Saat aku mendengar Mama masuk rumah sakit, kedua lututku seakan lemas. Aku nggak bisa nangis, tapi pikiranku kosong. Seakan suara yang masuk hanya seperti bayangan berkelabatan.
Seharusnya aku mengucapkan terima kasih kepada Ray. Namun aku berlalu begitu saja. Besok saja-lah kalau kami bertemu di sekolah.
Aku menelepon Papa ketika sampai di depan ruang IGD. Papa keluar masih mengenakan seragam PGRI-nya.
"Kok tiba-tiba Mama nge-drop gini, Pa?" tanyaku.
"Biasa. Mama kalau lagi ada masalah suka terlalu dipikirin. Nggak bisa mendengar kabar buruk," terang Papa.
"Emang Mama ada masalah apa, Pa?"
"Masalah sekolah. Mama udah nge-drop dari kemarin. Cuma dipaksa masuk sekolah. Jadi begini. Ya udah kalau mau masuk, masuk aja."
Aku baru teringat kalau kemarin aku pulang larut malam. Papa bilangnya kalau Mama sudah tidur, tapi nggak bilang kalau lagi sakit. Mama dan Papa sering seperti ini. Mereka jarang memberi tahu kepada anak-anaknya kalau sedang sakit. Pasti Papa dan Mama melarangku untuk memberitahu Kak Mira tentang kabar ini.
Di saat aku membuka pintu IGD, aku melihat beberapa penjaga di balik meja panjang dekat pintu. Ada juga dokter yang hilir-mudik memeriksa pasien. Sepertinya baru saja ada pasien yang datang.
Posisi Mama nggak jauh dari pintu masuk. Aku menyibakkan gorden dan melihat selang pernapasan pada hidung kecil Mama yang persis denganku. Selang infus tertanam pada tangannya yang urat-uratnya terlihat pada pergelangan tangan. Tangan Mama yang pucat membuat urat-uratnya terlihat kontras.
Mama terbangun saat aku datang dan tersenyum. Aku yakin pasti asma Mama kambuh. Penyakit asma ini keturunan dari keluarga Mama dan menurun kepadaku. Cuma ketika aku kecil, Mama dan Papa sigap memberikan terapi untukku di rumah sakit. Jadinya aku berhasil sembuh. Meskipun aku masih sedikit sensitif dengan debu. Sedangkan Mama ketika kecil nggak mendapatkan pengobatan yang baik, karena biayanya mahal. Jadi masih sesekali kambuh.
"Mama udah makan?" Hanya kata-kata itu yang bisa keluar dari mulutku.
"Udah."
Mama nggak bisa banyak bicara. Dadanya terlihat naik turun seperti berusaha menangkap oksigen yang masuk. Aku hanya membenarkan letak selimut. Lalu duduk di sebelah Mama di atas undakan tangga kecil, karena nggak ada tempat duduk. Katanya tadi Papa pergi keluar untuk membeli roti dan buah.
***
Akhirnya Mama dirawat inap, karena masih belum membaik. Aku pulang diantar Papa menggunakan mobil. Papa hanya mengambil pakaian ganti untuk Mama dan selimut yang lebih tebal, karena AC di sana terlalu dingin untuk Mama.
"Adek nggak usah ikut lagi. Besok harus sekolah. Baru besoknya ke rumah sakit habis pulang sekolah. Tapi kalau ada belajar bareng, nggak usah ke rumah sakit nggak apa-apa," pesan Papa.
Aku hanya mengangguk. Lalu aku melihat Dayana yang datang dari pagar. Dia menyalami Papa saat berpapasan.
"Gue nanti malam nginep di sini ya. Nanti gue bawain makan malam. Kata Mama, lo besok sarapan di rumah gue." Dayana merangkul lenganku seraya masuk ke dalam rumah.
Bukannya ke kamar, aku menghempaskan tubuhku di atas sofa ruang tamu. Sedangkan Dayana sibuk berjalan-jalan. Sepertinya dia mengambil makanan, beserta perlengkapan untuk menginap. Walaupun dia sering memakai baju tidurku, hanya saja dia pasti membawa boneka sapi kesayangannya.
