“Kamu tahu, Ray? Pelajaran Math itu susah! Walaupun kamu melek juga belum tentu bisa!” teriak Mrs. Shelly.
Kayaknya udah ke sekian kali gue diseret ke ruang guru setelah pelajaran Math.
“Mrs, kalau gitu saya tidur atau nggak belum tentu bisa, kan?”
“Siapa yang bilang?!”
“Lho tadi, Mrs, yang bilang.” Kenapa sih orangtua kalau ngomel suka lupa sama apa yang dia bicarain barusan?
Gue tahu kalau Mrs. Shelly kepingin banget menghajar gue. Kedengaran dari deru napasnya, matanya yang sebentar lagi melompat keluar, dan kedua tangannya yang mengepal sampai urat-uratnya terlihat. Terus gue nggak sengaja melirik ke arah pintu dan gue melihat Kinan sedang membawa tumpukan buku bersama Mrs. Zalina.
“Kamu udah kelas sebelas dan saya nggak mau kasih kamu hukuman menulis 'I promise I will never do it again' sebanyak lima puluh kali. Itu sama sekali nggak mempan!”
Lalu Mrs. Zalina mendatangi kami. Dia berusaha menenangkan Mrs. Shelly. Entah kenapa Kinan juga ikutan datang.
“Emangnya ada masalah apa?” tanya Mrs. Zalina.
Akhirnya Mrs. Shelly menceritakan kejadian di kelas. Sebenarnya kalau masalah gue tidur itu udah biasa. Maksud gue, udah biasa kena semprot. Gue juga biasa diseret ke ruang guru untuk diberi hukuman seperti yang Mrs. Shelly bilang tadi. Cuma tadi gue sewaktu dibanguni oleh Mrs. Shelly jawabannya, “Ih, berisik banget! Dasar, tante girang!” Tentu aja sekelas kaget. Eh, tunggu! Gue ada penjelasannya. Jadi gue lagi mimpi menginap di rumah Bapak’e yang ditinggali bersama keluarga barunya. Di kejadian nyata, dulu gue emang pernah menginap di sana dan gue kesal banget sama mamanya Bunga. Resek banget! Masa membangunkan orang kayak lagi meneriaki maling? Makanya gue bilang, “Tante girang.” Mau tahu respon Bapak’e dan tante girang itu? Sama kayak Mrs. Shelly sekarang, tapi lebih parah. Dan entah kenapa tadi gue mimpi kejadian buruk itu lagi.
Gue bisa melihat Kinan menahan tawanya kala Mrs. Shelly menceritakannya. Pastinya hanya sebentar. Mana berani dia tertawa terbahak-bahak.
“Ray nggak mau menjelaskan alasan bilang seperti itu?” tanya Mrs. Zalina.
Apa gue jujur aja? Akhirnya gue menceritakan sebenarnya. Eh, malah gue kena semprot lagi oleh Mrs. Shelly. Kemudian gue terselamatkan oleh bel istirahat.
“Udah, Ray, Kinan, kalian balik ke kelas. Untuk Ray, pulang sekolah kamu harus ke ruang guru lagi,” ujar Mrs. Zalina.
Gue keluar ruangan dengan bersiul sambil membayangkan, kira-kira gue mendapatkan hukuman apa ya? Gue sempat melirik dan melihat Kinan sedang membisikkan sesuatu kepada Mrs. Zalina. Ah, nggak peduli. Gue kepingin tidur lagi.
Ternyata harapan gue pupus. Tahu nggak kenapa? Gue ditimpuk sepatu sama si kutu kupret. Di kepala lagi. Ya Allah, apa salah gue ya? Tadinya gue mau diam aja, tapi dia menyemprot gue dengan saus. Gila, sejak kapan dia bawa-bawa saus? Mau gimana lagi? Gue kejar si kutu kupret. Gue udah mirip rakyat terluka yang sedang mengejar penjajah. Tanpa sadar, gue udah mengejar si kutu kupret sampai ke Green Field. Terus kami berputar-putar.
Tadinya gue udah mau merelakan kemeja batik gue yang berlumuran saus. Eh, si kutu kupret malah menimpuk kepala gue dengan bola basket. Sial! Sakit banget lagi! Dia lari ke arah kolam renang. Gue nggak tahu kalau ada malapetaka lain akan datang. Gue disiram pakai selang kran! Basah kuyup pokoknya!
“Bersihin bekas sausnya sekalian!” teriak Kinan sambil tertawa.
