Loading...
Logo TinLit
Read Story - Lazy Boy
MENU
About Us  

Akhirnya setelah beberapa minggu eror, sekarang nomor ponselku kembali normal. Terpaksa aku pergi ke mal sendirian, karena besok Dayana sedang gladi untuk Assembly.

 

Namun saat aku berjalan pulang, aku terkejut melihat Bunga berjalan berlawanan arah bersama seorang pria berkemeja rapi. Bukan, bukan pria itu yang membuatku aneh. Pria itu adalah ayahnya yang terkadang menjemputnya di sekolah. Akan tetapi cowok yang mengenakan seragam pramuka di sebelah kanan ayahnya.

 

"Ray?" Refleks aku menyapanya.

 

Sedari pagi aku kucing-kucingan dengannya. Sekarang cecunguk ini malah muncul bersama Bunga. Apa jangan-jangan mereka pacaran? Masa sih Bunga mau sama cowok model kayak Ray?

 

Tiba-tiba saja Ray berdiri di sampingku dan sok akrab.

 

"Yah, Ray lupa kalau ada janji sama Kinan," ujarnya.

 

"Hah? Kap—"

 

"Plis, tolongin gue. Gue bakal nurutin apa mau lo," bisiknya di dekat telingaku.

 

"Unlimited. Lo nurutin kemauan gue," balasku.

 

"Deal."

 

"Emang kalian ada janji apa?" tanya ayahnya.

 

"Ini, Yah, Kinan juga mau lanjut kuliah di Jerman. Kita mau belajar bareng. Dia juga mau ngajarin Ray semua pelajaran," kata Ray.

 

"Bagaimana kalau Kinan ikut kita makan bareng? Baru setelah itu kalian belajar bareng," usul ayahnya.

 

Wah, aku sih mau-mau aja. Apalagi sepertinya mereka mau ke restauran mahal. Kapan lagi makan enak?

 

"Nggak usah, Yah. Kita soalnya mau belajar ke rumah Om Brian," tolak Ray.

 

Ah, dasar congcorang!

 

"Kamu kapan mau daftar les di Goethe? Brian itu nggak punya sertifikat bahasa Jerman yang diakui sama pemerintah sana. Meskipun Brian jago."

 

"Iya, iya. Nanti Ray bakal daftar."

 

Lalu Ray seenaknya menarik tanganku meninggalkan mereka.

 

"Kita mau ke mana?" tanyaku. "Eh, tangan gue kenapa masih dipegang-pegang sih?"

 

Sontak Ray melepaskan tanganku. "Sori, khilaf. Kita pulang lah."

 

"Lho, kirain mau ke rumah om lo. Siapa namanya?"

 

"Om Brian? Iya, gue belajar bahasa Jerman sama dia. Lo mau ikut? Tapi nggak sekarang."

 

"Wah, boleh tuh. Kalau gue nggak diterima di Oxford, Jerman bisa jadi opsi kedua."

 

"Tapi kalau beneran mau ke Jerman, mending les di Goethe. Cuma di situ sertifikat bahasa Jerman yang diakui sama pemerintah sana."

 

"Oh gitu. Tapi yang penting lo setuju kan gue jadi tutor belajar lo?”

 

“Iya! Bawel!”

 

Saat tiba di depan mal, aku mencegah Ray yang berjalan sangat cepat.

 

"Gue masih banyak yang pengin ditanyain," kataku.

 

"Sekarang banget?" Dia mengerutkan dahinya.

 

"Maunya sih besok, tapi gue takut ditipu lagi kayak kemaren."

 

Ray tergelak. "Kali ini gue janji nggak bakal kabur. Asal lo jangan bocorin apa yang lo lihat tadi ke temen-temen di sekolah."

 

"Kalau lo pacaran sama Bunga?"

 

"Pacaran dari Hong Kong! Bunga itu saudara tiri gue. Sebenernya gue juga males ngakuin, tapi ya Bapak'e udah terlanjur nikah sama emaknya." Dia mengedikkan bahu.

 

"Iya, sih. Kalau kalian pacaran, nggak mungkin ayahnya Bunga seperhatian itu sama lo."

 

"Eh, itu ayah gue, bukan dia!" protesnya.

 

"Oke, oke. Besok pas jam makan siang, lo harus ikut makan di rooftop sama gue dan Dayana," ujarku.

 

"Di lorong depan Music Room aja," tawarnya.

 

Aku menggelengkan kepala. "Inget lho, sekarang gue megang kartu merah lo. Pokoknya enggak boleh ngelanggar. Bawa buku yang lo mau gue ajarin. Gue duluan ya, ojeknya udah dateng. Bye!"

 

***

 

Tadinya aku ingin langsung pulang ke rumah, tapi aku baru ingat kalau lupa membawa kunci rumah. Akhirnya aku meminta abang ojek untuk ke sekolah SMA Negeri yang terletak di sebelum rel kereta api. Tidak terlalu jauh dari rumah.

 

Adik ke sekolah Mama dulu. Papa masih ada rapat.