***
Aku terkejut melihat Ray berjalan masuk ke dalam kelas dan menghampiriku yang duduk di baris kedua dari dekat pintu. Lalu aku menghentikan aktivitasku yang sedang berkutat dengan buku Biologi.
Ray menyodorkan sebuah tumpukan kertas yang sudah distaples.
"Om Brian ngirim rangkuman catatan buat lo belajar. Ada soal-soal latihan juga. Nih gue print buat lo," ujar Ray.
"Oh, thank's ya. Makasih juga buat kemaren."
Ray mengangkat kedua alisnya. Namun sebelum dia pergi, aku mengatakan, "Nanti gue enggak bisa les, tapi kita tetep belajar bareng nanti siang ya."
"Iya, tahu kok. Belajar aja dulu yang gue kasih." Kemudian dia berjalan keluar kelas.
Sepeninggalan Ray, aku membuka-buka catatan dan soal-soal latihan. Banyak juga ternyata. Harusnya tadi aku menanyakan kepada Ray harga print kertas ini. Nanti deh waktu istirahat.
"Lo belajar bahasa Jerman?"
Aku menengok ke belakang. Mau tahu banget si Carissa. Pasti dia mengintip saat aku membuka-buka kertas ini.
"Iya." Aku berharap dengan jawaban singkat, dia nggak bakal mengajukan pertanyaan lain. Namun aku salah.
"Lo mau kuliah di Jerman? Cowok tadi juga?"
"Gue masih belom tahu. Si Ray yang udah pasti."
"Cowok tadi setahu gue yang suka dipanggil pelor di kelas XI Commerce-1 deh. Nggak nyangka mau kuliah di Jerman," sambung Rania.
"Pelor?" tanya Carissa.
"Iya, nempel dikit molor. Tukang tidur," sahut Rania.
"Lo kenapa belajar sama dia? Kenapa nggak les di Goethe aja kayak Dominic anak kelas sebelah?" cerocos Carissa.
“Masa lo yang sering juara kelas belajar sama tukang molor?” cibir Rania.
Bagaikan asap kereta api yang ada di film-film. Seperti itulah kepalaku saat ini.
"Emangnya kenapa kalau belajar sama Ray? Dia juga mau les di Goethe kok. Cuma dia belajar dulu sama omnya yang lulusan Jerman supaya pas masuk Goethe nggak bodoh-bodoh banget. Jadi nggak buang-buang duit buat ngulang ujian." Ah, kenapa sih aku harus ngomong panjang lebar gini sama dua orang sombong ini?
Untung saja homeroom kami segera datang. Enyahlah percakapan kami.
***
Ada yang aneh. Tiba-tiba Ray jadi agak serius belajar. Biasanya dia menguap berkali-kali sampai aku melempar tisu ke mulutnya yang mirip kuda nil. Lalu dia akan berteriak, “Seminggu gue privat sama lo, gue bisa sakit amandel.” Kemudian dia akan izin ke toilet dan nggak kembali lagi. Sampai aku capek banget mengejar-ngejar dia. Biasanya cewek di film-film remaja itu mengejar cinta, sedangkan aku mengejar anak setan.
“Nih, gue udah selesai.” Ray menyodorkan bukunya.
Masih ada beberapa yang salah, tapi setelah kuterangkan kembali dan dia mencobanya lagi, jawabannya menjadi benar semua. Ternyata benar kata Mrs. Zalina, Ray ini anaknya pintar. Dia kayaknya sengaja membuat nilai-nilainya jelek dan nggak serius. Aku tahu dia begini, karena perceraian orangtuanya. Tapi aku melihat ayahnya sangat peduli padanya, bahkan masih membiayainya dan menjalin hubungan. Ah, jangan sampai aku bertanya soal ini kepada Ray. Nanti dia kabur lagi. Padahal udah sedikit jinak sekarang.
“Besok kalau lo mau izin nggak privat dulu, nggak apa-apa. Lo fokus sama emak lo aja,” ujar Ray.
Oh, ternyata dia nggak berulah, karena peduli sama keadaanku. Dia bisa manis juga ya.