Tanpa aba-aba gue menarik Kinan dan menjatuhkan diri bersamanya ke kolam renang. Gue nggak peduli dengan teriakannya.
“Maksud lo apa dari tadi, hah?” Gue berusaha mengatur napas.
“Supaya lo nggak ngantuk di kelas. Gue tahu lo itu males gerak, makanya badan lo nggak fit terus. Dan lo bukan model yang bakal ngedengerin nasihat orang. Gue lagi eksperimen, ternyata benar. Lo lebih ampuh kalau pake cara kayak gini.”
“Lo gila ya?! Terus kalau basah kayak gini gimana gue bisa masuk kelas?!”
“Nanti siang bukannya ada pelajaran PE? Gue inget soalnya Dayana tadi pagi bawa baju olahraga.”
“Terus lo sendiri?” Eh, kenapa gue jadi peduli sama dia?
“Gue bakal minjem bajunya Dayana. Kan dia mau pake baju olahraga.”
Sewaktu Kinan keluar dari kolam renang, gue menyadari sesuatu yang seharusnya gue nggak lihat. Biasanya seragam renang sekolah untuk siswi memakai celana dan bahannya yang udah disesuaikan supaya nggak terlalu mencetak tubuh. Kelihatan juga dari pergerakan Kinan yang berusaha menutupi tubuhnya.
“Mending lo tunggu di ruang ganti. Biar gue panggilin si Cutbray ke sana. Nanti gue titipin jaket punya gue.”
***
Untung aja selama perjalanan, Kinan terdiam. Hari ini dia udah membuat gue kesal, tapi ternyata lumayan ampuh. Soalnya lari-lari mengejar dia ternyata berhasil mengeluarkan banyak keringat. Jadinya gue nggak letoy sewaktu pelajaran PE. Paling mengejutkannya, gue nggak tidur sewaktu pelajaran Bahasa Indonesia yang membosankan!
Sebelum kami berangkat ke café Om Brian, Kinan menyeret gue buat meminta maaf kepada Mrs. Shelly. Gue nggak punya pilihan, karena dia mengambil ponsel gue. Lain kali gue harus waspada di dekatnya. Eh, yang nggak gue sangka, Mrs. Shelly maafin gue gitu aja. Ya, gue menurut apa yang disuruh Kinan. Katanya gue nggak boleh menatap kedua mata Mrs. Shelly, kepala gue menunduk, suara gue harus pelan seakan penuh penyesalan, dan ditambah janji nggak akan mengulanginya lagi. Gue baru tahu kalau dengan cara begini bisa membuat orang memaafkan gue begitu aja. Lain kali gue coba ke Bapak’e ah. Tapi gue nggak sudi sih.
Setelah sampai, gue baru tahu penyebab Kinan diam selama perjalanan. Dia membaca rangkuman di ponselnya.
"Besok ada worksheet Biologi."
Gila tuh cewek. Gue selama ini setiap ada worksheet atau formative, jarang belajar. Bukan jarang ding, nggak pernah.
"Mas Brian lagi keluar sebentar. Disuruh nunggu di atas langsung." Marlina memberikan kunci setelah gue sama Kinan masuk cafe.
Sewaktu kita sudah masuk di tempat Om Brian, si kutu kupret belajar lagi. Kali ini pakai buka buku di atas meja dapur. Bikin gue ngantuk, padahal cuma lihat dia belajar.
"Oh iya, lo kalau mau ikut ke Bandung sama si Cutbray, ikut aja lagi. Privatin gue bisa ditunda," ujar gue.
Kinan mendongak dari bukunya. "Bukan itu alasan gue nolak. Anak-anak choir lainnya nggak ikhlas kalau gue ikut."
"Kenapa gitu?"
Kinan mengembuskan napas. "Bukannya gue terkenal sombong, nggak suka bergaul, kalau ada maunya aja baru ngomong?"
"Gue setuju sih." Eh, gue malah dilempar sama tempat pensilnya.
"Iya, gue tahu. Tapi gue nggak bermaksud untuk sombong. Gue ... gue itu ... bingung. Gue nggak punya barang-barang bagus kayak temen-temen lainnya. Gue nggak bisa hangout di tempat bagus juga. Soalnya uang jajan gue nggak sebanyak mereka."
"Tapi Dayana pede-pede aja," sanggah gue.