 

Itu jawaban dari Papa saat aku mengirim pesan. Papa memang suka memakai bahasa formal sesuai dengan EYD kalau mengirim pesan. Mungkin karena Papa guru bahasa Indonesia. Ah, tapi Pak Budiono nggak sekaku itu. Memang Papa saja yang terlalu formal. Bahkan mengobrol sama Mama pun pakai 'saya.'

 

Setelah memberikan helm kepada abang ojek, aku masuk ke dalam gedung sekolah.

 

"Eh, Kinan. Cari mamanya ya?" sapa Pak Romli. Salah satu guru, temannya Mama.

 

"Iya, Pak. Ada di ruang guru ya?"

 

"Mama kamu lagi ngelatih band. Langsung ke belakang aja."

 

Aku bergegas masuk ke dalam gedung sekolah. Beberapa murid yang sedang esktrakurikuler basket memenuhi lapangan. Aku berbelok kiri, lalu ke kanan melewati koridor-koridor.

 

Tepat di ujung koridor adalah ruang musik yang kedap suara. Aku membuka knop pintu. Terlihat Mama sedang menunjuk kepada siswi yang memainkan keyboard. Sepertinya dia melakukan kesalahan.

 

Dulu sewaktu kecil, aku terbiasa ikut Mama yang mengajar ekstrakurikuler musik. Dari bermain suling, pianika, makanya aku jadi terlatih sejak kecil. Hanya saja untuk keyboard, aku lebih menguasai lagu-lagu daerah ketimbang lagu pop.

 

"Bu, kita kepingin buat lomba band bawain lagu bahasa Inggris, Bu," usul seorang cewek yang sepertinya vokalis band tersebut.

 

"Halah, kamu bahasa Inggrisnya remedial juga. Udah, lagu bahasa Indonesia aja," sahut Mama.

 

Semua temannya sontak menertawakannya.

 

"Ah, Ibu, tahu aja. Jangan buka kartu dong, Bu," kata sang vokalis malu-malu.

 

"Ma, Adek nggak bawa kunci," ujarku yang menghampiri Mama seraya menyalaminya.

 

"Ya udah, pulang sama Mama aja. Bentar lagi selesai."

 

"Bu, anaknya udah punya pacar belom? Boleh dong, Bu, besanan," seru cowok yang berada di belakang drum.

 

"Heh, anaknya Bu Esti itu sekolah di Russelia. Pinter-pinter. Lah, lo aja Matematikanya jeblok," ledek perempuan yang bermain keyboard.

 

Aku hanya tertawa saja mendengarnya. Walaupun mereka seumuran denganku, tapi itu hanya sebatas lelucon saja. Mereka masih menghormati Mama sebagai gurunya.

 

Selesai band membawakan satu lagu, Mama mengakhiri sesi latihan.

 

"Kamu udah persiapin buat daftar Oxford sama Jardine?" tanya Mama.

 

"Nggak tahu, Ma. Gimana kalau nanti nilai A level Adek nggak mencapai yang ditentuin sama Oxford? Terus kalau nggak keterima beasiswa Jardine?" Aku masih belum menceritakan soal ide dari Mrs. Shelly kepada Mama dan Papa.

 

"Ya, usaha dulu. Kalau nggak lulus juga nggak apa-apa. Kuliah di Indo aja temenin Mama." Mama mengelus rambutku.

 

Ah, aku nggak mau! Aku sebal setiap lebaran, keluarga selalu membangga-banggakan Kak Mira. Kalau aku kuliah di kampus biasa aja, aku pasti dicemooh. Capek banget.

 

“Kamu pasti mikirin soal omongan keluarga ya? Jangan khawatirin itu, Sayang. Mama nggak peduli. Kamu itu harta Mama sama Papa yang berharga. Itu yang paling penting.”

 

Aku memeluk Mama. Tapi, Ma, aku juga kepingin membuat Mama dan Papa bangga sama aku. Aku juga nggak mau Mama menyalahkan diri Mama yang harus dirawat di rumah sakit sehingga aku kalah di olimpiade tahun lalu. Itu bukan salah Mama. Aku yang kurang usaha, Ma.

 

***

 

Ray datang menghampiriku dan Dayana di salah satu gazebo, di rooftop. Wajahnya seperti orang sehabis makan jeruk nipis. Asem. Mungkin dia terganggu ritual tidur siangnya.

 

"Hai! Welcome to the club!" seru Dayana. "Lo pake pelet apaan, kok dia bisa mau ke sini?"

 

"Let's say, gue udah pegang kelemahan dia," jawabku.

 

Ray memelotot ke arahku.

 

"Tenang, dia nggak tahu," sahutku. Lalu kedua mataku tertuju kepada kotak bekal yang dibawanya saat dia duduk di hadapan kami.

 

"Lo nggak ikut katering?" tanyaku.

 

"Nggak. Kalau gue ikut katering, siapa yang bakal makan ini?" Dia mengacungkan kotak makan berwarna biru.

 

Aku hanya manggut-manggut saja. "Lo mau belajar apa?”

