"Assalamualaikum, Bun!" Gue menghampiri Emak yang lagi nonton sinetron favoritnya. Kadang-kadang gue sampai hafal percakapan sama pemerannya.
"Ya Allah, kamu habis dari mana? Katanya mau belajar bareng. Kok sampe malem begini?" cecar Emak saat gue menyalaminya.
"Ya, baru jam segini selesai, Bun," sahut gue. Gue duduk di sofa ruang tengah tepat di samping Emak. Lalu gue mengunyah tahu yang diberikan oleh Kinan tadi.
Terus waktu Emak mau mengambil salah satu tahu di plastik, gue langsung merebutnya.
"Ini tahunya pedes, Bun. Nanti mag kambuh lagi. Spesial dikasih orang."
"Ya ampun, sama Bunda pake pelit lagi. Emang dikasih siapa sih? Kamu lagi suka sama cewek ya?" tuduh Emak.
Gue hanya terdiam sambil fokus mengunyah. Kemudian gue berdecak saat melihat adegan tabrak lari di sinetron yang Emak tonton.
"Itu ngapa sih pake bengong? Padahal kan kalau lari masih bisa nggak ketabrak," komentar gue.
Emak malah memukul paha gue. "Pertanyaan Bunda nggak dijawab. Kamu lagi suka sama orang ya?"
Gue mengerutkan kening. "Suka? Siapa? Pasti ini gara-gara tahu jeletot. Orang ini dikasih sama temen."
"Kamu ini nggak usah bohong sama Bunda. Bunda kan juga pernah muda. Soalnya Bunda perhatiin kamu sekarang banyak berubah. Kamu jadi semangat les. Tiba-tiba mau kursus ngaji. Bunda sempet nanya-nanya ke Brian. Katanya ada cewek yang ikutan les. Bunda jadi penasaran." Kedua bola mata Emak menerawang ke plafon rumah.
"Bisa nggak sih husnuzan sama anak sendiri? Ray itu mau berubah. Mau belajar yang bener, terus bisa cari duit. Biar Bunda nggak usah kerja lagi. Duduk manis di rumah pokoknya," tutur gue sambil melahap potongan terakhir tahu jeletot.
Emak mengacak rambut gue. "Iya, iya deh percaya. Ajak-ajak ceweknya ke sini. Bunda mau ketemu."
"Mulai deh resek. Udah ah ngantuk. Bunda juga tidur gih. Jangan kemaleman." Gue beranjak dari sofa dan pergi ke kamar.
***
Biasanya kalau capek begini gue langsung tepar di atas kasur. Ini malah masih terang benderang mata gue. Padahal sudah main mobile legends dua pertandingan, tapi gue masih belum mengantuk. Rekor nih.
Ini si Gamal ngajakin main lagi. Gue malas ah. Tadi dia tiba-tiba nge-lag, terus AFK. Katanya kaki dia kesemutan dan dia jatuh di depan toilet. Ternyata dia main selama itu sambil boker sampai kakinya mati rasa. Bokernya di kamar mandi lantai dua yang WC-nya jongkok. Lagian sih! Ah, malesin ngomong soal dia.
Entah kesambet setan apa, gue membuka chat dan mencari nama Kinan. Tadi sewaktu dia bilang kalau emaknya pulang dari rumah sakit, gue kepingin basa-basi sekalian nengokin ke rumahnya. Ah, tapi kita kan nggak sedekat itu. Apalagi selama ini Kinan menolak kalau diantar sampai depan rumah. Apa dia malu kalau ketahuan berteman sama gue? Eh, memangnya kita berteman?
Apa gue tanya keadaan emaknya ya? Ah, kan udah malam. Nggak sopan. Eh, tapi dia kan sering kurang ajar sama gue.
Oiii, gimana? Mama udah di rumah?
Hapus, hapus! Sok akrab banget!
Oh iya, mama lo gimana keadaannya?
Ah, enggak banget sih!
Emak lo udah pulang dari rumah sakit?
Gini cukup kali ya? Eh, copot! Gue kaget! Tiba-tiba Kinan menulis chat kayak gini ke gue.
Kinan: Lo mau nulis cerpen ya dari tadi typing terus?
Sial, sial! Ketahuan gue! Dia kan orangnya narsis dan pede banget. Gue jangan sampai salah ngomong.
Ray: Kampreto! Tadi tombolnya keteken. Nggak sengaja. Tahu nih suka eror. Tadi aja nomer orang kepencet missed call berapa kali.