"Walaupun rumah kita sebelahan, tapi secara keuangan beda, Ray. Meskipun orang tuanya PNS sama kayak orangtua gue, beda bidang kerjaannya juga sih. Cuma orangtuanya termasuk dari keluarga yang kaya. Banyak warisan. Terus suami kakaknya pengusaha kaya. Mereka tinggal di sana, karena kakaknya nggak boleh jauh dari orang tuanya. Kakak iparnya ngemanjain Dayana banget,"
"Sedangkan orangtua gue bukan dari keluarga kaya. Mereka usaha dari nol dan sering ngebantu keluarga. Walaupun ujung-ujungnya ditipu sama keluarga sendiri. Belum lagi harus ngirim duit ke kakak gue yang kuliah di Oxford. Meskipun dia dapet beasiswa. Ya, namanya juga orangtua khawatir sama anaknya yang jauh. Makanya gue bertekad banget kepingin dapet beasiswa supaya gue nggak nyusahin Papa dan Mama. Gue sayang banget sama mereka dan mau membuat mereka bangga sama gue," lanjut Kinan.
Ah, lagi-lagi gue merasa tertampar. Selama ini gue santai menjalani hidup. Bahkan kata orang, gue itu kayak nggak mikirin masa depan. Meskipun Emak cuma menerima katering dan pesanan kue, tapi Bapak'e yang menanggung biaya sekolah, uang saku, dan yang berhubungan dengan gue.
Emaknya Bunga kaya. Bapak'e kaya. Jadi nggak masalah membiayai gue walaupun ada si Bunga bangkai. Apalagi selain bisnis properti, Bapak'e punya beberapa bisnis lainnya. Kayak jualan makanan hewan, terus pupuk tanaman, dan segala yang berhubungan dengan keduanya. Laris banget, dari banyak yang datang ke toko sampai pesanan online. Pegawainya juga sudah banyak.
Bapak'e berprinsip kalau perceraian dengan Emak nggak seharusnya merugikan gue. Makanya dia masih menanggung semua biaya gue. Soalnya sebelum bercerai, Emak nggak kerja dan cuma jadi ibu rumah tangga. Bapak'e dan Emak pisah, karena berbeda prinsip hidup. Gue nggak tahu pastinya. Mereka cuma bilang, "nanti kalau kamu udah dewasa, baru akan ngerti."
Mereka jarang berantem. Tanpa gue sadari, mereka tahu-tahu pisah kamar. Jarang berbicara satu sama lain, kecuali sama gue. Sampai mereka sudah cerai pun masih tinggal satu rumah. Hingga Bapak'e kepincut sama emaknya Bunga, baru mereka pisah. Emak membawa gue tinggal bersamanya di rumah yang lebih kecil. Selama itu gue sering melihat Emak melamun sambil melihat foto keluarga kita dulu, yang ternyata masil disimpan diam-diam di dompetnya. Sampai gue pernah melihat Emak duduk di meja makan dan di depannya ada kue ulang tahun. Gue tahu kalau Emak maupun gue lagi nggak ada yang ulang tahun. Gue baru ingat hari itu adalah anniversary pernikahan Emak dan Bapak’e. Gue juga melihat Emak berusaha menghapus air matanya dan menyuruh gue memakan kue tart yang dibuatnya.
Tiba-tiba lamunan gue buyar saat Om Brian datang. Seperti biasa, dia membawa dua minuman dan camilan buat kita. Kinan selalu bersemangat belajar. Gue? Selalu kena tampolan spidol dari Om Brian.
Namun di tengah-tengah kita sedang belajar, Kinan mendapatkan telepon. Dia izin keluar untuk mengangkatnya. Lalu sekembalinya, wajahnya kelihatan pucat.
"Om, aku izin pulang duluan ya. Mama masuk rumah sakit."
"Ya ampun. Iya, iya. Udah kamu beres-beres. Ray cepat antar Kinan," seru Om Brian.
"Nggak usah, Om. Aku bisa naik ojek," sahut Kinan.
Gue nggak menggubris perkataannya. Segera gue memakai jaket dan menyambar kunci motor. Gue tarik tangannya Kinan.
Selama di perjalanan, gue melihat tatapan Kinan kosong dari kaca spion. Gue takut dia kesambet. Mana lagi magrib pula. Banyak setan gentayangan.
"Dirawat di mana?" tanya gue.
Tuh kan, dia bengong. Gue mesti mengulangi pertanyaan sampai tiga kali. Ketika gue panggil, "Oiii," dia baru merespon pertanyaan gue.
"Di Hermina. Anterin gue sampe rumah aja."
Ah, persetan! Mana bisa gue membiarkan dia jalan sendirian. Tatapannya kosong gitu. Kayak orang linglung. Ditanya nggak menyahut. Untungnya dia nggak protes sewaktu gue nggak berhenti di gang rumahnya dan berjalan terus menuju rumah sakit. Dia masih fokus melamun.