 

Math.” Dia mengacungkan student book.

 

“Wah, kebetulan banget. Math itu kesukaan gue—"

 

“Iye, iye, nggak usah sombong. Udah cepetan mulai.”

 

Berkali-kali aku melihat Ray menguap saat aku menjelaskan. Udah sepuluh kali aku menghitungnya.

 

“Coba lo kerjain soal yang ini. Udah gue contohin di soal sebelumnya.”

 

Sambil menunggu Ray mengerjakan soal, aku melahap makan siangku. Lalu belum ada lima menit, dia menyodorkan bukunya.

 

“Ini apaan?” Aku menunjuk kepada coretannya.

 

“Jawabannya.”

 

“Lo ngasal ya? Lo niat belajar nggak sih?! Kan tadi udah gue ajarin! Masa nggak ngerti?!”

 

“Heh, yang namanya jadi guru itu kudu sabar! Mau gue pecat jadi tutor gue? Kalau guru seseram Nyi Blorong kayak lo, mana ada yang mau jadi murid lo.”

 

Aku hampir menonjok dia kalau Dayana tidak menahanku. Ray malah lari terbirit-birit. Dasar cowok nyebelin!

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Be Yourself
518      349     0     
Short Story
be yourself, and your life is feel better
Rembulan
1046      586     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...
Kisah Kemarin
5877      1568     2     
Romance
Ini kisah tentang Alfred dan Zoe. Kemarin Alfred baru putus dengan pacarnya, kemarin juga Zoe tidak tertarik dengan yang namanya pacaran. Tidak butuh waktu lama untuk Alfred dan Zoe bersama. Sampai suatu waktu, karena impian, jarak membentang di antara keduanya. Di sana, ada lelaki yang lebih perhatian kepada Zoe. Di sini, ada perempuan yang selalu hadir untuk Alfred. Zoe berpikir, kemarin wak...
Aria's Faraway Neverland
3484      1122     4     
Fantasy
"Manusia adalah Tuhan bagi dunia mereka sendiri." Aria adalah gadis penyendiri berumur 7 tahun. Dia selalu percaya bahwa dia telah dikutuk dengan kutukan ketidakbahagiaan, karena dia merasa tidak bahagia sama sekali selama 7 tahun ini. Dia tinggal bersama kedua orangtua tirinya dan kakak kandungnya. Namun, dia hanya menyayangi kakak kandungnya saja. Aria selalu menjaga kakaknya karen...
Sacred Sins
1087      666     8     
Fantasy
With fragmented dreams and a wounded faith, Aria Harper is enslaved. Living as a human mortal in the kingdom of Sevardoveth is no less than an indignation. All that is humane are tormented and exploited to their maximum capacities. This is especially the case for Aria, who is born one of the very few providers of a unique type of blood essential to sustain the immortality of the royal vampires of...
SILENT
5263      1585     3     
Romance
Tidak semua kata di dunia perlu diucapkan. Pun tidak semua makna di dalamnya perlu tersampaikan. Maka, aku memilih diam dalam semua keramaian ini. Bagiku, diamku, menyelamatkan hatiku, menyelamatkan jiwaku, menyelamatkan persahabatanku dan menyelamatkan aku dari semua hal yang tidak mungkin bisa aku hadapi sendirian, tanpa mereka. Namun satu hal, aku tidak bisa menyelamatkan rasa ini... M...
Kuncup Hati
644      444     4     
Short Story
Darian Tristan telah menyakiti Dalicia Rasty sewaktu di sekolah menengah atas. Perasaan bersalah terus menghantui Darian hingga saat ini. Dibutuhkan keberanian tinggi untuk menemui Dalicia. Darian harus menjelaskan yang sebenarnya terjadi. Ia harus mengungkapkan perasaan sesungguhnya kepada Dalicia.
MERAH MUDA
496      356     0     
Short Story
Aku mengenang setiap momen kita. Aku berhenti, aku tahu semuanya telah berakhir.
Fallin; At The Same Time
2794      1323     0     
Romance
Diadaptasi dari kisah nyata penulis yang dicampur dengan fantasi romansa yang mendebarkan, kisah cinta tak terduga terjalin antara Gavindra Alexander Maurine dan Valerie Anasthasia Clariene. Gavin adalah sosok lelaki yang populer dan outgoing. Dirinya yang memiliki banyak teman dan hobi menjelah malam, sungguh berbanding terbalik dengan Valerie yang pendiam nan perfeksionis. Perbedaan yang merek...
Blue Island
116      102     1     
Fantasy
Sebuah pulau yang menyimpan banyak rahasia hanya diketahui oleh beberapa kalangan, termasuk ras langka yang bersembunyi sejak ratusan tahun yang lalu. Pulau itu disebut Blue Island, pulau yang sangat asri karena lautan dan tumbuhan yang hidup di sana. Rahasia pulau itu akan bisa diungkapkan oleh dua manusia Bumi yang sudah diramalkan sejak 200 tahun silam dengan cara mengumpulkan tujuh stoples...