“Nggak apa-apa kok. Lagi pula besok sore boleh pulang ke rumah kata dokter. Oh iya, gue mau balikkin jaket lo. Besok-besok gue bawa jaket sendiri deh. Nggak enak ngerepotin lo terus.”
“Untung nyadar.”
Ih, ralat ya! Dia sama sekali nggak manis!
***
"Ki, pagi-pagi udah mau belajar aja!" panggil Dayana. Dia berlari dari teras untuk menghampiriku.
"Mau kursus dulu, baru belajar bareng." Aku nggak memberitahu Dayana kalau ada privat tambahan di café. Dia tahu sih kalau aku les Bahasa Jerman dengan Om Brian, tapi dia nggak tahu kalau Ray membayar privat kepadaku. Nanti kalau dilaporin ke Mama dan Papa aku bisa diceramahi, “Kinan! Kita memang bukan dari keluarga yang kaya, tapi kamu nggak usah segitunya cari uang. Nanti kalau kamu dikira melorotin uang temen kamu, gimana?” Ah, ribet pokoknya.
"Yah, padahal gue kepingin banget lo ikut."
"Kan banyak yang lain. Ya udah gue cabut. Have fun ya."
Meskipun aku dan Dayana bersahabat, tapi dunia kami berbeda. Duniaku kosong. Aku seperti memiliki sahabat, tapi orang-orang seakan berusaha mengambilnya dariku.
Akan tetapi semenjak ada Ray, entah kenapa kekosongan itu terisi. Walaupun dia terlihat cuek dan suka ngomel-ngomel, tapi dia baik. Seenggaknya dia tulus, nggak palsu kayak yang lain. Aku pun tersenyum ketika melihatnya sudah duduk di dalam ruangan kelas.
Tuh kan baik. Saat pulang kursus, dia malah ingin mengantarku ke Senja Cafe. Tentu saja dengan alasan, "Ya, masa lo naik angkot? Kita kan searah. Lagian nanti lo minta tariff tambahan lagi.”
Tahu nggak? Ray hari ini berubah jadi anak setan lagi! Masa aku lagi menjelaskan materi Bahasa Indonesia, bisa-bisanya kedua matanya terpejam. Terus sewaktu dia ke toilet, aku membuntutinya dan dituduh cewek mesum. Ya kan, aku takut kalau dia kabur lewat jendela toilet. Saking kesalnya, saat dia membuka aplikasi game laknat itu padahal aku berusaha serius menjelaskan materi, aku pura-pura nggak sengaja menumpahkan es teh milikku.
“Woy! HP gue rusak!”
“Tinggal beli HP baru. Kan katanya lo banyak duit.” Aku melahap kentang goreng dengan santai.
“Iya, belinya pake gaji lo yang gue potong.”
“Eh, jangan begitu dong. Sini gue bersihin HP-nya. Gue jamin HP-nya nggak rusak.”
Aku mengambil ponselnya. Aku benar-benar mengelapnya, tapi nggak aku kembalikan kepada Ray.
“Lo ngambil paksa HP ini, gue bakal teriak kalau lo berusaha mesum sama gue. Inget kejadian di angkot? Kira-kira Om Brian lebih percaya sama gue atau lo?” Aku mengacungkan ponselnya dan langsung berkelit saat Ray berusaha menggapainya.
Untung saja Om Brian banyak menolongku untuk menjinakkan Ray. Lalu setelah itu kami belajar Bahasa Jerman. Dan kayaknya Ray lebih nurut dengan Om Brian ketimbang ayahnya.
“Kamu hebat, Nan, bisa bikin Ray mau diajarin sama kamu,” puji Om Brian saat Ray ke toilet. Kalau dipikir-pikir tuh anak beser juga ya. Ketularan Gamal kali ya.
“Om yang lebih hebat bisa sabar sama Ray.”
“Tapi baru kali ini dia mau rutin datang les sama om. Biasanya jarang datang dan HP-nya dimatiin. Pokoknya menghilang. Tapi emang sih dari ke sekian yang mengajar privat, cuma sama Om dia masih bertahan. Eh, sekarang ada orang yang lebih hebat lagi. Itu kamu, Nan.”