Kinan memaksa untuk turun di depan gerbang parkir. "Dirawat di IGD kok. Dekat sama pintu lobi."
Entah angin dari mana, gue mencubit pipinya untuk menyadarkan tatapan kosongnya. "Jangan bengong. Hati-hati lihat jalan. Nanti lo ketabrak."
Kinan mengangguk dan pergi menuju rumah sakit.
***
"Ray, makan dulu. Malah bengong, pulang-pulang. Udah salat, belum?" tanya Emak setelah mengetuk pintu kamar. Dia melihat gue yang rebahan di atas kasur masih memakai seragam olahraga.
"Udah."
Setelah mengganti baju, gue keluar menuju dapur. Gue melewati ruang tengah yang penuh dengan kotak-kotak untuk pesanan kue. Di meja dapur terdapat tumpukan beberapa kue basah di atas nampan-nampan.
"Ini pesanan buat kapan? Kok Bunda nggak bilang-bilang? Kan Ray bisa pulang lebih cepet buat bantuin."
"Ini pesanan dadakan. Ada tetangga yang mau tasyakuran. Dikit kok. Kamu kan mau belajar sama Brian. Gimana belajarnya?"
Bunda sering sengaja nggak bilang kalau ada pesanan banyak ketika gue waktunya les. Biar gue nggak bolos. Eh, tapi gue dulu sering bolos sih. Pas Kinan ikut aja, gue jadi rajin datang. Terus dulu gue sering bolos ekskul. Jadi sering pulang cepat.
"Ya, gitu-gitu aja, Bun." Gue menyendok sayur lodeh ke atas piring dan mengambil satu ayam goreng dari atas meja di samping kue-kue basah.
"Bun, kayaknya Ray dalam waktu dekat ini mau kursus di Goethe. Tapi bakal pulang malam. Soalnya jauh di Menteng."
"Nggak apa-apa, Ray. Nggak usah mikirin kerjaan Bunda. Kamu fokus belajar aja ya," kata Emak sambil menghitung kembali kue lapis di atas nampan.
"Bun, kalau Ray jadi ke Jerman, janji ya pindah ke Cirebon. Tinggal sama Nenek. Kan banyak saudara di sana. Atau suruh Tante Dinda tinggal di sini. Biar Tante Dinda nggak usah nge-kost." Tante Dinda itu adiknya Emak yang paling bontot. Dia sedang kuliah di Jakarta.
"Iya, iya. Itu gampang, Ray. Nggak usah khawatirin Bunda."
"Ya, nggak bisa lah, Bun! Kalau Bunda kenapa-napa, gimana? Ray nggak bakal tahu kalau Ray bakal bisa lulus ke Jerman, tapi Ray ngelakuin ini supaya Bunda nggak capek jualan lagi. Biar Ray bisa sukses. Bukan karena nurutin Ayah. Tahu nggak apa yang bikin Ray berat? Ninggalin Bunda sendirian!”
Emak tersenyum dan datang menghampiri gue. Dia memeluk dan mengelus kepala gue.
"Iya, Bunda janji. Pokoknya Bunda udah senang kalau kamu semangat lagi belajar."
Gue memang kehilangan semangat hidup semenjak Bapak'e dan Emak bercerai. Selama ini gue nggak terlalu peduli bakal bisa kuliah di Jerman atau nggak. Gue cuma kepingin bisa membuat Emak bahagia.
Makanya gue sering menunda-nunda les di Goethe. Les sama Om Brian itu cuma untuk membungkam Bapak'e supaya nggak cerewet lagi. Nggak heran kalau gue suka tidur sewaktu les. Tidur adalah cara ampuh lari dari kenyataan. Alasan lain gue sering tidur, karena di alam mimpi gue masih bisa membayangkan Bapak'e dan Emak bersama-sama. Tanpa ada istrinya yang sekarang dan si Bunga bangkai.
Semenjak Kinan cerita tentang nasibnya tadi, gue seperti tersengat listrik. Wah, gue nggak nyangka, dari sekian kali dia menjual nasib, ternyata ada satu ceritanya yang bisa mengetuk relung hati gue. Kalau si kutu kupret aja bisa seniat itu untuk mendapatkan beasiswa supaya orangtuanya bangga sama dia, kenapa gue nggak bisa begitu? Kalau gue cuma malas-malasan dan berharap Emak bahagia, itu namanya omong kosong, kan?