yang kini tak kunjung diminum oleh Ray.
"Kirain gue lo sekarat,” celetuk Ray setelah Mama pergi.
"Lo seneng ya ngelihat gue sekarat?" Aku melihat kedua mata Ray yang menyerupai emoticon yang bermata garis menanggapi ucapanku.
Kami sempat terdiam beberapa saat sampai Ray membuka ranselnya dan mengeluarkan sebuah buku.
"Ini buku buat lo. Di Goethe biasanya pake ini. Coba aja pelajarin dulu." Ray menaruh buku itu di atas meja.
"Emang ini punya siapa? Berapa harga bukunya?" Aku segera mengambil buku itu dan mendekapnya. Takut nanti Papa datang dan melihatnya.
"Nggak usah. Udah lo pake aja," sahut Ray.
"Ya, nggak bisa gitu lah! Berapa? Biar gue bayar."
"Lo mau gue pecat dari guru privat?”
Aku memelotot ke arahnya. Terus percakapan kami terhenti saat Papa datang dari arah pintu.
"Sudah mau magrib," katanya dengan wajah datar, tapi terasa mencekam.
Ray buru-buru beranjak dari duduknya. "Saya pamit dulu, Om. Terima kasih atas suguhannya." Ray menyalami Papa.
"Lho kok udah mau pulang?" Mama datang tergopoh-gopoh dari arah belakang.
"Iya, Tante. Udah mau magrib." Ray menyalami Mama sambil melirik Papa.
Aku hanya bisa menahan tawa.
***
Padahal aku yakin kalau sudah sembuh. Namun entah kenapa saat pelajaran Bahasa Indonesia, kepalaku seperti ditusuk-tusuk.
Ketika bel istirahat berbunyi, aku beranjak ke kelas Ray. Aku harus membayar buku yang dia bawa kemarin. Beserta kertas-kertas materi dari Om Brian yang dia print.
Belum saja aku masuk ke kelas, aku melihat Ray keluar dari ruang guru. Aku berjalan menghampirinya.
"Lo habis dihukum ya?" tuduhku.
"Anda asistennya Miss. Deli?" sindirnya.
"Eh, bentar. Gue mau bayar buku yang kemaren. Sama kertas yang lo print waktu itu. Berapa semuanya?"
Bukannya menjawab, Ray malah memperhatikanku. "Lo kok pucet banget?" Ray menaruh telapak tangannya di keningku. Aku menepisnya.
"Lo masih panas, beg—eh, kutu kupret! Kenapa ke sekolah, sih?!" protesnya.
"Gue nggak kenapa-napa kok."
Kemudian Ray menarik tanganku untuk pergi ke klinik di gedung satu.
"Jangan pingsan dulu. Gue nggak kuat gendong lo. Pasti lo lebih berat dari gas elpiji," sungutnya.
"Siapa yang sudi digendong sama lo?" ucapku dengan nada yang semakin melemah.
***
Sepulang sekolah, Ray datang kembali ke klinik. Kali ini dia datang bersama Dayana. Tiba-tiba Dayana memukul lenganku.
"Lo nggak berperasaan banget sih! Mukul temen lo yang lagi sakit. Gue baru aja bangun padahal," protesku.
"Udah bisa ngomel artinya lo udah sembuh," balasnya. "Lo kebanyakan belajar sih, jadi sakit. Katanya pas weekend lo sampe rumah pas azan isya. Lo juga kenapa ngajak dia belajar sampe weekend sih? Emang nggak cukup di sekolah aja?" Kali ini Dayana memukul lengan Ray.
Ray membungkam mulutnya saat aku memelototinya.
“Kenapa? Ngomong aja! Lo masa takut sama pelototan dia?!” Dayana menarik kerah seragam Ray.
Dokter di klinik memarahi Dayana dan Ray yang membuat keributan. Mereka langsung membawaku keluar dari klinik.
"Lo kok nggak pernah cerita sih? Sekarang lo gitu ya. Sakit nggak bilang-bilang. Gue tahunya dari Ray kalau lo di klinik. Temen gue itu lo apa Ray?” cecar Dayana.
Lalu Dayana menyipitkan kedua matanya. “Jangan-jangan lo berdua pacaran?”
Sontak aku berteriak. “Gila! Sama sekali nggak, Day!”
Namun Dayana sepertinya sudah terlanjur kesal. Dia menghempaskan tanganku dan pergi. Biarlah nanti aku mendatanginya di rumah. Kalau dia sudah baikan.
"Dia aslinya kalau ngomel gitu. Tapi cuma sama gue doang, sama yang lain jarang," cetusku.
"Iya, sih. Gue jarang lihat Cutbray marah," sahut Ray.
"Maaf ya, lo jadi dibawa-bawa."
"Santai. Gue paham kok, Cutbray khawatir sama lo. Nggak seharusnya lo kalau istirahat bareng gue terus. Si Cutbray ngerasa kehilangan lo. Ya, gue juga nggak ngerti-ngerti amat sih temenan antara cewek."
Aku terkekeh. "Emangnya lo sama Gamal nggak kayak gini?"
"Boro-boro. Jangan samain deketnya lo sama Dayana, kayak gue sama Gamal. Kalau cowok kayaknya nggak gitu-gitu amat. Lo tahu sendiri kalau istirahat, gue di mana, dia di mana."
"Lo ngapain sih pegang tangan gue terus?" tunjukku ke arah tangan kami yang saling bertautan.
"Jangan ge-er! Lo lagi sakit, gue takut lo pingsan. Kalau ada tali, gue iket lo biar nggak jatoh."
Aku tergelak mendengarnya. Sepertinya aku bakal cepat sembuh mendengar leluconnya Ray.
"Ki, lo habis dari klinik? Lo sakit?" Tiba-tiba saja Ibra datang menghampiri kami.
"Iya, tapi udah mendingan." Refleks aku menarik tanganku yang dipegang oleh Ray.
"Ya udah pulang bareng aja. Jangan naik angkot, nanti lo kenapa-napa," tawar Ibra.
Di saat Ibra ingin mengambil tanganku, Ray sontak berkata, "Dia pulang sama gue. Gue bawa motor."
"Pake motor bahaya. Kalau dia jatoh, gimana?" sahut Ibra.
"Dia kan udah gede, bukan balita," balas Ray.
Aku memegang pundak Ray. "Udah, Ray. Gue pulang sama dia aja. Bukannya lo ada les di Goethe habis ini?"
"Tapi gue bisa—"
"Nanti lo telat. Thank's ya, udah anterin dan jemput gue dari klinik." Aku melambaikan tangan kepadanya.
Namun ketika aku berjalan bersisian dengan Ibra, aku berkata, "Gue naik angkot aja. Nggak usah sok peduli."
"Please, Ki. Gue mau ngajak lo makan di luar. Ada yang mau gue omongin. Soal kita. Nggak bisa kita kayak gini terus."
"Gue lagi sakit."
"Katanya lo udah mendingan. Apa mau ngobrol di rumah lo?"
"Jangan!" Baru saja kemarin Ray ke rumah. Masa sekarang Ibra? Kalau dia datang sama Tante Astri sih nggak apa-apa. "Oke, jangan lama-lama. Magrib udah di rumah."
"Gue hafal kok soal itu," sahutnya.