“Ah, Om bisa aja.”
“Om jadi penasaran. Jangan-jangan Ray ada rasa sama kamu.”
Aku segera menggeleng dengan cepat. Jangan sampai. Jangan sampai kejadian aku dengan Ibra terulang kembali dengan Ray. Aku sangat senang kalau bisa berteman dengan Ray, tapi nggak lebih. Apalagi kalau aku sengaja membuatnya jatuh cinta, tapi nyatanya aku nggak cinta, dia akan menjauh. Seharusnya misi ini kan untuk membuatku menjadi alasan dia memperbaiki nilainya, bukan menjatuhkan semangatnya.
Akhirnya aku selesai saat jam enam. Sebelum pulang, aku menumpang salat terlebih dahulu. Aku sih sudah izin sama Papa. Untung diperbolehkan setelah aku membujuknya. Apalagi untuk mengajarkan Ray butuh waktu yang lama. Iya, lama karena kebanyakan ke toilet-lah, tidur-lah. Kuatkan aku, ya Allah.
"Eh, kalau gue les di Goethe, lo nggak apa-apa belajar sama Om Brian sendirian?" tanya Ray saat kami berjalan menuju motor di parkiran.
"Ya, nggak apa-apa kali. Gue juga bukan anak kecil. Bisa ke sini sendiri."
"Siapa yang mau nganterin lo? Jangan ge-er! Selama ini gue cuma sekalian jalan."
"Iya, iya."
“Tapi Sabtu-Minggu kita tetep belajar bareng di sini. Cuma kayaknya kursus ngaji agak bentrok. Jadinya gue pindahin kursus ke hari Sabtu aja, dua jam sekaligus.”
“Gue nunggu lo sejam dong? Ah, bisa ngantuk gue.”
“Ya udah lo ke café duluan aja sana.”
“Nggak mau ah, irit ongkos. Apa gue pindah jam kursus juga ya biar sama kayak lo?”
“Jangan bilang karena gue ya. Nanti kita disangka pacaran sama Ustazah Nuri.”
“Ih, mikirnya kejauhan!”
Seperti biasa, aku meminta Ray untuk menurunkanku di depan gang rumah. Akan tetapi aku menyuruhnya untuk menungguku sebentar. Aku membelikannya beberapa tahu jeletot di Abang gerobak yang mangkal dekat gang.
"Bayarannya murah amat," cibirnya.
Aku hanya tergelak dan melambaikan tangan kepadanya. Namun saat aku melihat ke depan rumah, ada sebuah mobil Yaris berwarna merah terang terparkir. Seperti familiar.
Ternyata benar dugaanku. Ada Tante Astri, maminya Ibra. Ah, Ibra juga ada di sini lagi. Sepertinya mereka sedang menjenguk Mama.
"Eh, Kinan udah dateng. Katanya habis belajar bareng ya? Kamu itu belajar terus, sampe pas libur aja belajar," sambut Tante Astri.
Aku menyalaminya dan tersenyum kikuk kepada Ibra yang duduk di sampingnya. Mereka semua duduk di ruang tengah. Mama masih dalam keadaan tidur di atas sofa panjang dan ditutupi selimut.
Penampilan Tante Astri seperti biasa, cetar membahana. Alis bagaikan celurit, kelopak mata gemerlapan, pipi merah merona, lalu bibir dipoles dengan warna favoritnya, merah terang benderang. Kebetulan itu warna favoritnya Mama juga. Inilah salah satu alasan mereka berteman dan sangat solid. Ya, sama-sama hebring.
"Lo belajar bareng temen-temen sekelas?" tanya Ibra.
Aku hanya mengangguk.
“Bukannya katanya lo priv—“
Aku memelotot kepdanya.
"Gimana, katanya Kinan mau nyusul kakaknya di Oxford?" tanya Tante Astri.
"Mau nyoba apply ke yang lain juga, Tante. Buat jaga-jaga."
"Ah, Tante yakin kamu mah pasti lolos."
"Katanya Kinan juga mau ke—"
Aku memelotot ke arah Ibra dan menggelengkan kepala. Ah, kenapa sih dia harus tahu?