Irsa yang baru kembali ke kios saat matahari berada di atas kepala, terkejut saat mendapati Kavin yang duduk manis di meja kasir. Perempuan itu mendekat, lalu melipat tangannya di depan dada. “Kamu ngapain di sini?”
“Niatnya mau ngajak kamu makan siang, aku kira kamu uda santai jam segini. Ternyata masih sibuk, karyawan kamu sampai keteteran. Akhirnya saya bantu. Kan gampang, tinggal scan barcode.” Kavin tersenyum lebar dan memasukkan baju-baju ke dalam kantung. "Terima kasih."
Usai si pembeli itu keluar toko, Irsa kembali bersuara. “Selain karyawan, dilarang masuk area ini.”
“Tapi karyawan kamu keteteran, Sa. Dia langsung pindah ke gudang, soalnya banyak banget pesanan online. Kenapa enggak tambah karyawan?” tanya Kavin.
“Saya belum mampu menggaji karyawan lagi.”
Kavin. Mengedarkan pandangannya. “Minimalis, tapi lengkap. Orang-orang kebanyakan juga memilih datang ke sini, daripada ke Salin Store yang notabene pusatnya. Enggak ada niatan buat tempat yang lebih luas, Sa?”
Irsa yang bergerak kesana-kemari terlihat menggeleng. “Aku mau gedein toko online dulu, Ka.”
“Enggak ada baju buat cowok, Sa?” Kavin memiringkan kepalanya. Sejak tadi yang ia pegang adalah pakaian wanita.
Irsa menggeleng. “Kalah sama distro yang gak jauh dari sini. Di toko online ada sih, tapi stok habis.”
“Mbak Irsa, ini yang dipesan hari kemarin. Kayaknya hari ini kita enggak lembur, mbak. Soalnya stok udah banyak yang habis.” Saras keluar dari gudang dan membawa tumpukan paket.
“Lusa kayaknya kita harus foto-foto lagi, ada banyak model baru yang hari ini masuk.”
Kedua mata Kavib berbinar, ia mencolek lengan Irsa. Kesempatan yang tidak bisa ia sia-siakan. “Saya yang fotoin.”
“Eh? Enggak deh, Ka, bayarnya mahal.”
Kavin menggeleng. “Saya kasih diskon. Sekalian aku bantu promosi.”
“Enggak usah, Ka.”
“Enggak apa-apa, mbak. Nanti biar aku sama dia yang urus toko online. Mbak Irsa fokus sama yang offline. Bagaimana?” usul Saras.
Terpaksa Irsa mengangguk. Dua orang di depannya itu langsung bertos ria. “Kalian sekongkol ya?” tanya Irsa dengan kening berkerut.
“Mbak Irsa juga enggak pernah cerita, kalau punya teman fotografer profesional, udah terkenal juga,” sahut Saras.
Kavin hanya tertawa. “Makan dulu, yuk, Sa. Tadi aku udah pesan, Saras udah makan duluan tadi.”
“Kamu duluan aja, Ka,” tolak Irsa. Ia mengambil ponsel dan menghubungi kurir.
Kavin langsung merebut ponsel itu, segera ia menarik Irsa agar mengikutinya. “Sar, tutup dulu aja. Habis ini kamu hubungi pusat, minta stok barang. Mulai besok kalau bisa, besok kita udah mulai foto.”
"Siap!"
“Kamu apa-apaan sih?” Irsa berusaha melepaskan tangan Kavin yang menggenggam tangannya.
“Saras udah banyak cerita tentang kamu. Dalam waktu tiga jam, dia udah banyak cerita, selama hampir dua tahun kerja di tempat kamu tuh gimana. Termasuk tentang kamu yang sering telat makan, kurang tidur.”
“Tadi aku udah ngemil.”
Kavin mendudukkan Irsa di salah satu kursi, lalu mengambilkan makan untuknya. Bahkan dia dan Bu Diah terlihat sangat akrab.
“Tadi kamu pergi kemana, Sa?” tanya Kavin. Ia meletakkan piring dan gelas di hadapan Irsa. “Kebanyakan ya?”
Irsa meringis dan mengangguk pelan. “Takut enggak habis.”
Bukan hanya porsinya yang banyak, tapi wajib memenuhi kriteria makanan empat sehat lima sempurna. Hanya kurang susu. Padahal biasanya dia hanya pesan nasi dan lauk, atau nasi dengan sayur. Terkadang jika bosan, Irsa memilih untuk menyantap semangkuk mie instan.
“Nanti aku yang habisin. Tapi jawab dulu, kamu dari mana? Kata Saras, setiap bulannya kamu pasti pergi keluar, bisa sampai tiga jam kayak tadi. Ngapain memangnya?”
“Ketemu orang.”
“Kok lama?”
“Karena yang diomongin ada banyak.”
“Setelah ini kan tutup, jalan, yuk!” ajak Kavin. Berharap ajakannya kali ini tidak mendapatkan perlawanan.
“Enggak. Aku mau tidur siang aja,” tolak Irsa.
“Ayolah, Sa, ikut aku. Sebentar aja. Palingan besok Subuh udah balik.”
“Kemana? Lama banget.”
“Prambanan. Soalnya ada yang mau prewedding pas senja nanti. Kalau udah selesai, malamnya kita jalan-jalan. Bagaimana?”
Irsa menipiskan ujungnya. “Enggak.”
“Ayolah, Sa,” bujuk Kavin.
“Lain kali aja.”