Kinan: Oh, gitu. Besok gue ke cafe sendiri aja ya. Nggak usah dijemput atau sok-sokan sekalian jalan.
Tuh kan! Apa gue bilang? Narsis dan pede banget!
Ray: Heh, kutu kupret! Gue nawarin tumpangan itu biar lo nggak ada alasan minta naikin gaji!
Eh, dia malah mengirim emoticon ketawa guling-guling.
***
"Masa masih nggak paham sih?! Kan tadi udah dijelasin! Keponakannya Dayana aja masih hafal sama pelajaran kemaren kalau ditanya! Ini belum lima menit yang lalu, Ray!" Kinan berdecak kesal.
Gue jadi bingung. Perasaan gue merekrut guru privat, bukan pawang singa kebun binatang. Kalau gue menguap, dia masukin tisu ke mulut gue. Memang biadap nih cewek. Lama-lama bukan amandel lagi tenggorokan gue, tapi jadi pembuangan sampah Bantargebang.
Awalnya gue mengajak si kutu kupret buat belajar di rooftop, di salah satu gazebo. Biasanya di lorong Music Room atau di musala. Rencananya biar dia nggak berani marah-marah sesadis itu kalau di depan orang banyak. Tapi ternyata si kutu kupret ini nggak terkalahkan. Kayaknya dia tipe yang bakal melakukan apa pun sampai kemauannya tercapai. Apa tuh namanya? Ambien?
Kayaknya perpustakaan adalah tempat yang ideal. Soalnya kalau dia teriak pasti bakal dimarahi sama semua penghuni di sana. Wah, brilian juga gue, hahaha. Besok pokoknya gue minta pindah ke perpustakaan. Kalau si kutu kupret nggak mau, gue ancam bakal dipecat.
"Lo nggak pernah bareng Cutbray lagi waktu istirahat?" tanya gue. Gue sih berharap dengan adanya Cutbray, dia bisa jadi pawang macan betina di depan gue.
"Dia makan bareng sama anak-anak choir." Dagunya menunjuk ke arah tengah dining room. Gue melihat si Cutbray dikelilingi teman-temannya.
"Ngajak gue sih. Tapi gue capek. Setiap makan bareng, selalu ada yang kepingin nimbrung. Makanya biasanya gue lebih milih di gazebo pojokan. Biar nggak pada nyamperin. Sekarang gue ngebebasin dia," lanjut Kinan.
"Udah makan sama kita aja, sweety. Biar si kampret mau makan di sini. Gue biasanya sendirian," sahut Gamal sambil membuka kotak makannya.
"Biasanya lo juga banyak temennya," cibir gue.
"Ya, gue sih emang famous. Jadinya pasti banyak yang nyamperin walaupun sendirian, man. Lo cemburu, man?"
"Najis!"
Gamal tergelak. Sambil makan, Kinan kembali menjelaskan soal-soal worksheet yang dikerjakan dua hari yang lalu. Terus dia memukul kepala gue dengan pulpen waktu gue bengong. Malah makin sadis, dan Gamal menikmati pemandangan siksaan ini.
"Kamu pinter banget sih, honey. Ajarin aku juga dong," goda Gamal.
"Ya udah sini sekalian," jawab Kinan.
"Gue rela kok walaupun disiksa." Gamal mengedipkan sebelah matanya.
"Sedeng!" sembur gue.
"Si kampret tuh cuma pura-pura stupid, beautiful. Dia sebenarnya pinter, tapi sengaja nggak fokus," ungkap Gamal kepada Kinan.
"Lo pasti ada maunya ya, muji-muji gue?" tuduh gue.
Si kutu kupret hanya tertawa melihat gue dan Gamal adu mulut.
Tanpa gue sadari, setiap istirahat kita bertiga sering bareng. Gue juga melihat Kinan lebih sering tertawa. Kedua matanya terlihat berbeda. Ketika gue melihat matanya yang dulu, gue seperti melihat ke arah cermin. Kita memiliki tatapan yang sama. Hampa. Kosong. Kesepian. Namun, kini kedua mata kita sama. Bersinar. Cailah.
***
Gue nggak melihat Kinan hari ini. Biasanya sewaktu istirahat, dia udah datang ke kelas. Buat datang ke gue. Terkadang kalau gue tidur, dia menggebrak meja gue atau menjambak rambut gue. Habis deh rambut gue. Sudah tipis, dijambak pula.
"Bray, Kinan mana?" tanya gue saat Cutbray datang ke kelas. Gue tadi makan di lorong lagi sendirian. Gamal? Dia tetap di rooftop. Dia anaknya memang gampang berbaur sama yang lain.
"Cieee ... kangen ya? Dia sakit. Lah, kirain gue, lo tahu!" serunya.
Duh, suaranya itu kayak pluit. Untung anaknya baik. Cuma Cutbray yang sering ngomong sama gue di kelas ini, selain Gamal. Dia bahkan sering memberi gue pinjaman catatan yang nggak sempat gue catat gara-gara gue tidur.
"Dih, siapa yang kangen? Disiksa mulu gue belajar sama dia," keluh gue
Cutbray terkikik. "Kinan emang nggak sabaran jadi orang. Gue jadi khawatir kalau dia jadi guru, tapi mudah-mudahan dia agak taubat habis ngajarin lo."
“Taubat apaan!”
Ucapan Cutbray selanjutnya enggak terlalu gue gubris. Gue malah mikirin hal lain. Apa gue ke rumahnya ya? Ah, dia kan anaknya narsis. Nanti gue dituduh yang nggak-nggak sama dia.
"Udah jenguk aja ke rumahnya pulang sekolah," cetus Cutbray.
Gila, sejak kapan si Cutbray jadi cenayang? Nggak ah, ngapain gue jenguk Kinan? Nanti ada ekskul.
***
Gue seperti menjilat air liur sendiri. Sekarang gue di perjalanan ke rumah Kinan. Tadinya gue nggak tahu rumahnya di mana, tapi sepulang ekskul gue bertemu Cutbray. Dia mengajak gue untuk pulang bareng. Ya udah, gue bonceng dia sekalian, karena gue bawa motor.
Sebenarnya gue tahu sih gang rumahnya, tapi nggak tahu persis di mana rumahnya. Selama ini gue mengantar dia cuma sampai depan gang.
"Mau beli buah dulu, nggak?" teriak Cutbray dari belakang.
"Buat apa?"
Cutbray malah memukul punggung gue. "Masa ngejengukin nggak bawa apa-apa!"
Akhirnya kita mampir ke toko buah. Gue beliin Kinan buah semangka kesukaan dia. Kenapa si kutu kupret nggak suka pisang atau jeruk gitu? Kenapa harus buah yang berat sih?
Setelah itu kita naik motor kembali dan Cutbray menujuk rumahnya ketika sudah dekat.
"Di sebelah rumah gue, rumahnya Kinan. Good luck ya!" serunya.
"Good luck apaan? Oh iya, ini buah jeruk buat lo." Gue menyodorkan dia satu plastik.
"Ya ampun, gue terharu. Makasih ya. Gue restuin lo sama sahabat gue." Cutbray menepuk tangan gue dengan dramatis.
Gue nggak memedulikan omongannya. Tiba-tiba gue agak grogi saat menatap rumah Kinan. Rumahnya memang nggak sebesar milik Cutbray yang berlantai dua, tapi cukup asri dengan beberapa tanaman yang ditanam sekitar rumah dan pohon mangga yang menjadi payung rumah ini. Ada mobil Ertiga yang terparkir di depan dan sebuah motor Honda Vario yang mirip dengan punya gue.
Cutbray yang melihat gue ragu-ragu untuk masuk, dia membukakan pagar rumah Kinan.
"Assalamualaikum!" teriak Cutbray.
Ada yang membuka pintu rumah tersebut. Cutbray menyalami seorang pria berkulit sawo matang. Dari gaya berjalan dan raut wajahnya, gue seperti melihat Kinan versi cowok. Kinan itu kalau orang nggak kenal, dia kelihatan serius dan jutek.
Terus di belakangnya ada seorang wanita yang gue tebak adalah emaknya Kinan. Gayanya Kinan memang bapaknya banget, tapi kulit kuningnya, hidungnya yang mini, mirip emaknya. Emaknya nggak terlihat seperti seorang wanita yang sudah memiliki anak segede Kinan. Bahkan katanya dia punya kakak. Ya, awet muda. Biasanya yang imut-imut gitu, kelihatan muda terus. Mirip Kinan-lah. Apa gue bilang? Nggak waras nih gue.
Seketika gue merasa grogi saat bapaknya nanya, "Ini siapa?" Mirip kayak polisi mergokin gue nggak bawa SIM.
"Ini temannya Kinan. Mau jengukin," sahut Cutbray.
Untung saja emaknya langsung mengajak gue ke ruang tamu. Gue jadi paham kenapa Kinan nggak pernah mau diantar sampai depan rumah. Bapaknya horor!