Kavin menghela napasnya, sejak dulu, Irsa paling susah jika diajak jalan-jalan dan jajan. “Oke, tapi besok kalau aku ajak kamu, harus mau, ya?”
“Ya.” Irsa menyodorkan sesendok nasi pada Kavin. Laki-laki itu tersenyum dan membuka mulutnya.
“Aku enggak makan telur,” ucap Kavin saat Irsa memotong telur dadarnya.
"Sori, aku lupa."
Irsa terus menyuapi Kavin sampai makanan di piringnya habis. Bahkan ia sendiri hanya makan empat suapan.
“Irsa,” panggil Kavin.
Irsa yang hendak membawa piring kotor di tangannya sontak menoleh. "Ya?"
"Love you."
Dua piring kaca dan gelas di tangan Irsa meluncur bebas ke lantai.
--✿--
Irsa mendudukkan dirinya di tepi geladak, menatap telapak kaki kirinya yang dibalut kain kasa. Ada darah yang merembes, sebelum tidur ia harus mengganti kapas.
Siang tadi, Irsa yang masih terkejut malah menginjak pecahan gelas. Saat makan tadi ia memang melepas sandalnya. Bu Diah langsung teriak panik saat melihat darah. Beberapa pelanggan ikut membereskan pecahan kaca. Sedangkan Kavin langsung membawa Irsa ke puskesmas yang ada di sebrang jalan.
Untung saja Saras langsung menyusul, Irsa memilih ditemani dan diantar pulang oleh gadis itu. Bahkan, Irsa sama sekali tidak berbicara pada Kavin, saat ditanya oleh laki-laki itu, ia hanya diam.
Bahkan hari sudah berganti, tapi Irsa masih belum bisa memejamkan mata. Kantuk yang biasanya ia tahan-tahan, kini malah tak kunjung datang.
“Irsa ....”
Baru saja Irsa hendak mencoba tidur, kedua matanya langsung terbuka lebar saat mendengar suara ketukan pintu. Juga ada yang memanggil namanya.
“Ini aku, Sa.”
“Irsa.”
Setelah mendengar suara itu tiga kali, Irsa yakin jika itu adalah manusia. Pelan-pelan ia melangkah menuju pintu, sedikit mengintip melalui celah gorden. “Kavin?”
“Iya, Sa, ini aku. Tolong buka pintunya.”
Segera Irsa membuka kunci, begitu pintu terbuka, sosok Kavin terlihat tepat di depan mata. “Kamu udah pulang?” tanya Irsa.
“Aku kepikiran sama kamu. Kakinya masih sakit?”
“Sedikit.”
“Ikut aku ke studio ya, Sa? Biar aku tenang malam ini.”
Begitu Irsa mengangguk, Kavin langsung membantu perempuan itu mengemasi barang-barang yang diperlukan. Setelah itu ia menuntun Irsa menuju mobilnya, yang bahkan sejak tadi mesinnya tidak dimatikan.
Keduanya sama sekali tidak bersuara, bahkan sampai mobil berhenti di sebuah bangunan yang kerap Irsa dengar akan eksistensinya, masih tak ada yang bersuara.
“Kamu bisa naik tangga, Sa? Ada kamar di atas.”
Irsa menatap tangga dengan ragu. “Bisa, tapi pelan.”
“Ayo, aku bantu.”
Kurang lebih waktu yang Irsa butuhkan untuk sampai di ruangan yang dituju adalah lima menit. Ia langsung duduk dan mengusap kakinya yang terasa nyeri.
“Minum obat dulu, Sa, biar nyerinya hilang dan kamu bisa tidur.”
Usai membantu Irsa minum obat, Kavinp keluar dari kamar. Irsa tadi mendengar jika Kahfi akan pergi mandi, karena sejak sore tadi belum mandi. Tapi, bagi Irsa tetap wangi. Perempuan itu memilih merebahkan tubuhnya di kasur. Tidak ada ranjang di ruangan ini, sehingga Irsa sepertinya besok pagi akan merasa kesulitan untuk bangun.
Juga hanya ada meja, kursi, cermin dan lemari di ruangan ini. Irsa masih berusaha tidur, ia melirik pintu yang terbuka. Kavin menggantungkan handuknya di jemuran kecil yang terletak di dekat jendela. Mengambil sesuatu di dalam lemari dan ikut bergabung di kasur.
“Mau pakai selimut, Sa? Itu jendelanya belum dipasang kaca. Takutnya kamu kedinginan.”
Irsa sontak menoleh ke jendela. Pantas saja sejak tadi gordennya berkibar-kibar seperti di film horor. “Enggak ada orang jahat masuk, kan?”
“Kalaupun ada, pasti dia lebih memilih ngerampok barang-barang di lantai satu. Di sini Cuma ada peralatan rumah tangga. Apa yang mau diambil? Panci? Sendok? Atau kopi sachet?”
“Nanti aku yang digondol.”
Kavin terkekeh kemudian membawa Irsa dalam pelukannya. “Aku pegang, biar enggak ada kucing yang gondol kamu.”
Irsa menutup mulut agar suara tawanya tidak mengudara. "Ka."
"Ya?"
“Selamat istirahat.” Setelah itu Irsa memejamkan mata, pura-pura tidur hingga benar-benar tertidur.
Nyesek sekali, hiks
Comment on chapter Prologhallo,
Saya mampir membaca, kalau berkenan saya mau jadi temen untuk saling mengisi dan mensupoort karya.